• Home
  • About
  • Opini
    • Pendidikan
    • Feminist
    • Knowledge
    • Intermeso
  • Thoughts
  • Poetry
  • Lifestyle
Powered by Blogger.
instagram twitter LinkedIn YouTube Spotify Email

Notes of Little Sister

Smile 웃으며 넘길래


Akhirnyaaa menginjak minggu pertama di bulan Februari! Tanpa basa basi, kayaknya postingan kali ini gue mau sedikit update aja. So..

Kegiatan gue seminggu ini bisa dibilang lumayan padat, oleh karena itu gue jarang buka blog dan bolak balik blogwalking seperti biasanya. Even untuk balas komentar teman-teman dan kakak-kakak, gue nggak sempat😭. Sekalinya buka dashboard blog, gue malah salah pencet publish salah satu draft yang belum sama sekali gue edit🤣. Mungkin kalau ada di antara teman-teman yang sudah baca, pasti tahu tulisan mana yang gue maksud, hehe. Anehnya, gue merasa baru berjalan tiga harian setelah gue posting tulisan yang Don't Stop ini. Nggak taunya udah seminggu ternyata😅 Time flies so fast!
 
Agak sedih sih, pas cek reading list kayaknya gue ketinggalan banyak ya seminggu ini🤧 But it's okay, kadang gue masih sempatkan untuk berkunjung, kok, meski nggak meninggalkan jejak. Jadi, setidaknya gue nggak terlalu ketinggalan banyak dan tetap bisa menikmati tulisan teman-teman😁

By the way, beberapa hari yang lalu gue dapat secret gift dari kak Eno karena sudah komentar di postingan yang Happy 300 Posts. Sejujurnya, gue nggak expect apa-apa saat memberi komentar waktu itu, karena apa yang gue tuliskan di sana murni jujur dari hati gue🤧. Tapi bukan kak Eno namanya kalau tanpa kejutan😆. Jadilah, beberapa hari yang lalu gue dapat paket berupa brownies manis dari empunya blog Creameno yang juga gak kalah manis😬. Ini dia penampakannya sebelum gue serbu, wkwkwk.

Maafkan fotonya kurang cantik, karena gue nggak jago foto dan kameranya nggak memadai😂

Thank you for this sweet gift, kak Eno! I definitely love this brownies!😭 Tbh brownies jadi salah satu makanan kue-kuean (kue-kuean banget ya bund) yang paling sering gue makan sejak kecil setelah kue bolu. Apalagi dulu suka ada yang jual per pieces gitu kan di warung. Biasanya kalau gue dikasih jajan agak lebih, gue pasti beli itu karena lumayan bikin kenyang untuk perut anak kecil😂 Kebetulan yang gue dapat ini keju brownies, jadi ada keju kering di atasnya yang mana kesukaan gue bangeeddd seriously😭, but of course jauuuuh lebih enak dari brownies eceran yang suka gue beli dulu, wk😆

Gomawoyo eonniii! Semoga kak Eno selalu dilimpahkan rezeki dan keberkahan, baik kesehatan, kebahagiaan, maupun kelancaran dalam urusan pekerjaan, Aamiin😍

Sebagai hadiah balasan, gue ingin mempersembahkan video cover gue (cielah gaya luuu😆) dari sebuah lagu milik J Rabbit yang berjudul Letting Go With Smile, atau dalam bahasa Korea-nya adalah 웃으며 넘길래 (re: useumyeo neomgillae) . Music instrumental-nya gue dapat dari salah satu akun di YouTube. Keren abizz. Karena akhir-akhir ini gue lagi keranjingan dengerin lagu-lagu ballad Korea yang sendu, salah satunya lagu ini. Dan buat gue sendiri lagu ini maknanya lumayan dalam karena sesuai judulnya, menceritakan tentang mimpi yang mungkin terasa sulit diraih di tengah lalu lalang kehidupan yang nggak selalu berjalan baik, dan mengajak pendengar (khususnya gue, karena gue merasa seperti itu) untuk lebih surrender atau ikhlas dengan realita. Jadi, intinya senyumin aja gitu guys😆. 

Mungkin gue akan cantumkan lyrics translation-nya di bawah supaya teman-teman bisa menginterpretasikan sendiri makna lagu ini, karena gue susah mengungkapkan dengan tepat maksud interpretasi gue, hehehe. Literally lack of better words. Semoga bisa menghibur sedikit hari teman-teman di akhir pekan yang dingin ini, ya❤

xx

P.S: Sangat sangat disarankan untuk mendengarkan menggunakan headset atau earphone, agar experience yang didapat lebih puooolll😂


There are many people who are going somewhere in the street
Quick footsteps, they're living just like that
They keep their own stories deep in hearts, They have wounded hearts
They're living just like that
 
Nothing is going well sometimes
Endlessly become smaller, just want to back down

 
But one thing, I do have a dream
Even though they say it's going to be difficult, I'll just laugh it away
Even though I don't know about the real world yet
Even though I still can choose other ways
My heart is beating fast
I'll laugh it away as always

 

Many people passed me by
I don't know when I couldn't remember them
I suppose it's memories
 
Nothing is going well sometimes
Endlessly become smaller, just want to back down

 
But one thing, I do have a dream
Even though they say it's going to be difficult, I'll just laugh it away
Even though I don't know about the real world yet
Even though I still can choose other ways
My heart is beating fast
I'll laugh it away as always
Share
Tweet
Pin
Share
20 komentar
Tentang Harta yang Paling Berharga

Setelah tujuh bulan ini berkutat dengan ruang hampa sendiri, akhirnya hari Senin kemarin gue dijemput pulang sama ayah gue supaya bisa menikmati libur tahun baru di rumah—yang sebetulnya nggak betul-betul bisa gue nikmati, bahkan semakin bikin stress, karena itu artinya gue nggak bisa santai-santai lagi dalam menyelesaikan tanggung jawab gue, yang selama ini seringkali tertahan dan dikuasai oleh segala macam mood (yang naik turun tanpa henti) dalam waktu singkat. Meskipun minggu depan gue sudah harus segera balik, tapi daripada gue semakin  stress dan overwhelmed di Bandung, setidaknya pulang ke rumah pun menjadi solusi paling baik yang bisa gue lakukan untuk back to reality.

Bicara soal rumah, sebetulnya definisi rumah bagi gue ada banyak. Rumah, tempat gue pulang dari melaksanakan tugas dan kewajiban di luar sana sebagai individu, dimana gue nyaman untuk melakukan segala hal yang pingin gue lakukan disana. Rumah, juga tempat keluarga gue tinggal, yang tentu dalam kenyataan sebenarnya buat gue ada banyak pula, karena ibu dan ayah gue tinggal di tempat yang berbeda, dan adik-adik gue pun tinggal bersama eyang dan tante kami—meski jaraknya nggak terlalu jauh. Terakhir, rumah bagi gue adalah tempat dimana gue kembali ke Yang Maha Kuasa, yang mana menjadi kesimpulan paling jelas bahwa pada akhirnya rumah adalah tempat gue kembali. Dan untuk sekarang, rumah menjadi tempat gue kembali dari segala macam ketakutan, kekhawatiran, dan keegoisan tak berujung yang selama ini hinggap dalam kepala gue  saat harus menjalani hari-hari seorang diri.

Mungkin nggak hanya bagi gue, tapi juga bagi sebagian orang di luar sana, keluarga adalah rumah, dimana mereka nggak hanya sekadar jadi saudara, atau sekadar jadi orang-orang terpenting yang lahir di garis keturunan yang sama—atau bukan sekalipun, tapi literally jadi support system, tanpa harus menunjukan bahwa mereka mendukung gue dalam keadaan apapun. Terkadang, hanya dengan obrolan-obrolan ringan dan cerita-cerita lama tentang kehidupan (yang bahkan sudah sering gue dengar tanpa bosan) dari eyang gue, bagian negatif dalam diri gue terasa seperti healing dengan sendirinya. Kehangatan itu benar-benar bisa jadi obat untuk gue yang beberapa waktu ini terlalu sibuk dengan urusan sendiri sampai lupa gimana rasanya pulang. 

Thankfully, gue menemukan kembali kesederhanaan yang gue (sebetulnya) rindukan selama ini. Kesederhanaan yang cukup untuk membuat gue kembali kepada kenyataan—seperti yang gue mention sebelumnya. Bahwa gue seharusnya cukup berjalan maju tanpa terlalu merisaukan banyak hal. Bahwa gue perlu sadar, satu tahun panjang yang baru saja gue lewati sebetulnya sama dengan tahun-tahun sebelumnya yang berat, penuh tantangan, dan penuh sukacita. Mengutip seperti kata Pak Anton, it's just another year, actually. Karena pada kenyataannya, meski gue berhasil survived, gue tetap melakukan kesalahan besar dengan menyia-nyiakan waktu. Another lesson learned from 2020.

But let's now move on to another topic. Gue sudah cukup banyak belajar menasehati diri gue sendiri beberapa waktu kebelakang ini. Kasian juga lama-lama diomongin terus😂 Consequences are consequences, all i can do is deal with it. Sekarang gue cuma mau bagi-bagi yang manisnya aja.

Hari ini gue merasa lebih hidup. Kayak judul film tentang zombie tahun kemarin; Alive. Karena apalagi kalau bukan gue bisa ketawa bareng keluarga, makan bareng, denger cerita-cerita waktu dulu kedua eyang gue masih muda dan banyak dikejar cowok, lalu pernah naik becak dan nyusruk gara-gara jalanan yang bolong, sampai cerita soal mereka yang nekad bawa motor jauh-jauh dari Jakpus ke Bogor tanpa surat-surat dan SIM karena masih SMP (yang ujung-ujungnya ditilang polisi juga)😂, dan masih banyaaaak lagi cerita seru lainnya. Gue juga bisa main bareng ponakan gue yang lucu dan menggemaskan😍, plus hari ini gue dimasakin palumara sama eyang gue. Yepp! Salah satu masakan khas Sulawesi kesukaan gue—tapi khusus cuma kalau buatan eyang gue🤣. 

Jadi, sedikit cerita tentang silsilah, karena alm. kakek gue orang Makassar, dari dulu eyang putri gue sering banget masakin makanan-makanan khas sana, salah satunya palumara ini—though setelah gue searching ada juga yang bilang masakan ini asalnya dari Palu😂. Paling nggak masih sama-sama Sulawesi lah yaa, wk. Dan karena kebetulan dulu eyang gue sempat buka usaha catering, jadi masakan-masakannya pasti nggak pernah mengecewakan di lidah gue🤤—selain kenyataan bahwa masakan rumah emang terrrdabessttt dan nggak ada yang bisa ngalahin, mau sejauh apapun dan seenak apapun tempat makan yang gue datangi.

So, that's all for me. Walaupun ceritanya sedikit, tapi rasa puas dan bahagia di hati of course lebih banyak dari ini😍. Not bad lah yaa untuk mengawali postingan pertama di tahun 2021😉

o-o

How 'bout you guys? Adakah cerita yang pingin teman-teman bagikan juga di hari pertama di bulan Januari ini? Let me know, ya!
Share
Tweet
Pin
Share
14 komentar
Things I Have Stopped Doing

Sebetulnya gue nggak berniat untuk update blog dalam waktu dekat ini, karena memang lagi rungsing banget dengan beberapa hal in real life—yang membuat gue perlahan harus menjauh dari dunia maya. Pengecualian untuk salah satu platform called Quora, yang baru-baru ini lebih sering gue visit karena somehow media ini lebih sehat dan bisa lebih terkontrol algoritmanya IMO, karena gue bisa memilih sendiri mana topik yang mau gue konsumsi dan mana yang nggak—i don't even know is the algorithm works in this platform?😆

Dan pertanyaan yang terus melekat di kepala gue dari sekian topik yang muncul disana adalah, hal apa saja yang sudah berhenti gue lakukan—yang of course, memberi dampak positif untuk keberlangsungan hidup gue? Tapi karena gue nggak biasa jawab pertanyaan semacam ini di Quora, so just let me share what things i have stopped doing so far in here. Hitung-hitung sebagai refleksi diri dan postingan penutup di akhir tahun.

So, what 10 things you have reduced/stopped doing in your life?

1. Watching TV

Terhitung kurang lebih udah lima atau enam tahun ini gue nggak pernah lagi nonton TV dalam waktu yang lama, itulah kenapa jawaban ini yang paling pertama berkelebat di pikiran gue. Alasannya? Cuz i just don't feel the need to watch any of them, selain karena memang banyak program televisi yang semakin kesini semakin membosankan. Tayangan televisi yang gue tonton terakhir kali ya Mata Najwa, itupun nontonnya di YouTube😂. Ditambah menurut gue, kalau kita kebanyakan nonton TV, rasa nasionalisme gue justru malah semakin luntur karena yang kelihatan pasti yang jelek-jeleknya doang. Berita-berita rungsing tadi lah, acara-acara rumpi lah, atau program pencarian bakat yang berubah jadi acara lawak lah (sampe juri-jurinya juga jadi ikutan lawak), hingga soal sinetron yang alurnya ketebak alias gitu-gitu aja. Pokoknya nggak bikin gue happy dan makin cinta sama negara ini.

2. Using social media extensively

Kehidupan selama pandemi ini jujur bikin gue semakin attached sama media sosial, alhasil gue menyadari banyak waktu yang terbuang percuma. Ditambah kondisi psikis gue nggak merasa lebih baik saat nongkrong disana. Iya sih, saat keadaan gue sedang baik-baik aja, no problemo untuk sesekali cek Instagram, Twitter, Facebook, dsb, untuk dapet informasi terbaru dari komunitas, teman-teman, dan konten informatif lainnya, tapi pada akhirnya kegiatan ini tetap sia-sia. Even untuk mengakses berita yang paling penting sekalipun, otak gue berasa runyam dan drained banget karena yang muncul selalu berita negatif, hoax dan serangkaian polarisasi politik lainnya. So yeah.. saat ini gue sangat membatasi penggunaan medsos. Dua puluh sampai tiga puluh menit sehari cukup, and i'm happier with my real life!

3. Saying yes

Gue rasa salah satu kelemahan menjadi orang yang gak enakan adalah selalu berkata "iya", when i don't really wanna say yes. Entah sejak kapan gue mulai berani untuk memilah-milah kapan saatnya gue bisa bilang iya dan tidak, tapi seingat gue hal ini sudah gue terapkan lumayan lama. Ini bukan meromantisisasi self-love, tapi lebih kepada menghargai diri sendiri dan orang lain, bahwa alangkah lebih baik jika sesuatu dilakukan dengan hati yang tulus dan ikhlas. Bukan karena sekadar.

4. Trying to blend in

One thing I can never tolerate in a group is gossiping other people. Karena itu blend in yang gue maksud disini adalah memaksakan diri hanya agar bisa diterima di suatu kelompok, padahal gue sadar dari sejak awal bahwa gue nggak bisa fit in dengan mereka. Salah satunya kebiasaan ngerumpi. Awal-awal gue masih bisa ngikutin arus, sih, tapi semakin kesini gue semakin bisa memberi batasan untuk diri sendiri. That's why gue sangat sayang dengan teman-teman gue sekarang (yang juga sangat sedikit) ini, karena ternyata kami sefrekuensi.

5. Overdressing

Well, in fact gue nggak semencolok dan selebay itu dalam berpakaian, hanya saja dalam kurun waktu tiga tahun kebelakang ini gue betul-betul prefer cara berpakaian yang lebih simple, baik itu soal style maupun pemilihan warna. Kalau dulu overdressing yang gue maksud adalah gue bisa pakai dua baju dalam satu kali dengan warna yang terbilang terang, contohnya kaos lengan pendek berwarna biru dongker yang dilapisi kemeja warna biru langit as an outer, sekarang nggak, or let's say jarang. I thought this was too much. Harusnya kalau gue mau pake outer untuk menutupi baju yang lengannya pendek, gue bisa pake outer yang bener-bener proper atau paling nggak warnanya jangan terlalu terang. Oh iya, warna pakaian yang gue punya dulu juga lebih variatif, banyaknya sama warna-warna pastel. Now i prefer earth tone as my favorite. It's preference, ofc. Pada intinya gue happy karena sekarang lebih bodo amat sama penampilan😁.

6. Impulsive buying of unnecessary things

Semoga hal ini nggak cuma berhenti gue lakukan karena bokek, LOL. Tapi nggak, sih, kenyataannya gue memang lebih pingin hidup minimalis dari sekarang. Memiliki barang-barang yang sebenarnya nggak terlalu gue butuhin itu bisa makan tempat banyak (dan sangat gue sesali), belum lagi kalau dibuang pun gue bingung harus buang kemana. Kecuali kalau sistem pemilahan sampah di Indonesia lebih tertib dan teratur macam di Jepang, kayaknya sih oke-oke aja *hush😂*.

7. Living in the past

Dengan segala permasalahan hidup as a decent human being, tentu gue nggak bisa selamanya lari dari masa lalu. Banyak malam-malam yang berlalu dengan tangis dan trauma akan segala macam ketakutan, baik itu apa yang gue alami atau justru kesalahan-kesalahan yang pernah gue lakukan yang menghantui. Yah, meski gue tahu gue masih harus struggling dengan ini, tapi setidaknya gue jadi lebih sadar dan merasa lebih content dengan kehidupan yang sekarang. Whatever happened in the past, stay there. Karena yang bisa gue lakukan sekarang hanyalah berjalan maju. Diri gue terlalu berharga hanya untuk menoleh pada hal-hal yang sudah usang.

8. Putting high expectation on people

Jujur gue bingung, apakah gue udah betul-betul berhenti menaruh harapan pada orang lain? Karena seringkali kenyataan nggak seindah harapan. Tapi dari postingan yang terakhir, gue memang belajar banyak untuk nggak lagi-lagi menggantungkan harapan terlalu tinggi terhadap mereka yang justru sama-sama manusia lemah dan banyak bolongnya kayak gue—i'm tryin'. Toh nggak semua orang bisa sejalan dengan gue, nggak semua orang harus sama personality traits-nya kayak gue, nggak semua orang harus sesuai pula dengan ekspektasi gue. I don't wanna be the ones who treat others the way they think God wants them to behave.

9. Judging a book by its cover

Gue punya beberapa cerita lucu sekaligus menohok soal bagaimana tindakan judgmental atau menilai sesuatu dari cover-nya itu mengubah sudut pandang gue. Iya, tapi hanya satu yang sampai saat ini memorable banget. Suatu hari gue lagi kepingin banget makan pempek tapi yang asli dari Palembang. Karena disini susah nyari yang khas Sumatera sana, gue jadi skeptis duluan sama pedagang-pedagang yang jualan pempek disini, sampai pada saat gue ketemu pedagang baru, gue malah suudzon duluan kalau pempek abang itu pasti sama aja kayak pempek lain yang dijual disini, dan akhirnya gue memutuskan untuk nggak beli sama sekali. Kemudian beberapa bulan setelahnya gue pingin makan pempek lagi, tapi karena memang nggak nemu-nemu juga tempat yang gue rasa itu khas Palembang, jadi gue pilih untuk menyambangi salah satu pedagang baru tadi, dan tebak apa? Ternyata si masnya ini baru dateng jauh-jauh dari Palembang buat buka usaha pempek, that's why gue nggak pernah lihat sebelumnya (yang parahnya malah skeptis duluan). Dan tebak lagi gimana?😅 Pempeknya enak bangeettt, asli. Rasa ikan dan cukonya nggak sepahit yang biasa gue makan, jadi pas banget di lidah. Bau ikannya juga nggak menonjol banget, walaupun tetap nggak menghilangkan rasa pempeknya. Pokoknya mirip sama pempek khas Palembang yang pernah gue makan, deh🤧. Sejak saat itu, gue mulai ngurang-ngurangin perilaku buruk yang menilai sesuatu hanya dari luarnya aja. Lucu ya, Tuhan memang punya ribuan cara untuk nyadarin hamba-Nya. Semacam langsung ditampakin, "nih, lihat", begitu😅.

10. Wearing skinny jeans

Katakanlah gue udah kehabisan topik di poin terakhir ini, atau memang kesulitan buat menentukan karena banyak hal yang masih sedang gue usahakan untuk berhenti dilakukan atau dikurangi. Tapi berhenti pakai celana skinny jeans tiba-tiba berkelebat di kepala gue. Well, sebenarnya ini bukan sesuatu yang buruk juga. Setiap orang pasti punya preferensi masing-masing dalam memilih pakaian. Hanya saja buat gue pribadi skinny jeans itu bikin gerak gue nggak leluasa, ditambah membuat bentuk kaki gue terlalu kelihatan. Ini yang gue kurang suka. Memakai pakaian yang terlalu menonjolkan lekukan atau bentuk tubuh itu bikin gue berasa nggak pakai baju. Ditambah badan gue kurus, sangat sangat nggak direkomendasikan untuk pakai baju yang ketat macam gitu—emang udah paling bener pakai baju oversized. So far gue lebih pilih boyfriend jeans atau celana jeans lain yang gombrang, sisanya of courseeee celana bahan atau chino kesukaan gue dari brand lokal😁. Oh iya, skinny jeans yang terakhir gue beli itu sekitar tahun 2015, pas dicoba udah nggak muat lagi LOL.

Dari sekian daftar di atas, setelah dipikir-pikir kayaknya gue paling banyak berkompromi dengan internal diri, bukan sesuatu yang terlihat dengan mata kepala gue sendiri atau orang lain, semacam pakai skinny jeans, atau nonton televisi. Mungkin karena itu bagian dari pendewasaan, dan merupakan sebagian dari hal buruk yang ada dalam diri gue, yang nggak dapat dilihat oleh orang lain, dan hal-hal yang hanya diri gue sendiri yang rasakan. Sebetulnya di balik daftar tadi masih ada banyak hal yang pingin gue berhenti lakukan, atau setidaknya mulai dikurangi, di antaranya procrastinate, nggak males olahraga, overthinking, being a night owl—which i'm still doing right now😌. Semoga perubahan ini nggak cuma sesaat gue lakukan, tapi bisa selamanya berhenti dengan kebiasaan-kebiasaan buruk lain.

Kalau teman-teman sendiri, adakah hal spesifik yang kalian berhenti lakukan dalam kurun waktu lima tahun kebelakang ini? Kalau ada, let me know, ya! I'd love to hear from you!😁
Share
Tweet
Pin
Share
34 komentar

 

Menjadi Sebaik-baiknya Manusia

Sudah beberapa waktu kebelakang ini gue merasa sangat kosong. Banyak hal yang ingin gue tulis, tapi entah kenapa ketika diurai satu persatu nggak ada yang bisa gue tuliskan sama sekali. Postingan mengenai komentar sosial yang biasanya gue publish pun kira-kira udah dua bulan ini nggak gue lakukan. Kenapa? Karena  isi kepala gue rasanya mau meledak (selain kenyataan bahwa gue memang nggak bisa juggling terus menerus dari tanggung jawab gue yang lain). Saking penuhnya, seringkali nggak tahu lagi apa saja yang gue pikirkan. Maka dari itu, sepanjang waktu ini gue nggak banyak mengikuti perkembangan berita di media sosial, and that's why kalau teman-teman menyadari, gue hanya memposting tulisan yang ringan-ringan, yang memang mencerminkan hobi gue, seperti postingan tentang Kaligrafi Jepang, dan yang baru-baru ini gue publish, Unlock the Key: Neoclassical Metal Versi Isyana Sarasvati?.

Sejujurnya, gue masih nggak menyangka bahwa tahun 2020 ini benar-benar 180 derajat berbanding terbalik dengan tahun sebelumnya, dimana pada sepanjang tahun 2019, bisa dibilang kegiatan gue full. Beberapa bulan di awal tahun 2019, gue dapat kerjaan sebagai tutor untuk salah satu lembaga pelatihan kerja di sekitar kampus gue. Meski dari segi penghasilan nggak sebesar saat gue jadi freelance writer di awal tahun ini, tapi feel-nya sangat terasa berbeda karena pekerjaan itu gue lakukan rutin selama tiga bulan, dan tentu secara tatap muka. Ditambah gue melakukan pekerjaan itu bersama teman-teman sesama tutor yang juga sohib segeng dan sekelas gue. Setiap kali mengajar, gue seperti mendapatkan energi baru dari murid-murid yang semangat banget ingin magang di Jepang, meski mereka tau kehidupan disana nantinya pun nggak akan mudah. Padahal beberapa di antara mereka usianya masih sangat muda di bawah gue. Gue juga sempat mengikuti kegiatan KKN selama empat puluh hari pada pertengahan tahun, tinggal satu rumah dengan sepuluh teman-teman baru satu kelompok yang membuat keintrovertan gue sangat sangat diuji saat itu.

Sambil kerja part-time, kehidupan perkuliahan gue pun berjalan baik-baik aja seperti biasanya. Meski gue harus tetap struggling dengan kemampuan yang sangat terbatas alias nggak berkembang banyak, semuanya ketutup sama rasa syukur gue atas kesibukan yang bermanfaat. Bahkan setiap saat gue mengalami turbulence nih, baik dalam persoalan akademik, pekerjaan, dll, gue merasa bisa mengatasinya dengan baik. Eventually, meski banyak masalah juga, at least ada ending yang bisa gue dapatkan. Sementara sekarang.. gue merasa nggak ada akhirnya. Kita masih harus hidup begini, berjarak dengan ketidakpastian. Petinggi-petinggi negara yang semrawut, regulasi yang serba tumpang tindih, masalah financial yang nggak ada habisnya, selalu gali lobang tutup lobang, belum lagi rencana-rencana yang gagal. Bahkan rencana yang baru dibangun untuk menyesuaikan dengan keadaan aja belum pasti bisa terealisasi. Lihat, kan, lagi-lagi seperti a never-ending journey.

Jangan tanya berapa banyak gue menangis dan sakit di tahun ini, karena kadarnya pastilah berkali lipat lebih sering dari tahun-tahun sebelumnya. Kalau gue boleh trackback lagi, tahun lalu gue banyak menangis karena hal-hal yang berkaitan dengan individu lain. Well, gue memang nggak bisa menyalahkan bahwa sepanjang tahun ini hanyalah mimpi buruk, karena biar bagaimanapun dari kacamata duniawi, gue masih bisa hidup dengan hati yang tenang dua bulan di awal tahun. 

Gue punya waktu cukup dengan keluarga di hari ulangtahun gue, gue pun bisa mendampingi sahabat gue di pernikahannya dari mulai persiapan sampai pertengahan acara (karena setelah itu gue sudah harus segera pulang), gue juga masih sempat merasakan gimana praktik ngajar langsung di SMA meski murid-muridnya lumayan menyebalkan, dan seperti yang gue mention di atas, pertama kalinya di bulan Februari gue dapat job baru sebagai penulis lepas yang mana pertama kali pula gue dapat gaji di atas 1jt. Biasanya pasti di bawah itu mengingat gue hanya freelancer, so i was really grateful. Tapi lagi-lagi inipun nggak bertahan lama karena gue overwhelming dengan dunia virtual.

Ternyata Tuhan memang punya cara-Nya tersendiri untuk menunjukan betapa Maha Kuasa Zat-Nya. Dia seolah ingin mengingatkan kita bahwa planet ini berputar bukan hanya secara fisik, tapi secara spiritual. Dalam esensi kehidupan itu sendiri sejatinya dunia selalu berputar tanpa henti bersama kita. Dan ini sebabnya kenapa gue bilang di atas bahwa dari kacamata duniawi, hidup gue tenang hanya saat dua bulan pertama. Karena dari kacamata spiritual, gue tahu jelas banyak sekali pelajaran yang bisa mendewasakan gue tahun ini.

Pertama, tentu gue jadi bisa lebih mengenal diri gue sendiri dalam segala kondisi. Senang, haru, sedih, rindu (dan rindu ini sendiri banyak cabangnya), sakit, frustrasi, insecure, desperate, gelisah, takut, kecewa, sesal, trauma, dan masih banyak lagi. Gue jadi lebih punya banyak waktu untuk berkontemplasi atas apa yang selama ini tersimpan dalam diri gue, dan apa saja yang sudah gue kerjakan, baik yang membawa manfaat atau keburukan bagi diri gue dan orang lain. Mungkin tanpa adanya pandemi ini, gue justru nggak bisa sadar bahwa gue punya banyak rasa yang selama ini gue abaikan. Bahkan gue jadi lebih bisa berdiri di atas kedua kaki sendiri. Gue jadi lebih sabar dan lebih tahu makna cukup in everything. Dan gue tentu bisa lebih berdamai dengan diri gue. Meski ada satu ilmu yang sampai saat ini—dan mungkin seterusnya—masih sulit gue kuasai, yaitu ikhlas, ikhlas, dan ikhlas, tapi at least i know i'm on my way and now i've found the right track already.

Gue semakin sadar rasanya jadi manusia. Manusia si tempatnya salah, manusia yang punya banyak rasa, manusia yang selalu memendam rasa-rasa itu, manusia yang selalu pura-pura, manusia yang seharusnya cukup berperilaku sebaik-baiknya manusia, manusia yang tahu kemana seharusnya ia kembali saat diri sudah nggak lagi berdaya menempa kerasnya hidup. Nggak merebut "job" Tuhan dengan menghakimi sesama manusia lain (itupun Tuhan nggak dengan lantas menghakimi hamba-Nya jika kita berdosa). Iya, yang kita ingat dari Tuhan itu seringkali hanya bagian yang menakutkan dan menyeramkan. Kita lupa, bahwa Dia Maha Penyayang dan Maha Baik. Kenapa manusia-manusianya malah berlomba-lomba jadi Tuhan dengan bertindak beseberangan?

Nggak menganggu makhluk-makhluk lain yang hidup di sekitar kita, itu juga tugas kita sebagai manusia yang sering sekali dilupakan. Manusia pikir, kita hidup hanya untuk diri sendiri, apa-apa bisa dieksploitasi dan dijadikan uang. Untuk apa? Untuk memenuhi ego manusia. Bahkan nggak hanya binatang dan tumbuh-tumbuhan, manusia lain yang dianggap lemah dan nggak selevel dengan manusia-manusia sombong ini, bisa dieksploitasi juga selagi menguntungkan.

Kembali soal gimana gue survive di tahun ini, gue betul-betul diingatkan tentang bagaimana seharusnya gue bersyukur ketika sampai saat ini masih diberi kesempatan hidup oleh Allah, di saat jutaan orang di luar sana mesti terinfeksi virus—yang sadly sampai saat ini masih juga disepelekan oleh sebagian orang Indonesia. Lalu cukup.

Enoughness yang gue rasakan hikmahnya sepanjang tahun ini lebih besar dari sekadar cukup yang gue tahu selama hidup. Bukan hanya cukup dalam uang, bukan juga cukup tahu kayak lagu Rizky Febian. Tapi cukup, literally cukup menjadi manusia. Ketika kita merasa sedih, ya sedih aja. Ketika bahagia, sebisa mungkin tetap merunduk dan bagi kebahagiaan itu dengan orang lain yang membutuhkan. Tapi ketika kita lagi depresi, ya nggak apa-apa juga untuk merasa begitu dan meluapkan semua emosi yang tertahan di hati, cause it's pretty normal. I've been there. Bahkan alasan kenapa di tahun ini gue banyak menangis, ya salah satunya karena gue merasa depresi dengan segala rencana dan pencapaian yang nggak sejalan dengan harapan. Gue selalu merasa kurang. Kurang cukup, kurang cerdas, kurang baik, kurang berusaha. Sampai akhirnya gue belajar tentang enoughness itu sendiri.

Selama ini gue merasa kurang, karena gue menolak untuk merasa cukup. Gue pikir cukup adalah kurang, nggak bisa memuaskan diri. When i can't afford something i'm craving for, artinya gue kekurangan. Sama ketika gue selalu menyalahkan diri sendiri atas berbagai kegagalan, gue menganggap diri gue kurang. Padahal nggak semua harus diukur dengan lebih dan kurang, kalau kita tahu rasanya cukup. Saat gue nggak bisa beli sesuatu yang gue dambakan karena harganya terlalu mahal, gue bisa beli sesuatu yang harganya di bawah itu atau nggak sama sekali, karena apa yang gue dambakan itu belum tentu berguna bagi diri gue. Mungkin aja kehadirannya bisa digantikan oleh sesuatu yang lain yang sama bermanfaatnya, dan itu cukup. Ketika gue nggak sanggup makan McD sering-sering (ya tekor juga dong tiap hari makan fast food), gue bisa makan-makanan lain yang lebih affordable. Makan di warteg atau di warkop dekat kost gue, misalnya, it's more than enough untuk perut gue. Lalu ketika gue menganggap diri gue bodoh karena belum punya sertifikat Noken/JLPT—sebetulnya dalam hal pengetahuan memang kita selalu perlu haus dan nggak boleh merasa cukup gitu aja sebab ilmu apapun luas sekali jangkauan dan maknanya, harus selalu kita gali. But in order to keep me sane dan supaya gue bisa menghargai diri sendiri, gue harus sadar bahwa saat ini Tuhan mencukupkan gue (bahkan melebihkan gue) dengan keahlian yang lain. I can write, i can sing (paling nggak untuk menghibur diri sendiri), and that's enough.

Berkaitan dengan spiritual journey, gue pun semakin menyadari bahwa sebagai manusia, hamba-Nya Allah, langkah kaki kita nggak akan pernah bisa jauh dari Dia yang punya kuasa atas hidup kita. Dengan segala kesemrawutan dunia yang gue tangisi, satu-satunya yang bisa menenangkan dan memberi harapan adalah Tuhan. Bahkan di saat gue sedang jauh pun, Dia masih mau merangkul gue untuk kembali di jalan yang Dia restui. 

Tahu, nggak? Tuhan itu cemburu sama kita yang selalu mengagung-agungkan kenikmatan duniawi, yang selalu lupa atas keberkahan rezeki yang dilimpahkan terhadap kita. Cemburu karena kita jarang sekali mengingat keberadaan-Nya. Sampai-sampai kita sendiri lupa bahwa kita hanyalah seonggok daging yang lemah jika hidup tanpa arah dan pegangan. Satu hal yang gue pahami hingga detik ini, when we're trying our best to get close to God and asking Him to love us, Dia akan menyayangi kita lebih dari yang kita pinta, and it happens to me as well.

Pernah di suatu momen gue sudah sangat lelah dan ingin berserah, sampai-sampai do'a yang tersisa di akhir sujud gue hanyalah satu, "ya Allah, tolong rangkul saya. Saya ingin Kau peluk, ya Allah. Bantu saya."

You know what? Selalu ada jalan untuk gue nggak melakukan kesalahan yang selalu gue ulangi, bahkan sampai ke hal detailnya. Semacam langsung diarahkan ke jalan yang seharusnya, dan saat itulah gue tahu, terlepas dari segala dosa, problema dan kekhilafannya, manusia adalah makhluk yang paling Dia sayangi jika kita bergantung kepada-Nya, menempatkan wujud-Nya tepat di hati kita sebagai pegangan. Dan kembali mengingat-Nya dengan sungguh-sungguh adalah cambuk yang sangat keras bagi gue setahun kebelakang ini. Dari sini gue semakin belajar rasanya jadi manusia.

Manusia yang sabar, yang nggak dzalim atau merugikan orang lain, manusia yang mau selalu berbagi dengan orang lain, manusia yang nggak pernah lupa dimana kakinya berpijak dan dari apa mereka berasal, manusia yang punya beragam emosi, manusia yang nggak sekadar hidup dengan asal, manusia yang punya lebih dari segudang kesalahan, manusia yang bisa dan mau untuk selalu belajar dari kesalahan-kesalahan itu, manusia yang diberi privilege berupa nalar yang seharusnya digali dan dimanfaatkan dengan baik, manusia yang selalu kekurangan tapi sebetulnya selalu dicukupkan, manusia yang tahu mana yang baik dan benar, serta mana yang buruk untuk dirinya. 

Iya, gue tahu, berat memang tugas kita untuk "selamat" dari macam-macam ujian yang ada, dari yang ringan sampai yang paling berat sekalipun, but that's just how life works, man. If we succeed, we can get everything priceless. But if we don't pass, we gotta pay for all of the bad deeds that we have done in our entire lives. Gue pun masih berusaha untuk kesana, masih belum sempurna dalam kadar manusia, tapi gue tahu ada Zat yang Maha yang selalu membersamai langkah gue saat orang lain nggak bisa memberikan ketenangan yang sama besarnya dengan ketenangan yang Dia berikan untuk diri gue. So, 2020 betul-betul memberi gue banyak pelajaran, baik secara fisik, mental, maupun spiritual yang nggak akan pernah bisa gue lupa.

Dulu, setiap kali ditanya sama orang apa motto hidup gue, gue selalu kelimpungan mencari quotes yang tepat yang dapat mewakilkan hidup gue. Ya iyalah, wong masih cilik mana ngerti hidup. Tapi sekarang, kalau ada orang yang bertanya ke gue apa motto hidup gue, i can simply answer; jadi sebaik-baiknya manusia.

Now, could you share to me what does "being a human" mean in your version? Are we actually in the same boat of life?
Share
Tweet
Pin
Share
26 komentar

Cuma Cerita Episode 2

Seharusnya malam ini gue nggak buka-buka blog dulu, tapi karena ada beberapa hal yang ingin gue ceritakan, jadi yaah rasanya nggak apa-apa kalau gue pemanasan sebentar di depan laptop dengan berceloteh ria. Ceritanya gue abis makan di warkop langganan di sekitar kost gue yang memang baru buka beberapa bulan belakangan ini. Ada kali seminggu tiga sampai empat kali gue makan disana. Selain karena makanannya enak dan worth to buy (kebayang kan harga makanan di warkop itu murah, tapi ini rasanya uenaak banget, bahkan IMO porsinya melebihi harga aslinya), ibu dan bapak pemiliknya ramah banget. Apalagi si ibu ini baaiiik banget, gue kalau beli susu ketan nih, pasti selalu kebanyakan dan instead sisanya dibuang, beliau nyuruh gue untuk minum dulu yang ada dan nanti ditambahin sama sisanya. Mungkin karena gue udah sering banget mampir kesana dari sejak awal warkop ini dibuka, jadi sekarang tiap kali kesana lumayan lebih banyak interaksi lah daripada sebelumnya. 

Satu hal yang membuat gue tersadar dan bersemangat untuk langsung menulis ini sepulang dari sana adalah, ternyata, berbagi senyum dan kebaikan sekadar kita makan di suatu tempat yang mana penjualnya ramah dan baik hati itu bisa memberi energi yang sangat besar. Ketika ibu barusan mengucapkan terima kasih berkali-kali dan nunjukin gimana rasa senangnya beliau karena gue bolak balik kesana, memberikan energi yang sama untuk gue mau bolak balik makan di warkop tersebut. Bukan hanya karena makanannya enak, tapi karena senyum dan ketulusan itu yang mau selalu gue dapatkan. Energi baik itu yang ingin gue terima dari beliau. Suatu kesia-siaan kalau gue lupa diri dan nggak menyempatkan diri untuk mampir kesana lagi. 

Oh iya, masakan ibu ini juga mengingatkan gue sama masakan rumah. Mungkin ini juga salah satu penyebab gue nggak pernah bosan untuk beli disana. Apalagi nasi kuningnya, dan lauknya itu lhoo. Jadi, tiap hari mereka pasti gonta ganti lauk untuk nasi kuning karena memang menyesuaikan dengan masakan yang mereka makan sehari-hari.

Apa ya, gue merasa hari ini lebih content dari hari sebelumnya. Karena selain cerita di atas, akhir-akhir ini gue kembali banyak berinteraksi sama sohibul gue, meaning gue lebih terbuka untuk curhat tentang skripsi, dllnya. Gue juga baru aja menyelesaikan kelas podcast SiberKreasi minggu kemarin, dan dapat banyak sekali insight tentang dunia per-podcast-an (mungkin nanti kalau sempat gue akan share di postingan lain), daaan sore tadi gue habis video call sama keluarga gue di rumah. 

Teruus terus, sebelum itu gue habis melawan ketakutan gue yang tiada artinya, yakni menghubungi dosen pembimbing 2 gue untuk kirim progress skripsyon. Awalnya gue harap-harap cemas karena beliau ini dikenal jadi salah satu dosen killer yang nggak segan-segan untuk nggak meluluskan anak bimbingannya karena nggak fully bimbingan sama beliau (seriously, pernah ada kasus ini tahun lalu). Though gue sendiri masih berada di tahap awal, tapi gue berharap semoga hal tersebut nggak kejadian sama gue. Mohon do'anya ya teman-teman! Oh iya, karena hal ini juga, gue jadi punya jawaban saat bokap gue menanyakan soal kegiatan dan kabar gue tadi, wkwkwk.

Eh, iya, gue jadi keingetan! Gue harus hubungi nyokap juga. Udah beberapa hari ini gue belum whatsapp beliau soalnya.

Mungkin segitu dulu Cuma Cerita episode kali ini. Semoga ada sedikiiit manfaat yang bisa diambil, hoho. Oh iya, lagi-lagi gue mau meminta maaf karena akhir-akhir ini selalu lambat dalam membalas komentar:( Teman-teman mungkin mengerti kesibukan gue apa belakangan ini, hanya saja gue tetap merasa nggak enak hati. Sekali lagi gue minta maaf ya, semoga kita semua selalu sehat dan bersemangat dalam menjalani hari yang berberberr ini😄, alias udah masuk musim hujan! Seneng deh, di depan rumah jadi hijau pemandangannya karena ibu pemilik kost gue punya kebun yang hampir mengitari sebagian besar jalan wk, di depan, samping, bahkan belakang rumah. Jadi adem!:D *walaupun jadi banyak nyamuk juga hiksss* 

Lastly, makasih banyak udah mau baca cerita gue yang sangat apalah dan effortless ini:D So yeah, ini cerita gue hari ini. How about yours?

And anyway, Selamat Hari Blogger Nasional ya!❤

Share
Tweet
Pin
Share
15 komentar
Sebuah Catatan
A note for little sister 

Catatan ini akan menjadi salah satu catatan dari sekian lembar perjalanan saya—yang selama ini hanya tertulis di jurnal pribadi—yang kali ini ingin saya tulis disini. Sebagai pengingat, sebagai kenangan, sebagai pelajaran, bahwa sebagai manusia, banyak petualangan-petualangan yang tentunya telah dan harus saya lalui, dan tak jarang meninggalkan rasa sedih yang teramat hebat, terutama pada titik-titik terberat. Karena itu, saya ingin meletakan kata "gue" dulu untuk saat ini.


Lihatlah lebih dekat, salah satu original soundtrack Petualangan Sherina ini selalu melekat di memori saya sejak kecil dulu—tentunya selain lagu dia memang jago *lupa judul*. Dulu, saya hanya tahu bahwa lagu ini sangat bagus, tapi tidak sedikitpun memahami apa makna dari liriknya secara utuh. Sekarang, semuanya berbeda. Setiap kali meresapi lagu ini, saya selalu menangis, bahkan jika itu suara saya sendiri.

Baca juga: A Letter to My 19-Year-Old Self

o-o

Ada kalanya pada hari-hari tertentu, ketika raga dilanda putus asa, kita kehilangan arah dan tujuan. Kehilangan jati diri, kehilangan semangat, kehilangan kasih sayang dari orang-orang terdekat, meski sesungguhnya rasa dan seuntai do'a itu selalu disana, tak pernah hilang.

Ada kalanya saya ragu pada diri sendiri, yang tak pernah habis dicari lemahnya. Pada alam yang menyajikan segala kemurahannya. Pada mereka, yang justru kebajikannya khawatir tak bisa saya balas. Pada Tuhan, yang selalu menunjukan kekuasaan dan berbagai pelajaran dengan cara-Nya. 

Ada kalanya saya mampu tahan kendali, hingga terjerembab di jurang yang sama berkali-kali. Sebab untuk melepas risaunya tak semudah itu. Banyak kesia-siaan yang meminta untuk didengar, meminta untuk diperhatikan. Tanpa aba, tanpa iba. Ada juga kalanya saya mampu lepas kendali, tapi rasa takut akan datang kembali. Bahkan jika tuan gelap belum tampak batang hidungnya sekalipun.

Ada kalanya saya bahkan lupa, bahwa banyak hari-hari yang telah dilalui tanpa intensi pasti. Matahari jadi bulan, bulan tak jadi apa-apa melainkan selapang pekat malam. Tak ada tujuan, tak ada yang bisa diungkapkan. Yang saya tahu, saya hanya harus berjuang. Namun entah apa yang harus diperjuangkan?

Ada kalanya saya malu untuk bertukar cerita, dan menanyakan kabar mereka yang menunggu kabar. Sebab kecewa yang belum pasti terjadi selalu menunggu menatap saya di ujung telepon, seolah berkata, "kau bisa apa?", "apa yang bisa kau bagi?"

Berhari-hari lamanya saya jalani detik demi detik waktu tanpa makna, yang tanpa sadar berlalu tanpa arah, tanpa kemudi, tanpa peta, tanpa tujuan—pantaslah jika dermaga pun sulit saya temukan.  Saya hanya tahu rasanya sedih, rasanya sepi, rasanya berpura-pura menikmati hari, berpura-pura menyimpan segudang cita. Padahal, mimpi dan tujuannya sudah tak disini. Bukan, bukan mereka yang pergi. Namun saya yang kini telah pergi terlampau jauh hingga terlempar disana. Jauh sekali, dan lama meninggalkan keduanya.

Baru-baru ini saya sadar, saya perlu mencari mereka. Mengembalikan mereka pada bilah ingatan dan semangat yang paling dalam, lalu meletakannya dekat dengan pikiran saya. Agar saya tahu kemana kaki saya menapak, dan pada apa tangan saya sibuk.

Saya pikir, ada kalanya saya harus meninggalkan si adik kecil yang telah jauh membawa saya melanglang buana setahun kebelakang ini, untuk menemukan sosok kakak yang hilang raganya entah kemana. Namun, sepertinya rencana saya salah. Saya butuh dia untuk menemani pencarian saya. Sebab tidak seharusnya saya membuang sebagian diri saya yang telah ada, hanya untuk kembali bersiap kehilangan. Saya hanya perlu menyempurnakannya, menutup buku diri dengan sampul belakang yang sudah kembali.

Kini, untuk yang juga sedang kehilangan harapan, tak apa jika kita berjalan tanpa alas kaki. Pada akhirnya, saat kita sadar, kita bisa menemukan apa saja yang mampu menutupi kaki kita, menjaganya tetap nyaman untuk kembali meniti jalan, trotoar atau gang-gang sempit. Jika sudah terlampau nyeri dan berdarah-darah, selalu ada cara untuk mengobati. Pasti. 

Pada akhirnya, akan ada pasti. 

Dan pada akhirnya, yang akan membawa diri kita hanyalah apa yang tertanam dalam diri kita sendiri. Untuk merasakan itu, kita hanya perlu melihat segala sesuatu dengan lebih jeli dan lebih dekat. Lebih bijak dan lebih dalam. Tenang, tak ada lebih yang berlebihan untuk ini. Sebab memahami diri seringkali kita memang perlu usaha yang lebih, dan untuk mempertahankan ke(sudah)adaan itupun perlu jerih payah yang tak sekadar.

Ingatkan diri, bahwa untuk meraih langkah yang jauh pun, semuanya berawal dari langkah yang kecil dan dekat sekali. Sangat dekat. 

Jika mencapai langkah jauh yang tanpa tujuan pun bermula dengan langkah kecil, bagaimana dengan hidup kita yang "pasti" adanya? Jika bisa jauh, kenapa kita tak bisa dekat? Atau, jika tak bisa jauh, kenapa tak sekali mendekat? Coba, sekarang ganti kata jauh yang biasa kita kenal "sudah sejauh mana..." dengan dekat.

"Sudah sedekat apa kita mengenal Tuhan dan segala penciptaannya? Sudah sedekat apa kita menjalani tuntunan dari apa yang telah diwajibkan kepada kita? Mencaritahu tentang utusan-utusan-Nya? Sudah sedekat apa kita merangkul mereka yang tak pernah bosan mengirim do'a untuk keberkahan kita? Menunjukan kasih sayang dan kemurahan hatinya dengan tulus? Lalu, sudah sedekat apa kita melihat diri sendiri? Menilai segala nilai diri hingga isinya? Membisikan ucapan-ucapan semangat, maaf, dan terima kasih atas segala kata meremehkan dan segala usaha yang ditujukan untuk diri sendiri? Sudah sedekat apa? 

Sudah sedekat apa raga kita dengan jiwa ini?"

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Priority Chat

Adakah disini yang seringkali merasa risih kalau dapat pesan masuk, baik via e-mail, whatsapp, direct message, dsb, yang nggak straight to the point? Apalagi kalau awalnya cuma kirim P doang, hadeuh. Mudah-mudahan sih, nggak ya😂. Karena gue yakin yang masih menggunakan gaya mengirim pesan pakai P begitu bukan orang dewasa, melainkan anak-anak (beneran anak-anak lho👦🏻👧🏼). 

Well, sejauh ini gue udah nggak pernah mendapatkan inbox semacam itu, sih (cuma huruf P). Tapi ada beberapa etika dalam mengirim pesan yang baru-baru ini (obviously secara subjektif) gue sadari rasanya kurang sreg atau kurang merenah gimana gitu, serasa ada yang mengganjal.

Sejujurnya, gue kurang begitu suka dengan cara mengirim pesan yang nggak to the point, entah itu hanya dengan salam, atau manggil nama. Misalnya, benar-benar cuma "Assalamu'alaikum", nggak diiringi dengan maksud dan tujuan. Padahal, gue akan lebih menghargai dan welcome kalau pesan tersebut disampaikan langsung dengan maksud dan tujuannya. Nggak apa-apa kalau nggak mengucapkan salam, asalkan langsung ke poinnya, nggak basa basi dulu. Bahkan kalau mau pakai salam, tentu akan lebih baik—walaupun ini juga nggak harus menurut gue. Karena kuncinya adalah langsung kepada intinya, biar nggak bertele-tele. Semisal ada yang mau pinjam buku gue, bisa langsung memulai chat dengan begini; "Awl, lagi sibuk gak? Gue pinjem buku lu dong!", atau "Awl, mau tanya dong" kalau memang keperluannya hanya ingin menanyakan tentang beberapa hal. Karena gue orangnya santuy, kok. Jadi nggak perlu takut ganggu juga (kalau alasannya itu😂).

Entah sejak kapan gue mulai punya perasaan kayak gini terhadap persoalan bertukar pesan. Mungkin sejak ponsel gue pernah ada di mode rame pada suatu waktu dan gue bingung harus prioritasin chat room yang mana dulu. Oh iya, perlu gue ingatkan bahwa gue benar-benar hanya kurang suka dengan caranya, bukan orangnya. Soalnya semua orang yang nge-chat gue, udah pasti gue tahu orang baik, dan sebagian besar di antaranya memang gue kenal baik in real life😁. 

Sebetulnya ini masalah preferensi aja. Seperti yang gue sebut sebelumnya, mungkin beberapa orang ada yang merasa takut mengganggu, dan takut kesannya tergesa-gesa kalau langsung to the point. Bisa dibayangkan kok, kalau maksudnya berisi pesan yang berat dan mengagetkan, si penerima pesan bisa aja shock atau malah semakin nggak senang. 

"Apaan sih, udah lama nggak chatting-an tau-tau minjem duit," (misal yaa, wkwkw😉). Yah, setiap orang pasti punya preferensi yang berbeda soal ini. Ada yang risih kalau tau-tau minta dipinjemin duit, ada yang justru seneng karena nggak perlu basa basi (dan gue bagian yang ini🤣, masalah bersedia ngasih pinjem atau nggaknya kan gimana gue soalnya). Memang ada beberapa hal yang baiknya mungkin dikasih peringatan atau aba-aba dulu, nggak harus langsung inti. Tapi, again, depends on the context. 

Gue juga mengerti rasanya jadi orang yang nggak bisa langsung ke pada inti dan takut ganggu leisure time yang bersangkutan, karena gue dulu termasuk golongan yang satu ini. Dulu gue pikir terlalu tergesa-gesa juga kalau gue langsung menyampaikan tujuan tanpa basa basi. Maklum, kayaknya udah tabiat orang Indonesia kudu basa basi😂. Doe gue orangnya nggak suka basa basi, still, dalam obrolan secara langsung gue masih nggak bisa menghindari kebiasaan ini hanya untuk mencairkan suasana.

Tetapi seiring berjalannya waktu, sebagai penerima pesan yang mendapatkan inbox serupa cukup sering, gue mulai merasa hal ini cukup mengganggu. Kenapa? Karena sebetulnya berpengaruh juga untuk sender yang bersangkutan, yakni gue jadi nggak bisa memprioritaskan chat dari dia. Semisal gue lagi sibuk dan ada inbox lainnya yang lebih jelas dan lebih penting, pasti gue akan prioritaskan pesan yang lebih jelas tadi, walaupun jamnya lebih telat sekian menit. Nah, yang gue takutkan dari hal ini, kalau tujuannya ternyata penting tapi nggak langsung disampaikan, gue nggak bisa langsung baca karena menganggap ada yang lebih penting dari itu—karena gue punya skala prioritas tadi dalam membalas "chat".

Gue mencoba menyetarakan hal ini seperti saat kita kirim pesan ke dosen. Selama ini, seringnya yang nge-chat duluan pasti mahasiswanya kan, karena mereka yang butuh, bukan dosen. Dan setiap kali nge-chat beliau, pasti kita langsung sampaikan apa tujuan kita, entah itu mau mengumpulkan tugas, atau mau bimbingan. Supaya ketika nanti dosen tersebut baca pesan kita, beliau bisa langsung balas dan clear, deh. Kita pun bisa segera tau jawabannya langsung. Bukan maksud gue teman-teman harus menganggap gue dosen lho ya🤣, tapi maksudnya hal semacam itu kan udah pasti otomatis terjadi. Kalau kita butuh sesuatu, supaya cepat dapat respon ya kita utarakan apa keperluan itu, biar nggak terlalu lama harap-harap cemas menunggu. However, balik lagi sih, ini masalah preferensi. Inti yang sebenarnya adalah, gue takut nggak bisa memprioritaskan pesan yang penting dari teman-teman, hanya karena nggak langsung disampaikan si maksud dan tujuan tersebut. 

Soalnya nih, gue pribadi suka deg-degan duluan kalau dapet pesan dari orang yang udah lama nggak nge-chat gue. Semacam ada rasa takut kalau itu berita nggak mengenakan😅. Entah kenapa, tapi perasaan kayak gini emang real gue rasain tiap dapet pesan begitu. Terus bikin gue jadi menebak-nebak duluan, ini ada apa ya? Kenapa ya? Gue nggak ada masalah, kan? Padahal isinya mah biasa aja😂.

Karena berbagai alasan itu, sekarang otomatis gue membiasakan diri untuk nggak melakukan hal yang sama terhadap orang lain, alias langsung to the point. Misal, gue pengen catch up sama temen-temen, ya gue langsung tanya aja keberadaan mereka dan kesediaan waktu mereka, atau kalau gue mau tanya sesuatu perihal apapun, gue langsung tanyakan maksud gue.

Misalnya,
"Ne, lagi di rumah nggak? Bosen, nih, pengen main."
"Tor, aku mau tanya-tanya tentang skripsi, boleh gak?"
"Piw, lagi apa?" (nah kalau ini siasat mengirim pesan untuk yang lagi kangen sama sohib tapi gengsi bilang kangen🤣) *Paling udahannya sih gue tetep ketauan lagi nyembunyiin udang di balik batu. Nanti dijawab, "lagi rebahan nih, nape? Kangen yak?" semacam gitu lah😆

Lastly, gue nggak ada maksud untuk "memaksa" teman-teman agar sama preferensinya dengan gue, kok. Gue hanya ingin berbagi tentang apa yang menjadi keresahan gue, specifically dalam bertukar pesan. Gue juga nggak akan semata-mata membenci teman gue saat itu juga kalau pesan yang dia kirim nggak bisa langsung diutarakan, gue tetap maklum. Sebab setiap orang punya alasan dan caranya tersendiri dalam mengirim pesan, kan. Yakali kalau sampe marah-marah, egois banget dong gue😫.

Untuk teman-teman sendiri gimana, nih? Apakah ada hal yang buat kalian risih juga saat chatting atau saat nerima pesan?
Share
Tweet
Pin
Share
37 komentar

Sekadar sepotong cerita tentang kehidupan sehari-hari

Sejujurnya beberapa hari ini gue agak iri dengan teman-teman yang buku Thoughts pemberian Kak Eno mengenai konten Paid Guest Post beberapa waktu lalu sudah bisa dinikmati dengan santai. 

Lah, kenapa memangnya, Awl? Memangnya punyamu kemana?

Jadi, waktu kak Eno minta dikirimi alamat rumah untuk pengiriman buku tersebut, gue mengirimkan kak Eno dua alamat, satu alamat tempat tinggal gue sekarang, dan satu lagi alamat rumah eyang gue, karena pada saat itu kondisinya gue sedang panik dan kebingungan dengan kemungkinan pindah tempat tinggal. Namun setelah dipikir-pikir, hasilnya gue meminta kak Eno agar buku Thoughts nanti dikirim ke alamat eyang gue aja, sebab gue pun berencana untuk pulang (meski nggak dalam waktu dekat ini). Eng ing engg, ternyata setelah proses negosiasi beberapa minggu setelahnya dengan pemilik kost—yang sebelumnya udah mewanti-wanti bahwa tempatnya akan dikosongkan akhir tahun ini, gue bisa lanjut di tempat tinggal gue yang sekarang untuk 6 bulan ke depan, minimal sampai kuliah gue selesai. Hmm.

Apa mau dikata, berhubung buku yang gue nanti-nantikan itu sudah sampai di rumah, gue hanya bisa gigit jari menanti-nanti kembali kapan waktu yang tepat gue bisa pulang dan membaca bukunya, hiks hikss.

Sebetulnya kalau mau simple, gue bisa aja minta tolong orang rumah untuk kirim balik buku tersebut ke alamat gue, tapi gue nggak tega dan nggak mau merepotkan. Toh disana setiap hari kegiatannya sibuk, nggak kayak gue yang hidupnya sekadar bergulat sama laptop lagi, laptop lagi, dan leyeh-leyeh, nggak keliatan sibuk-sibuk amat. Jadi, gue putuskan untuk tetap menyimpannya disana sampai nanti gue pulang, supaya lebih terasa spesial *cielah*😂😍 dan supaya nanti bisa membaca seluruh isinya dengan hati yang tenang, nggak perlu mikirin beban skripsi, bimbingan ini itu🤣.

Oh iya, buat teman-teman yang belum tau dan nggak punya bukunya, cerita gue yang masuk di buku itu adalah Di Balik Angkasa, so buat yang belum baca, sila klik aja tulisan di atas ini! Hehe. Dan satu cerita lagi yang gue kirimkan ke e-mail kak Eno adalah Romantisisasi Generasi 90-an, yang sudah gue posting juga (seperti yang terlihat di tulisan yang menyala itu). Semoga bisa bermanfaat untuk teman-teman, ya😀

Anyway, gimana judul postingan gue kali ini? Keliatan nggak mikir banget, ya🤣. Rencananya sih setiap kali gue mau berbagi cerita atau tulisan yang super duper random tentang keseharian, gue akan namakan postingan tersebut sebagai "Cuma Cerita", alias emang isinya cuma cerita aja—kayak sekarang. Terus setiap postingannya gue pingin kasih episode 1, episode 2, dst. nya gitu kayak drama Korea, huahahaha. Yaa baru rencana sih, bisa jalan bisa nggak. Yang penting hari ini gue cuma mau cerita aja!😁

Terus kenapa gambarnya harus ada hangeul 잘자요 (re: jaljayo, mana artinya ucapan met bobok lagi) sama Torii Gate (鳥居: tori-i)? Nggak ada alasan pasti, sih. Kedua negara ini, Korea dan Jepang memang jadi salah dua negara favorit gue aja di belahan Asia, either untuk kesenangan atau memang untuk dipelajari. Lagipula, gambarnya lucukk! Kalau jiwa sok seni gue bilang kualitas fotonya tingkat edun. Eits, tapi kalau gambar yang bawah sih lucunya agak terkesan dipaksakan ya, karena itu foto dan tulisan sendiri, bukan hasil jepretan fotografer yang keren-keren itu😆.

Nah, btw teman-teman sendiri gimana nih ceritanya di hari ini? Ada yang bikin menyenangkan kah? Atau malah ada yang bikin sedih?☹️ Yuk bagi-bagi ceriteu!

Share
Tweet
Pin
Share
26 komentar

Suka Duka Introvert di Masa Pandemi
Iyaak tangan belum masuk saku keburu dijepret🤣

Awalnya tulisan ini gue beri judul Suka Duka Jadi Introvert, berhubung memang sempat gue buat draftnya beberapa bulan yang lalu. Namun karena nggak pernah sempat diperbarui, dan berhubung gue baru aja mengalami beberapa hal menarik terkait ke-introvert-an gue di masa pandemi,  jadilah judul yang sekarang! Hehe. Sebetulnya konsep cerita gue yang sebelumnya ingin ditulis pun terasa terlalu general sih, jadi sepertinya nggak memungkinkan buat ngupas tuntas semuanya😂. 

Buat teman-teman yang ngikutin tulisan gue dari arsip terdalam, pasti sedikit banyaknya tau kalau gue adalah seorang introvert, bahkan dari zaman masih piyik-piyik ciak-ciak kali, ya. Di tahun 2020 ini gue seakan benar-benar bebas dari tuntutan menjadi makhluk sosial yang (akhirnya) bisa totally punya space sendiri dalam mengembangkan potensi diri, dan betul-betul lepas dari interaksi yang seringkali membuat gue kelelahan hingga butuh waktu berhari-hari lamanya untuk recharge di kamar—disinilah kemudian weekend biasanya gue gunakan. 

Di masa awal pandemi, 'dirumahkan' mungkin menjadi hadiah terindah buat introvert kayak gue, karena gue sendiri nggak perlu bertemu dengan banyak orang dan basa basi ini itu setiap harinya, gue nggak perlu berpura-pura nyaman kalau ada dalam suatu obrolan yang kurang gue sukai, gue nggak perlu ngerasa pusing kalau lagi di keramaian, gue nggak perlu misuh-misuh denger bunyi klakson di jalan (it doesn't define you as an introvert tho😂), gue nggak perlu berhadapan dengan kemacetan di lampu merah yang setiap hari bikin kepala sakit kayak mau pecah (literally). Walaupun, tentu, memiliki waktu sebebas-bebasnya berada di rumah dengan alasan pandemi bukan menjadi suatu hal yang baik, tapi paling nggak gue bersyukur bisa sedikit lebih cepat terselamatkan dari si virus mungil covid-19 ini. Sebab kegiatan karantina tersebut betul-betul gue patuhi secara sukarela dan 'gembira', nggak ngeyel keluyuran sana sini kayak anak muda sok edgy yang hobinya ngomongin teori konspirasi. *Iya, pada awalnya sih, gitu.

Semakin lama hidup dalam kondisi nggak normal nyatanya bikin gue juga lelah. Semua kegiatan yang dialihkan via online membuat gue overwhelming, dan rasa tidak nyaman dalam bersosialisasi yang bikin lelah pun gue bisa rasakan juga disitu. Nggak terhitung udah berapa kali gue mengabaikan beberapa inbox yang masuk lewat whatsapp dan e-mail, hanya karena gue nggak sanggup dan keteteran buat sekadar membalas 'iya'. Jangankan mau bales, ngelirik aja rasanya udah bergidik duluan. Iya, sampe segitunya.

Though gue nggak banyak bertatap muka lewat zoom, skype, google meet, google duo, dsb. (karena udah nggak ada kelas), gue tetep ngerasa capek bukan main. Apalagi saat gue harus menyelesaikan sisa-sisa waktu praktik lapangan di bulan Maret yang terpaksa dialihkan lewat daring. Setiap pagi gue harus siapin materi, kuis, terus stand by di Google Classroom buat ngirimin semua materi itu—termasuk video pembelajaran yang gue rekam malam sebelumnya. Belum lagi banyak murid yang nggak masuk tepat waktu—nggak terdaftar di kelas sampai berhari-hari, telat ngirim tugas, ada juga yang ngirimnya berceceran sampai ke personal chat, atau bahkan ada yang ngilang sampai berminggu-minggu.  Ditambah guru pembimbing gue yang suka tiba-tiba video call di grup pagi-pagi banget, saat kami masih sayup-sayup melek abis begadang semalam suntuk, dan tiba-tiba ngasih kabar mendadak untuk kami buat soal ulangan, materi latihan soal PAT (UAS), dll. Oh iya, berhubung sempat ada yang menyangka gue guru, entah dari postingan yang mana, jadi gue mau mengingatkan kalau gue bukan guru😂 . Cuma karena kampus gue basic-nya adalah kampus pendidikan, untuk mahasiswa yang jurusannya pendidikan (karena banyak juga jurusan yang non-dik), di semester menjelang akhir kita pasti praktik di sekolah. Dan ini nggak serta merta berarti kita otomatis akan jadi guru setelah lulus. Nggak, untuk jadi guru juga harus belajar lagi PPG (Pendidikan Profesi Guru). Kegiatan PPLSP ini sebatas memenuhi syarat kelulusan mata kuliah tertentu, mungkin kalau di kampus atau jurusan lain disebutnya magang. Nah, lanjut lagi.

Ternyata, pada akhirnya gue masih harus berurusan dengan orang-orang di luar sana meski cara berkomunikasinya beda.

Lama-lama gue pun kembali menjadi seseorang yang kaku dan socially awkward. Contohnya, belum lama ini gue sempet ketemu beberapa temen di kampus dan di luar kampus. Nggak seperti gue biasanya yang bisa terlihat 'sok akrab' kalau ketemu kenalan, at the time i was completely clueless of what i have to say or what i have to do—bahkan sama orang yang gue anggap deket, lho. Padahal kalau dibilang kangen, jelas iya dong! Udah lama banget gue nggak ngeliat wajah-wajah teman kuliah. Karena canggung level maksimum ini, alhasil setiap kali berusaha membuka topik gue sering keserimpet lidah sendiri. Canggung abis dah pokoknya, lucu juga kalau dipikir-pikir🤣. Seculun-culun dan sekaku-kakunya gue, nggak pernah gue merasa secanggung ini ngobrol dengan orang lain. Jujur aja, selama hampir tujuh bulan pandemi ini gue memang nggak selalu get in touch sama temen-temen, karena nggak semuanya gue punya kontak WA (sohib segeng dan yang memang deket banget sih udah pasti gue simpan nomornya). Paling tiga atau empat orang yang tetep chatting sama gue, itupun jarang. Kalau gue lagi butuh referensi, lagi kangen, atau sekadar pingin ngobrolin hidup dan topik-topik lain, baru kita saling kirim pesan dan balas story, atau bahkan video call. Circle pertemanan gue emang sekecil itu.

Awalnya gue pikir ini wajar, walaupun kaget juga. Sebab selama ini gue mengenal diri sendiri bukan termasuk orang yang kesulitan secara verbal dalam public speaking. Gue ngerasa fine-fine aja, kapanpun dan dimanapun gue berada, ketika gue diharuskan untuk fit in dengan lingkungan dan situasi tersebut gue akan dengan mudah beradaptasi dan nge-switch diri. Karena itu, beberapa teman gue dulu sempet punya kesan bahwa gue anak yang ekstrovert, padahal bukan. Tapi sekarang, rasanya bener-bener aneh. Bayangin aja gimana rasanya nggak ketemu relasi selama berbulan-bulan, yang bahkan lewat SNS pun ngga keep in touch betul-betul, saat diketemukan rasanya pasti canggung, kan!? Dan nggak taunya, kejadian belibet lidah sama a-eu-a-eu ini malah berulang pas gue diajak ngobrol sama pasutri yang ngejual susu murni di sekitar kost gue. Lagi-lagi yang biasanya gue nggak bermasalah kalau diajak ngomong, sekarang kayak orang dusun yang udah kelamaan tinggal di goa dan baru keluar ke permukaan. Asli deh😫. Sejak kapan gue ketemu sama ibu penjual soto (ini beda lagi makanannya) jadi kayak ketemu Obama?

Entah sampai kapan gue bisa bertahan untuk hidup seperti ini di tengah pandemi. Karena, meski kepribadian gue tertutup begini, gue pikir kenapa kita perlu untuk tetap hidup normal dan berurusan dengan segala pekerjaan, orang-orang, dan lain-lainnya, adalah karena disitulah gue bisa melihat segala sesuatu dari sudut pandang lain. Dari sisi diri gue yang nggak selamanya pendiam, kuper, dan cuek. Saat bertemu dengan orang-orang di tempat kerja, misalnya, suka atau nggak suka dengan mereka, mau nggak mau gue harus tetap bisa berlaku baik dan bersosialisasi dengan orang-orang tersebut. Artinya, gue jadi tau caranya menempatkan diri dan menempatkan ego. Sebab nggak semua bagian dari karakter dalam diri kita harus diikuti. Misalnya lagi, kalau gue orangnya tempramental, dan ada seseorang yang selalu memicu gue buat ngomong nggak baik karena nggak demen sama sikapnya, gue nggak harus menuruti ego gue untuk menampakan kebencian gue, kan. Padahal tu orang ada salah sama gue aja nggak.

Menjalani hidup sesuai dengan keinginan gue dan personality gue sebagai introvert nggak selamanya enak. Banyak suka dan dukanya, seperti yang gue ceritakan di atas. Dalam keadaan seperti ini, gue memang merasa sangat-sangat difasilitasi karena semua orang saling menjaga jarak, dan saling mengerti akan adanya batas dan privasi, sesuatu yang selama ini selalu gue agung-agungkan. Boundary, privacy, independency and freedom. Namun ternyata, perlahan-lahan gue malah jadi terkukung dalam dunia sendiri. Gue terlalu nyaman ada dalam zona ini. Satu-satunya yang bisa membuka mata gue lebar-lebar di tengah kesendirian ini hanyalah media sosial—yang sedihnya, menjadi sumber kesedihan dan insecurity terbesar dalam beberapa waktu. Untungnya gue masih punya temen yang bisa jadi tong sampah pikiran gue selama beberapa bulan ini, begitupun sebaliknya.

Gue sangat-sangat berharap semoga situasi ini nggak bertahan lama dan bisa segera pulih. Nggak tau lagi rasanya kalau di tahun depan nanti kita masih harus berurusan dengan virus, PSBB, protokol kesehatan, dsb.

Kalau teman-teman sendiri, gimana nih? Apa kesan dan pesannya selama pandemi? Baik sesama introvert ataupun ekstrovert ya😁.


Share
Tweet
Pin
Share
25 komentar
Being a Good Listener

Before you start reading this post, i'd like to apologize for any grammar and writing errors and i'm so sorry for the sudden appearance with this kind of post which is NOT SO me LOL. I've checked my writing using an app before publishing this so i can proofread and learn but, you know, sometimes such apps can't be trusted either😌. Well, i don't know why, but i feel like i have to improve my writing skill (esp. in English) so the idea to share this has suddenly just crossed in my mind. My friends keep telling me to not to be afraid over things that require mistakes to help us learn and grow—especially in learning foreign languages. So i encourage myself to write this as best as i can. Maybe next time i'll write one with Japanese😬. Semoga bisa sedikit mengobati rasa kangen (jiaah sapa juga yang kangen yak😆), dan memberi sedikit warna baru di blog gue. Cheerio! xx

o-o

I recently watched a video on YouTube whose created by my favorite musical actress ever. Her YouTube channel contains videos about music and light lessons, a kind of sharing videos with inspirational thoughts that help us to grow, to reflect, to think, to unlearn, to relearn, and to get to know more about ourselves and our lives. I actually have started some other videos before, but today i decided to go for episode 3 which is about Listen. 

I think it's such an interesting topic to talk about in my blog because you know... nobody is born the same way, nobody wakes up the same way, nobody goes to sleep the same way, nobody's days go exactly the same, even if you spend the entire day with someone. So, it really is the most amazing gift to be able to listen and to realize there's always different perspective of life that we have to listen to—aaaaaand to share with each other😜.

Speaking of listen, have you ever had a conversation that put yourself in situation to think 'i must give her/him some response' in order to make them feel comfortable or even only to assure them that you are being presented at the moment? I personally have been there for almost all the time—before i realized that such habits and attitudes are actually bad enough to have.

Why is it bad to have? 

Doesn't that mean we are being responsible for responding to them?

I know, for some people this might be the best solution to come up with another response just to make the others feel better, but you ended up not really listening to them because your brain is busy to accumulate and to adjust what kind of response will you say, what kind of advice that you want to give, without really hearing and understanding the context and the story. If you think you can still hearing what exactly they say while trying to find words to respond,  that would be good. But what if you're not? Here the thing is. 

Even since childhood, at school, we were trained to always answer every question that our teachers asked, without really knowing what the best answer to say was. Well, they never actually have us answer some questions without knowing the context, but we're unconsciously trained to become ones, weren't we? Every time our teachers ask some quizzes, instead of really hearing what they say and comprehending the topic, we're busy memorizing so many theories we have learned just to make the teacher feel satisfied with our answers. In fact, we didn't really listen to them. We were just busy thinking about the responses and answers that we should have given.

Now in conversation, again, we're often times thinking of the next thing that we're gonna say. Whatever they're saying, the sparking something in us that makes us want to speak. Here another misconception about good listening is when we listen and go 'oh, i understand, that happened to me!' then we always start going into our story. Even though we think we're saying 'oh yes, i totally understand! I hear you, i understand because...', this couldn't make our friends feel comfortable at all. As soon as you say 'because', it's now become about you and your story and there's nothing we can even learn about being a listener. Of course, there's a time for you and your story, but this might not be it. Not when you don't have the urge to say, and not when you are being needed. This might be the time that you're listening to somebody else.

For me, this kind of mindset can eventually lead us to become the selfish one, who doesn't really care of what others are feeling at the moment, and what they've been through that makes them wanna share their stories with us. Because in the end, it's all about us, not about them and the stories we have to listen to.

Have you ever imagined and reflected on yourself that everything happened in your life, after all these times, it's only about you, about your story, your ego, and your perspective? I mean, any time we get depressed and exhausted, maybe this isn't because of someone else that you think it is? Maybe it's all because of us who can't deal with the situations, people, and egos that have brought the negativity into our minds. This is why we have to really listen (even to ourselves) every now and then.

So how do we listen?

Listen without judgment, listen without coming up with the response that you're gonna already say. Just really listen. Train yourself to think, what if i'm listening to listen? Not listening to respond. 

Then choose to get quiet sometimes and hear all the voices that are talking to us constantly, the ego that telling us you aren't enough, and the ego that telling us you're the best thing that ever been. Yash, there's always some spectrum telling you to be this and that, to take the black side and the white side, being energized and exhausted. Therefore, we listen to be more aware that there is always something in between and it is the time to look at many different perspectives between the two sides.

Some may suggest you to meditate (as mentioned in the video), but since i've never tried this one, i'd like to advise us to sit down with the intention of listening to the only voice that is worthy of being listened to. 'That' voice always speaks to us. It's not just listening to listen, but it's listen to hear. 

Since Bandung has recently been in the rainy season, before goes to sleep, i usually pause myself for a moment to just listen to the sound of water droplets from pipes, the sound of crickets and other insects, or even the sound of the rain itself—to the extent that i can hear the sound of my own heart beat. Somehow, when i let myself to be involved and attached to everything around me, i feel more alive and being present. I feel like they're listening to me listening to them, and it becomes a cycle of listening. Eventually, when we are open to hearing, we will also be heard with openness.

This cycle actually also happens when we are in a situation as someone who wants to be heard. Before we share stories, in order to avoid some misunderstanding with one another, i think we should make sure our partners at first, what are we really want by telling them these stories, since there are many of us who have different concepts about listening. Do we just want to be heard? Or do we actually need support and advice to be more motivated? 

So, if you just want to be heard, tell them (IMO, this isn't the only way to tell someone how your feeling is); "I want to share this with you not because i want to give you such a heavy burden. I just want you to listen, so don't push yourself so much that you think you have to encourage me by saying kind words when you actually don't have to." 

However, if you expect them to respond to you, this could be a problem (or could be not) for you. Why? Because we can't control how people are going to react towards us, we can't get them to read our minds just because we share the stories.

So what can I say?

Tell them that you "might need their advice and encouragement," which may make you feel better, "but don't take this as a burden to you because i don't want you to feel that way. Take it easy and if you don't mind hearing me, i'll be very happy." Then, the rest we can do is do not put expectation too high on them because we already said it truthfully with openness. Is it possible for them to be open to hearing us? It is very possible because the cycle never ends.

You know people say a lot that we have to think twice before you speak, right? What if (at least start from now) we listen twice before we speak? Because sometimes, when we listen once and listen again, we hear it—of course, depends on the context in which occasion you are in and who you're talking to, but it is also worth to 'listen' twice before we speak. 

Lastly, we live on the same planet, but it's a completely different world. When you don't know what to do, listen. When you feel uncomfortable, listen. Not just listening to everybody around you, but 'listen' to the knowing inside of you. There's a knowing that might be telling you actually simply to listen. Who knows?


It is you who know.


Share
Tweet
Pin
Share
24 komentar
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Bukan Salah Indonesia
  • Di Balik Angkasa
  • Indonesia Krisis Moral
  • Just Listen
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Terpaksa Biasa

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

Have new posts emailed to you!

My Spotify

Popular Posts So Far

  • Don't Stop
  • Bahagiaku
  • Harry Potter Questions Tag
  • Letting Go With Smile
  • Blog Story
  • Matre: Realistis atau Materialistis?
  • Di Balik Angkasa
  • Bad For Good
  • Cuma Cerita
  • Refleksi Dua Dekade

Blog Archive

  • ▼  2021 (7)
    • ▼  February 2021 (1)
      • Letting Go With Smile
    • ►  January 2021 (6)
  • ►  2020 (46)
    • ►  December 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  October 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  August 2020 (10)
    • ►  July 2020 (8)
    • ►  June 2020 (4)
    • ►  May 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  March 2020 (2)
    • ►  February 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  December 2019 (3)
    • ►  October 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  August 2019 (1)
    • ►  March 2019 (1)
    • ►  February 2019 (2)
    • ►  January 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  December 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  August 2018 (1)
    • ►  June 2018 (1)
    • ►  May 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  February 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Followers

Categories and Tags

Feminist Intermeso Knowledge lifestyle Minimalism Opini pendidikan Perempuan Podcast Poetry slice of life Thoughts

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.