Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram twitter LinkedIn YouTube Spotify Email

Notes of Little Sister




Sepertinya udah terlampau sering gue mention soal kehidupan personal yang gak terlalu suka berteman dengan banyak orang, agak pilih-pilih dan individualis, tapi gak pernah sekalipun gue mention betapa gue sangat menghargai pertemanan. Sebuah rasa yang gak bisa dengan mudah diekspresikan dan gak jarang salah diinterpretasikan oleh teman-teman gue.

Kehilangan tampaknya selalu jadi musuh buat setiap orang, karena sifatnya selalu melekat dengan perpisahan. Akhir-akhir ini gue sedang merasa kehilangan sosok-sosok terdekat yang dulu pernah mengisi hari-hari gue di masa sekolah. Gue punya beberapa teman dalam satu geng, dari SD sampai SMA, tapi hanya beberapa yang sampai saat ini masih get in touch, itupun jarang. Banyaknya hilang, atau yang menyedihkannya; keberadaan gue sudah dianggap tidak ada. Beberapa menghilang karena situasi yang mengharuskan kita berpencar dan hilang kontak, beberapa diputuskan oleh hubungan—yang setelah gue pikir-pikir sekarang cukup toxic sebetulnya. Dan ini adalah salah satu kenyataan dari kehilangan teman yang paling menyakitkan yang gue miliki, karena harus melibatkan perasaan orang lain bahkan sampai bikin sakit hati.

Entah kenapa dulu gue sebucin itu untuk mau aja nurut apa kata eks untuk menjauhi teman-teman gue yang menurutnya "gak cukup baik", wadda hell man. Pepatah "main dengan tukang minyak wangi akan kecipratan wanginya" seakan mengekang kita untuk hanya melihat dunia di atas hitam dan putih, karena banyak orang yang masih salah kaprah soal ini. Gue repeat ya, masih banyak orang yang salah kaprah dan gak bisa secara bijak mengartikan kalimatnya. Indeed, nasihat itu gak datang secara sembarangan karena termasuk hadits yang menjelaskan tentang cara memilih teman atau bagaimana kita menentukan pertemanan. Tapi yang gue rasa, negatifnya kebanyakan dari kita malah jadi buta mata dan hati enggan melihat sisi baik yang mungkin dimiliki si jahat. Kita jadi nggak bisa menghargai mereka-mereka yang ada di pihak antagonis karena yang kita tahu orang jahat gak boleh ditemanin—yang mana membawa kita pada sifat iblis; merasa diri lebih baik dari orang lain. Kebayang gak  sih gimana rasanya memakan bulat-bulat sesuatu tanpa dikunyah lamat-lamat? Seret, sesak, sakit dada. Itu juga yang terjadi kalau kita asal melahap sesuatu tanpa mau memaknai dan menyerap maksudnya. Secara gak langsung kita akan bisa menyakiti diri sendiri akibat ketidaktahuan kita. Berkumpul dengan orang-orang sholeh adalah anjuran yang mestinya kita laksanakan, tapi gak lantas membuat kita bisa dengan mudahnya menilai orang lain berdasarkan apa yang terlihat. Remember that people can change. Orang jahat bisa berubah, pun orang baik. Allah yang Maha Tahu Maha membolak-balikan hati kita.

Gak ada yang bisa mengelak, main sama anak baik-baik yang sholeh dan sholeha, sholat tepat waktu dan rajin sedekah akan secara gak langsung membawa positive vibe untuk kita melakukan hal yang sama. Tapi sis, soal hidup gak selamanya tentang bawang merah dan bawang putih. Gak semua hal hanya tentang hitam dan putih. Ada banyak spektrum warna yang bisa kita lihat, dan bisa kita pilih yang mana yang mau kita lihat. Gue yakin Allah pun gak ingin kita merasa congkak dan tinggi derajatnya dari orang-orang yang dianggap buruk. Allah gak pingin kita mengambil alih tugas-Nya atas menghakimi perilaku manusia lain.

Sampai sekarang gue masih nggak mengerti kenapa teman-teman gue dulu ini dianggap buruk. Cara ngomongnya? Cara bergaulnya? Man, gue menemukan yang lebih buruk dari itu di dunia perkuliahan, kalau memang itu yang jadi standard penilaian. Apa teman-teman gue menjerumuskan ke dunia gelap? Nah, dunia gelap kami cuma sebatas ngerumpi di kamar tanpa diterangi cahaya lampu. Apa teman-teman gue ini bikin gue malas dan bodoh di kelas? Nggak juga, sampai gue lulus dari sekolah, gue masih jadi salah satu yang terbaik di kelas dan mungkin bawa nama baik kelas gue satu sekolah. Terus, apa mereka bikin gue menjauh dari hobi gue dan waktu-waktu produktif gue? Lagi-lagi nggak, gue tetep seneng nulis, bahkan beberapa tulisan gue dulu sebelum dipost selalu gue kasih ke temen gue, dan gak ada tuh perkataan yang melemahkan gue. Mereka selalu support gue. Beberapa pertanyaan di atas adalah ciri-ciri dari pertemanan atau hubungan yang toxic. Jadi, setelah jawaban-jawaban gue di atas, apa bisa disimpulkan teman-teman gue dulu toxic?

Katakanlah ada semacam ketakutan bahwa gue akan terbawa ke hal-hal yang negatif—yang masih gue gak ngerti bagian mana negatifnya, itupun nggak jadi alasan untuk seseorang lantas ikut campur dengan kehidupan sosial seorang lainnya. Gue kenal dengan teman-teman gue ini sebelum gue punya pacar, malahan mereka yang ngedukung gue, but was that how they got paid for being friends? Gue yang punya wewenang atas diri gue sendiri, termasuk dalam memilih teman. Even kalau memang orang-orang di sekitar gue adalah orang-orang yang dicap tidak baik, gue masih punya kuasa untuk diri gue menentukan mana yang pantas dan tidak. Gue akan bisa memilah mana yang baik dan buruk, karena gue gak sebodoh itu untuk terjebak dalam spektrum yang dengan gampangnya mengkotak-kotakan perilaku orang.

Despite all that, manusia selalu punya sisi baik dan buruk dalam dirinya. Kita punya berbagai macam jenis perasaan dan kepribadian yang kadang bisa berubah-ubah. Tukang minyak wangi gak selamanya wangi, begitupun tukang angkut sampah gak selamanya bau sampah. Di antara bawang putih dan bawang merah ada bawang bombay yang seringkali terlupakan.

Dari perpisahan yang satu itu, gue belajar bahwa memanusiakan manusia ada banyak caranya. Termasuk bagaimana kita memandang seseorang tanpa harus terkukung dalam pola hitam dan putih, serta baik dan buruk adalah salah satu cara menghargai bahwa manusia sebagai makhluk sosial dan hamba sahaya adalah individu yang tidak luput dari kesalahan dan gak selamanya suci dari dosa. Lagipula, siapa sih kita yang berhak menilai seseorang baik dan buruk? Kenapa kita gak bisa lebih luas lagi melihat segala sesuatu yang ada dan berusaha lebih bijak menyikapinya? Bukankah kehadiran kita dalam hidup siapapun adalah sebagai momen untuk saling berkembang ke arah yang lebih baik? Terkadang kita memang harus menerima realita yang ada bahwa menjadi muslim tidak berarti kita lantas sempurna, sesempurna agamanya.

Sekarang, sebisa mungkin gue mempertahankan apa yang gue punya. Kerabat, sahabat, teman-teman, entah mereka merasakan hal yang sama ke gue atau nggak, tapi yang jelas memiliki mereka sampai detik ini adalah salah satu rasa syukur gue yang gak bisa diungkapkan lewat kata-kata. Lagipula, lingkar pertemanan gue udah cukup kecil, gak sanggup rasanya kalau harus kehilangan lagi.
Share
Tweet
Pin
Share
6 komentar

Menghadapi situasi pandemic di tahun 2020

You know, it's a nightmare, actually. 

Beberapa bulan lalu, gue baru aja start untuk kembali menata kehidupan yang semakin gak jelas dan gak terarah. Gue mulai bisa menerima semua yang terjadi dalam hidup gue berangsur-angsur, seperti ngejalanin praktik lapangan (PPL) dengan senang hati, dengan legowo, dan mulai semangat ngerjain skripsi yang tertunda lebih dari tujuh bulan lamanya—which has become a nightmare already for me. Gue mulai kembali menemukan versi diri gue yang dulu, yang gak mau pusing dan ribet dengan segala kecemasan diri, dan gampang lepas landas di arena tanpa banyak mikir. Ada tugas, yaudah babat, and turned out it was quite fun to do! Sibuk gue jadi lebih berharga. Gue hanya harus mengakhiri semua ini lebih cepat, pikir gue.

But then a real nightmare called covid-19 came to us. Saat gue lagi seneng-senengnya dateng ke sekolah dan bertemu dengan teman-teman yang menyenangkan, saat gue lagi semangat-semangatnya pergi ke perpustakaan buat skripsian, karena suasananya yang bikin tenang dan gak bikin gue pengen main medsos terus kayak di kosan. Awalnya gue masih optimis, it's not that bad to stay at home and doing anything online. I mean.. why not? This is what the digital era created for. Gue pikir gue masih bisa mengerjakan semuanya dari balik layar laptop. Literally, semuanya. Tapi ternyata ngerjain semuanya via online gak lantas bikin gue lebih semangat. Gue emang introvert akut, yang benci lama-lama ada di tempat keramaian, tapi diam di rumah untuk alasan pandemi gue rasa jadi mimpi buruk buat setiap orang. Kita jadi gak tenang. Banyak gelisah, bingung, stress, memikirkan rencana-rencana yang baru aja dibangun dan harus ditunda. Rasanya kayak diangkat setinggi-tingginya terus dijatuhin sekeras-kerasnya ke tanah. Gue seperti lagi dipermainin sama hidup; "nah kan, kena deh lu!" dan harus membangun rencana yang lain yang sesuai dengan kondisi sekarang—yang buat gue cukup menguras banyak pikiran dan kesehatan mental gue. I'm not saying i have an anxiety disorder or something because i haven't gone to an expert but this all chaos that's happening right now makes me mentally ill and tired. Gue selalu mulai mengerjakan sesuatu dengan emosi, dengan marah, dan dengan berat hati, apalagi kalau hal yang harus gue kerjain dirasa gak masuk akal dan mempersulit diri. Kalau bukan dinasehati berkali-kali dan berusaha menenangkan diri, gue mungkin gak akan mengerjakan satupun. Pekerjaan juga jadi terbengkalai. Padahal belum sebulan gue merasa bangga dan super seneng bisa juggling dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. I did even make money from my job. Pada akhirnya yang gue lakukan kebanyakan cuma diem. Sisanya paling milih ngejalanin hobi, kayak nyanyi-nyanyi, baca buku, nulis-nulis/bikin puisi-puisian, yang sama sekali gak ada hubungannya dengan segala pekerjaan yang harus gue selesain. Gue kembali nge-down, ngerasa depresi, stress, bahkan pas mau mulai ngerjain sesuatu gue terkadang ngerasa mual dan jijik duluan, yang pada akhirnya gak bikin gue bertindak apa-apa. Semua ini udah sampai pada titik dimana gue gak lagi mau mikirin keadaan orang lain di luar sana yang jauh lebih terpuruk menghadapi situasi pandemi hanya untuk bikin gue merasa lebih baik. Of course gue bersimpati, but it just doesn't work well for me. Setiap orang pasti punya struggle-nya masing-masing dan inilah bentuk perjuangan yang harus gue lalui.

Gue tahu, semuanya terkesan drama dan berlebihan. I also kept thinking that it was only me who felt  that way, it was only me who thought i am the only one, it was only me who couldn't get over it, karena sepanjang yang gue lihat, banyak orang yang seperti biasa aja ngejalanin kegiatan mereka di tengah pandemi, khususnya di lingkungan sekitar gue, masih banyak dari mereka yang lancar-lancar aja melalui semester akhirnya. Tapi semakin gue pikirin, semakin gue sadar bahwa lagi-lagi hidup kita gak bisa disamain dengan orang lain. Langkah kaki kita gak mesti selalu sama dengan orang lain. There are things that just don't go easy for some people and they always have a reason for that.

Pelan-pelan gue menata diri lagi. Membiarkan semuanya berjalan dengan damai dan tenang. Apalagi ketemu bulan suci Ramadhan, gue harus bisa lebih tabah dan husnudzon sama Yang Maha Pemberi Hidup. Beberapa pertanyaan perlahan mendapat jawaban. Terkadang, kita memang harus membiarkan semuanya mengalir dengan sendirinya. Terkadang kita hanya harus berjalan di atas pilihan yang sudah kita buat sendiri. Lalu jalanin apa yang ada di hadapan. Bergelut dengan segala kekhawatiran hanya bikin harapan dan rencana kita semakin tertunda. Dan lo tau gak sih lucunya apa? Bisa aja semua ini bagian dari akal busuk setan dan antek-anteknya untuk buat kita menjauh dari apa yang seharusnya diri kita bisa perbuat; ikhlas dan sabar.

2020 mungkin memang mimpi buruk buat kita semua. Bahkan mungkin 2020 jadi satu-satunya tahun yang ingin dilupakan semua orang di belahan dunia, tapi kita juga nggak bisa ngelak it gives us so many lessons to learn. Kita jadi sadar betapa banyak waktu yang terbuang hanya untuk ngejar kenyamanan urusan dunia sampai rela bertarung dengan carut marutnya, kita jadi lebih menghargai waktu-waktu bersama keluarga yang selama ini jarang didapat, plus waktu-waktu bersama kolega, temen-temen dan sahabat yang justru sering nyita kesibukan kita di luar sana. Kita jadi semakin membuka mata bahwa kesehatan itu nomor satu dan penting untuk dijaga, either kesehatan mental atau fisik kita, dan bahkan dengan kenyataan bahwa kita masih bernapas dengan baik saat bangun di pagi hari adalah sesuatu yang sekarang ini amat sangat disyukuri. 

So, ini pasti akan berakhir, insya Allah. Walaupun perjuangan kita sekarang lebih soal menghadapi sesama manusia yang egoismenya lebih besar daripada virus itu sendiri, gue percaya masih ada orang-orang waras di luar sana yang tetap sanggup menahan diri untuk nggak ikut-ikutan nyemplung di jalanan yang macet. Biarlah beauty vlogger dan suaminya yang viral itu lalai, asal kita jangan. Inget, asal kita jangan.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Terlalu Besar Untuk Gagal
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Just Listen
  • Bukan Salah Indonesia

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • The Phantom of the Opera: Di Balik Danau
  • Priority Chat
  • Cuma Cerita
  • Cuma Cerita #2
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
  • Kiamat Sudah Dekat
  • Matre: Realistis atau Materialistis?
  • Spoonerism, Alasan di Balik Keselip Lidah
  • Refleksi Dua Dekade

Blog Archive

  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (31)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ▼  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ▼  Mei 2020 (2)
      • Hitam Putih Pertemanan
      • 2020; Is Not Even a Year
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

digital marketing Intermeso karir Krisis 1/4 Abad lifestyle Opini Perempuan Podcast Poetry Review slice of life Thoughts

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.