Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
  • Portfolio
instagram twitter LinkedIn YouTube Spotify Email

Notes of Little Sister



Sulitnya Jadi Realistis

Pada masa-masa menjelang akhir semester di perkuliahan, gue akhirnya menyadari bahwa gue adalah salah satu mahasiswa yang merasa salah jurusan. Bukan karena dipilihkan orangtua, bukan juga karena ikut-ikutan teman, tapi karena saat itu gue nggak punya pilihan lain untuk mengambil jurusan yang lebih "gue banget"—atau mungkin karena gue belum tahu pasti apa yang mau gue kejar.

Secara, gue hanya lulusan program Bahasa sewaktu di SMA, stereotip dan opsi yang ada untuk kami pun menjadi sangat mengerucut, nggak lain ujung-ujungnya kuliah bahasa, antropologi, atau ilmu komunikasi. Well, pilihan sebetulnya banyak, terbuka lebar. Gue bisa pilih bidang mana aja yang memang gue suka, as long as gue mampu menyaingi puluhan ribu pendaftar lainnya. Tapi mengingat gue harus realistis dengan kapasitas otak gue😄, pilihan itu pun meredup. 

Dulu, gue masih menganggap bahwa belajar bahasa asing adalah passion gue—yang gue rasakan saat belajar bahasa Korea secara otodidak, tapi nyatanya nggak berlaku untuk bahasa Jepang yang pelajaran kanjinya bikin kepala pusing bukan main. Nyatanya mempelajari suatu bahasa yang mana budayanya nggak familiar bagi kita merupakan cambuk tersendiri.

Sebagai yang bukan pecinta anime, idol Jepang, dan hal-hal lain yang berbau "jejepangan", bertemu dengan lingkungan yang seperti ini menjadi pertempuran tersendiri dalam batin gue. Karena ternyata ketertarikan itu bisa berbanding lurus dengan bertambahnya pengetahuan kita dalam berbahasa. 

Misalnya, sering nonton anime bisa menambah kosakata berbahasa Jepang kita, meskipun itu nggak dipakai untuk bahasa formal. Lalu menonton tayangan berbahasa Jepang di YouTube dan terjaring dengan teman orang asing melalui media sosial, juga bisa meningkatkan kemampuan berbicara, kosakata dan mengasah grammar kita dengan spontanitas yang baik.

Gue suka budaya Jepang, but not into their pop-culture. Gue lebih mengagumi alam mereka dan bagaimana kehidupan orang-orang disana. Mungkin karena gue nggak seambis itu dan hanya senang belajar, so when it comes to formal education, gue nggak bisa menemukan excitement itu lagi. 

Menyadari fakta itu (bahwa gue nggak merasa menemukan kenikmatan disana), keinginan gue untuk shift career setelah lulus pun menjadi semakin besar. Perlahan-lahan gue mulai mempelajari tentang digital kreatif. Keinginan ini muncul ketika gue serius ngeblog pertengahan tahun 2020 lalu. Mungkin ini satu-satunya sisi positif yang bisa gue syukuri dari invasi Covid-19. 

Gue jadi punya waktu lebih banyak untuk figure out tentang apa yang mau gue lakukan, dan apa yang cocok buat gue. Karena sejak saat itu, mulai banyak bermunculan bootcamp online untuk mereka yang mau mengembangkan skill di industri digital. Sesuatu yang align dengan hobi gue, yaitu menulis di internet. Gue belajar tentang SEO dan copywriting yang mana kedua cabang ini ada di bawah digital marketing. So I learned about digital marketing.

Mulanya susah, tapi gue coba jalani dengan santai karena gue yakin bidang ini lah yang mau gue tekuni. But now, having my career switch, malah membuat gue memikirkan lagi soal keputusan gue untuk mengejar karir di bidang yang berbeda. Gue kembali mempertanyakan diri sendiri, apakah ini sesuatu yang benar-benar ingin gue lakukan? Apakah berhenti belajar bahasa adalah kesalahan? Apa sih yang sebenarnya mau gue tuju? Penghasilan atau passion? Semua itu menyatu jadi tanda tanya besar,

"emang iya passion sepenting itu?"

Jika orang-orang bilang quarter life crisis adalah masa-masanya mencari goals dan dimana kita bisa fit in, mungkin disinilah diri gue berada sekarang. Di satu moment, gue merasa yakin banget dengan pilihan yang gue ambil. Tapi di sisi lain, gue merasa ragu bahwa pilihan yang gue ambil akan membawa gue ke sesuatu yang besar, sesuatu yang gue idam-idamkan, yang mana sisi realistis dari diri gue bilang bahwa bukan passion lah yang bisa memenuhi.

Di dunia dimana inflasi terus menaik seperti sekarang, gue belum bisa membayangkan sejauh mana passion ini bisa menghidupi gue. Walaupun, yah, usia gue masih muda dan masih panjang perjalanan yang akan gue tempuh kedepannya. Namun gue nggak mau menghabiskan waktu hanya dengan menebak-nebak kemana life maps gue. Kalau gue bisa tahu apa yang gue mau sekarang, maka gue akan kejar itu secepat yang gue bisa. 

Kadang gue masih nggak percaya, bahwa gue yang dulunya selalu mengagung-agungkan passion, sekarang malah penuh keraguan. Ternyata pengalaman sebagai orang dewasa bertahun-tahun ini menuntun gue menjadi seseorang yang teramat realistis, dan pemikiran soal passion adalah dampaknya.

Is it a sign that I'm growing up? Karena katanya, ragu itu bukan tentang salah atau benar. But it keeps us aware dengan segala kemungkinan yang terjadi di masa depan. Kewaspadaan dan pertimbangan-pertimbangan sebelum memutuskan sesuatu membuat kita bisa lebih bijak dan bertanggungjawab dengan pilihan yang kita ambil. I hope so. 

Menjadi seseorang yang terbiasa realistis, bikin gue meragukan idealisme diri sendiri. Mungkin karena gue sering ditampar dan dihadapkan dengan realita yang cukup pahit tentang bagaimana buah-buah pemikiran yang idealis dienyahkan begitu saja oleh orang-orang yang punya kuasa. Sebuah sikap yang akhirnya melahirkan skeptisisme di kalangan masyarakat kita, bahkan anak-anak muda yang cenderung dianggap sebagai agen perubahan dan otaknya idealisme. 

Yah, walaupun sampai detik ini gue masih belum tahu apa ini betul-betul jalan yang ingin gue lalui, dan akan seperti apa hidup gue 2 atau 3 tahun berikutnya. Namun yang gue yakini, gue hanya harus belajar dan belajar semaksimal mungkin. Dan seharusnya sudah jelas sekali untuk gue sadari bahwa hidup itu penuh perjuangan, nggak ada yang instan. Semua perlu dilakukan step by step, nggak bisa langsung terobos. 

Toh, menjadi realistis bukan berarti harus meninggalkan apa yang kita suka, dan apa yang kita ingin lakukan. Kalau bidang ini memberi gue ilmu baru dan pengalaman baru, kenapa nggak, kan?
Share
Tweet
Pin
Share
3 komentar
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Terlalu Besar Untuk Gagal
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Just Listen
  • Di Balik Angkasa
  • Bukan Salah Indonesia

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • Cuma Cerita #2
  • Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
  • Cuma Cerita
  • Priority Chat
  • Bukan Salah Indonesia
  • Bad For Good
  • The Phantom of the Opera: Di Balik Danau
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Belajar Nggak Neko-Neko
  • Suka Duka Introvert di Masa Pandemi

Blog Archive

  • ▼  2022 (8)
    • ▼  Juni 2022 (3)
      • Sulitnya Jadi Realistis
      • Belajar Nggak Neko-Neko
      • Spoonerism, Alasan di Balik Keselip Lidah
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (31)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

Intermeso Krisis 1/4 Abad lifestyle Opini Perempuan Podcast Poetry Review slice of life Thoughts

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.