Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram twitter LinkedIn YouTube Spotify Email

Notes of Little Sister



Ada yang pernah dengar istilah Spoonerism? Atau adakah di antara kalian yang kalau ngomong suka keselip alias terbolak-balik? Seperti Isyana Sarasvati, dari "bener dong" jadi "beneng dor", dan "terpesona" jadi "tersepona".

Jika ada di antara kalian yang sering mengalami hal serupa, welcome to the club!🙌🏻

Spoonerisme, Alasan Utama Lidah Keseleo

Gue pribadi adalah satu dari sekian orang yang sering banget mengalami selip lidah atau terbolak-balik saat bicara. Contohnya persis seperti yang gue sebut di atas. Kosakata yang baru-baru ini nggak sengaja gue ucapkan itu adalah, "enak" jadi "anek". Gue juga belum lama keseleo pas bilang gave birth, jadi give barth, padahal nggak ada artinya. Gue pikir awalnya aneh, tapi pada kenyatannya banyak banget orang-orang di luar sana yang sering mengalami hal demikian. 

Awalnya gue nggak peduli untuk cari tahu lebih lanjut tentang ini, yang gue tahu, mungkin thinking proccess-nya lebih cepat daripada mulut gue, dan barangkali memang gue aja yang kalau ngomong kecepetan. Setelah ditelusuri, ternyata kondisi semacam ini dinamakan Spoonerisme.

Spoonerisme (spoonerism) adalah kesalahan bicara yang berkaitan dengan transposisi fonetik dalam huruf mati, huruf hidup atau morfem yang biasanya terbolak-balik di antara dua kata dalam sebuah frasa. Istilah spoonerism diambil dari nama William Archibald Spooner (1844-1930), penjaga New College, Oxford, Inggris, yang sering bicara terbolak-balik saat itu. Spoonerisme juga dikenal sebagai marrowsky, seperti nama seorang Polandia yang juga mengidap kebiasaan serupa. 

Biasanya seseorang secara spontan melakukan kesalahan pengucapan ini disebabkan karena gugup, kurang konsentrasi atau terlalu cepat berbicara. Namun ada juga yang memang memiliki kesulitan secara verbal karena terlalu lama diam di suatu negara yang berbeda dengan yang dia tinggali sekarang. Dan karena situasi ini dialami oleh banyak sekali orang di belahan dunia, tentu saja kata atau kalimat yang keselip gak hanya ada dalam bahasa Indonesia. Bahasa Inggris pun banyak yang seringkali bisa keseleo, seperti contoh di bawah ini:
  • "A blushing crow." ("crushing blow")
  • "A well-boiled icicle" ("well-oiled bicycle")
  • "You were fighting a liar in the quadrangle." ("lighting a fire")
  • "Is the bean dizzy?" ("Dean busy")
  • "Someone is occupewing my pie. Please sew me to another sheet." ("Someone is occupying my pew. Please show me to another seat.")
Dalam bahasa Indonesia sendiri, kata atau kalimat yang biasa kepleset adalah sebagai berikut (contoh ini diambil langsung dari testimoni gue saat sedang keselip lidah):
  • "Nanti aku kuping jewermu ya!" ("Nanti aku jewer kupingmu ya!")
  • "Hudas kok." ("Sudah kok") 
  • "Aku makan sudah" (Aku sudah makan) 
  • "Dasar budaya darat" (Dasar buaya darat) 
  • "Aku mau odun!" (Aku mau udon—makanan Jepang) 
  • "Tutupnya pintu." (Tutup pintunya) 
Nah, kira-kira begitulah contoh kosakata yang sering terbalik saat gue ucapkan. Tentu ini belum termasuk kata-kata lain yang gue lupa untuk catat di notes😂

Kalau teman-teman, bagaimana? Apakah ada yang mengalami hal serupa? Let me know, ya!🤩
Share
Tweet
Pin
Share
5 komentar
Jadi Penggemar Fanatik Bulutangkis

First of all, gue harap nggak ada yang salfok lagi ya sama judulnya since it looks a bit controversial kayak postingan Kiamat Sudah Dekat😆. Again, akhir-akhir ini tiap gue publish tulisan tuh pasti tau-tau udah menginjak bulan baru aja. So i have to start this post with regret karena bulan kemarin cuma bisa nerbitin satu tulisan, padahal tadinya pingin bisa capai 100 post in total, hiks *menangis di pojokan*.

Emangnya apa sih, Awl, yang bikin kamu nggak bisa stay up to date di mari?

Well, banyak alasannya, but one of them is I'm trying to catch up all of the badminton tournament this few months yang bener-bener berhimpitan tiada henti sejak Sudirman Cup—sebagai penonton, definitely. Gue nggak ingat apakah sebelumnya pernah bilang kalau gue penikmat olahraga badminton atau belum, tapi gue akan share lengkapnya disini (cause I have no idea what to share this time).

Bisa dibilang gue adalah pencinta bulutangkis sejak masih di bangku SD, mungkin sekitar tahun 2008 atau 2009? Saat itu Taufik Hidayat masih jadi tunggal putra unggulan kita, karena beliau pensiun pada tahun 2011. Gue ingat banget gimana riuhnya Istora tiap kali ada Indonesia Open, dan tiap kali ditayangin di TV. I was so excited! Karena selain Indonesia Open, dulu tuh susah banget buat dapet tayangan khusus pertandingan bulutangkis. Gue harus nunggu major event semacam Sea Games atau Asian Games dulu yang diadakannya hanya beberapa tahun sekali, baru bisa nonton bulutangkis. 

Jujur, dulu gue nggak begitu ngerti istilah-istilah atau teknik permainan yang belaku di dalam cabor ini, mungkin karena masih terlalu kecil buat bisa langsung paham, terlebih ekstrakurikulernya bukan yang paling diminati di sekolah. So, yang gue tau bulutangkis ini satu-satunya olahraga yang bisa dimainkan oleh mayoritas orang Indonesia (even kalau nggak punya raket, pake benda datar lain juga bisa lho main tepok bulu! Gue pernah coba pakai buku tulis soalnya😝). Berbeda dengan sekarang, semua informasi bisa gue akses di internet. Bahkan nggak cuma soal teknik permainan segala macam, tapi juga tentang sejarah bulutangkis dan para pemain legendanya sendiri bisa dengan mudah gue cari. Gue pun bisa terhubung langsung dengan pemain-pemainnya di media sosial, dari yang atlet nasional, sampai para atlet mancanegara—walaupun mereka nggak notice keberadaan gue di antara sekian ratus ribu orang, haha.

Seiring beranjak dewasa, ternyata bulutangkis masih menjadi satu-satunya olahraga yang gue cintai, termasuk para atlet kebanggaan kita. Bisa dibilang badminton ini satu-satunya cabor yang bikin jiwa nasionalis gue makin berapi-api when it comes to 🇮🇩. Dan di tahun ini, to be honest menjadi tahun yang paling mengharukan untuk sejarah bulutangkis Indonesia. Nggak cuma buat gue, tapi juga mungkin teman-teman badminton lovers di luar sana.

Selain meraih medali emas dari Greysia/Apri, pasangan non-unggulan yang berhasil menciptakan sejarah (the first gold medal for Indonesia's Women's Doubles), dan berhasil mendapatkan medali perunggu Olimpiade dari sektor tunggal putra (bahkan juga perak dari Paralimpiade), tim Thomas kita akhirnya bisa menjemput kembali piala Thomas di Denmark pada Oktober lalu, setelah penantian selama 19 tahun lamanya sejak Indonesia memenangkan Thomas Cup. Setahu gue, ini merupakan pencapaian yang terbaik sejak tahun 2008, dimana saat itu Indonesia terakhir kalinya berhasil membawa medali Olympic dari tiga sektor, yakni MD (Gold: Hendra Setiawan/Markis Kido), XD (Silver: Nova Widianto/Liliyana Natsir), dan WS (Bronze: Maria Kristin).

Sebagai salah satu yang mengikuti perjalanan mereka di tahun ini, gue bisa lihat bahwa kemenangan Thomas Cup semacam jadi moment of relieve untuk kontingen Indonesia. Pencapaian ini juga seakan menjadi jawaban yang bisa membungkam jari-jari julid di luar sana tentang prestasi atlet kita yang dianggap merosot. Jawaban bahwa mereka masih bisa bangkit, di tengah keterpurukan pasca Olimpiade dan kekalahan di Perempat Final Sudirman Cup. Perasaan lega itu, secara nggak langsung bisa gue rasakan ketika melihat wajah-wajah mereka di podium, terlepas dari bendera merah putih nggak bisa dikibarkan. 

Gimana nggak, semenjak mengalami kekalahan di Sudirman Cup lalu, beberapa atlet kita banyak dianggap meragukan oleh sebagian masyarakat, karena hasil yang terlihat nggak konsisten meski datang dengan tim terbaik. Begitupun tim Thomas beregu kita, yang meskipun ada di daftar tim unggulan kesatu, tapi perjalanannya begitu terjal untuk bisa menjadi juara grup, perempat-final vs Malaysia, semifinal vs Denmark, hingga sampai di final melawan China. 

Lalu soal Minions yang lagi under-performed, JoJo yang dianggap kurang konsisten, The Daddies yang mulai kesulitan keep up dengan opponent dalam hal speed, hingga berada dalam 'grup neraka' karena harus menghadapi Taipei yang sedang on fire, dan juga Thailand yang seringkali datang dengan kejutan. Oh iya, satu hal lagi yang membuat perjalanan tim Thomas Uber Cup kita semakin spesial dan emosional adalah, kehadirannya seakan membayar keputusasaan kami terkait permasalahan di turnament All England bulan Maret lalu. 

Buat yang belum tau, waktu itu atlet-atlet kita dipaksa berhenti dari pertandingan karena diketahui berada dalam satu pesawat yang sama dengan pasien positif covid19 dan harus menjalani karantina selama 14 hari di hotel. Sementara atlet-atlet dari negara lain yang juga berada dalam satu pesawat, nggak diminta untuk mundur dan bisa melanjutkan pertandingan.

Well, glad they finally did it! And I am touched by their journey and fighting spirit on court (I even cried for an hour when I'm watching them). Perjalanan singkat ini yang bikin gue makin terhubung sama bulutangkis dalam beberapa minggu terakhir, setelah setahun lamanya break gara-gara covid19. Gue mulai kembali mantengin turnament mereka di Eropa, dari mulai Denmark Open sampai Hylo Open kemarin di Jerman. Gue juga sampai sempetin rewatch tayangan-tayangan related to badminton di YouTube, termasuk interview-nya atlet-atlet legend seperti Ardy Wiranata, Mia Audina, Tan Tjoe Hok, Tony Gunawan, Hendrawan, Chandra Wijaya, Coach Naga Api alias Herry IP dan masih banyak lagi (yang sebagian dari mereka kini bekerja sebagai pelatih di luar negeri). 

Bahkan gue juga ngikutin channel YouTube-nya Hendra Setiawan, BadmintonTV, Anders Antonsen, Yuta Watanabe dan Popor Sapsiree. Mereka ini atlet bulutangkis yang memang eksis juga buat vlog di channel masing-masing, wk. Kayaknya seru aja gitu kalau bisa lihat keseharian mereka off court, especially how they interact each other dengan pemain dari negara lain. Jadi nih, buat yang suka war di internet, atau siapapun yang nyangka atlet kita musuhan sama lawannya, you guys totally wrong! Interaksi mereka malah kadang sweet dan kocak abis😆. Ada yang sahabatan juga kayak Popor dan Greysia (dan pemain women's doubles lainnya dari Korea). Gue berharap dukungan teman-teman di internet bisa memberi nilai positif untuk para atlet yang bertanding (nevermind about haters please!).

Setelah dari Hylo Open minggu lalu, mulai kemarin atlet-atlet bulutangkis di dunia sudah berkumpul di Indonesia Badminton Festival yang diadakan di Bali, yuhuuuu🥳 Festival ini dihelat dalam rangka penyelenggaran tiga turnamen BWF sekaligus, yaitu Daihatsu Indonesia Masters S750, SimInvest Indonesia Open S1000, dan BWF World Tour Final sebagai penutup dari rangkaian turnamen BWF sepanjang tahun 2021. Kabarnya atlet-atlet ini berada dalam sistem bubble selama satu bulan kedepan di The Westin Resort Nusa Dua, Bali. Nggak sabar banget gue pingin lihat pertandingan mereka nanti🤩

Teman-teman jangan lupa nonton match mereka di MNCTV dan iNews ya mulai tanggal 16 November! Kalau yang pakai layanan streaming atau TV kabel juga bisa akses di BWF TV (pakai VPN😁), RCTI+, Vision, Champion TV dan UseeTV. Yuk, kita dukung atlet-atlet kebanggaan kita🥳

o-o

Anyways, teman-teman disini adakah yang penyuka bulutangkis juga? Atau jangan-jangan kita sama-sama BL garis keras?😍
Share
Tweet
Pin
Share
7 komentar
Minggu yang Sibuk (Belajar Digital Marketing)
 
Knock knock!! Apa kabar semuanya? Baru semingguan melipir dari dunia blog serasa udah berminggu-minggu! Mungkin karena gue sempat vakum lama sampe sebulan lebih sebelumnya, jadi kalau ngilang sebentar tuh rasanya kayak udah lama banget😅
 
Anyway, minggu ini bisa dibilang minggu yang lumayan hectic (plus jadi sebuah pencapaian buat gue). Dua minggu terakhir ini gue baru aja mengikuti beberapa kelas tentang content-making skill dan digital marketing, two fields that I am very passionate about these days. Dari content making ini, fokusnya adalah menyiapkan peserta agar menjadi seorang video creator yang baik dan kreatif. Sementara untuk digital marketing, gue belajar banyak hal baru, karena ternyata cabang dari bidang ini tuh banyak banget. Di sekitarnya ada product marketing, dan marketing communications. Nah, digital marketing masuk ke dalam marketing communications, yakni online marketing dan satu line dengan offline marketing.

Lewat online marketing sendiri kita diperkenalkan dengan banyak tools dan skillset yang mesti dimiliki seorang digital marketer. Dari mulai SEO (definitely), SEM, Social Media Ads dan Organic, Display Ads Network, dan CRM (Customer Relationship Management) yang mana di dalamnya juga masih ada beberapa cabang, seperti email marketing, push notifications, dan sebagainya yang masing-masing memiliki fungsi tergantung kebutuhan dan objective campaign dari sebuah brand. Fiuhh. 

Melalui kelas-kelas ini, gue jadi tau bahwa ada perhitungan tersendiri bagi sebuah brand untuk memasarkan produk mereka lewat jaringan online. Oleh karena itu, munculah yang namanya Organic dan Paid Search. Kedua strategi marketing ini punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing yang bisa ditentukan oleh Scalability, Targeting, dan C-A-C (Customer Acquisition Cost). Ketiga elemen inilah yang akan membantu seorang digital marketer dalam menentukan nasib iklan produk dari brand mereka. Tentunya elemen-elemen ini juga akan sangat panjang kalau dijabarkan lagi😅 

Jujur gue salut dan berterima kasih banget sama akademi yang ngadain kursus ini, meski materinya super padattt, tapi gue masih bisa nangkep berbagai informasi dan elemen penting yang dijelaskan. Bahkan dalam waktu yang pendek ini, gue bisa belajar tentang Facebook Ads (which is mencakup Instagram sebagai anak perusahaannya), dan bagaimana caranya beriklan sesuai dengan guidelines, Facebook Policy, dan kebutuhan customers serta brand terkait agar goals dari iklan tersebut bisa tercapai sesuai yang diharapkan. 

Sebab, tiap brand pasti punya alasan tersendiri kenapa mereka mau mengiklankan produk mereka lewat Facebook Ads (yang termasuk Social Media Ads). Misalnya, ada brand yang baru saja mengeluarkan produk baru dan ingin menjangkau new customer dengan cara meningkatkan brand awareness terlebih dahulu, ada pula brand yang berusaha menjangkau orang-orang dengan demografi yang spesifik, kedua hal ini bisa dilakukan dengan memilih Social Media Ads. Dan sejujurnya masih ada banyaaak lagi contoh kasus dan berbagai skema digital marketing yang bikin gue enlightened tentang bidang ini. Tapi terlepas dari itu, satu hal yang juga nggak kalah menarik dari kursus ini adalah, gue juga bisa dapat ilmu tentang copywriting, yang mana bidang ini masih sepupuan dengan content writing. Hopefully, gue bisa aplikasikan semua ilmu yang gue dapat nantinya. 

Namun di balik sisi positif, tentu disitu ada juga sisi negatifnya yang mesti gue rasakan. Akibat mantengin terus layar monitor selama lebih dari 10 jam (I guess?) sampai gue tidur—kelasnya selesai jam 9 malam, gue jadi mudah pusing dan sakit mata. Alhasil gue nggak sempet ceki-ceki blog gue, karena selama itu sisa waktu yang ada gue pakai untuk pelajari tentang assignment dan case study yang diberikan. Actually it was fun though! Mungkin karena udah lama nggak ngerasain dapet tugas dan masuk kelas, jadi ketika dapat assignment, gue ngerasa excited banget buat belajar. Yah, walaupun ujung-ujungnya satu case study nggak berhasil gue kumpulin karena gue salah lihat waktu batas pengumpulan. Hiks🤧. 

Overall, gue sangat menikmati kesibukan ini, karena gue bisa belajar banyak sekali hal baru apart from my major at college. Hitung-hitung sambil mengisi kekosongan, lebih baik otak gue diajak buat mikir soal pelajaran, kan, daripada mikirin hidup dan takdir yang nggak ada habisnya😂

Kalau teman-teman, seminggu ini ngapain aja? Ada yang spesial kah?🤭 Yok, sharing! xx
Share
Tweet
Pin
Share
26 komentar
Impian yang Konyol just awl

Beberapa hari yang lalu, gue having convo dengan teman gue di WhatsApp. Awalnya ngobrolin perihal komik Solo Leveling, yang isinya bercerita tentang manusia biasa yang berubah menjadi pemburu monster akibat portal waktu yang muncul tiba-tiba dan menghubungkan dunia nyata dengan dunia sihir dan monsters. Salah satu pemburu (tokoh utama) dikategorikan sebagai yang terlemah dan masuk ke dalam portal yang juga dianggap berisi monster-monster paling lemah. Namun tanpa disadari, portal itu ternyata adalah yang paling mematikan. Tokoh utama ini berperang melawan monster hingga hanya dia satu-satunya pemburu yang tersisa, dan membuat kekuatannya naik level menjadi yang paling hebat—dan berakhir menjadi pemburu paling mematikan di dunia.

Kemudian, singkat cerita teman gue bertanya, "seandainya diberi kekuatan kayak gitu, kekuatan apa yang ingin kamu miliki?"

Dengan polosnya gue menjawab, "aku pingin bisa keliling dunia dalam waktu sepersekian detik dan nggak kelihatan siapapun alias invisible. Aku pingin datengin rumah artis ternama satu persatu dan lihat kesehariannya kayak gimana."

Then he burst out laughing. Kira-kira lengkapnya begini kutipan convo kami:

He said, "what a simple dream to wish for🤣".

"Well, i thought it isn't as simple as that😅."

"If you have that kind of power, other people may have imagined going to places no one else could. While your dream is so simple, omg😆."

"I think it would be funny if i could sneak into a famous artist's house, then see how they really are, playing there, swimming and take a nap at their big mansion all day."

Kok kedengarannya menyeramkan, ya? Hahaha. But no no, gue nggak bermaksud ingin jadi stalker paparazzi yang menguntit mereka demi mendapatkan keuntungan. I don't wanna take anything for granted. Gue hanya penasaran gimana personality mereka in real life, seperti apa isi rumah mereka, dan ingin main-main disana. Sesederhana itu😅.

"Yeah, but if people have such powers, usually they already have a desire related to the world, whether they want to rule the world, change the world, etc."

Jujur, gue nggak ada sama sekali pikiran kesana. Menurut gue, apa yang terjadi di dunia ini, dari skala kecil sampai besar semua memang sudah garis ceritanya seperti itu. Gue nggak mau mengubah dunia, karena gue nggak punya kekuatan seperti itu, dan gue bukan orang jahat yang selalu bersembunyi di balik nama besar dan kepentingan banyak orang. Lebih sederhananya lagi, gue nggak mau berurusan dengan "manusia-manusia" ini. Bahkan mungkin, kalau gue nggak mengenal Tuhan, tindakan terjauh yang ingin gue lakukan adalah menghilangkan setengah populasi di bumi ini, seperti Thanos. Bumi ini udah terlalu runyam dan sesak karena ulah manusia. *Sorry friends, i agree with Thanos in this case. Dan seperti halnya kemunculan Covid-19 yang dianggap sebagai salah satu cara elite global untuk memusnahkan beberapa populasi, menurut penikmat teori konspirasi. Yikes!

Tapi gue bukan titan, bukan pula makhluk planet lain, gue manusia yang sangat kecil jika dilihat dari ketinggian, gue juga masih punya pedoman hidup. So the only thing i can do is to find my own happiness.

Selama ini gue nggak sadar bahwa mimpi gue yang absurd dan konyol ini ternyata datang dari hal-hal yang kecil dan sepele. Gue suka ngikutin berita artis-artis internasional favorit gue, gue suka nonton film, TV series/drakor, variety-reality show, gue juga suka dengerin musik genre apapun yang enak di telinga gue. Pokoknya, gue adalah salah satu produk era millenials yang pertumbuhannya nggak lepas dari dunia entertainment—kebanyakan nonton TV waktu kecil. Diam-diam gue suka curious dengan background mereka dan kehidupannya di balik layar. Seandainya gue bisa bertemu dengan mereka secara langsung, mungkin pertanyaan ini yang akan muncul di kepala gue: what did you do for living and how did you overcome all of it to get to where you are today? Sebab gue selalu senang belajar dari orang-orang hebat—nggak mesti yang terkenal, terlebih dari mereka yang datang dari keluarga underprivileged. Memberi gue motivasi dan semangat, bahwa paling tidak, masih banyak orang yang berjaya dan nggak sekadar menjual angan-angan, bahkan menyodorkan kemungkinan-kemungkinan terburuk karena mereka sendiri mengalami ada di posisi itu.

Kembali soal mimpi, mungkin karena itu ada satu impian—yang sudah jelas mustahilnya—yang tersimpan di memori gue sejak kecil. Ingin jalan-jalan pakai mesin waktu, invisible, dan menyelinap masuk ke rumah selebriti atau orang-orang penting di dunia😆. Kayaknya nih, hati kecil gue pingin banget bisa ngerasain langsung suasana kota di negara-negara lain sebagai lokal, makanya tinggal di rumah orang instead of stay at airbnb😂.

Tapi, apakah ini artinya gue nggak punya mimpi? Of course, i have. Hanya saja lebih realistis, dan mungkin.. lebih possible untuk gue raih (Aamiin). Namanya juga impian yang konyol, hehe.

Akhir kata, kita nggak bisa mengelak bahwa kebahagiaan selalu datang dari hal-hal yang memang sederhana. Dan gue menyadari,  sedewasa atau setua apapun usia kita beranjak, sometimes kita masih punya sisi anak-anak di dalam diri. Sisi inilah yang somehow bisa membuat gue stay happy dan nggak takut untuk bermimpi, sedikit melupakan tentang realitas yang selama ini menghambat diri sendiri.

o-o

Gue jadi pingin tau deh, apakah teman-teman juga punya mimpi yang kelewat nggak masuk akal buat diwujudkan? or is it just me?🤣 Yok, cerita-cerita!!
Share
Tweet
Pin
Share
23 komentar

Pernah nggak sih lo ngalamin keserimpet atau ketubruk-tubruk pas lagi jalan di suatu tempat yang padatnya bukan main? Gue sering, dan saking seringnya, gue selalu nggak betah berjalan lama-lama atau secara lamban di ruang publik.

Mungkin karena kebiasaan gue yang selalu ingin cepat dan nggak suka berlambat-lambat ria ketika berada di ruang publik, baik itu di trotoar, mall, jalan lebar, pasar, dsb.nya, jadi gue selalu nggak betah kalau berada di sana lama-lama dan selalu nggak sabar untuk mendahului. Ingin langsung syung syung syunggg gitu. Ini serius. Sampai-sampai sambil berjalan gue suka heran dan mikir sendiri, ini orang-orang yang lelet emang jalannya santai atau mereka lagi banyak pikiran jadi jalan sambil melamun? Ataukah mereka simply memang nggak peduli kalau jalannya terlalu ke tengah dan menghalangi jalanan orang lain? Sambil ngobrol cekakak cekikik pula? Saking cepatnya, pernah ketika gue lagi jalan sama tante gue, beliau ketinggalan jauh di belakang dan gue dibilang kayak orang Jepang karena cara jalannya yang nggak santai. Jiaah, kuliah bahasa Jepun bukan berarti jadi orang Jepun juga bund😆

"Emangnya mau kemana sih, neng, buru-buru amat!"

"Mau pulang lah, pak. Demen kalik saya lama-lama di jalanan😫."

Sebetulnya bisaa sih, santai, rileks, nggak perlu buru-buru. Namun hal itu hanya bisa dilakukan saat gue ingin menikmati momen-momen tertentu, misalnya saat lagi jalan pada Minggu pagi di kampus atau di CFD, dan saat mau pilih-pilih baju atau buku di toko—itupun sambil merhatiin situasi di sekeliling gue, apakah lagi ramai sentosa atau nggak. Kalau lagi ramai ya mending balik aja guehh😰. Suwer, berada di kerumunan lama-lama bikin sakit kepala. Gue susah fokus!

Setelah beberapa bulan ini merasakan, tinggal di kota kecil nyatanya nggak jauh berbeda dengan kota-kota besar yang macetnya terkenal bukan main. Apalagi pada jam-jam istirahat dan pulang kerja. Dan di masa-masa mendekati lebaran kayak gini, nih, justru menurut gue macet dan riweuhnya lebih parah daripada ketika gue masih di Bandung bulan puasa tahun-tahun sebelumnya. Berarti kebayang, kan, semacet apa? Kalau sebelumnya gue lebih sering kesal sama lampu merah yang lamanya bikin males dan pusing, justru sekarang gue lebih sering kesal sama perilaku manusia-manusianya. Dahlah jalanan nggak lebar, trotoar sempit, angkutan umum bertebaran dari yang sebelah jalan paling pinggir sampai yang paling tengah sekalipun, banyak pula orang-orang yang malah berdiam diri atau mengobrol ria di trotoar yang sudah sempit itu, ditambah prokes dilakukan alakadarnya karena nggak semua orang masih aware dengan covid-19 yang belum usai ini.

"Lah terus, ente sendiri ngapain ikut-ikutan ngeramein jalanan?"

Kebetulan ada beberapa barang yang harus gue beli, dan sejujurnya gue sendiri jarang keluar kemana-mana karena males, terbukti dengan udara panas dan macet yang nggak karuan bikin makin enggan untuk keluar. 

Nggak terhitung berapa kali rasanya gue ingin teriak dan punya kekuatan super yang bikin orang-orang ini jadi langsung tertib. Wushh! Tapi, siapa gue?

Lambat laun, sambil merasakan badan yang dicolek ibu-ibu dari belakang karena beliau tampaknya buru-buru juga (saya pun sama buu, bentar ya, sabar ya buu, orang depanku ini lama kalik bu😭), gue belajar bahwa ternyata our responses are all matters. 

Beberapa kali gue agak menyahut tak sabar saat orang di belakang gue menuntut untuk lebih cepat, sementara jalanan di depan fully tertutup dan nggak bisa ditembus lagi oleh orang yang memang selalu ingin cepat seperti gue. Beberapa kali juga gue terpaksa menerobos supaya orang yang menghalangi jalan itu sadar bahwa mereka berdiri terlalu ke tengah dan mengganggu kenyamanan orang lain. Semua respon atas situasi tidak menyenangkan itu gue tanggapi selalu dengan emosi, dengan ego yang memaksa untuk nggak mau jalan berlama-lama. Gue nggak memberikan ruang untuk kepala gue bersikap lebih dingin dan melihat dari sisi positif.

Padahal, di depan gue ada anak perempuan dan ibunya yang lagi semangat ngobrolin soal baju model apa yang mau mereka beli—mungkin hari raya jadi momen langka untuk mereka bisa punya baju baru. Nggak jauh dari sana, ada pasangan suami istri dan anaknya yang masih kecil yang tampak sesak kepanasan dan kebingungan untuk menentukan, akan ke arah mana lagi mereka pergi, ditambah barang belanjaan di kanan kiri mereka. Di depan gue juga ada banyak sekali tukang dagang yang hopeless menawarkan dagangan mereka untuk pejalan kaki yang abai begitu aja. 

Di antara mereka ada tukang sandal, tukang peci/kopiah, tukang mainan, tukang celana, tukang cilok, tukang rujak, sampai pedagang asongan yang giat nawarin minuman ke anak kecil dan mbak-mbak yang mungkin saja lagi nggak shaum. Gimana kalau dagangan mereka terinjak-injak atau terjatuh karena gue yang serabat serobot dan egois ingin cepat-cepat terbebas dari hiruk pikuk? Belum lagi ada nenek-nenek yang jalan sambil bawa kantong kresek di tangannya, dan anak kecil yang lagi jongkok sambil nangis menunggu mamanya karena mungkin juga sudah gerah ingin cepat pulang. Gimana kalau kepala anak kecil ini kesenggol sama kantong belanja gue yang lumayan berat hanya karena gue ingin buru-buru dan nggak ngeh dengan kehadirannya yang kurus dan kecil itu?

Sebagaimana hidup kita yang nggak lepas dari lalu lalang orang melintas, ada kalanya kita nggak bisa melawan hal-hal yang memang berada di luar kontrol kita. In this case, gue memaksa ingin cepat, menegur orang dengan cara nggak baik seolah-olah terlihat gue memikirkan juga kondisi orang di belakang gue padahal kenyataannya gue hanya mementingkan urusan gue sendiri, sementara perihal kecepatan berjalan atau cara orang berjalan dan kesadaran mereka tentang situasi sekitar bagaimanapun adalah sesuatu yang nggak bisa gue kontrol. Sekalipun bisa, mungkin hanya berlaku untuk satu atau dua orang yang gue tegur tadi. Selebihnya, gue bukan polisi, bukan security atau petugas dishub yang punya wewenang untuk mengatur keadaan disana. Itulah kenapa, respon gue menjadi segalanya. Karena satu-satunya orang yang bisa gue kontrol adalah diri gue sendiri, pola pikir gue.

Detik itu juga gue berusaha mengubah respon gue dengan senyuman. Walaupun senyum gue mungkin nggak terlihat karena tertutup masker, paling tidak senyuman itu berguna untuk bisa menenangkan diri sendiri. Menyiram api-api yang sedari tadi nggak berhenti menyala di kepala gue. Awalnya susah memang, apalagi kalau situasi nggak menyenangkan itu masih berlangsung gue rasakan. Bahkan pada respon berikutnya gue hampir menggerutu lagi, tapi sesaat kemudian gue harus mengingatkan diri sendiri untuk bersabar. Toh pada akhirnya gue hanya bisa maklum. Karena gue bukan sedang berada di Shibuya crossing yang meskipun tempat penyeberangan disana merupakan yang paling sibuk di dunia, semua pejalan kaki yang melintas patuh pada aturan. Gue juga bukan sedang berada di Jerman yang memang terkenal sebagai negara ramah pejalan kaki dengan infrastruktur yang baik. Bukan pula sedang berada di Korea Selatan yang termasuk negara dengan mobilitas tinggi, tanpa harus menyaksikan mobil-mobil dan angkutan umum chaos di sisi jalan. Gue hanyalah anak manusia yang berada di belahan dunia lain di Indonesia, yang kondisinya jauh sekali dari apa yang gue sebutkan di atas. Maka yang bisa gue lakukan adalah bersabar, dan maklum.

"Tapi apa itu artinya sah-sah aja kalau seseorang menghalangi jalanan bagi pejalan kaki yang lain?"

Bagi gue sendiri, punya rasa peka dan kepedulian yang tinggi, serta nggak menjadi ignorant saat lo sedang berada di public place semacam trotoar, mal, dsb.nya adalah sesuatu yang penting. Meski kenyataannya sulit, gue sendiri masih berusaha untuk nggak semata-mata memikirkan diri sendiri saat berada di jalan. Barangkali, kan, ada orang yang membutuhkan bantuan gue saat di tengah perjalanan itu. Gue maklum nggak semua orang punya awareness ini, tapi gue juga berharap bahwa kita bisa lebih tertib lagi ketika berbaur atau bersosialisasi dengan orang lain di ruang terbuka. Karena nggak semua orang bisa santai di jalan, nggak semua orang juga jalan-jalan untuk berlibur dan beli baju. Ada kok, yang semata-mata keluar hanya untuk beli bahan makanan buat buka puasa.

Tulisan kali ini gue dedikasikan sesuai dengan tema "Jalan" untuk awal bulan dari #1minggu1cerita. Entah kebetulan atau memang sudah "direncanakan", peristiwa kecil yang gue alami hari ini dan gue ceritakan di atas seperti kembali menyadarkan gue bahwa jalan untuk bersabar itu ternyata banyak cabangnya. Dan seringkali disitulah ia hadir, berdampingan dengan sesuatu yang kita benci dan sangat tidak ingin kita jumpai. Gue jadi belajar untuk nggak egois, dan nggak memaksakan apa yang selama ini menjadi kebiasaan gue. Karena bagaimanapun, disinilah kaki gue menapak saat ini. Di tempat yang masih banyak terletak kekurangannya, yet in fact menjadi tempat yang juga memberi satu pelajaran tambahan untuk gue bisa lebih bersabar. Sebagaimana hidup yang dihiasi hilir mudik cerita manusia, bersabar ketika di perjalanan sesungguhnya bisa menjadi jalan lain untuk kita mengenal diri sendiri dan kondisi di sekitar kita.

Akhir kata, semoga sehat selalu untuk kita semua. Lebaran sebentar lagi, manteman! Sedih, nggak? Gue sih so pasti sedih banget. Banyak faktor yang membuat suasana Ramadhan tahun ini menjadi tak ada bedanya dengan tahun lalu, if you know what i mean🤧

Eniwey, ada yang pernah merasakan pengalaman buruk jugakah saat sedang di perjalanan? Coba ceritakan versimu, ya😁 Let's sharing! xx.

Share
Tweet
Pin
Share
22 komentar
Owari

Akhirnya setelah sekian drama dan purnama yang harus gue lalui selama setahun lebih ini, tanggal 28 April kemarin gue selesai yudisium tanpa harus ada revisi tambahan ini itu. Sebelumnya gue pernah bilang di postingan Cuma Cerita #3 , bahwa dari sejak akhir bulan Maret lalu skenario hidup gue terasa benar-benar plot-twist. Alasannya karena berdasarkan jadwal yang seharusnya, kemungkinan gue nggak akan bisa ujian sidang bulan April ini. Dimana pada saat akhir Maret itu gue masih proses pengolahan data. Lha, gimana maksudnya, Awl?

Hm, ceritanya begini.. dari bulan Maret awal gue udah nargetin untuk bisa sidang bulan April karena biasanya ujian sidang selalu dilaksanakan pada akhir bulan. Sementara pendaftarannya dibuka pada pertengahan bulan. Mengingat saat itu gue masih berada di pertengahan Maret, gue pikir gue bisa menyelesaikan semuanya sampai di akhir Maret. Tapi ternyata, berita mengejutkan tiba-tiba muncul dan meruntuhkan dunia dan segala rencana gue.

Jadi, yang semula gue kira ujiannya dijadwalkan pada akhir bulan April, ternyata dimajukan jadi awal bulan, tepatnya tanggal 7 April. Dimana pendaftarannya sendiri dibuka lebih cepat, yakni tanggal 23 – 28 Maret, yang mana pada saat itu udah tanggal 21 dan gue masih on progress mengolah data🙃.
 
Entah mungkin alasannya karena memasuki bulan Ramadhan atau apa, sehingga jadwal yang biasanya di akhir bulan lalu dimajukan menjadi awal bulan, yang pasti saat itu gue kaget dan lemas sejadi-jadinya. Gimana nggak? Waktu seminggu nggak mungkin cukup untuk gue bat bit bet kelarin skripsi beserta perintilannya. Mungkin bisa, tapi isinya bakalan hancur, dan gue nggak mau seperti itu. Hanya karena gue telat lulus, bukan berarti gue mau merelakan konten skripsi gue yang asal-asalan itu diuji alakadarnya. Dengan semangat yang langsung anjlok, gue sempat berhenti untuk beberapa hari. Padahal waktu itu sisa pembahasan data kuesioner, dan gue udah bisa lanjutin BAB V. Tapi tetep, gue nggak akan bisa ngejar jadwal yang ada, pikir gue. Karena sekalipun skripsi gue bisa selesai, waktunya nggak cukup untuk dipakai bolak balik Bandung dan urus persyaratan ini itu. Pokoknya bakal mepet nggak karuan, deh.

Akhirnya selang seminggu setelah pengumuman itu diedarkan, gue yang sudah berusaha ikhlas kalau ujian sidangnya diundur ke bulan berikutnya dapat kabar lagi dari teman gue yang sebelumnya memang berencana akan daftar sidang bareng, bahwa jadwal ujian sidangnya kembali dimundurkan jadi tanggal 28 April, dengan pra-sidang tanggal 21, dan pendaftaran dibuka tanggal 13 – 17 April, dengan alasan agar bisa memberikan kesempatan untuk mahasiswa yang lain yang memang berencana sidang di bulan itu. Waddd! Gue langsung seneng dong! Dari yang tadinya baterai gue cuma 10%, tiba-tiba langsung naik 100% dan tepat tanggal 30 Maret itu akhirnya gue langsung gas lagi untuk melanjutkan apa yang sempat tertunda, dan buru-buru deh kabarin kedua dosen pembimbing gue saat progress-nya sudah selesai gue kerjakan.

Dengan masukan-masukan dari beliau, gue akhirnya mengantongi izin untuk daftar dan cuss ke Bandung untuk mengumpulkan persyaratan plus daftar sidang saat hari pertama puasa, yakni tanggal 13 April 2021. Kebayang, kan, mana panas terik, hari pertama puasa, macet pulak di jalan. But i was really grateful karena pada akhirnya kesempatan ini datang juga. Ingin rasanya gue teriak saat itu, AKHIRNYA GUE GAK JADI WISUDA OKTOBER! Wkwkw. Karena bulan April ini adalah ujian sidang terakhir untuk wisuda gelombang II, yakni bulan Juni. Selebihnya sudah otomatis masuk gelombang III di bulan Oktober, karena jarak setelah yudisium dengan wisuda itu minimal harus satu bulan, nggak bisa berdekatan. Yaa walaupun waktu itu gue belum pasti lulus, tapi yang penting PD aja dulu!😝.

Alhamdulillah, walaupun selama empat hari di Bandung itu juga nggak lepas dari drama, setidaknya semua terasa dipermudah oleh Allah. Tanda tangan sama Kadep lancar tanpa hambatan, begitupun para dosen pembimbing gue yang sangat perhatian dan nggak horror seperti pengalaman kebanyakan orang. Mungkin yang bikin agak dramanya cuma sedikit aja, itupun karena slow response, huhu. But yeah, namanya juga hidup yang seperti roller-coaster, nggak mungkin dramanya cuma secuil-cuil aja. Pada saat hari pra-sidang beberapa hari kemudian, gue ngerasa bener-bener digodok dan jadi orang paling bodoh sedunia. Udah kebayang lah yaa kenapa, wkwk. BIASALAH. Walaupun maksud dosen penguji mungkin ingin mendengar gue mempertahankan argumen atas penelitian yang susah payah gue kerjain, tetep aja pas hari H-nya mah metong, kaget. Ditambah badan gue masih kerasa sakit abis perjalanan dari Bandung sebelumnya. Alhasil sejak hari pra-sidang itu gue melo terus bukan main. Muka nggak kerawat, even cuci muka aja sampe lupa, makan pun nggak nafsu, mana kebetulan lagi sariawan juga (nah lho triple combo dah), yang ada bisanya cuma pingin nangis aja kepikiran nanti pas ujian gimana. Apalagi gue harus ngomong bahasa Jepang, kan. Ini dia nih, bisa dibilang jadi salah satu ketakutan terbesar gue kenapa kemarin-kemarin takut lulus.

Singkat cerita, setelah seminggu no life, hari ujian pun tiba dan semuanya serba dilakukan secara virtual, dari mulai pembukaan sampai presentasi dengan masing-masing dosen penguji. Ujian pertama dilakukan jam 7 pagi dengan salah satu dosen penguji gue, dan begitu seterusnya sampai pukul 9.30 WIB. Alhamdulillah, kekhawatiran gue selama seminggu kebelakang itu ternyata nggak terjadi karena semuanya berasa dilancarkan dan dimudahkan atas seizin Allah. Gue yang tadinya berdo'a agar bisa selesai ujian minimal pas sebelum dzuhur, justru malah yudisiumnya yang selesai pada saat dzuhur karena gue dan teman-teman yang lain juga selesai lebih cepat.

So, begitulah cerita gue yang super duper singkat dari bulan April yang paling ditakuti ini. One of my biggest fear in life sudah terlewati, masih banyak ketakutan-ketakutan terbesar lain yang mungkin akan gue hadapi nanti. Maka dari itu, kalau ada yang tanya apa rencana setelah ini? Yaa mungkin itu, menghadapi "ketakutan-ketakutan" terbaru dalam hidup. Yang pasti harus keep moving forward dan menata hidup, kan😁.

Beberapa teman mungkin ada yang merasa selebrasinya belum lengkap kalau belum wisuda, but for me personally, gue merasa lebih release pada saat setelah sidang. Karena sesungguhnya saat itulah beban-beban gue menjadi mahasiswa terangkat perlahan. I don't think i need any celebration since we are in the midst of a pandemic. Mungkin hanya toga dan selembar foto yang bisa gue jadikan kenangan dari sana. Selebihnya adalah hadiah yang gue harap bisa gue berikan untuk keluarga gue.

これで私は社会人になって、学生生活はもう終わりました😭!皆ブログで応援してくれてありがとうございました♥️。これからもよく頑張りまーす💪🏻。

Anyways, apa kabar teman-teman semuanya? How's your day? 

P.S: Belakangan ini kok gue merasa dunia blog jadi agak sepi yaaa.. Apa teman-teman merasakan hal yang sama, ataukah ini cuma perasaan gue aja karena baru nongol lagi?😂
Share
Tweet
Pin
Share
43 komentar
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Terlalu Besar Untuk Gagal
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Just Listen
  • Bukan Salah Indonesia

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • The Phantom of the Opera: Di Balik Danau
  • Cuma Cerita
  • Priority Chat
  • Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Cuma Cerita #2
  • Kiamat Sudah Dekat
  • Spoonerism, Alasan di Balik Keselip Lidah
  • Bad For Good
  • 36 Questions Movie Tag

Blog Archive

  • ▼  2023 (1)
    • ▼  Februari 2023 (1)
      • Kejar Passion itu Omong Kosong
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (31)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

digital marketing Intermeso karir Krisis 1/4 Abad lifestyle Opini Perempuan Podcast Poetry Review slice of life Thoughts

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.