Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram twitter LinkedIn YouTube Spotify Email

Notes of Little Sister



Ketika normalisasi sekadar egoisme semata


Akhir-akhir ini gue sering menemukan kata normalisasi dilontarkan oleh orang-orang di linimasa twitter—lagi-lagi twitter. Entahlah, platform yang satu ini kayaknya sering banget memunculkan banyak diskusi-diskusi yang gak jarang menimbulkan “war” antar sesama pengguna. Sebagian karena merasa pendapatnya benar, sebagian karena merasa tidak ingin terlihat bodoh dan kalah. Contoh dari bahasan soal normalisasi ini adalah, pernikahan tanpa resepsi, normalisasi menikah saat sudah siap atau di luar dari usia yang selama ini dijadikan standard oleh masyarakat, normalisasi pakaian wanita bukan sebagai simbol sex supaya bisa meng-counter narasi yang menyalahkan pakaian sebagai sebab pemerkosaan, normalisasi mengejar karir di usia 25, sampai dukungan untuk menormalisasi pernikahan sesama jenis.

Dalam KBBI, normalisasi sendiri berarti tindakan menjadikan normal (biasa) kembali; tindakan mengembalikan pada keadaan, hubungan dan sebagainya yang biasa atau yang normal. Well, technically, normalisasi adalah kegiatan menormalkan sesuatu yang sebelumnya sudah normal, namun karena berbagai alasan, menjadi rusak dan harus dikembalikan kondisinya.

Sementara normal sendiri memiliki arti: menurut aturan atau menurut pola yang umum; sesuai dan tidak menyimpang dari suatu norma atau kaidah; sesuai dengan keadaan yang biasa; tanpa cacat; tidak ada kelainan: bayi itu lahir dalam keadaan normal.

Gue tahu, pada praktiknya normal hanyalah sebuah kata yang dibangun oleh masyarakat itu sendiri berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku, yang beberapa bisa saja tidak sesuai dengan norma dan aturan. Normal adalah sesuatu yang hanya bisa dibuat jika terlihat di permukaan. Gue pribadi pun setuju dengan beberapa narasi yang digaungkan, since we live in toxic society that is always trying to control our lives which shouldn’t be their concern whatsoever. Tetapi yang membuat ini tampak lucu adalah, gak sedikit orang-orang yang ikut-ikutan mendukung berbagai normalisasi hanya karena merasa segala apapun yang berlaku di masyarakat sekarang ini adalah sucks. Sehingga tagar-tagar yang berseliweran itu kebanyakan didukung oleh opini yang kurang jelas dan argumentasi yang hanya mengandalkan arogansi, serta egoisme yang dilindungi dengan ketidaktahuan, karena orang-orang tampaknya tidak terlalu paham apa saja aturan-aturan atau stereotip yang tanpa alasan dinormalisasi oleh masyarakat sejak lampau, dan mana saja yang memang sudah normalnya begitu, namun dipaksakan untuk normal agar sejalan dengan egoisme.

Normalisasi independensi untuk memilih kehidupan sendiri

Cuitan tentang beberapa contoh normalisasi di atas adalah sesuatu yang sangat gue dukung, karena sepertinya segala macam pressure bahwa kita harus menikah di usia sekian, sukses sebelum berusia 40 tahun, harus punya anak saat sudah menikah, perempuan gak boleh bekerja saat sudah menikah, adalah aturan-aturan yang memang dibuat sendiri oleh masyarakat karena orang-orang terbiasa untuk melakukannya. Padahal persoalan semacam ini gak bisa kita generalisasikan. Di negara-negara maju, Jepang contohnya, nggak ada tuh sekarang para orangtua yang memaksa anak mereka untuk menikah sebelum usianya mencapai 30 tahun (mungkin ada, tapi kasusnya sangat jarang), bahkan pasangan yang memiliki anak pun persentasenya sangat sedikit dibandingkan mereka yang tetap mengejar karir dan hidup berdua saja. It means, normal yang satu ini memang diberlakukan tergantung dari kebiasaan si masyarakatnya, tidak terpaku pada aturan atau norma tertentu. Tapi memang gak menutup kemungkinan banyak juga orang-orang yang bersikap demikian karena adanya anjuran bahwa anak perempuan harus berdiam diri di rumah demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di luar sana. Walaupun begitu, anjuran ini seharusnya gak menjadi pengekang untuk seseorang berkarir dan melakukan pekerjaan di luar rumah, karena toh ada juga ayat lain yang menjelaskan untuk kita mengejar pendidikan setinggi-tingginya, baik laki-laki maupun perempuan.

Namun yang menjadi concern gue soal normalisasi ini adalah, gerakan mendukung pernikahan sesama jenis, which in my honest opinion, di Indonesia sendiri memang bukan sesuatu yang bisa dikatakan normal, baik secara norma sosial, agama, dan hukum negara mengenai Undang-Undang Perkawinan.

Tadi katanya normal itu hanya sebuah kata dan kondisi yang dibuat-buat oleh masyarakat umum, aturan-aturan yang berlaku dalam hukum mestinya bisa diubah dong? 

Terlalu kolot, konservatif.

Yaa nggak begitu juga. Gak semua hal yang sudah dibuat dari beberapa puluh tahun lalu, bahkan ratusan tahun lalu, bisa kita ubah mentah-mentah hanya karena mengikuti zaman. Memangnya kita mau mengikuti arus zaman yang jelas-jelas makin keras dan menyimpang? Apa orang-orang zaman dulu sebodoh itu sampai apa-apa yang diciptakan dari dulu disebut kolot dan gak sejalan? Bagaimana tentang agama yang memang sudah ada dari zaman dulu kala? Gak bisa dipakai juga untuk kehidupan sekarang?

Undang-undang, norma sosial, agama, regulasi, pokoknya segala aturan yang dibuat perihal perkawinan ini tidak bisa disamakan dengan stereotip yang beredar tentang karir, pilihan untuk memiliki anak atau tidak, dll, karena dibuat dengan proses yang matang dan gak main-main. Sementara aturan bahwa kita harus menikah muda, harus lulus kuliah umur sekian sekian, dan sebagainya, adalah sesuatu yang memang berasal dari stereotip masyarakat, yang lama-lama dijadikan normal.

So, lo accusing penyintas LGBTQ sebagai orang yang nggak normal, begitu?

Merujuk pada pengertian di atas, dan melihat kondisi di Indonesia yang sebagian besar heterogen, gue bisa bilang begitu. Dari sisi biologis pun, baik manusia maupun binatang, alamiahnya dipasangkan sebagai laki-laki dan perempuan, betina dan jantan, yang dapat menghasilkan keturunan dan generasi baru. Meski pada akhirnya ada berbagai dinamika yang terjadi dalam proses evolusi, seperti yang kita lihat sekarang. Oleh karena itu ditemukanlah orang-orang yang—baik secara alami atau tidak—memiliki orientasi seksual berbeda dengan identitas gendernya, yang kemudian dikelompokan menjadi heteroseksual, homoseksual, biseksual, dan aseksual. Beberapa asosiasi ilmuwan, seperti American Academy of Pediatrics (AAP) dan American Psychological Association (APA) pun berpendapat, bahwa orientasi seksual merupakan kombinasi kompleks yang melibatkan banyak faktor. Beberapa di antaranya adalah faktor biologis, psikologis, dan lingkungan. 

Baca juga: How I See Feminist as a Muslim

BUT, gue nggak semata-mata menjadi homophobic dengan bilang seperti itu. Setiap orang tentu punya pendapatnya sendiri tentang hal ini. Terserah mau mengambil kesimpulan dari mana, logika, agama, atau science. Gue sendiri berusaha untuk berpikir lebih bijak dan mencampurkan ketiganya, bahwa kita juga perlu yang namanya batasan. Tapi dari batasan-batasan itu bisa kita pilih yang mana yang memang berdasar dan yang mana yang tidak. Gue hanya khawatir kalau kita sembarangan menggunakan kata normalisasi, hingga kemudian orang-orang benar menormalkan sesuatu hanya karena ramai diperbincangkan, nilai-nilai moral, budaya dan agama pun akan luntur secara perlahan. 

Gimana sama masa depan cucu dan cicit-cicit kita jika hal yang dinormalisasi adalah semacam ini? Ngeri gak sih ngebayangin kalau nanti ada banyak anak yang lahir tanpa tahu siapa ayah dan ibu kandungnya karena dia diadopsi oleh pasangan-pasangan non-hetero, kemudian terbiasa dengan kondisi seperti itu dan membenarkan apa yang dia lihat. Yaah, walaupun kenyataannya banyak juga anak-anak dari pasangan berbeda jenis yang menderita dan tidak tumbuh dengan baik karena treatment dan didikan yang salah dalam keluarga. I just can't imagine what's worse than all of this.

Again, it's all just my opinion. Gak semua orang harus sependapat dengan gue, toh seperti yang gue bilang di postingan ini, gue sama sekali nggak bermaksud mendiskriminasi orang-orang di komunitas LGBTQ, masalah perbedaan konsep dan sudut pandang adalah sesuatu yang natural sebagai manusia. I know this may be very difficult for them to be different from the people they used to be, and they may have been struggling a lot to be accepted in their circle. Sepertinya gue gak akan bosan untuk mengatakan ini, we can disagree their concept to be the way they are and to live the life they want, but it doesn't mean we can't respect each other to be the better version of ourselves. 

Sejujurnya gue sangat menyayangkan orang-orang di media sosial yang menuduh seseorang homophobic hanya karena berseberangan dengan perspektif mereka soal ini. Dalam kasus berpakaian pun, ada juga cerita menarik yang gue temuin di twitter kemarin. Jadi, ada seorang cewek yang diperkosa di salah satu hotel setelah diajak minum-minum sama dua laki-laki—salah satunya si pelaku, yang sebetulnya gue gak tau motif mereka minum-minum di hotel itu apa. Kemudian orang-orang meributkan soal laki-lakinya yang gak bisa menahan diri dan menjaga pandangan, terus membela si perempuan yang jelas menjadi korban pemerkosaan. Ada juga yang menyalahkan si korban karena dia yang udah mabok dan mau aja diajak ke hotel sama cowok—walaupun cuma ngobrol dan gak pesen room misalnya. Dari perdebatan itu juga muncul narasi untuk jangan menyalahkan pakaian korban pemerkosaan, kalau memang cowonya yang nafsu ya dia yang salah. 

Honestly, gue melihat dua-duanya gak ada yang benar, sih. Kalau gue pribadi, minum sama cowok di restoran hotel dan ceweknya cuma gue sendiri aja udah kelihatan gak beres. But yash, gak lantas gue juga membela si cowok lah. Rapist gak pernah bisa dibenarkan apapun alasannya, tapi kita sebagai warga negara khususnya masyarakat beragama pun tahu bahwa alkohol bukan sesuatu yang diperbolehkan. Apalagi berurusan sama hotel-hotelan, serem sih gue ngebayanginnya. Yah, gak ada habisnya memang kalau ngomongin soal kelakuan-kelakuan pengguna medsos zaman sekarang yang meng-counter argumen orang lain untuk jangan bawa-bawa agama, dll. Padahal negara dan agama itu dua variabel yang terkait, karena kita tinggal di sebuah negara yang berpancasila, punya batasan dan bukan liberal—seharusnya.

Intinya, semua orang berhak melakukan apa yang dia suka, apa yang dia mau dengan responsibility yang dipegang masing-masing. Tapi, please jangan memaksakan sesuatu yang berada di luar batas daripada yang kita yakini selama ini. Kalau lo merasa nggak nyaman dengan suatu aturan dan berharap society menerima hal yang menurut lo nyaman, jalannya gak serta merta harus dinormalisasi. Ada proses yang panjang di dalamnya. Kita juga perlu memikirkan dampak jangka panjang, apakah yang kita suarakan itu memberi pengaruh positif untuk keberlangsungan masa depan, atau justru meninggalkan kesan buruk.

Mending lo menormalisasi got atau gorong-gorong yang banyak sampah dan kotor lah misalnya, menjadi saluran irigasi yang diisi banyak ikan koi dan ramah lingkungan kayak di Jepang. That would be great! Kira-kira ada ide-ide lain?

 

Share
Tweet
Pin
Share
31 komentar

Berpuisi tentang makna

Halo! Semenjak mulai rajin nyicil nulis sedikit demi sedikit, baru lewat seminggu gak update kok kerasanya lama banget yaa😂. Seminggu ini kayaknya bisa kehitung jari kapan aja gue blogwalking, jadi sedih karena belum bisa menyambangi blog teman-teman dan kakak-kakak sekalian, karena dari kemarin sibuk kejar setoran untuk postingan di blog. Penyebabnya adalah beberapa minggu kedepan gue mau fokus dulu selesain tugas-tugas yang utama, jadi gue sebisa mungkin menyiapkan beberapa postingan yang siap update biar gak kosong amat blog ini:')

By the way, semoga nggak bosan yaa dengan puisi2an, karena gue bawa sesuatu yang baru! HEHEHE. Jadi, gue baru inget pernah buat podcast ala-ala yang namanya sama kayak judul blog ini, alias Notes of Little Sister beberapa bulan lalu. Podcast itu isinya semacam puisi atau kumpulan kata-kata puitis gitu (yang sebenernya curhat sih😝), yang diilhami sama akun instagram ala-ala pula, dan baru gue isi dua postingan. Podcast yang episode 2 nya berjudul Pertemuan, bisa didengarkan di bawah ini. 



Untuk kedepannya mungkin gue bakalan masukin juga puisi-puisi di blog ini ke dalam podcast supaya podcastnya tetap hidup, dimulai dari postingan yang ini gue jadiin episode 3. Yaah, semoga ini bukan sekadar wacana. Oh iya, kalau suara gue terdengar annoying, skip aja ya, willing untuk baca tulisannya aja udah cukup banget kok! Ini cuma selingan aja biar gak bosan dan kosong kerasanya, dan sejujurnya gue pun gak mendalami soal sastra, jadi jangan harap akan sewow itu pembawaannya😁. Okelah kalau begitu, kita langsung saja! 

Share
Tweet
Pin
Share
32 komentar

Hari minggu waktunya berpuisi! Kategori ini belum pernah gue bikin sih sebelumnya, tiba-tiba kepikiran aja tentang puisi saat lagi ngubek-ngubek notes buat mencari sisa-sisa draft yang belum dilanjut dan bertemu lah dengan sepucuk kegelisahan beberapa waktu lalu. Kebetulan gue memang suka juga nulis-nulis puisi alakadarnya, seringnya cuma puisi satu bait yang biasa di-upload di instagram Notes of Little Sister . Untuk versi yang panjang-panjangnya, gue berencana buat posting di blog. Akhir kata, anggap lah puisi menyedihkan di bawah ini sebagai pembuka, ya! Sorry if it's too dark to read, i promise will write something nice and happy next time!😁 xoxo

*I wrote this three months ago, when everything seems blurry since coronavirus invaded my country.
Share
Tweet
Pin
Share
24 komentar

review film little women

Baca dulu postingan ini sebelum mengenal cewek-cewek tangguh di Massachusetts:

Keliling Paris dan Concord Dalam Dua Hari

o-o

Setelah jalan-jalan ke Perancis, gue istirahat sebentar dan beralih ke Massachusetts, masih di abad ke-19, yakni tahun 1868, setelah berakhirnya perang saudara Amerika. Beberapa tahun perjalanan setelah Revolusi Perancis yang dipimpin Eddie Radmayne dan Aaron Tveit. 

Sebelum itu gue mau ngingetin nih, postingan yang ini dan sebelumnya cuma sebatas review abal-abal, selebihnya cerita plus pendapat gue soal film keduanya, bukan konten khusus review yang terstruktur dan jelas karena sejujurnya gue nggak sebakat itu untuk review sesuatu😂 Terakhir kali gue nge-review film itu waktu ada tugas Sakubun atau karangan sekitar dua tahun lalu *hmm lumayan lama. Jadi, yeah, intinya gue cuma pingin sharing soal tontonan gue beberapa hari ini. Yuuk mari kita lanjoott!
Share
Tweet
Pin
Share
18 komentar

Review Film Les Miserables
Pertama-tama, mari do'akan gue supaya beneran bisa keliling Eropa dan Amerika suatu hari nanti😂

Baiklah, kita mulai aja✈️! Beberapa hari yang lalu gue jalan-jalan ke Toulon dan Paris sama ke Concord, Massachusetts, lewat film Les Misérables dan Little Women. Film berlatar abad 19 kebawah selalu menarik buat gue karena kita seperti benar-benar diajak untuk menikmati suasana di masa perang dulu, atau kalau bukan masa perang ya suasana di negara-negara Barat atau Eropa jaman dulu. Sejujurnya gue udah tau kedua film ini dari lama, apalagi Les Misérables yang tayang di tahun 2012. Untuk film Little Women sendiri gue udah tau sejak Emma Watson mulai gencar promosi film ini di instagramnya, tapi gue baru punya keinginan untuk binge watching akhir-akhir ini. Yep, i'm the type of person who will watch something because i want to, not only because i know it.

Okay langsung sajaa!

Review Film Les Miserables

Les Misérables bercerita tentang perjuangan mantan seorang narapidana, Jean Valjean yang menjalani hukuman selama 19 tahun lamanya di atas kapal kerja paksa hanya karena mencuri sebongkah roti, yang saat itu terpaksa ia lakukan untuk memberi makan anak dari saudarinya yang kelaparan. Saat bebas dari masa tahanannya, hidup Jean Valjean tidak lantas benar-benar bebas. Jelas karena statusnya sebagai mantan napi, tidak mudah bagi Jean Valjean untuk bisa hidup normal dan mencari pekerjaan seperti orang tanpa dosa. Belum lagi dengan kenyataan dia harus selalu berhadapan dengan Javert, seorang inspektur polisi yang menganggap dirinya bersih dan sangat menjunjung tinggi hukum, yang selalu mengincarnya saat Valjean menghilang dan membuang surat pembebasan bersyaratnya. 

Kisah Les Misérables ini nggak hanya menceritakan tentang Jean Valjean, tapi juga menampilkan kehidupan rakyat kota Paris dan Toulon (mostly di kota ini sih) pada masa itu dan orang-orang di sekitar Jean Valjean, yaitu Fantine, seorang buruh yang pernah bekerja di pabrik milik Monsieur Le Mayor yang sebenarnya adalah Jean Valjean, merelakan hidupnya bekerja di tempat prostitusi agar dapat menghidupi anaknya yang dititipkan pada pasangan Thenardier. Kemudian ada Cosette (anak dari Fantine yang kemudian diangkat Valjean menjadi anaknya), pasangan suami istri Thenardier dan Madame Thenardier yang picik dan penipu, namun juga komikal, aktivis Revolusi Perancis atau Republikan seperti Marius Portmency dan Enjolras, Eponine yang merupakan anak dari pasangan Thenardier dan mencintai Marius, dan masih banyak lagi. Karena latar cerita ini adalah abad 18, 15 tahun setelah dimulainya Revolusi Perancis, genrenya termasuk fiksi sejarah. Les Misérables sendiri jika diterjemahkan berarti orang-orang yang malang, sangat menggambarkan isi cerita secara general.

review film les miserables

First of all, gue nggak bisa sepenuhnya membandingkan film ini, baik dengan novel maupun drama musikalnya karena pertama, gue nggak punya novelnya, dan kedua karena gue belum pernah nonton langsung drama musikalnya, which is ada di Broadway dan West End. Namun dari yang gue tahu, film dengan durasi kurang lebih 2,5 jam ini rasanya gak cukup untuk menceritakan dinamika kisah perjalanan Jean Valjean secara jelas, seperti bagaimana dia melalui hari-hari yang sulit saat meninggalkan sosok "Jean Valjean" dan berganti nama menjadi Monsieur Madeleine yang sukses di kota itu dan dikenal akan kebaikan hatinya, sehingga bisa diangkat menjadi seorang walikota. Kemudian bagaimana dia menjalani hari-harinya setelah mengadopsi Cosette dan terpaksa harus hidup kembali dalam pelarian selama bertahun-tahun setelah mengakui jati dirinya yang asli. Oleh karena itu alur ceritanya akan terasa begitu cepat, sehingga kita seakan ngga diberi jeda untuk bisa bernapas sebentar, sebab gak mungkin novel sebanyak 1900 halaman—yang sekaligus dikenal sebagai novel tertebal—bisa muat untuk diceritakan secara detail dalam sebuah film. Meski begitu, secara keseluruhan ceritanya bisa dinikmati dan tetap masuk akal untuk mewakili garis besar isi novel. Novel Les Misérables sendiri ditulis oleh Victor Hugo, diterbitkan pertama kali pada tahun 1862, dan secara umum dianggap sebagai salah satu novel terbesar pada abad kesembilan belas. 

Selanjutnya gue bisa sedikit membedakan antara film ini dengan drama musikalnya dari segi vokal. Of course, gue nggak berekspektasi bahwa feel musikalnya akan sekental di Broadway maupun West End, karena pemainnya memang bukan aktor dan aktris musikal. Mungkin cuma Hugh Jackman, Samantha Barks sama Aaron Tveit yang berpengalaman sebagai aktor musikal, sisanya aktor-aktor yang biasa kita temuin di hollywood yang memang punya bakat nyanyi. However, akting mereka udah pasti gak bisa diragukan and the way they sing the numbers wasn't that bad kok. *Iyalah, orang Anne Hathaway aja sampe dapet Piala Oscar dan Golden Globe Award, begitu juga Hugh Jackman yang menang Best Actor di Golden Globe. Gue hanya terbiasa dengerin versi teater musikalnya. Btw, dari film ini gue jadi tau kalau Eddie Radmayne bisa nyanyi dan suaranya oke punya! Doi meranin Marius, aktivis yang pura-pura miskin padahal cucu dari bangsawan, dan jatuh cinta sama Cosette. Ketauan kan dari sini ada benih-benih cinta segitiganya:)

review film les miserables

Overall, film ini sangat menyentuh dan bikin gue pengen mewek di beberapa part. Apalagi di scene terakhir dimana Valjean berhalusinasi ketemu Fantine saat ajal menjemputnya, lalu saat Cosette mendatanginya, ada rasa sedih dan sesak yang tertahan saat ngeliat hubungan ayah dan anak angkat harus berpisah tepat setelah Cosette menikah dengan Marius. Ditambah scene saat Valjean berjalan menuju "peristirahatan" terakhirnya ditemani sang Uskup yang menjadi sosok di balik perubahan hidup Jean Valjean di awal cerita, dan Marius jadi satu-satunya orang yang masih hidup yang mendengar lagu tentang revolusi alias lagu Do You Hear the People Sing di akhir bikin sedih gak ketulungan. Iya, dia jadi satu-satunya aktivis yang selamat pada pemberontakan itu. Sedih banget😭 

Satu lagi yang bikin gue beneran nangis walaupun nonton berkali-kali adalah saat Gavroche, sosok anak kecil yang tergabung dalam barisan aktivis French Revolution mati ditembak di depan barikade. Dia adalah salah satu tokoh favorit gue di film ini, karena bayangin aja anak kecil, punya semangat juang, innocent, dan lucu at the same time, adalah sesuatu yang jarang ditemukan di dalam film peperangan. By the way dari sini gue jadi tahu bahwa pada sekitar abad itu, di Perancis memang banyak sekali anak-anak kecil yang tumbuh di jalan dan berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Gavroche dan beberapa temannya mungkin representasi dari anak-anak yang lahir di era itu.

review film les miserables

Dan ya, lagi-lagi ditambah musical score-nya yang khas dan menggugah bikin gue semangat buat dengerin sampe beres. Karena film ini benar-benar fully musical sampe ke dialog-dialognya, gak kaya beberapa film musikal Disney yang masih ada beberapa dialog antar pemain, jadi buat sebagian orang pasti ada yang gak tahan dikit-dikit nyanyi. Padahal nyanyinya pun  gak yang happy dan lovey dovey gitu, nggak. Semuanya tentang perjuangan dan rasa sakit. Jujur gue pertama tau Les Miz ini dari lagu-lagu/score-nya, since i am a big fan of musical. Jadi gak heran kalau setelah nonton ini, lagu One Day More, I Dreamed a Dream, Suddenly, Do You Hear the People Sing akan terus terngiang-ngiang di telinga gue. Habis ada semacam semangat revolusi yang bisa gue tangkap dari beberapa lagu itu. Oh iya, tadi gue sempet bilang kalau film musikal ini gak sekental musical theater di Broadway dan West End, no doubt karena memang ini film, bukan teater. So yeah, since it's a musical film, semua yang ada dalam film ini bisa dibilang adalah kombinasi yang perfect dan incredible. Dari mulai akting, musikalisasi, kostum, studio, sampai urusan tata rias. Makanya mereka benar-benar pantes buat dapetin penghargaan bergengsi.


Despite dari beberapa kekurangan dalam film ini yang dilayangkan beberapa orang, ada beberapa hal yang
 gak kalah penting buat dibagikan, yakni pesan moralnya. Tema cerita yang begitu kompleks dan luas, membuat film ini sarat akan pesan tentang agama, percintaan, dan kehidupan sosial yang begitu represif di bawah monarki Perancis. Plus bagaimana kaitannya antara cinta, agama dan moralitas dijadikan satu dalam beberapa adegan. Seperti saat Uskup yang baik hati membantu membebaskan Valjean dari polisi setelah dia ketahuan mencuri silverware dari gerejanya, dengan mengatakan bahwa dia memang memberikan barang-barang itu dan Valjean tidak mencurinya, padahal di malam harinya Jean Valjen telah ditolong oleh Uskup tersebut dengan diberi makan dan tempat singgah. 

Perbuatan Uskup itupun telah mendinginkan hati Jean Valjean dari dendam yang dalam untuk kemudian melihat Tuhan dan hidup dengan cinta. Kehidupan rakyat Perancis pada masa itu sepertinya memang masih begitu kental dengan katolik romanya, dibandingkan sekarang yang justru setengah populasi diketahui menjadi atheis / tidak ber-Tuhan, yakni 25.982.320 - 32.628.960 atheis, sekitar 43-54% dari total populasi.

Terakhir nih informasi yang menurut gue penting, Revolusi Perancis yang digaungkan kelompok Republikan yang dipimpin Enjolras dan Marius dalam film ini sebetulnya adalah Pemberontakan Juni yang terjadi pada tahun 1832, bisa baca disini untuk lebih lengkapnya. Ini salah satu yang membuat gue nggak menyesal menghabiskan berjam-jam film musikal ini, ada sejarah yang nyata di balik kisah fiksi seorang pencuri roti di pinggiran kota di Perancis. Karenanya, gue jadi riset kecil-kecilan tentang perjuangan Revolusi Perancis yang nggak ada habisnya pada masa itu. Semoga delapan tahun belum begitu terlambat buat gue menyaksikan masterpiece ini.



Klik postingan selanjutnya di bawah ini untuk film Little Women:

Belajar Berproses Lewat Film Little Women


Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar
Gambar hanya pemanis

Hai semua! Kayaknya udah lama banget gue nggak cerita-cerita yang personal gitu. Sebenarnya emang tujuan awal gue ngeblog itu pengen buat konten-konten yang edukatif dan paling nggak informatif, walaupun banyaknya diselingin sama keluhan-keluhan gue soal dunia maya yang gak ada abisnya. Karena gue lagi stuck juga minggu ini mau nulis apa lagi, sekarang gapapa lah ya kita lebih santuy dikit, berhubung ada dua draft yang otw publish—even tho gue gak tau si draft ini bakal informatif apa nggak😂. Itung-itung menghidupkan kembali suasana blog sepuluh tahun yang lalu yang isinya gak jauh-jauh dari curhat, curhat, dan curhat—like totally curhat. 

Jadi, dua hari yang lalu tuh jam tidur gue mulai ancur-ancuran lagi. Awalnya gara gara maag gue kambuh kayaknya setelah minum kopi dan belum makan nasi, jadilah gue gak bisa tidur dan malah ended up ngedit logo buat blog gue—as you can see, gue bikin logo / header baru supaya lebih sedep gitu di mata. Gara-gara begadang ini, alhasil kemarin gue baru tidur kira-kira jam enam kurang dan bangun jam setengah satu siang. *Jangan ditiru!* Hilang dah rezeki gue pagi itu dipatok ayam (kata emak sih gitu, kalau bangun siang nanti rezeki kita dipatok ayam). Setelah makan siang bentar dan menyadari dunia yang sedang cerah, gue curcol lah sama doi, "sebel banget gak sih cuacanya cerah gini tapi bangun siang dan gak kemana-mana". Turns out dia merasakan hal yang sama dan akhirnya kita memutuskan buat jalan-jalan sore di sekitar Parongpong, deket-deket Lembang. Karena pas sore nya cuaca mulai kerasa dingin, tidak lupa menggosok gigi, eh bukan ya *garingsekaligue*. Tidak lupa memakai jaket dan masker dongg. Tenang, sebelum itu gue mandi dan dandan dulu kok, walaupun ujung-ujungnya sedikit menyesal karena kan gue pake masker dan cuma keluar buat JJS, kenapa pula harus me'apan:)

Kita berdua jalan aja tanpa tujuan, naik-naik ke puncak gunung gitu, ditemani angin Lembang yang sepoi-sepoi dan jalanan yang berkelok-kelok. Setelah kurang lebih sejam berkendara, kita nemu kedai kecil gitu yang isinya jualan jagung bakar, ketan bakar, dll. Sebenernya kita udah lewatin kedai ini sebelumnya, tapi karena masih pengen jalan jadi dilewat tuh, dan memutuskan buat mampir disitu pas pulangnya. Kita pesen jagung bakar dua, sama teh pucuk. Bukan teh pucuk sih, lupa gue namanya. Pokoknya kita duduk-duduk disitu bentar, sambil dia sesekali motret matahari yang otw tenggelam, walaupun agak useless pada akhirnya karena tertutup pohon-pohon tinggi. 


Nah, pas duduk-duduk di bangku kayu itu ada kejadian lucu! Bangku yang kita dudukin patah dan doi jatoh ngejengkang dong! HAHAHA. Gue gak jatoh karena bisa langsung bangun, tapi malangnya celana gue juga nyangkut di paku gitu dan si bumbu jagung bakarnya nempel di celana gue *ouch*. Sementara doi gak bisa bangun karena gue ngehalangin dia, alhasil dia ngejengkang lama kayak bayi mau ditimbang. Sumpah ini tuh ngakakable!🤣🤣🤣, udahannya kita cuma bisa ketawa-ketawa gak kuat. Bapak-bapak tukang jagungnya juga ikut ketawa, sambil agak merasa bersalah gitu karena gak ngingetin kita soal bangku kayu yang udah reyot. Sambil masih sesekali ngetawain kejadian tadi, kita pindah duduk dan ngabisin jagung yang masih tersisa. Bercengkrama soal rutinitas dan waktu yang semakin kesini semakin kerasa cepet berlalu. Gak lama setelah itu pembeli mulai bertandang satu persatu, mungkin karena ngeliat kita yang ngaso disitu ehe, Alhamdulillah ya ngerusakin bangku membawa rezeki. 

Setelah dari situ kita mutusin ke Ciwalk bentar buat beli gelang. Awalnya ragu-ragu gitu sih semenjak ada klaster baru ODP yang meningkat sebanyak 1200-an lebih di Secapa AD, tapi karena insya Allah kita taat aturan, jadi jalan sebentar kesana. Karena hari sudah menjelang maghrib dan niatnya cuma untuk beli gelang, setelah dari situ kita makan dan pulang, deh. Hari kemarin kerasa singkat banget karena gue sama sekali gak menikmati hari selama 24 jam. Sungguh menyesal bangun siang. Btw jangan suudzon gue nggak sholat ya, kebetulan gue lagi halangan, makanya santuy ae🤘🏻. Oh iya! Kita gak foto-foto sama sekali karena memang tujuannya cuma pingin menikmati sore, beda cerita kalau kita keluar mau hunting foto buat instagram LOL. Lagi-lagi instagram dan segala keindahan di baliknya. Apalah artinya sebuah foto kalau kita bisa nyaman dan happy dengan real life kita?

Seminggu ini sebetulnya gak banyak cerita yang bener-bener bisa gue bagiin, sih, tapi hari kemarin cukup lah buat menghibur gue dari kerumetan-kerumetan yang ada. Oh iya minggu kemarin tuh gue dihantui perasaan bingung sama kampus yang gak juga memberi edaran atau penjelasan lebih lanjut perihal keringanan UKT, sementara Kemendikbud udah ngasih peraturan baru soal pembayaran UKT/BKT sebagai respon atas mahasiswa yang orangtuanya terdampak COVID-19. Gue pribadi pun merasa keberatan harus bayar UKT full hanya untuk 6 SKS yang mana ini juga bukan sesuatu yang gue harapkan. Iyalah, target gue sebelumnya tuh Agustus ini maksimal gue bisa sidang, tapi karena berbagai hambatan yang ada setelah corona datang ke Indonesia, penelitian gue tertunda dan terpaksa skripsi harus dilanjut di semester berikutnya. Beruntung beberapa hari kemudian surat edaran resmi yang menyatakan adanya keringanan atau bantuan UKT disebar oleh pihak kampus. Tapi lagi-lagi persyaratannya ribet banget cuy, harus ada wawancara lah, ini lah, itu lah, padahal yang gue tahu dari kementerian itu buat mahasiswa semester 9 ke atas yang ngontrak SKS maksimal 6 udah otomatis ada potongan lima puluh persen. Entahlah mana yang benar, apa gue yang memang kudet atau sok tau, atau memang pada praktiknya diserahkan lagi ke tiap-tiap uni sehingga lahirlah kebijakan itu, yang jelas sih gue tetep bayar full kayaknya. Walaupun rektornya bilang gak ada kuota sama sekali, somehow ribet aja buat gue harus ada persyaratan ini itu. Yah, basically memang gue aja sih yang gak mau ribet🙃. Do'akan  gue bisa lulus semester depan ini ya! Pokoknya 2021 gue pingin lepas dulu dari dunia perkuliahan dan seisinya. Kenapa "dulu"? Karena gue masih ada harapan untuk mau lanjut sekolah, terlepas dari perkuliahan di semester-semester lalu yang bikin gue trauma. I don't think i've gone through it well enough so there is still hope to be pursued.

Lastly, sepertinya minggu ini gue akan lanjut nge-freelance lagi, karena tabungan gue udah menipis gara-gara mantengin shopee kemarin, hadeuuh. Dah deh segitu dulu blog yang random hari ini. Satu-satunya pesan yang mungkin bisa nempel dari postingan kali ini adalah, jangan begadang!

Eh iya satu lagi, buat yang baru-baru ini ngunjungin blog gue, boleh dibaca postingan gue di bawah ini ya! Siapa tau bermanfaat hehe, cheerio!

Indonesia Krisis Moral, Terlalu Besar Untuk Gagal, Diam itu Bukan Emas

Share
Tweet
Pin
Share
24 komentar
Challenge yang nge-trend di twitter

Hai, folks! Masih ingatkah kalian dengan kisah Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso? Roro Jonggrang, putri Prabu Boko yang diserang oleh pasukan Bandung Bondowoso, dikenal akan kecantikannya dan saat itu memikat hati Bondowoso. Saat ingin meminangnya, Roro memberi tantangan atau syarat untuk Bandung Bondowoso membuat seribu candi dalam satu malam agar bisa menikahinya. Misi itu berakhir dengan kekalahan, karena Roro Jonggrang, yang tidak mengira Bondowoso akan mampu menyelesaikan misinya dengan bantuan jin itu, segera meminta dayang-dayangnya untuk membunyikan lesung agar Bondowoso mengira bahwa hari sudah fajar dan agar dia tidak bisa menyelesaikan satu candi terakhir untuk Roro. Kisah legenda ini sejak dulu disebut menjadi asal usul Candi Sewu atau Candi Seribu. Namun ada juga yang mengatakan legenda ini adalah latar peristiwa dari Candi Prambanan.

Cerita legenda memang selalu jadi dongeng tidur yang menarik untuk diceritakan, apalagi di masa-masa gadget belum membumi seperti sekarang. Nah, tapi sayang sekali hari ini gue gak akan bercerita tentang legendanya, melainkan tentang tantangan atau syarat yang diberikan Roro Jonggrang kepada Bandung Bondowoso. Entah kenapa hal semacam ini rasanya sering banget kita temuin di cerita-cerita rakyat, misalnya Sangkuriang yang disuruh buat perahu dalam satu malam oleh Dayang Sumbi, yang ternyata adalah ibu kandungnya. Gue pikir hal itu cuma terjadi di cerita-cerita legenda, tapi ternyata di kehidupan sekarang pun ada, bahkan bisa dibalut secara modern lewat platform Twitter.

Anak-anak twitter pasti tahu nih, banyak banget gambar screenshot atau retweet berseliweran yang isinya seputar permintaan untuk memenuhi syarat-syarat atau challenge yang dikasih seseorang ke dirinya, entah itu dari gebetan dia, atau stranger yang pengen confess tapi malu, atau teman yang pengen ngasih sesuatu. Karena gue gak pingin nyolong gambar dari mana-mana, jadi sebagai contoh gue tulis di bawah;

"999 Likes 3333 RT selama tiga hari nanti aku terima kamu jadi pacar aku!"
"300 Likes aku confess."
"1000 RT dalam empat hari nanti aku kasih Bittersweet by Najla!" *seenak itukah Bittersweet by Najla? Tolong kasih tau guee!
"444 RT 222 Likes gue bongkar aib mantan gue!" (ini ada, serius)

Awalnya gue pikir sih ini biasa aja, dan mungkin memang biasa aja bagi sebagian orang. Tapi semakin gue lihat, semakin gue amati, semakin gue pikirin, kok lama-lama makin banyak orang yang kasih tantangan model begini ke orang lain, hanya untuk memberi atau mendapatkan sesuatu. Pertama-tama, gue gak melihat ini sebagai tindakan kriminal kok sampe harus dikritik sedemikian rupa, jelas nggak, cuma heran aja kenapa ya ada orang yang sebegitu merasa superiornya sampai harus buat orang lain bersusah payah hanya agar mendapat apa yang dia mau, atau hanya agar memberi sesuatu. Maksud gue, kenapa segala sesuatunya dibuat rumit, sih? Padahal kalau lo mau confess, ya tinggal confess aja, gak perlu bikin orang lain merasa kesulitan. Kan kita gak tau tuh orang kesehariannya lagi sibuk apa nggak? Dan kalau lo mau ngasih hadiah, ya tinggal kasih aja, kenapa harus bikin orang lain seolah terlalu mengharapkan pemberian lo sampai harus nuntasin challenge itu. Terus nih, kalau dia mau nerima seseorang buat jadi pacarnya, kenapa harus perjuangan semacam itu? Apakah sekarang angka dan engagement di media sosial adalah solusi dari setiap masalah?

Baca juga: Generasi Hobi Bercanda

Then some people yelled at me, "it's just a game, you bitch!", "ada masalah apa sih mba hidupnya?", "i didn't invite you blablabla why did you come to my party?"

I know, that is basically just a game you said. Mungkin ada beberapa yang memang untuk kesenangan aja, tapi ada juga yang benar benar menjadikan itu masalah serius, dan apakah gue salah kalau berusaha untuk peduli dengan hal yang dianggap remeh macam begini? 

Okay, sepertinya gue harus tekankan ini supaya gak ada lagi orang-orang yang misunderstood dan langsung menyerang twit gue seperti beberapa minggu lalu *hiks* (tapi gue percaya sih warga blogger baik-baik dan pengertian😍). Gue nggak meminta orang lain untuk sependapat dengan gue, gue pun nggak ngejudge orang-orang yang fine-fine aja dengan aktivitas itu. Entah kenapa gue hanya heran, seperti yang gue bilang di atas. Mungkin ini didasari sama prinsip gue yang apa-apa gak mau dibikin ribet kali ya. Sejujurnya dari dulu, misal waktu gue pdkt sama cowok, gue gak menganggap perjuangan untuk bisa dapetin gue itu adalah sesuatu yang wow. Kalau gue udah suka sama dia, dan udah merasa cocok setelah proses pendekatan itu, ya udah coba jalanin aja dulu. Kalau nggak ya bilang gak bisa, gak perlu merasa gak enakan. Gak ada yang namanya ribet "kamu harus membuatkan aku kolam empang berisi mujaer betina dalam satu malam!", nggak. Sesimple kalau gue mau ya mau, nggak ya nggak. Tanpa harus menganggap orang lain inferior dengan harus berbuat sesuatu dulu.

Situasi ini bikin gue berpikir, seracun itu ya media sosial sampai apa-apa yang "kekinian" alias trendy harus kita ikutin. Semacam ada tekanan tersendiri untuk selalu up to date dan tau apa aja yang lagi rame dibicarain. For some reasons, topik yang ramai dibicarakan sebetulnya penting untuk membantu kita mengasah critical thinking dengan berdiskusi dengan orang lain dan mencari banyak informasi. Namun di sisi lain, banyak juga hal gak penting yang seharusnya gak perlu kita angkat, tapi malah selalu muncul di permukaan. Ibarat ikan dikasih makan, dikasih remahan roti aja misalnya, langsung berkerumun saling rebutan. Padahal itu cuma remah-remah, bukan makanan utuh. Kalau udah gitu, akibatnya media sosial yang kita pegang jadi toxic ke diri sendiri. Kita gak punya batasan dalam bermain medsos dan gak bisa mem-filter atas apa aja yang berhak kita konsumsi. Hal yang toxic kan gak cuma ada dalam pertemanan atau hubungan percintaan, atau bahkan zat kimia malah, tapi juga bisa terjadi lewat media sosial. 

Sebenernya kita udah kenal dengan yang namanya #challenge ini itu di medsos tuh dari lama. Lo pasti sering nemuin kan video challenge di YouTube dan tiktok. Entah tantangan makan pedes, mukbang, joged, bikin video make-up kayak pass the brush challenge, sampe ada juga challenge yang bisa melukai diri sendiri semacam bird box challenge. Nah karena adanya trend-trend semacam ini orang-orang jadi ada keinginan untuk harus melakukan hal yang sama. Sehingga sampe sekarang kita seolah terbiasa kalau ada orang-orang yang ikut-ikutan melakukan sesuatu di medsos. Bahkan yang mirisnya, generasi FOMO (Fear of Missing Out) ini gak sadar kalau mereka punya kecenderungan untuk ingin melakukan semua hal yang ngetrend di internet.

Memang sih, gak semua kegiatannya seburuk itu untuk dilakukan, sebagian cuma untuk ngisi kegabutan. Cuma menurut gue yang menjadikan ini lebih buruk adalah pemikiran yang menganggap semua yang happening di jagat maya adalah sesuatu yang big. Misalnya, melakukan hal-hal yang trendy dikit dianggap keren—as i mentioned above, dianggap paling maju dan gak kuno, padahal bisa aja itu gak memberi efek apa-apa untuk dirinya, atau bahkan sebaliknya malah ngerugiin orang lain—bikin orang lain insecure, triggered sama hal yang bikin trauma, dll, who knows. Kita jadi seolah membiarkan diri kita terbawa arus yang gak jelas kemana dan darimana mengalirnya. Padahal gak semua hal harus kita ikutin, gak semua hal harus kita makan bulat-bulat. Meskipun pada akhirnya, gue menyadari bahwa zaman tiap orang bermedsos ria beda-beda, mungkin sekarang eranya seperti ini. Tapi paling nggak batasan itu harus tetep ada gak peduli angkatan berapa atau umur berapa lo sekarang.

Balik lagi soal challenge di twitter yang gue omongin di atas, sepertinya mindset kita terbiasa dengan kalimat "di dunia ini gak ada yang gratis", jadi apa-apa harus dibuat sulit dan didramatisir. Gue harap sih hal-hal semacam ini gak dinormalisasi atau dijadikan kebiasaan untuk kita memperoleh sesuatu di dunia nyata. Bisa-bisa nanti hidup kita pun akan ditentukan oleh rating di media sosial seperti di seri Black Mirror, kan ngeri. Lagi-lagi Black Mirror🤦🏻‍♀️, habis sejauh ini cuma Black Mirror sih IMO yang benar-benar relatable untuk ngegambarin kehidupan di balik teknologi. *Apa ada serial jenis serupa yang harus gue tonton juga? Let me know ya!😁


Note: Tema ini khusus dibuat untuk #1minggu1cerita di awal bulan, yang pas-pasan bersinggungan dengan isu yang pingin gue ceritain. Anyway, terima kasih sudah berkunjung ya!😊
Share
Tweet
Pin
Share
24 komentar
caranya berteman dengan kegagalan


Pagi gue kali ini cukup melow. Entah kenapa secara gak sengaja tangan gue bergulir ke album di ponsel dan scrolling foto-foto dari mulai sekitar tiga tahun lalu, saat gue masih seneng-senengnya berorganisasi dan menyibukan diri dengan hobi yang baru saat itu—menulis indah aksara Jepang (Shuuji/Shodou). Kemudian pikiran gue teringat tentang suatu hal. 

Dari dulu, setiap kali gue ikut lomba atau kompetisi apapun, gue selalu gagal. Keberhasilan yang terakhir kali gue rasain mungkin pas SMA, itupun paling tinggi ya tingkat sekolah, alias ruang lingkupnya lebih kecil. Sejak lulus SMA itu, gue gak pernah tau gimana rasanya menang, literally menang. Di komunitas luar, gue sempat ikut beberapa lomba menulis cerpen, tapi juga gak pernah berhasil. Gue sadar sih, mungkin waktu itu tulisan gue memang belum bagus—sampe sekarang malah. Walaupun begitu, nyatanya kondisi itu gak cukup bikin gue lebih termotivasi untuk menulis, karena lagi-lagi gue berpikir gue nggak se-capable itu untuk lanjut menulis. Masih banyak orang yang lebih jago dibanding gue.

Saat gue masuk kuliah pun, kegagalan sepertinya jadi makanan rutin buat gue. Ikut lomba kaligrafi Jepang, gagal empat kali berturut-turut dalam empat tahun. Setiap kali gue daftar kegiatan tertentu yang mengharuskan ada persaingan, lagi-lagi gue juga gagal. Gue pernah ikut lomba News Anchor yang diselenggarain salah satu stasiun TV di kampus gue, gagal juga. Padahal itu salah satu bidang yang gue kuasain pas di SMA dulu. Gue ngedaftar kegiatan volunteer untuk pengabdian pun gagal di tahap wawancara. Bahkan, untuk bisa meraih level tertentu JLPT (Japanese Language Proficiency Test) yang menjadi keharusan gue sebagai mahasiswa di jurusan itupun harus gagal berkali-kali. FYI, gagal bagi gue gak serta merta harus juara 1, 2, atau 3, nope. Ketika gue bisa lolos paling nggak 10 besar atau 20 besar sekalipun, itu udah merupakan suatu pencapaian dan keberhasilan buat gue.

Apakah gue memang sebodoh itu? Apakah gue kurang berusaha? *Don’t try to encourage me coz i know exactly the damn answers are. Gue memang nggak cukup pintar dan kurang berusaha dalam hal itu. Tapi, untuk persoalan yang lain, gak peduli seberapa keras gue berusaha, gue seperti berlari menuju kegagalan itu sendiri. Bukan satu kali gue merasa selangkah lagi untuk bisa mencapai titik yang gue mau, tapi ibaratnya jalan itu seolah langsung dibelokan ke tempat dimana gue bertemu kembali dengan gagal. Herannya kayak ada aja alasan yang bikin gue gak maksimal di detik-detik terakhir. Mungkin satu-satunya keberhasilan yang gue bisa rasakan sampai sekarang ya kuliah. Sebab gue tau beratnya perjuangan di balik itu.

Awalnya gue gak bisa terima. Gue merasa bahwa gue seharusnya bisa memperoleh paling nggak secuil kabar baik akan usaha gue. Gue bingung, kenapa setiap kali gue berlatih keras, pada saatnya tiba gue malah terlihat seperti orang yang gak berusaha? Apa gue memang ditakdirkan untuk selalu gagal? Apa gue gak menekuni dengan baik apa yang sedang gue kejar?

Ternyata selama ini gue memang gak fokus dengan diri gue dan apa yang gue kejar. Gue mudah sekali ter-distract dengan kondisi di sekeliling gue. Bukannya fokus dengan apa yang sedang gue lakuin, gue malah fokus meniti kekurangan orang lain supaya gue bisa menambal itu dengan kelebihan gue, dan supaya gue bisa ada di depan mereka. Gue terlalu fokus mencari tahu apa yang orang lain sedang kerjakan daripada gue mencari tahu dimana salahnya gue, dan apa yang menjadi kelemahan gue. Gue optimis dengan cara yang salah, karena itu gagal adalah tempat yang tepat untuk gue bahkan sebelum perlombaan itu dimulai. Dulu waktu gue menang beberapa lomba pas kecil, gue hanya fokus memperbaiki segala kekurangan yang gue punya. Karena yang gue lihat di depan sana ya cuma jalan yang tenang dan panjang untuk gue maju, bukan barisan orang yang harus gue teliti satu persatu.

Seharusnya kita memang gak perlu terlalu mengglorifikasi persaingan. Seperti kata mas ini di twitter,


kita terbiasa dididik untuk apa-apa harus menang, apa-apa harus unggul dan nomor satu, bahkan untuk ngantri BLT aja semua orang jadi kesetanan sama uang, padahal ada di antrian belakang bukan berarti gak akan kebagian. Semua udah punya bagiannya. 

Gue pun secara nggak langsung membentuk diri bahwa pencapaian is a thing—pencapaian memang is a thing, tapi kalau sampai mikir bahwa hanya nomor satu yang bisa disebut pencapaian, hidup kita gak ada artinya. Bahkan mungkin kita gak tau apa aja nilai-nilai atau hikmah yang bisa kita punya untuk dijadiin sebuah pembelajaran. Apa sih gunanya pencapaian kalau gak membuat diri kita merunduk seperti padi?

Dari situ gue seperti diketuk, mengalami kegagalan berkali-kali justru membuat gue jadi orang yang gak lupa diri dan selalu mawas diri. Gue tau rasanya gagal, meaning gue akan lebih tabah (insya Allah) saat harus kembali gagal, also meaning gue bisa belajar untuk gak berharap lebih tinggi. Melainkan berusaha semampu gue dan fokus dengan apa yang gue bisa.

One of my favorite musical actress, Sierra Boggess, said; "you are enough, you are so enough, it's unbelievable how enough you are". Kita gak perlu menunjukan kepada orang lain sehebat apa kita sampai lupa bahwa berusaha menjadi versi terbaik dari diri sendiri sudah lebih dari cukup. Dia selalu mengatakan itu kepada dirinya sendiri sebelum tampil di panggung musikal, karena dia sadar gak ada yang perlu ditunjukan kepada orang lain, gak perlu berlebihan ingin jadi yang paling menonjol di atas panggung, cukup jadi diri sendiri dan—dalam konteks dia, bagikan cerita apapun yang pingin dibagikan terhadap orang-orang. Karena satu-satunya yang perlu dilakuin dalam kompetisi tak terbatas ini adalah melakukan yang terbaik yang kita bisa, semampu kita, no need to show off to people who don't even care who you are with those achievements.

Toh kalau gue gak mengalami serangkaian kegagalan itu, gue gak akan bisa nulis kayak gini. Gue gak tau caranya sabar dan ikhlas. Padahal segini belum ada apa-apanya dibanding petualangan gue nanti di tahun-tahun berikutnya, itu juga kalau gue panjang umur—Aamiin.

Oh iya, soal pernyataan gue yang bilang bahwa masih banyak orang yang lebih jago dibanding gue. Pikiran kayak gitu adalah sebuah kesalahan, jangan ditiru ya. Memangnya kenapa kalau ada orang yang lebih jago? Again, you are so enough. Gak ada yang menyuruh gue untuk lebih jago dari orang lain, yang ada adalah gue harus belajar banyak dari mereka yang hebat di luar sana. Toh semakin banyak orang yang menulis, semakin banyak kebaikan yang bekerja di bumi kita ini. 

Jadi, apa ada cara supaya kita bisa berteman dengan kegagalan?🤷🏻‍♀️

Bentar, nguap dulu. *Hoahh*😪

Garis besarnya seperti yang gue bilang di atas implicitly,  terima kenyataan bahwa kita akan selalu hidup di antara dua sisi, antara hitam dan putih, cahaya dan kegelapan, baik dan buruk, halus dan kasar, bersih dan kotor, juga keberhasilan dan kegagalan. Untuk mencapai tempat yang nyaman yang kita sebut pencapaian atau keberhasilan, kita akan selalu bertemu dengan kegagalan. The more failures you get, the more mature you will be. Because the more failures you face, the harder life you will go through. Semakin sering kita bertemu dengan kegagalan, make tameng yang kita punya untuk melewati hidup bakalan lebih kokoh.

Kuncinya ya sabar, even when you don't want to, you have to. Kalau gak sabar, gimana kita bisa ngelewatin rintangan berikutnya? Gimana kita bisa belajar? Bukannya kunci keberhasilan sendiri ya sabar dan berusaha?

"No, you might be wrong. Kunci keberhasilan itu ya kegagalan."

That's what i'm saying. Kegagalan itu ibarat tutup botol, cuma pembuka. Apa yang ada di dalam botolnya ya sabar dan usaha (dan juga do'a). Apa yang bisa menghilangkan dahaga lo adalah serangkaian usaha, kesabaran dan do'a-do'a yang lo curahkan.

Terakhir, sadari bahwa diri lo adalah seonggok manusia yang selalu kurang dan tidak sempurna. Butuh untuk dipoles. Semakin bagus polesannya, semakin baik hasilnya. Ketika lo gagal, tidak lantas lo menjadi seseorang yang hina dan penuh dosa, nggak. Lo hanya perlu refleksi diri dan evaluasi, apa yang kurang dalam diri lo dan berusaha untuk memperbaiki itu, tanpa memandang rendah orang lain, alias gak perlu sibuk kepo sama gimana cara orang lain melalui rintangannya.

Lastly but not least, i put the pic of quote below (hope it can motivates you) from my instagram account; Notes of Little Sister. You can click that link 👆🏼 to get more of my poems, another quotes and so on, since it is the Instagram's version of this blog😊

Akhir kata, semoga kita semua selalu menjadi orang-orang yang bersabar dan mau terus belajar. Terima kasih sudah berkunjung!🖤

Share
Tweet
Pin
Share
18 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Terlalu Besar Untuk Gagal
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Just Listen
  • Bukan Salah Indonesia

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • The Phantom of the Opera: Di Balik Danau
  • Priority Chat
  • Cuma Cerita
  • Cuma Cerita #2
  • Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Kiamat Sudah Dekat
  • Matre: Realistis atau Materialistis?
  • Spoonerism, Alasan di Balik Keselip Lidah
  • Refleksi Dua Dekade

Blog Archive

  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (31)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ▼  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ▼  Juli 2020 (8)
      • Normalisasi Berbasis Arogansi
      • Paham Makna
      • Gelap Tak Habis
      • Belajar Berproses Lewat Film Little Women
      • Keliling Paris Bersama Film Les Misérables
      • Curhat + Life Update
      • Tantangan Seribu Candi Berbalut Twitter
      • Berteman Dengan Kegagalan
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

digital marketing Intermeso karir Krisis 1/4 Abad lifestyle Opini Perempuan Podcast Poetry Review slice of life Thoughts

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.