Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
  • Portfolio
instagram twitter LinkedIn YouTube Spotify Email

Notes of Little Sister



Sulitnya Jadi Realistis

Pada masa-masa menjelang akhir semester di perkuliahan, gue akhirnya menyadari bahwa gue adalah salah satu mahasiswa yang merasa salah jurusan. Bukan karena dipilihkan orangtua, bukan juga karena ikut-ikutan teman, tapi karena saat itu gue nggak punya pilihan lain untuk mengambil jurusan yang lebih "gue banget"—atau mungkin karena gue belum tahu pasti apa yang mau gue kejar.

Secara, gue hanya lulusan program Bahasa sewaktu di SMA, stereotip dan opsi yang ada untuk kami pun menjadi sangat mengerucut, nggak lain ujung-ujungnya kuliah bahasa, antropologi, atau ilmu komunikasi. Well, pilihan sebetulnya banyak, terbuka lebar. Gue bisa pilih bidang mana aja yang memang gue suka, as long as gue mampu menyaingi puluhan ribu pendaftar lainnya. Tapi mengingat gue harus realistis dengan kapasitas otak gue😄, pilihan itu pun meredup. 

Dulu, gue masih menganggap bahwa belajar bahasa asing adalah passion gue—yang gue rasakan saat belajar bahasa Korea secara otodidak, tapi nyatanya nggak berlaku untuk bahasa Jepang yang pelajaran kanjinya bikin kepala pusing bukan main. Nyatanya mempelajari suatu bahasa yang mana budayanya nggak familiar bagi kita merupakan cambuk tersendiri.

Sebagai yang bukan pecinta anime, idol Jepang, dan hal-hal lain yang berbau "jejepangan", bertemu dengan lingkungan yang seperti ini menjadi pertempuran tersendiri dalam batin gue. Karena ternyata ketertarikan itu bisa berbanding lurus dengan bertambahnya pengetahuan kita dalam berbahasa. 

Misalnya, sering nonton anime bisa menambah kosakata berbahasa Jepang kita, meskipun itu nggak dipakai untuk bahasa formal. Lalu menonton tayangan berbahasa Jepang di YouTube dan terjaring dengan teman orang asing melalui media sosial, juga bisa meningkatkan kemampuan berbicara, kosakata dan mengasah grammar kita dengan spontanitas yang baik.

Gue suka budaya Jepang, but not into their pop-culture. Gue lebih mengagumi alam mereka dan bagaimana kehidupan orang-orang disana. Mungkin karena gue nggak seambis itu dan hanya senang belajar, so when it comes to formal education, gue nggak bisa menemukan excitement itu lagi. 

Menyadari fakta itu (bahwa gue nggak merasa menemukan kenikmatan disana), keinginan gue untuk shift career setelah lulus pun menjadi semakin besar. Perlahan-lahan gue mulai mempelajari tentang digital kreatif. Keinginan ini muncul ketika gue serius ngeblog pertengahan tahun 2020 lalu. Mungkin ini satu-satunya sisi positif yang bisa gue syukuri dari invasi Covid-19. 

Gue jadi punya waktu lebih banyak untuk figure out tentang apa yang mau gue lakukan, dan apa yang cocok buat gue. Karena sejak saat itu, mulai banyak bermunculan bootcamp online untuk mereka yang mau mengembangkan skill di industri digital. Sesuatu yang align dengan hobi gue, yaitu menulis di internet. Gue belajar tentang SEO dan copywriting yang mana kedua cabang ini ada di bawah digital marketing. So I learned about digital marketing.

Mulanya susah, tapi gue coba jalani dengan santai karena gue yakin bidang ini lah yang mau gue tekuni. But now, having my career switch, malah membuat gue memikirkan lagi soal keputusan gue untuk mengejar karir di bidang yang berbeda. Gue kembali mempertanyakan diri sendiri, apakah ini sesuatu yang benar-benar ingin gue lakukan? Apakah berhenti belajar bahasa adalah kesalahan? Apa sih yang sebenarnya mau gue tuju? Penghasilan atau passion? Semua itu menyatu jadi tanda tanya besar,

"emang iya passion sepenting itu?"

Jika orang-orang bilang quarter life crisis adalah masa-masanya mencari goals dan dimana kita bisa fit in, mungkin disinilah diri gue berada sekarang. Di satu moment, gue merasa yakin banget dengan pilihan yang gue ambil. Tapi di sisi lain, gue merasa ragu bahwa pilihan yang gue ambil akan membawa gue ke sesuatu yang besar, sesuatu yang gue idam-idamkan, yang mana sisi realistis dari diri gue bilang bahwa bukan passion lah yang bisa memenuhi.

Di dunia dimana inflasi terus menaik seperti sekarang, gue belum bisa membayangkan sejauh mana passion ini bisa menghidupi gue. Walaupun, yah, usia gue masih muda dan masih panjang perjalanan yang akan gue tempuh kedepannya. Namun gue nggak mau menghabiskan waktu hanya dengan menebak-nebak kemana life maps gue. Kalau gue bisa tahu apa yang gue mau sekarang, maka gue akan kejar itu secepat yang gue bisa. 

Kadang gue masih nggak percaya, bahwa gue yang dulunya selalu mengagung-agungkan passion, sekarang malah penuh keraguan. Ternyata pengalaman sebagai orang dewasa bertahun-tahun ini menuntun gue menjadi seseorang yang teramat realistis, dan pemikiran soal passion adalah dampaknya.

Is it a sign that I'm growing up? Karena katanya, ragu itu bukan tentang salah atau benar. But it keeps us aware dengan segala kemungkinan yang terjadi di masa depan. Kewaspadaan dan pertimbangan-pertimbangan sebelum memutuskan sesuatu membuat kita bisa lebih bijak dan bertanggungjawab dengan pilihan yang kita ambil. I hope so. 

Menjadi seseorang yang terbiasa realistis, bikin gue meragukan idealisme diri sendiri. Mungkin karena gue sering ditampar dan dihadapkan dengan realita yang cukup pahit tentang bagaimana buah-buah pemikiran yang idealis dienyahkan begitu saja oleh orang-orang yang punya kuasa. Sebuah sikap yang akhirnya melahirkan skeptisisme di kalangan masyarakat kita, bahkan anak-anak muda yang cenderung dianggap sebagai agen perubahan dan otaknya idealisme. 

Yah, walaupun sampai detik ini gue masih belum tahu apa ini betul-betul jalan yang ingin gue lalui, dan akan seperti apa hidup gue 2 atau 3 tahun berikutnya. Namun yang gue yakini, gue hanya harus belajar dan belajar semaksimal mungkin. Dan seharusnya sudah jelas sekali untuk gue sadari bahwa hidup itu penuh perjuangan, nggak ada yang instan. Semua perlu dilakukan step by step, nggak bisa langsung terobos. 

Toh, menjadi realistis bukan berarti harus meninggalkan apa yang kita suka, dan apa yang kita ingin lakukan. Kalau bidang ini memberi gue ilmu baru dan pengalaman baru, kenapa nggak, kan?
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Belajar Nggak Neko Neko


Sore tadi gue habis cerita-cerita dengan doi tentang beberapa kesamaan yang kami punya pada saat kecil hingga remaja. Berhubung hari ini, di linimasa media sosial gue lagi ramai banget oleh teman-teman yang adik atau murid-muridnya sedang melangsungkan acara perpisahan dan kenaikan kelas. Lalu gue bercerita, bahwa dulu pada saat SD sampai SMA, gue nggak pernah menyewa kebaya sama sekali, karena selalu ada kebaya turunan dari tante gue yang bisa dipakai. 

Bahkan, pada saat perpisahan SD, gue sama sekali nggak datang ke acara samenan (lebih tepatnya gak mau datang), karena emak gue nggak mempersiapkan apa-apa seperti halnya kebanyakan orangtua teman-teman gue yang kelimpungan mencari jasa MUA atau sewa kebaya dari jauh-jauh hari. Selain karena masih ada kebaya bekas tante gue di koper, mungkin orangtua gue saat itu berpikir bahwa it doesn't really necessary bayar jasa make-up hanya untuk acara yang berlangsung beberapa jam. Apalagi menyadari fakta bahwa NEM gue anjlok, rasanya makin nggak bersemangat lah gue menghadiri acara yang nyatanya hanya satu kali seumur hidup itu.

Kemudian, doi juga cerita bahwa dia punya pengalaman yang sama tentang acara perpisahan di sekolah. Sejak SD hingga SMA, dia nggak pernah disewakan pakaian khusus—kecuali saat kelas 6 SD, karena saat itu dia jadi pengantin di acara tersebut. Sekilas info, bagi yang mungkin budaya perpisahan di sekolahnya berbeda, di daerah gue tuh kalau ada siswa dan siswi yang punya nilai tertinggi satu angkatan, pasti akan dipasangkan dan nantinya menjadi "pengantin" yang diiringi oleh penari-penari tradisional sebagai salah satu rangkaian pembuka acara. Nah, pada saat itu, doi jadi pengantin siswa, dan mau nggak mau disewakan pakaian adat khusus. Itupun dia bilang, kalau yang membantu menyewakan adalah orangtua murid yang lain, since orangtuanya kurang tahu soal sewa menyewa pakaian adat. 

Sisanya, dari SMP sampai SMA, dia selalu pakai jas milik ayahnya dan celana sekolah seperti biasa setiap kali acara perpisahan—kurang lebih sama seperti gue. Pada saat itu, mungkin gue pikir orangtua gue terlalu cuek dan nggak peduli sama kegiatan sekolah anaknya. 

Setelah beranjak dewasa, gue pikir orangtua kami bukannya nggak peduli, tapi ingin mengajarkan kami untuk hidup sederhana, nggak menyia-nyiakan barang dan bisa memanfaatkan apa yang kita miliki tanpa harus keluar uang lebih (bet I'm just too deep in interpreting their action? LOL. Barangkali ortu gue memang nggak suka ribet aja seperti anaknya sekarang yang apa-apa maunya simple😆🤪).

Namun dari pengalaman itu, gue jadi berpikir, secara nggak sadar hal-hal seperti itu memupuk gue menjadi seseorang yang apa adanya, yang nggak neko-neko, yang nggak mau hidup dalam kepura-puraan, dan yang nggak takut kalau terlihat "berbeda" di saat orang lain melakukan hal yang sama. Kalau dikaitkan dengan fenomena saat ini, mungkin fear of missing out adalah frasa yang paling tepat. 

Dalam beberapa kesempatan, somehow gue lebih tenang menjadi seseorang yang "missed out" dari hiruk pikuk media sosial dan segala trending topic-nya. Meski gue pernah ada di lingkaran yang serba update ketika gue main medsos dalam satu hari penuh, tapi saat gue menjauh dari sana, I don't feel distracted.

Soal cara berpakaian pun, gue masih mengenakan pakaian yang gue beli tiga sampai empat tahun yang lalu, dari mulai sepatu, baju, celana, jilbab, hingga jam tangan sekalipun. Gue jadi tahu betapa pentingnya hidup minimalis dan memanfaatkan barang yang gue punya. Mungkin pengalaman soal gue yang nggak pernah menyewa kebaya itu nggak langsung affect the way I lived at the moment.

Gue harus mengalami dulu yang namanya hidup menyesal karena boros😂, gue juga harus terpapar terlebih dahulu dengan fakta-fakta pahit tentang bumi kita yang menimbun sampah tekstil berton-ton. But it's undeniable bahwa kebiasaan tersebut secara tidak langsung juga memberi andil terhadap keputusan gue untuk hidup sesederhana mungkin.

Kalau dulu gue dibiasakan untuk selalu mengikuti garis yang orang lain lalui, dibelikan ini itu, diajarkan flexing dan iri dengki apabila ada teman sekelas yang punya barang bagus (jujur pasti ada orangtua/teman yang panasan kayak gini di sekolah🤣), besar kemungkinan sekarang gue jadi seseorang yang selalu memaksakan kehendak. BUT, bukan berarti anak yang dididik demikian bertumbuh menjadi seseorang yang hedon dan boros juga. People grow, right? Gue hanya mengasumsikan hal tersebut untuk diri gue sendiri.

Ternyata hidup sederhana itu bisa datang dari kebiasaan-kebiasaan yang nggak kita sadari. Bahkan mungkin sedari kecil, seperti yang gue dan doi alami. Gue jadi mengerti, bahwa kita selalu punya pilihan untuk hidup sesuai apa yang kita mau tanpa harus memikirkan pendapat orang lain--tentu selama hal tersebut nggak keluar dari norma-norma yang ada. Gue pun jadi bisa merasakan betapa nikmatnya saat kita bisa hidup nyaman tanpa takut merasa ketinggalan zaman. Mungkin dua hal yang bikin gue takut tertinggal cuma ilmu pengetahuan dan teknologi.

Belajar nggak neko-neko menurut gue sangat diperlukan di era yang apa-apa serba up-to-date ini. Karena kalau nggak, kita bisa dengan mudahnya terseret arus. Merasa harus terus mengikuti trend yang ada, atau takut nggak punya teman karena terlihat kuno dan nggak gahol. Padahal dengan perputaran yang begitu cepat seperti sekarang rasanya sulit untuk kita bisa ada di dalamnya tanpa merasa exhausted. Yah, paling tidak, itu yang gue rasakan.

Hidup nggak neko-neko juga terkadang bisa membuat kita terhindar dari konflik dengan orang lain. Karena orang yang nggak macam-macam biasanya nggak suka menimbulkan keributan. Sekali aja nge-handle satu orang yang bermasalah dengan dia, rasanya dunia ikut jadi penonton and there is no peace at all! (iya, kayaknya gue curhat deh). Makan jadi nggak tenang, tidur nggak tenang. Kemana pun kita pergi, rasanya semua orang adalah teman dari orang yang memusuhi kita. 

Well, itu juga kan yang sering terjadi di dunia maya sekarang ini? Si A curhat sedikit tentang orang lain, si B merasa tersindir, dan terjadilah ghibah online di grup chat masing-masing gengs😂 Semoga sih teman-teman semua dijauhkan dari ribut online semacam ini ya. 

So, untuk teman-teman sebaya gue yang mungkin sedang mengalami fase FOMO, menurut gue it's okay untuk hidup apa adanya dirimu tanpa harus sama seperti orang lain. Kadang-kadang apa yang kita lihat di dunia maya itu hanya etalase. Luarnya saja indah, dalamnya? Hati manusia dan segala kelumit kisah mereka nggak ada yang tahu kecuali Pencipta-nya sendiri. 

Percayalah, belajar hidup sederhana dan nggak neko-neko akan membuat kita bisa lebih memaknai hidup dan segala apa yang kita miliki saat ini. Karena kata Chitato hidup itu never flat, let's enjoy our life as much as we can and don't make it hard on yourself with unnecessary things😉. 
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar

Ada yang pernah dengar istilah Spoonerism? Atau adakah di antara kalian yang kalau ngomong suka keselip alias terbolak-balik? Seperti Isyana Sarasvati, dari "bener dong" jadi "beneng dor", dan "terpesona" jadi "tersepona".

Jika ada di antara kalian yang sering mengalami hal serupa, welcome to the club!🙌🏻

Spoonerisme, Alasan Utama Lidah Keseleo

Gue pribadi adalah satu dari sekian orang yang sering banget mengalami selip lidah atau terbolak-balik saat bicara. Contohnya persis seperti yang gue sebut di atas. Kosakata yang baru-baru ini nggak sengaja gue ucapkan itu adalah, "enak" jadi "anek". Gue juga belum lama keseleo pas bilang gave birth, jadi give barth, padahal nggak ada artinya. Gue pikir awalnya aneh, tapi pada kenyatannya banyak banget orang-orang di luar sana yang sering mengalami hal demikian. 

Awalnya gue nggak peduli untuk cari tahu lebih lanjut tentang ini, yang gue tahu, mungkin thinking proccess-nya lebih cepat daripada mulut gue, dan barangkali memang gue aja yang kalau ngomong kecepetan. Setelah ditelusuri, ternyata kondisi semacam ini dinamakan Spoonerisme.

Spoonerisme (spoonerism) adalah kesalahan bicara yang berkaitan dengan transposisi fonetik dalam huruf mati, huruf hidup atau morfem yang biasanya terbolak-balik di antara dua kata dalam sebuah frasa. Istilah spoonerism diambil dari nama William Archibald Spooner (1844-1930), penjaga New College, Oxford, Inggris, yang sering bicara terbolak-balik saat itu. Spoonerisme juga dikenal sebagai marrowsky, seperti nama seorang Polandia yang juga mengidap kebiasaan serupa. 

Biasanya seseorang secara spontan melakukan kesalahan pengucapan ini disebabkan karena gugup, kurang konsentrasi atau terlalu cepat berbicara. Namun ada juga yang memang memiliki kesulitan secara verbal karena terlalu lama diam di suatu negara yang berbeda dengan yang dia tinggali sekarang. Dan karena situasi ini dialami oleh banyak sekali orang di belahan dunia, tentu saja kata atau kalimat yang keselip gak hanya ada dalam bahasa Indonesia. Bahasa Inggris pun banyak yang seringkali bisa keseleo, seperti contoh di bawah ini:
  • "A blushing crow." ("crushing blow")
  • "A well-boiled icicle" ("well-oiled bicycle")
  • "You were fighting a liar in the quadrangle." ("lighting a fire")
  • "Is the bean dizzy?" ("Dean busy")
  • "Someone is occupewing my pie. Please sew me to another sheet." ("Someone is occupying my pew. Please show me to another seat.")
Dalam bahasa Indonesia sendiri, kata atau kalimat yang biasa kepleset adalah sebagai berikut (contoh ini diambil langsung dari testimoni gue saat sedang keselip lidah):
  • "Nanti aku kuping jewermu ya!" ("Nanti aku jewer kupingmu ya!")
  • "Hudas kok." ("Sudah kok") 
  • "Aku makan sudah" (Aku sudah makan) 
  • "Dasar budaya darat" (Dasar buaya darat) 
  • "Aku mau odun!" (Aku mau udon—makanan Jepang) 
  • "Tutupnya pintu." (Tutup pintunya) 
Nah, kira-kira begitulah contoh kosakata yang sering terbalik saat gue ucapkan. Tentu ini belum termasuk kata-kata lain yang gue lupa untuk catat di notes😂

Kalau teman-teman, bagaimana? Apakah ada yang mengalami hal serupa? Let me know, ya!🤩
Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar
Berawal Dari Kegelisahan (How to produce a creative content with Raditya Dika)

Mendadak gue ingat pernah ikut kelas "Persiapan Menjadi Video Creator" bersama Raditya Dika yang diselenggarakan oleh Kominfo x Siberkreasi tahun lalu dan ingin menuliskan sedikit bahasan pentingnya pada kelas waktu itu. Dalam salah satu sesi, Bang Radit sempat memberikan tips tentang bagaimana caranya membuat ide konten yang kreatif dan bermanfaat.

Menurutnya, hal tersebut bisa dimulai dengan memikirkan kegelisahan diri sendiri, diikuti dengan memikirkan cara untuk bisa menghadapi kegelisahan tersebut. Iyap, jadi pada dasarnya, kita yang punya masalah, kita sendiri yang cari jalan keluarnya, lalu kita coba bagikan deh, ke khalayak umum. Barangkali konten tersebut ngena di sebagian orang, atau mungkin bisa menjadi solusi dan jawaban juga atas kegelisahannya.

Contohnya terdapat di dalam konten-konten Raditya Dika sendiri yang mana salah satunya dapat kita lihat lewat video reels berikut ini:

View this post on Instagram

A post shared by Raditya Dika (@raditya_dika)


Dalam video itu, kegelisahan Radit adalah: tidak bisa tidur dengan lampu dinyalakan, namun ia lupa mematikan lampu dan malas turun lagi saat sudah beranjak ke kasur. 

Cara unik yang dia lakukan untuk bisa mematikan lampu, atau supaya bisa tidur meski lampu dinyalakan adalah dengan melemparkan bola kasti ke arah saklar menggunakan tongkat baseball. Hal itu ia lakukan bukan semata-mata agar saklar bisa tertekan off, tapi agar dia merasa kelelahan dan setelah itu bisa tidur meski lampu dinyalakan.

Well, cara ini memang nggak bisa dilakukan untuk semua orang, mengingat ini hanya komedi🤣. Tapi itulah fondasi yang dimiliki Bang Radit dalam membuat konten-kontennya yang out of the box. 

Selama kelas berlangsung, gue jadi mikir, kira-kira konten atau tulisan apa yang bisa gue buat based on kegelisahan yang gue miliki, ya🤔 Apakah jangan-jangan sebenernya gue udah pernah buat yang sesuai dengan content pillar Bang Radit?

Turns out, setelah gue baca-baca ulang beberapa postingan lama, selama ini gue sudah banyak menuliskan tentang kegelisahan gue ke blog—dan mungkin juga teman-teman bloggers yang lain secara nggak sadar. Walaupun memang nggak semua gue terapkan pilar yang kedua: cara mengatasi kegelisahan tersebut, tapi gladly gue sudah mengerti gimana basis dalam membuat konten itu berkat ilmu yang gue dapat dalam kelasnya Bang Radit.

Beberapa contoh tulisan gue yang berangkat dari kegelisahan adalah Bahagia Perlu Uang? dan Don't Stop. Dalam postingan yang pertama, gue mengajak orang-orang terkhusus teman-teman yang sama-sama sedang mengalami krisis seperempat abad untuk bekerja keras dan memiliki growth mindset terhadap uang, karena bagaimana pun alat tukar ini bisa memberi sedikit banyaknya power dalam hidup kita, entah itu untuk menghidupi diri dan keluarga, atau membantu orang-orang yang tengah kesulitan di luar sana. 

Mengapa ini jadi kegelisahan gue? Karena ketika menulis itu, keluarga gue sedang mengalami masalah pelik soal keuangan. Mungkin ada tiap hari dimana kami harus memutar otak gimana agar uang ini bisa terus berputar, misalnya dipakai untuk berdagang, dan gimana caranya agar uang yang dihasilkan bisa jadi modal untuk hari esok dan nggak habis dipakai menutupi kebutuhan rumah tangga.

Therefore, I came up with the conclusion bahwa keluarga gue akan bisa lebih sejahtera dan senang if I could earn more money for them. Supaya gue bisa bantu biayai adik-adik yang sebentar lagi akan masuk kuliah tahun depan, bisa bayar orang untuk bantu-bantu jalankan UMKM eyang gue, supaya bisa support financial kedua orangtua gue, lalu sisanya ingin bisa membantu orang-orang yang membutuhkan di sekitar. Sebab gue pernah dengar dan belajar, bahwa ujian bagi seseorang itu sebetulnya bisa jadi ujian juga untuk kita. Apakah kita mau bantu seseorang itu untuk melalui 'ujiannya' atau nggak?

Lalu tulisan yang kedua, Don't Stop, berangkat dari kegelisahan gue yang merasa belum qualified enough untuk lulus dari jurusan yang gue tempuh. Gue merasa bodoh dan salah jurusan, karena nggak banyak ilmu yang bisa gue bawa sampai detik itu menjadi mahasiswi. 

Karena saat itu gue masih ingin mengejar cita-cita di bidang yang linear, maka dalam tulisan itu gue maksudkan (lebih tepatnya kepada diri sendiri) bahwa penting untuk kita kembali fokus dengan tujuan awal dan kembali menata rencana-rencana yang bisa kita susun saat diri kita tengah goyah dan kehilangan arah akan tujuan hidup kedepan. Tentunya dalam kasus gue adalah mencari metode belajar yang cocok, dan mengurangi intensitas penggunaan media sosial agar bisa lebih fokus, nggak lagi terdistraksi dengan bisingnya kehidupan internet. 

Hal yang sama juga gue terapkan pada podcast gue, Notes of Little Sister. Kalau teman-teman perhatikan, hampir semuanya mengarah pada kegelisahan dan bagaimana sebaiknya kita deal dengan itu (tentunya menurut diri gue sendiri), and yesss, semua topik itu nggak jauh-jauh dari kehidupan personal gue yang diharapkan bisa jadi salah satu sarana pengembangan diri untuk siapapun yang mendengar. Nanti gue akan posting khusus tentang podcast, bakal ada yang baca nggak yaa?😆

Lihat juga: Manusia Lemah


Berawal Dari Kegelisahan (How to produce a creative content with Raditya Dika)

Kembali soal tips membuat konten dari Raditya Dika, selain mengambil inspirasi dari kegelisahan diri sendiri, tentunya kita juga bisa menjadikan kegelisahan yang kita miliki terhadap lingkungan sekitar sebagai ide konten. Dan tanpa disadari, ini cara yang sudah dilakukan banyak content creator untuk menghasilkan konten-konten yang menarik dan untuk menjangkau massa yang sesuai dengan segmentasinya masing-masing. 

Para content creator ini berbondong-bondong memproduksi konten berdasarkan kegelisahan dan isu-isu yang happening di kehidupan sosial kita. Misalnya aja isu kesehatan mental, pelecehan seksual, investasi bodong, sampai ke persoalan quarter life crisis. Masing-masing dari mereka menawarkan cara uniknya tersendiri untuk bisa melewati atau menemukan solusi bagi audiens dari berbagai permasalahan tersebut—and most of the time it helps! 

Yang paling menarik, nggak cuma konten dengan topik yang serius aja yang bisa diangkat dari keresahan publik, konten berjenis komedi atau hiburan pun masuk-masuk aja, lho. Contohnya yaa kayak video Bang Radit di atas😆

So, buat yang sering kena writer's block, stuck dan kehabisan ide untuk menulis konten, mungkin bisa mencoba dengan breakdown satu per satu apa yang menjadi kegelisahan teman-teman. Dimulai dari skala yang paling kecil, yakni dalam diri, sampai skala yang terbesar. 

Kira-kira, ide konten apa aja sih yang udah teman-teman buat based on kegelisahan? Yuk, sharing!🤩






Share
Tweet
Pin
Share
6 komentar
Body Positivity Bukan Validasi


Teman-teman, ada yang masih ingat? Lebih dari setahun yang lalu, jagat maya kita sempat dihebohkan oleh pernyataan salah satu influencer yang sempat keblinger freedom of speech, karena mengata-ngatai tubuh seseorang di tempat gym dengan sebutan "polusi visual". 

Kemudian setelahnya, muncul lagi pernyataan kontroversial dari MH, seorang model alias "Menteri Kecantikan" yang mengeluh di media sosial pribadinya dikarenakan standard kecantikan Victoria Secret's Angels dan tayangan Gossip Girl favoritnya kini telah bergeser dari yang ia yakini selama ini. Seolah tak kuasa menahan kekesalan, dengan lantang ia melabeli "buriq" seorang perempuan berkepala pelontos dan berkulit gelap yang diketahui sebagai pemeran baru seri Gossip Girl.

Ujaran tidak mengenakan terhadap perempuan yang dianggap tidak memiliki tubuh seperti standard masyarakat juga pernah dialami oleh Nurul, seorang atlet angkat besi sepulang dari Olimpiade Tokyo di Bandara Soekarno-Hatta pada pertengahan Agustus tahun lalu. 

Sikap ini seakan-akan semakin melanggengkan eksklusivitas standard kecantikan yang tidak merangkul semua kalangan dan jenis tubuh. Karena itu, gerakan women support women pun tampaknya hanya berlaku untuk lingkaran tertentu.

Pergelutan di media sosial terhadap self-acceptance semacam ini lagi-lagi menunjukan adanya miskonsepsi perihal body positivity. Bagi orang-orang bertubuh "privilege" yang bisa sesuai dengan standard Victoria Secret, gerakan body positivity tampaknya hanyalah bentuk validasi rasa malas bagi orang-orang yang tidak bisa memiliki badan seperti bihun—kurus, langsing, dan berkulit terang. Seakan-akan perjuangan mayoritas perempuan selama berpuluh-puluh tahun tak ada artinya bagi mereka. Padahal body positivity, atau gerakan mencintai dan menerima diri tanpa harus sesuai dengan standard yang berlaku di masyarakat ini sudah diperjuangkan sejak tahun 1960-an di Amerika Serikat.


Asal Usul Kampanye Body Positivity

Kampanye ini berawal dari adanya tindakan diskriminatif terhadap orang-orang yang berbadan gemuk.  Fat Acceptance dan Fat Liberation diusung oleh kelompok NAAFA (National Association for Advancement of Fat Acceptance) dan juga feminisme yang aktif di California. Mereka lalu menerbitkan manifesto yang inovatif, dimana isinya ialah menuntut kesetaraan bagi para pemilik tubuh gemuk atau penyandang obesitas dalam seluruh aspek kehidupan. Mereka bahkan menyinggung perihal industri-industri tertentu yang berperan dalam mendukung standard kecantikan dan budaya diet, hingga menyatakan industri ini sebagai musuh.

Gerakan perjuangan inipun terus berkembang pesat. Pada tahun 1980-an, antusiasme terhadap pembebasan orang gemuk dari diskriminasi mulai terus tersebar ke penjuru dunia. London Fat Women’s Group menyusul terbentuk pada pertengahan 80-an dan aktif selama bertahun-tahun. 

Orang-orang memang tidak menggunakan istilah Body Positivity pada masa itu, tapi para aktivis yang berperan dalam menyuarakan anti-diskriminasi pada penyandang obesitas ini dapat dengan mudah dijumpai di berbagai acara talk show dan media lainnya. Lalu pada era 90-an, aktivis-aktivis tersebut berdemonstrasi di depan White House, menggelar protes di depan pusat kebugaran yang memajang iklan bernada fatphobic, dan menari-nari bersama rombongan kendaraan pawai pada parade San Francisco’s Pride.

Topik yang kemudian mencuat tentang dorongan mencintai tubuh sendiri ada yang membingungkan beberapa pendengar, namun di saat yang sama juga ada banyak orang yang merasa terinspirasi. Mungkin karena pada saat itu istilah self-love, self-acceptance, dan body positive tidak lazim seperti sekarang. Tampaknya orang-orang ini berpikir bahwa, jika seseorang yang terlihat seperti mereka (dianggap tidak sesuai standard kecantikan) saja bisa belajar untuk mencintai diri sendiri, siapapun tentu bisa. 

Baca juga:  Childfree yang Diperdebatkan

Hingga memasuki awal 2000-an, internet akhirnya menjadi salah satu platform dimana berbagai bentuk penghinaan terhadap tubuh orang lain dan kampanye tentang mencintai tubuh sendiri mulai banyak tersebar. Meski kondisi tersebut dibarengi dengan munculnya anonimitas (orang-orang yang tidak menunjukan identitas diri di media sosial) dan menyebabkan perundungan, namun kondisi ini tidak dapat terelakan juga menunjukan bentuk ekspresi diri.

Ketika beragam papan pesan dan ruang obrolan tahun 90-an digantikan dengan media sosial, para aktivis ini terus membangun aksinya secara digital. Mereka berpindah dari grup AOL dan forum online NAAFA ke Tumblr dan Instagram. Adanya tagar dan grup-grup Facebook pun membantu banyak orang untuk terhubung dengan cara yang baru. Generasi yang baru ini kemudian menyebarkan aura positif yang dikenal sebagai Body Positivity. 


Menerapkan Body Positivity, Tak Mesti Jadi Toxic Positivity

Bagi orang-orang yang memiliki badan lebih kecil dan minim mendapat ejekan seputar kondisi tubuh, mungkin merasa bahwa gerakan body positivity hanyalah bentuk validasi atas rasa malas mereka yang bertubuh gemuk untuk memiliki gaya hidup lebih sehat. Nyatanya, tujuan awal kampanye ini adalah untuk meyakinkan orang-orang bahwa siapapun harus diperlakukan dengan baik, tidak peduli bagaimana bentuk badan mereka, warna kulit mereka, hingga cantik atau tidak rupanya. Toh, segala standard cantik yang berlaku di masyarakat tidak bisa menentukan bagaimana value diri seseorang, dan bagaimana ia berperilaku di lingkungan sekitarnya.

"Lantas, bagaimana kalau para penyandang obesitas atau pemilik tubuh gemuk itu sendiri yang menjadikan ini validasi?"

It's not the campaign that is wrong. It's on them and their mindset. Karena biar bagaimanapun, gue percaya tubuh yang sehat adalah kunci untuk hidup yang juga lebih sehat. Dan gue rasa, mereka sendiri sadar bahwa tubuhnya adalah aset berharga yang mesti dijaga, dirawat dan diberi asupan gizi dengan baik agar bisa bugar hingga tua nanti. Percayalah, gue yang memiliki tubuh kurus pun masih berjuang untuk bisa memiliki hidup yang lebih sehat, dengan pola makan yang teratur dan bergizi. Lagipula, kenapa sih, badan kurus dan langsing harus diasosikan dengan tubuh yang indah dan molek? Apa semua hal yang berkaitan dengan tubuh juga harus dipandang sebagai estetika?

Perlu diingat, bahwa kita bukan patung yang tubuhnya bisa sama rampingnya, bisa dibentuk molek sedemikian rupa, tidak tampak kekurangan sama sekali, tanpa gelambir dan stretchmark disana sini. We have different shapes, sizes, and bone structures. 

Tidak semua orang yang kurus hidupnya sehat atau penyakitan, begitupun dengan orang-orang yang memiliki tubuh gemuk. Bisa jadi mereka memang memiliki struktur tulang yang lebih padat dari orang kebanyakan, and that's okay, as long as mereka merawat tubuhnya dengan baik dan sadar akan kesehatan diri sendiri.

Hal ini berkaitan dengan sub-judul yang gue sematkan di atas. Yap, meski body positivity adalah gerakan yang bagus untuk menyadarkan siapapun bahwa setiap orang berhak memiliki citra tubuh yang positif, namun tidak semata-mata kita jadi bisa merayakan obesitas begitu saja tanpa mau mengubah diri sendiri ke arah yang lebih positif. Bukankah sejatinya itu yang dimaksudkan body positivity? 

Tidak merawat tubuh kita sebagaimana mestinya dengan mengonsumsi makanan secara sembarangan dan berlebihan dengan dalih body positivity justru akan berdampak buruk bagi diri kita. Inilah yang disebut dengan toxic positivity.

"Duh, ribet banget yaa jaman sekarang terlalu banyak istilah."

Indeed. Tapi menurut gue istilah seperti ini cukup penting untuk diketahui, agar kita bisa lebih mengenal diri sendiri dan tahu kapan waktunya untuk ngerem saat kita sudah terlalu memaksakan prinsip "body positivity" ini. 

Dilansir dari Alodokter, toxic positivity adalah kondisi ketika seseorang menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir dan bersikap positif serta menolak emosi negatif. 

Melihat suatu hal dengan positif memang baik, tapi tidak jika malah mendiskreditkan emosi negatif tersebut, seolah-olah perasaan yang tidak positif adalah sesuatu yang tidak valid untuk kita terima. Karena hal ini bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental, seperti yang dikutip dari City Nomads di bawah.
Radiating positivity 24/7 is a tough feat for anyone. The pressure to be positive can become toxic quickly. This toxic positivity may not exactly improve one's self or body-image. In fact, may even be counterproductive, because it can manifest as mental health conditions like depression and body dysmorphia, eating disorders and more in the long run.
So, kalau kamu sedang merasa tidak puas dengan kondisi tubuhmu karena berbagai hal, it's okay to feel that way sometimes. Siapa tahu perasaan itu malah mendorong kamu untuk bisa memiliki gaya hidup yang lebih sehat dan teratur. Tapi juga jangan merasa buruk sampai berlarut-larut, karena sesungguhnya setiap orang punya kekurangan dan kelebihannya masing-masing.

Believe me, segala standard yang dibangun oleh masyarakat selama ini adalah buah dari kapitalisme. That's why you shouldn't feel guilty about your own body that doesn't fit the beauty standard. Tidak salah juga sebetulnya kalau menteri kecantikan yang gue mention di atas merasa sebal ketika tipe model favoritnya di Victoria's Secret berubah secara inklusif, karena dia hanyalah "korban" dari citra kecantikan yang berusaha dibangun oleh orang-orang di balik Victoria's Secret--the capitalistic marketing itself. 

Instead of spending time in front of the mirror criticizing our shortcomings, why don't we use the time we have to examine our strengths and upgrade skills for the sake of our future and our own happiness? Furthermore, we can stop using our bodies to define ourselves and our worth at all. Because our lives isn't only about body and appearance. It's broader than that.


Reference:

BBC: The History of the Body Positivity Movement
Mengenal Lebih Jauh Tentang Toxic Positivity
Citynomads.com: Why Body Positivity Isn't All that Positive


Share
Tweet
Pin
Share
9 komentar
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Terlalu Besar Untuk Gagal
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Just Listen
  • Di Balik Angkasa
  • Bukan Salah Indonesia

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • The Phantom of the Opera: Di Balik Danau
  • Priority Chat
  • Lihatlah Lebih Dekat
  • Spoonerism, Alasan di Balik Keselip Lidah
  • Belajar Nggak Neko-Neko
  • Tips Membuat Konten yang Kreatif: Berawal Dari Kegelisahan
  • Cuma Cerita #2
  • Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
  • Kiamat Sudah Dekat
  • 36 Questions Movie Tag

Blog Archive

  • ▼  2022 (8)
    • ▼  Juni 2022 (3)
      • Sulitnya Jadi Realistis
      • Belajar Nggak Neko-Neko
      • Spoonerism, Alasan di Balik Keselip Lidah
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (31)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

Intermeso Krisis 1/4 Abad lifestyle Opini Perempuan Podcast Poetry Review slice of life Thoughts

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.