Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram twitter LinkedIn YouTube Spotify Email

Notes of Little Sister



Kejar Passion itu Omong Kosong



Siapa di antara kamu yang sering menemukan postingan quotes tentang mengejar passion seperti gambar di atas?

Gue sering, dan dulu hampir selalu tersihir ketika menemukan kalimat ini di postingan media sosial mana pun. Terdengar powerful dan sangat memotivasi. Tapi sekarang, entah kenapa buat gue kalimat "kejarlah passion-mu" itu terdengar cuma angan-angan, cuma omong kosong. Karena pandangan itu membuat passion seakan-akan menjadi suatu syarat mutlak yang harus kita kejar untuk menentukan arah hidup. 

Gue sering banget mendengar atau membaca cerita orang-orang di media sosial tentang bagaimana putus asanya mereka berusaha mengejar passion yang-entah-apa. Bahkan hingga di usia yang terbilang sudah sangat matang, masih banyak yang merasa gagal hidupnya ketika belum tahu apa sesungguhnya bidang yang ia minati. Jenuh sedikit, lantas merasa bukan passion. Gagal di satu bidang, berpikir "mencari" passion adalah solusi atau jawaban. 

Kadang kita lupa, hal-hal yang manis itu sifatnya hanya sementara. Passion, yang banyak orang katakan sebagai fondasi hidup juga bisa membosankan dan bikin jenuh pada akhirnya—dan ini pula yang gue rasakan. Passion nggak membuat gue terus bisa menikmati pekerjaan atau hobi yang gue tekuni.

Gue masih sering membanding-bandingkan penghasilan yang bisa gue dapat kalau gue stop pursuing my passion. Hingga akhirnya gue merasa ada yang salah dengan konsep passion yang selama ini gue atau masyarakat kita pahami. 

There is no certain passion in life.


Passion nggak hanya ada satu, passion bisa berubah-ubah selama proses kita hidup dan belajar. Passion adalah sesuatu yang abstrak, yang kadang-kadang nggak disadari datangnya ketika kita sudah menemukan itu. Passion juga nggak selamanya sesuatu yang berasal dari dalam diri secara alami, sometimes we have to work on it. Dan once kita menjadikan passion tersebut suatu pekerjaan, it becomes just that, a task we must do. Ini yang gue bilang passion bisa membuat jenuh pada akhirnya.

Lagipula, berbicara soal passion, nggak semua orang punya privilege untuk mengejarnya—bahkan sekadar untuk menyadari bahwa istilah seperti ini ada. Sebagian orang hanya tahu bahwa mereka harus bekerja, mencari uang, dan menabung untuk mendukung finansial dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Itulah kenapa, untuk sebagian orang, terkadang mengejar passion terdengar seperti omong kosong belaka. 

Gue teringat dengan statement teman gue yang pernah berbagi opininya soal passion. Menurut dia, passion itu bukan satu profesi atau minat seperti asumsi kebanyakan orang. Namun justru adalah energi yang bikin kita terus hidup dan semangat dalam menjalani aktivitas sehari-hari, terlepas dari berbagai rintangan yang ada. Energi yang membuat kita berani untuk menghadapi rintangan-rintangan baru dan belajar menguasainya. Sebagaimana arti katanya dalam bahasa Indonesia: gairah, semangat, kegemaran, atau keinginan besar. 

Passion is the energy that keeps us going, that keeps us filled with meaning, and happiness, and excitement, and anticipation. Passion is a powerful force in accomplishing anything you set your mind to, and in experiencing work and life the fullest extent possible.

Passion adalah energi yang membuat kita terus maju, yang membuat hidup kita dipenuhi dengan makna, kebahagiaan, kegembiraan, dan antisipasi. Passion adalah kekuatan yang sangat besar dalam diri kita untuk mencapai apa pun yang ingin kita lakukan, baik dalam lingkup kerja, hingga kehidupan pada umumnya sampai batas maksimal yang kita bisa.

Ngejar Passion Menghambat Eskplorasi Diri


Selain itu, meyakini bahwa mengejar passion itu adalah satu-satunya solusi atau kunci dari "keberhasilan", juga bisa membuat kita kehilangan ruang gerak untuk eksplorasi. Karena yang ada di kepala kita ya passion ini cuma satu, mutlak. It's like the future goals.

Padahal lagi, yang membawa kita menuju kesuksesan itu bukan hanya konsisten dalam satu bidang, tapi juga keterbukaan, resilient terhadap segala hal baru atau yang akan kita hadapi di masa depan, yang tentunya bisa mendorong kita untuk tumbuh. 

Indeed, research has shown that believing passion is fixed can make people less likely to explore new topics—potential new sources of passion. 

Rasa enggan untuk eksplorasi karena berpikir belum menemukan passion itu pada akhirnya bisa bikin kitajadi lebih mudah putus asa dalam mempelajari sesuatu ketika menemukan sedikit kesulitan.

Why don't you try to focus on actively developing a passion instead? 


Passion Tidak Sama dengan Profesi


Jadi, kalau ada orang yang bilang bahwa passion itu hanya bisa tercapai ketika kita udah berhasil mendapatkan profesi yang diimpikan, menurut gue pernyataan ini kurang tepat. Meskipun kenyataannya, siapa sih, yang nggak merasa passionate dan berapi-api ketika berhasil dapetin pekerjaan yang dia mau? Tetapi tetap aja, energi yang kita punya ini sifatnya fluktuatif.

Waktu gue pindah ke pekerjaan yang baru, di beberapa bulan pertama gue merasa sangat bergairah untuk belajar banyak sekali hal baru dan menantang, sampai di suatu momen dimana gue sadar bahwa tanggungjawab yang gue emban ini cukup besar dan menguras pikiran serta tenaga, perasaan berapi-api ini mulai turun kadarnya. Nggak semenggebu pada saat pertama kali gue on-board. 

Tapi, apakah itu artinya gue kehilangan passion, dan harus mencari pekerjaan baru untuk menemukan excitement itu lagi? Nggak juga, sampai sekarang gue masih passionate kok. Passionate karena gue ingin belajar lebih dalam soal pekerjaan gue, bukan karena profesinya.

Dan bukan nggak mungkin hal ini juga yang kamu rasakan. You feel burned out, stressful over the responsibility that you must carry on at work that made you demotivated and want to quit your job ASAP. Maybe it's not the passion that is wrong, but the bad system and time-management that put you on this situation. Passion itu hilang, tapi bukan berarti nggak ada.

Gue paham, seiring dengan meningkatnya kesadaran soal pentingnya work-life-balance di lingkungan sosial saat ini, kita jadi bisa dengan mudah menyimpulkan sendiri perasaan yang kita punya, hanya berdasarkan pendapat mayoritas. Tapi, alangkah lebih baiknya untuk bisa mengenal diri sendiri, sebelum memutuskan apa maksud dari "passion" yang selama ini kita cari.

Apakah yang kamu butuhkan itu sebetulnya suasana baru, atau memang passion alias gairah/semangat/motivasi? Bisa jadi, yang kamu kira nggak punya passion, justru selama ini passion tersebut ada disana. You just don't realize it, karena ternyata yang kamu butuhkan adalah minat baru, suasana baru, tantangan baru untuk mengembangkan passion tersebut.

"When you’re pursuing your passion, it’s important to bear in mind that resilience is key, because the pursuit of passion is an ongoing—and challenging—process."


Referensi:

Harvard Business Review: 3 Reasons It's So Hard to Follow Your Passion

'Follow Your Passion' is the Worst Career Advice--Here's Why

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
 
Tips Memulai Karir sebagai Career Shifter di Digital Marketing



Sudah satu tahun kebelakang ini gue memutuskan untuk beralih karir dari jurusan Bahasa Jepang ke Digital Marketing, sesuatu yang menarik perhatian gue dalam dua tahun terakhir. Sejujurnya gue udah sering banget curhat tentang struggle dalam menempuh perkuliahan disana. Bagi yang ngikutin blog dari lama, mungkin udah bosan kali ya dengerin celotehan gue soal kehidupan kuliah. Dalam waktu yang terbilang singkat ini, ada berbagai lika liku yang mesti gue lalui dalam menjadi seorang career shifter.

Alasan gue menulis ini sebetulnya karena ada satu pertanyaan yang muncul di aplikasi NGL gue. Kira-kira begini pertanyaannya.

Tips Memulai Karir sebagai Career Shifter di Digital Marketing

Berhubung gue belum sempat menjawab pertanyaan ini secara langsung di Instagram, jadi gue memutuskan untuk menyimpannya di blog andai kata ada teman-teman yang ingin baca lagi, atau mungkin ingin share ke temannya yang lain. 

Jadi, selama ini apa sih struggle yang mesti gue hadapi ketika mencari kerja yang nggak selinear dengan jurusan kuliah?


1. Nggak Punya Sosok Mentor


Proses mencari kerja memang nggak ada yang mudah. Selain karena kenyataannya seperti itu, fakta lain adalah bahwa gue nggak hanya bersaing dengan teman-teman satu angkatan, tapi juga lulusan bahasa Jepang dari univ lain, eks karyawan atau alumni top university di Jepang, kakak tingkat, adek-adek tingkat gue yang lulus di tahun yang sama, bahkan orang-orang dari jurusan lain yang udah punya sertifikat JLPT.

Gue bingung, putus asa, kecewa, bertanya-tanya. Gue pingin dapat pekerjaan yang sesuai dengan jurusan, tapi gue menyadari kemampuan gue saat itu belum siap untuk dibawa ke dunia kerja. Ada sekat yang tipis antara insecure, dan memang belum mampu. Sementara, gue nggak ingin menganggur lama-lama. Ditambah segala perasaan traumatis ketika bersinggungan dengan Jepang yang masih menghantui.

Maka jalan satu-satunya yang terlintas di kepala gue adalah berpindah haluan. Tapi karena gue hanya sendiri, dan senior serta kerabat yang gue kenal rata-rata adalah mereka yang kerjaannya linear, gue jadi nggak punya gambaran soal career shifting dan gak ada yang bisa gue tanyai secara spesifik tentang itu. So, I was like alone wolf.  Mau nggak mau, gue harus mencari berbagai macam referensi dan informasi soal karir, kursus online endeblabla seorang diri.


2. Harus Bisa Catch Up Skill


Tantangan lain yang mesti gue hadapi sebagai career shifter adalah harus bisa terus catch up dengan kemampuan yang didalami, ritme kerja yang cepat, hingga istilah-istilah yang kurang familiar yang berada di luar scope kita selama ini.

Well, gue yakin yang satu ini sebetulnya nggak hanya tertuju untuk orang-orang yang switch career. Siapapun pasti punya tekanannya tersendiri untuk bisa catch up dengan pekerjaan. Karena kalau sudah masuk ke ranah kerja, kita pasti dituntut untuk belajar juga hal-hal baru.

Hanya saja dalam kasus gue, karena gue belajar digital marketing dari nol, gue merasa bahwa gue harus berusaha dua kali lipat lebih keras dari mereka yang udah punya basic dan pengalaman mendalam soal digital marketing. Karena kalau gue lengah sedikit aja, gue akan tertinggal jauh sekali di belakang. Dan itu juga lah yang gue rasakan saat ini.


3. Nggak Punya Sesuatu yang Menjual di CV


Realita pahit ketika melamar kerja di bidang non-linear adalah nggak punya sesuatu yang bisa dijual selain pengalaman organisasi atau volunteer di CV. Ada kalanya di beberapa waktu, gue jadi ngasal melamar ke bidang ini itu tanpa memikirkan strategi. Nyoba ngelamar jadi Script Editor, Production Assistant (hanya karena gue senang dunia broadcasting), Audio Editor, Personal Assistant, Public Relation, sampai Staff Admin.

Karena gue nggak punya background yang jelas yang representatif dengan bidang tertentu, gue jadi merasa bebas melamar ke posisi apapun sesuka hati. Padahal nggak semudah itu. Gue lupa bahwa saingan gue di loker yang sama adalah mereka yang kemungkinan besar datang dari background yang sesuai. Dengan adanya fakta ini, otomatis gue udah tersingkir duluan sebelum rekruter melihat lebih dalam CV gue.

Lalu, gimana caranya biar kita bisa melamar di bidang tertentu meski nggak punya background yang sesuai dengan profesi impian? 

Nah, gue akan kasih jawaban dan sedikit tipsnya berdasarkan pengalaman gue di bawah ini.


1. Know Your Interest


First and foremost, yang menurut gue perlu kita pikirkan sebelum memutuskan untuk bekerja di bidang yang nggak linear dengan jurusan atau pengalaman sebelumnya adalah know what we want to do. 

Dulu, saat gue masih menganggur dan kebingungan soal karir, hidup gue nggak semata-mata kosong begitu aja. Gue punya blog yang bisa dijadiin sampingan untuk menyalurkan hobi. Alhamdulillah-nya, dari situlah ide tentang digital marketing muncul. Pun kalau gue nggak kepikiran soal digital marketing, gue yakin apa yang mau ditempuh nggak akan jauh-jauh dari industri kreatif—karena itulah bidang yang gue suka dan ingin gue lakukan. 

Maka dari itu, penting untuk kita menyelami diri sendiri sebelum memulai. Coba perbanyak refleksi dan tanya diri sendiri, apa sih yang disuka? Apa yang ingin dilakukan dalam beberapa tahun kedepan? Apa ada suatu bidang yang ingin dipelajari?

Kalau kita udah tau apa yang mau kita lakukan dan pelajari, insya Allah kedepannya akan lebih ringan untuk dijalani. Because we're certainly going somewhere, even though we don't know exactly how it's going and end. At least, kita punya pegangan. Nggak mengambang gitu aja tanpa tujuan.

Tapi jangan lupa, hobi kita nggak selamanya bisa menyenangkan ketika beralih menjadi sebuah pekerjaan. Jadi, saran gue, kamu juga harus siap jika suatu waktu akan mengalami yang namanya jenuh dan drained ketika menjadikan hobi sebuah pekerjaan. Make sure you find your interest and passion to improve your skill in that field.


2. Gabung di Komunitas atau Bootcamp yang Bisa Menunjang Skill


Ketika sudah menemukan bidang apa yang ingin dipelajari, maka langkah selanjutnya adalah menemukan tempat yang tepat supaya keinginan kamu ini bisa tersalurkan, dan minat serta bakatmu bisa terasah.

In my case, di masa gue bebenah LinkedIn, tanpa sengaja gue terhubung dengan beberapa alumni Revo-U yang baru aja lulus dari bootcamp ini dan postingannya sering banget muncul di timeline. Gue yang penasaran dan memang tertarik dengan DM pun akhirnya mencoba daftar program gratisnya Revo-U Mini Course selama satu minggu (sekarang dua minggu).

Perjalanan gue mengikuti bootcamp berlangsung kira-kira selama dua bulan sebelum gue mendapatkan pekerjaan. Dari Revo-U Mini Course, Rakamin Academy, sampai SangSang University. Bahkan gue sempat mencoba gabung di bootcamp Digital Marketing MySkill selama satu bulan untuk membantu meng-upgrade skill gue di tempat kerja. 

Alasan lain kenapa gue menyarankan untuk ikut bootcamp online atau program sejenis adalah, agar kita punya portfolio dan background yang sejalan dengan bidang tersebut pada saat melamar kerja. Ini dia kaitannya dengan pengalaman gue yang ngasal lamar kerja di posisi yang berbeda-beda. 

Nggak mungkin kan, gue melamar untuk posisi UI/UX Designer kalau gue hanya mengandalkan ijazah Bahasa Jepang tanpa pernah praktik atau belajar sama sekali tentang UI/UX. Itu sih cari mati namanya. Karena itu, menurut gue mencari kerja nggak bisa asal-asalan, mesti well-prepared😉.

Mostly, para recruiter nggak akan melihat setinggi apa nilai akademis kamu di perkuliahan, hingga seberapa beken organisasi yang diikuti. Untuk pekerjaan yang cenderung teknikal, portfolio dan keingintahuan kita yang besar untuk belajar justru lebih menarik dan dibutuhkan di dunia kerja. But, pastikan kita betul-betul belajar di setiap bootcamp tersebut dan mampu merepresentasikan diri kita dengan baik pada saat proses interview. Agar recruiter nggak menilai kita sebagai pemburu sertifikat aja (karena banyak lho yang kayak gini).


3. Bangun Career Network dan Temukan Mentor


Masih berkaitan dengan poin pertama tentang struggle gue soal betapa pentingnya punya mentor. Dengan menambah relasi dan network di bidang yang ingin kita tuju, maka besar kemungkinan juga wawasan kita terhadap bidang tersebut akan semakin bertambah. Setidaknya, meski kita nggak pernah bekerja secara langsung disana, tapi kita memiliki gambaran dari orang-orang yang berpengalaman. 

Memiliki mentor juga bisa membantu kita memahami kelebihan dan kekurangan kita, dimana kita bisa fit in, bagaimana sikap yang baik pada saat melalui proses rekrutmen, hingga besaran gaji yang sesuai dengan posisi kita.

Terkadang ada banyak fresh graduates yang merasa belum berhak untuk memahami soal penghasilan, hak-hak karyawan, rata-rata gaji di bidang profesinya, dll. Padahal menurut gue hal kayak gini tuh mendasar banget dan penting untuk diketahui, paling tidak untuk menghindari perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan orang lain dengan seenaknya. Dari sini, kita perlahan juga bisa mengukur value diri kita.

Karena itu, kalau sudah punya mentor, jangan malu untuk bertanya. Take as many notes as possible, mintai tips dan trik dari mereka yang bisa membantu kita dalam mendalami pekerjaan yang kita minati, dan untuk mencapai career goals.

Gue akan kasih sedikit informasi di bawah ini, tentang platform apa aja yang menjadi acuan gue selama proses mencari kerja.

Mestara

Akun ini sering banget ngasih insight dan motivasi soal karir, keuangan, perkuliahan, pengembangan skill, bahkan tentang realita hidup and the bitter truth about living as an adult. Sesi sharing dan pendekatan yang mereka lakuin ke audiens bikin gue merasa punya mentor, meskipun nggak pernah ngobrol secara langsung. Sampai sekarang gue masih engaged dengan akun ini karena saking relatable-nya. 

Karirfess

Kalau ini bukan mentor sih, lebih tepatnya referensi buat gue bisa tahu sedikit gambaran tentang pengalaman orang lain soal dunia kerja, entah itu sesama fresh graduate, orang yang baru dapat pekerjaan, atau mereka yang curhat soal kerjaan. Selalu ada sender yang minta pendapat tentang berbagai hal, dan seru aja baca tanggapan-tanggapan orang lain di kolom reply. Gue bisa dapat banyak insight soal tips wawancara, tips mengatur pengeluaran dan menabung, sampe cara menghadapi bos yang nggak kenal waktu.


4. Optimasi Akun LinkedIn


Masih satu cakupan dengan poin ketiga, but in more specific way. Ini salah satu platform yang nggak boleh dilupain sama siapapun, mau yang udah dapet kerja atau belum sekalipun. Jujur, gue dapet pekerjaan yang sekarang dan sebelumnya itu malah dari LinkedIn. So, gue yakin dengan mengoptimasikan akun LinkedIn, kita bisa mendapatkan impact yang positif untuk keberlangsungan karir kedepannya, dan tentu untuk personal branding juga.

Aktif disini maksudnya ialah bisa dimulai dengan membenah profile, mengisi semua section yang sesuai dan dapat menggambarkan diri kita, serta bisa juga terhubung dengan orang lain yang sefrekuensi. Tentunya disarankan untuk terhubung yang betul-betul menjalin komunikasi, kalau bisa sih sharing juga di DM. Nggak sekadar nambah-nambah koneksi biar kelihatan banyak.


5. Jangan Cepat Puas, Keep Up the Good Work


Selalu ada langit di atas langit. Sounds cliché, but that's the truth. Selalu ada yang lebih dari kita. Selalu ada celah yang bisa kita pelajari. Apabila diibaratkan dengan gelas, untuk memenuhi gelas yang kosong atau baru terisi setengahnya, kita nggak bisa diem aja nunggu gelasnya terisi tiba-tiba, kan? Kita bukan lagi di restoran mevvah yang bisa dengan mudah menunggu pelayan nuangin air di meja kita. We're currently fighting our own battle, that's why we learn. Mau nggak mau, suka nggak suka, meski kadang lelah, harus kita yang mengisi gelasnya sendiri. 

Lalu, ketika gelasnya udah penuh, jangan cepat puas dulu. Sekali airnya kita minum (ilmu yang udah diserap kita pakai), pasti akan berkurang dan butuh untuk diisi lagi supaya kita nggak kehausan (wondering what's next?). Disinilah menurut gue kita perlu aware untuk terus belajar. Karena pasti masih ada hal-hal yang menuntut untuk dipelajari, bahkan di saat kita udah ahli sekalipun.


6. Aktif Berbahasa Inggris atau Bahasa Asing Lainnya


Di era yang sangat kompetitif ini, mempraktikan kemampuan berbahasa Inggris seolah menjadi satu modal yang penting dalam melamar kerja. Gue memang kurang jago dalam bahasa Jepang, tapi gue nggak mau berkelut dengan satu bahasa itu aja. Apabila gue masih bisa berkembang di bidang yang lain, maka gue harus bisa memaksimalkan kemampuan gue disana.

Meskipun nggak semua pekerjaan membutuhkan keahlian bahasa Inggris, tapi kita nggak tau, rekrutmen mana aja yang nantinya meloloskan kita. Apakah yang mensyaratkan keterampilan bahasa Inggris, atau bukan? Dengan mempersiapkan diri seperti ini, kita juga dapat lebih siap dan nggak kaget jika tiba-tiba diwawancara oleh perusahaan yang mengutamakan keterampilan berbahasa asing.

Intinya, kita nggak tau dari pintu mana aja CV kita bisa lolos. Selagi ada peluang, manfaatkan peluang yang ada tersebut dengan mengasah skill kita. 


7. Be Patient


Last but not least adalah sabar. Karena kita kasarnya adalah orang awam yang sedang belajar hal baru, maka perasaan bingung dan merasa tertinggal itu akan sangat wajar dirasakan. Nggak bisa satu tahun dua tahun kerja langsung expert, pasti ada proses panjang yang harus dilalui. Sejujurnya ini pengingat juga sih buat gue yang baru bekerja di industri ini. Jadi, let's enjoy the process. Karena dari proses itulah kita bisa terus bertumbuh menjadi versi diri kita yang lebih baik.


Sebelum gue tutup postingan ini, gue juga ingin mengingatkan. Bahwa sebelum memutuskan bidang mana yang ingin digeluti, kita juga perlu untuk mempertimbangkan seberapa ingin kita keluar dari jalur tersebut dan mempelajari hal baru? Supaya keputusan kita nantinya nggak diintervensi oleh adanya kemungkinan menjadikan pekerjaan yang baru sebagai "pelarian". Karena percayalah, nggak ada satu passion yang mutlak harus kita punya. Apapun bisa berubah-ubah, sebagaimana hati manusia yang mudah terbolak-balik. 

Selain itu, buat gue sendiri, gue memikirkan ini masak-masak karena ingin mencoba membiasakan ke diri sendiri untuk selalu tau apa alasan gue melakukan sesuatu. It sucks when you do something without really knowing the reason of it. Always start with WHY is one of the key. 

Walau di beberapa kesempatan, ada kalanya hidup manusia mengalir aja seperti air, tapi di situasi tertentu nggak ada salahnya untuk memikirkan kenapa kita ingin melakukan hal-hal tersebut. Once we have the reason, kita juga akan makin mantap dalam mempelajari hal baru tersebut. Begitu pun dalam menentukan bidang yang ingin dipelajari. 

Semangat yaa buat teman-teman yang sedang mengalami hal serupa dengan gue! Semoga kita diberikan kekuatan dan berhasil dalam mencapai apa yang dicita-citakan selama ini. Semua yang gue tulis adalah murni dari pengalaman gue yang masih seumur jagung ini. 

Semoga postingan ini bisa menjawab keresahan teman-teman dan bermanfaat dalam proses mencari jati dirinya, terkhusus untuk anonim yang udah bertanya di NGL gue (semoga baca ya😄). Apabila ada di antara teman-teman yang mau menambahkan, feel free to give comments ya!😉

Kira-kira, apa disini ada yang career shifting juga kayak gue? Sharing, yuk!



Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar
Berawal Dari Kegelisahan (How to produce a creative content with Raditya Dika)

Mendadak gue ingat pernah ikut kelas "Persiapan Menjadi Video Creator" bersama Raditya Dika yang diselenggarakan oleh Kominfo x Siberkreasi tahun lalu dan ingin menuliskan sedikit bahasan pentingnya pada kelas waktu itu. Dalam salah satu sesi, Bang Radit sempat memberikan tips tentang bagaimana caranya membuat ide konten yang kreatif dan bermanfaat.

Menurutnya, hal tersebut bisa dimulai dengan memikirkan kegelisahan diri sendiri, diikuti dengan memikirkan cara untuk bisa menghadapi kegelisahan tersebut. Iyap, jadi pada dasarnya, kita yang punya masalah, kita sendiri yang cari jalan keluarnya, lalu kita coba bagikan deh, ke khalayak umum. Barangkali konten tersebut ngena di sebagian orang, atau mungkin bisa menjadi solusi dan jawaban juga atas kegelisahannya.

Contohnya terdapat di dalam konten-konten Raditya Dika sendiri yang mana salah satunya dapat kita lihat lewat video reels berikut ini:

View this post on Instagram

A post shared by Raditya Dika (@raditya_dika)


Dalam video itu, kegelisahan Radit adalah: tidak bisa tidur dengan lampu dinyalakan, namun ia lupa mematikan lampu dan malas turun lagi saat sudah beranjak ke kasur. 

Cara unik yang dia lakukan untuk bisa mematikan lampu, atau supaya bisa tidur meski lampu dinyalakan adalah dengan melemparkan bola kasti ke arah saklar menggunakan tongkat baseball. Hal itu ia lakukan bukan semata-mata agar saklar bisa tertekan off, tapi agar dia merasa kelelahan dan setelah itu bisa tidur meski lampu dinyalakan.

Well, cara ini memang nggak bisa dilakukan untuk semua orang, mengingat ini hanya komedi🤣. Tapi itulah fondasi yang dimiliki Bang Radit dalam membuat konten-kontennya yang out of the box. 

Selama kelas berlangsung, gue jadi mikir, kira-kira konten atau tulisan apa yang bisa gue buat based on kegelisahan yang gue miliki, ya🤔 Apakah jangan-jangan sebenernya gue udah pernah buat yang sesuai dengan content pillar Bang Radit?

Turns out, setelah gue baca-baca ulang beberapa postingan lama, selama ini gue sudah banyak menuliskan tentang kegelisahan gue ke blog—dan mungkin juga teman-teman bloggers yang lain secara nggak sadar. Walaupun memang nggak semua gue terapkan pilar yang kedua: cara mengatasi kegelisahan tersebut, tapi gladly gue sudah mengerti gimana basis dalam membuat konten itu berkat ilmu yang gue dapat dalam kelasnya Bang Radit.

Beberapa contoh tulisan gue yang berangkat dari kegelisahan adalah Bahagia Perlu Uang? dan Don't Stop. Dalam postingan yang pertama, gue mengajak orang-orang terkhusus teman-teman yang sama-sama sedang mengalami krisis seperempat abad untuk bekerja keras dan memiliki growth mindset terhadap uang, karena bagaimana pun alat tukar ini bisa memberi sedikit banyaknya power dalam hidup kita, entah itu untuk menghidupi diri dan keluarga, atau membantu orang-orang yang tengah kesulitan di luar sana. 

Mengapa ini jadi kegelisahan gue? Karena ketika menulis itu, keluarga gue sedang mengalami masalah pelik soal keuangan. Mungkin ada tiap hari dimana kami harus memutar otak gimana agar uang ini bisa terus berputar, misalnya dipakai untuk berdagang, dan gimana caranya agar uang yang dihasilkan bisa jadi modal untuk hari esok dan nggak habis dipakai menutupi kebutuhan rumah tangga.

Therefore, I came up with the conclusion bahwa keluarga gue akan bisa lebih sejahtera dan senang if I could earn more money for them. Supaya gue bisa bantu biayai adik-adik yang sebentar lagi akan masuk kuliah tahun depan, bisa bayar orang untuk bantu-bantu jalankan UMKM eyang gue, supaya bisa support financial kedua orangtua gue, lalu sisanya ingin bisa membantu orang-orang yang membutuhkan di sekitar. Sebab gue pernah dengar dan belajar, bahwa ujian bagi seseorang itu sebetulnya bisa jadi ujian juga untuk kita. Apakah kita mau bantu seseorang itu untuk melalui 'ujiannya' atau nggak?

Lalu tulisan yang kedua, Don't Stop, berangkat dari kegelisahan gue yang merasa belum qualified enough untuk lulus dari jurusan yang gue tempuh. Gue merasa bodoh dan salah jurusan, karena nggak banyak ilmu yang bisa gue bawa sampai detik itu menjadi mahasiswi. 

Karena saat itu gue masih ingin mengejar cita-cita di bidang yang linear, maka dalam tulisan itu gue maksudkan (lebih tepatnya kepada diri sendiri) bahwa penting untuk kita kembali fokus dengan tujuan awal dan kembali menata rencana-rencana yang bisa kita susun saat diri kita tengah goyah dan kehilangan arah akan tujuan hidup kedepan. Tentunya dalam kasus gue adalah mencari metode belajar yang cocok, dan mengurangi intensitas penggunaan media sosial agar bisa lebih fokus, nggak lagi terdistraksi dengan bisingnya kehidupan internet. 

Hal yang sama juga gue terapkan pada podcast gue, Notes of Little Sister. Kalau teman-teman perhatikan, hampir semuanya mengarah pada kegelisahan dan bagaimana sebaiknya kita deal dengan itu (tentunya menurut diri gue sendiri), and yesss, semua topik itu nggak jauh-jauh dari kehidupan personal gue yang diharapkan bisa jadi salah satu sarana pengembangan diri untuk siapapun yang mendengar. Nanti gue akan posting khusus tentang podcast, bakal ada yang baca nggak yaa?😆

Lihat juga: Manusia Lemah


Berawal Dari Kegelisahan (How to produce a creative content with Raditya Dika)

Kembali soal tips membuat konten dari Raditya Dika, selain mengambil inspirasi dari kegelisahan diri sendiri, tentunya kita juga bisa menjadikan kegelisahan yang kita miliki terhadap lingkungan sekitar sebagai ide konten. Dan tanpa disadari, ini cara yang sudah dilakukan banyak content creator untuk menghasilkan konten-konten yang menarik dan untuk menjangkau massa yang sesuai dengan segmentasinya masing-masing. 

Para content creator ini berbondong-bondong memproduksi konten berdasarkan kegelisahan dan isu-isu yang happening di kehidupan sosial kita. Misalnya aja isu kesehatan mental, pelecehan seksual, investasi bodong, sampai ke persoalan quarter life crisis. Masing-masing dari mereka menawarkan cara uniknya tersendiri untuk bisa melewati atau menemukan solusi bagi audiens dari berbagai permasalahan tersebut—and most of the time it helps! 

Yang paling menarik, nggak cuma konten dengan topik yang serius aja yang bisa diangkat dari keresahan publik, konten berjenis komedi atau hiburan pun masuk-masuk aja, lho. Contohnya yaa kayak video Bang Radit di atas😆

So, buat yang sering kena writer's block, stuck dan kehabisan ide untuk menulis konten, mungkin bisa mencoba dengan breakdown satu per satu apa yang menjadi kegelisahan teman-teman. Dimulai dari skala yang paling kecil, yakni dalam diri, sampai skala yang terbesar. 

Kira-kira, ide konten apa aja sih yang udah teman-teman buat based on kegelisahan? Yuk, sharing!🤩






Share
Tweet
Pin
Share
6 komentar
 
Seksisme: Basi Lo!

Pernah nggak sih, kamu ngalamin dilecehkan secara nggak langsung di ruang publik atau ketika menggunakan transportasi umum? Dilirik, dilihatin dari atas sampai bawah dengan tatapan sensual sama laki-laki—yang terlihat jelas dari tatapannya bukan seseorang yang bisa memuliakan perempuan. Lalu digangguin saat lagi jalan, disiulin, dipriwitin kayak pemain bola, ditanya-tanya sesuatu yang sifatnya personal as if kamu sengaja lagi mejeng untuk menarik perhatian mereka?

Gue pernah, bahkan sering sekali dalam beberapa bulan terakhir ini. Saking seringnya, gue sampai muak dan enggan keluar rumah kalau urusannya nggak penting-penting amat. Males juga harus bolak balik pakai angkutan umum, males meladeni sebagian sopirnya yang nggak tau bagaimana caranya beretika terhadap stranger yang kebetulan perempuan ini. Udah pakai masker, kerudung, ditambah jaket yang disleting hingga leher, dan tertutup sedemikian rupa nyatanya nggak bikin manusia-manusia mata keranjang ini berhenti menggoda cewek yang lewat dan muncul di hadapannya. Seperti yang gue bilang tadi, seakan-akan kehadiran kita disitu adalah 'hadiah' atas dahaga nafsunya yang belum tersalurkan. 


Dipaksa Menguasai Pertahanan Diri


Gue termasuk cukup beruntung karena memiliki wajah jutek yang bisa gue manfaatkan dalam situasi-situasi semacam ini. Tapi lama-lama lelah juga kalau harus auto jalan ngangkang kayak ibu hamil setiap jalan melewati kerumunan bapak-bapak atau anak muda seperti mereka hanya agar gue nggak terlihat feminim di depan mereka. Dan gue rasa, gue bukan satu-satunya yang mengalami mekanisme pertahanan diri seperti ini.

Tumbuh di lingkungan yang patriarkis dengan segala stereotip gendernya terhadap perempuan, mau nggak mau membuat gue terbiasa menjalani hidup dengan penuh ketakutan. Terutama bagaimana kami seakan-akan hanya dipandang sebagai makhluk "visual", makhluk pemuas nafsu, makhluk yang dianggap seperti barang karena segala lekuk tubuhnya adalah tontonan. Meskipun, ya, gue nggak sepolos itu untuk nggak menyadari ada dari kaum perempuan sendiri yang berprofesi demikian. 

Namun masalahnya, nggak semua orang demen dicat-callingin, nggak semua perempuan suka cari perhatian, nggak semua perempuan mau dideketin dan dilecehkan hanya karena dianggap menarik, nggak semua perempuan berprofesi seperti apa yang laki-laki ini pikirkan. Bahkan kalau ada orang-orang yang memang ingin terlihat menarik untuk lawan jenis, bukan berarti mereka nggak bisa dihargai. Gue rasa pelaku-pelaku pelecehan seksual dari skala kecil sampai besar ini perlu direhabilitasi dan mendapatkan pendidikan khusus tentang bagaimana seharusnya dia bersikap dan memposisikan perempuan nggak lebih dari sosok manusia yang memang faktanya punya banyak perbedaan. Dan perbedaan ini bukan untuk dimanfaatkan, tapi untuk dihormati. 

Gue sangat amat lelah dengan ini semua. Bahkan jikalau gue diberikan satu saja kesempatan—yang sangat nggak mungkin—untuk mengubah dunia, mungkin gue lebih memilih untuk menghapuskan segala perasaan dan syahwat antara laki-laki dan perempuan. Biar bisa sama-sama saling jaga tuh mata dan hati.

"Auto jadi malaikat kali!"

Ya jangan dipikirin sampe jauh juga, namanya lagi nge-rant dan berandai-andai sesuatu yang mustahil bagi manusia. Kalau dilawan sama nalar memang nggak masuk, jangan, yang ada malah makin pusing. 

Baca juga: How I See Feminist As A Muslim

Belum lagi serangkaian berita kekerasan seksual yang wara wiri belakangan di media secara nggak langsung semakin menambah kewaspadaan gue sebagai perempuan—dan pastinya teman-teman di luar sana. Gue jadi khawatir, dimana tempat yang aman bagi kami kalau predator-predator seksual seperti itu berkeliaran di sekitar kita? Dan bukan hanya predator itu sendiri, kita juga harus dihadapkan dengan berbagai konstruksi sosial dan stigma yang mengikat masyarakat. Bahkan banyak instansi pemerintah dan tokoh masyarakat, sampai-sampai segelintir tenaga kesehatan yang ikut mengiyakan stigmasisasi dan seksisme macam ini.

Nggak terhitung berapa banyak masyarakat—khususnya perempuan—di media sosial yang sering mengeluh mendapatkan perlakuan kurang nyaman ketika mereka harus memeriksakan diri ke dokter obgyn, ketika masalah yang dialami bukan soal kehamilan, melainkan cuma soal sembelit, menstruasi yang nggak teratur, dan serangkaian konsultasi lain terkait organ reproduksinya. Ditambah lagi kelakuan lucu polisi-polisi kita yang sangat sering bertindak nggak adil dalam mengurus kasus pelecehan, kasus pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lain.

Sebagai instansi yang seharusnya mengayomi dan melindungi rakyat, kebanyakan dari mereka malah ikut menghakimi korban, menutup-nutupi kasus, menyepelekan pengalaman korban seakan-akan mengusut kasus hanya akan membuang waktu mereka. Karena jawabannya apa?

"Kamu yakin? Nanti kamu sendiri lho yang menanggung malu."
"Kita nikahkan saja ya, dengan pelaku."
"Saya sih mau bantu, tapi nanti Anda siap tidak dengan segala konsekuensinya? Semisal dituduh balik dengan pasal pencemaran nama baik?" 

Lha, apa ini? Gaslighting? Bukannya bantu kuatkan dan support, kok malah nambah-nambah beban pikiran korban. Seakan-akan menikahkan korban dengan rapist adalah jawaban terbaik, seakan-akan asas kekeluargaan bisa menyelesaikan semua masalah begitu saja. Memangnya lagi main koperasi-koperasian?

Coba kita rewind sejenak berita yang selama ini mencuat, ada berapa banyak kasus-kasus pelecehan atau kekerasan seksual yang diabaikan oleh aparat, sampai harus menunggu viral dulu untuk bisa diusut? Dalam catatan gue, setidaknya ada enam kasus pelecehan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir—yang mana terus bertambah sejak terakhir kali gue cek linimasa Twitter sore tadi. Bahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pun mencatat kira-kira ada 8.800 kasus kekerasan seksual yang terjadi dari bulan Januari sampai November tahun lalu. Itu yang tercatat di laporan, belum termasuk kasus-kasus lain yang terhambat di persoalan internal keluarga, dan lain-lain.

Beberapa yang sempat ramai di media nasional, di antaranya ada kasus pemerkosaan seorang anak penyandang disabilitas rungu-wicara yang dilakukan secara beramai-ramai (gang rape) di Makassar pada awal tahun 2021, kasus pelecehan seksual di lingkungan kerja pemprov DKI Jakarta yang dilakukan oleh mantan Kepala Badan Pelayanan Pengadaan Barang dan Jasa (BPPBJ), kasus kekerasan seksual 14 anak remaja yang dilakukan oleh pemilik sebuah sekolah, hingga serangkaian kasus pelecehan seksual di perguruan tinggi yang sempat ramai beberapa bulan lalu. 

Baca juga: Kenapa Kita Misoginis?

Let's Break the Bias


Pandangan seksis yang menganggap satu gender lebih superior daripada gender lainnya juga menimbulkan berbagai polemik lain seperti bias gender yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Misalnya, perempuan dianggap nggak terlalu penting untuk bersekolah tinggi-tinggi, karena toh nantinya akan berurusan di dapur, mengelola rumah tangga, dan sebagainya—yang secara nggak langsung juga merendahkan pekerjaan ibu rumah tangga (internalized misogyny). Selain itu, perempuan nggak boleh menjadi pemimpin dalam sebuah organisasi jika masih ada anggota laki-laki di dalamnya, nggak peduli sekompeten apa perempuan ini.

Berbagai batasan-batasan yang stereotypical ini pada akhirnya hanya akan mematikan mimpi-mimpi ribuan anak perempuan yang ingin memiliki kehidupan lebih layak dengan meng-upgrade diri mereka sendiri. Sadar nggak, sih? Lingkungan masyarakat kita sudah sering mengingatkan agar anak-anak dan pemuda pemudinya bisa memiliki taraf kehidupan yang lebih baik, bisa sukses dan menjadi orang yang berguna, tapi sekali saja anak mereka melangkahkan kaki untuk mendobrak stigma-stigma, mereka juga yang menghentikan langkahnya. Langkah-langkah kecil yang berharap bisa sampai di suatu perubahan.

Oleh karena itu, International Women's Day yang diperingati pada tanggal 8 Maret lalu mengusung tema #BreakTheBias, seolah menjadi penggerak sekaligus pengingat bagi siapapun bahwa berbagai bias gender yang dilanggengkan terhadap kaum perempuan selama ini sebetulnya telah memberi pengaruh yang begitu besar tentang bagaimana pandangan-pandangan masyarakat selama ini terbentuk. 

We want to remind everyone that it's not about wanting to be the first or to be the most powerful  over men, but simply wanting the justice we deserve, not just as women, but as human beings—in the name of humanity. Setara bukan berarti melawan kodrat dan memaksa untuk sama, despite segala perbedaan biologis yang dimiliki laki-laki dan perempuan. In my humble opinion, setara berarti seimbang. Nggak ada lagi bias, nggak ada lagi superioritas tanpa batas, nggak ada lagi interseksionalitas terhadap perempuan, nggak ada lagi sistem patriarkis yang menempatkan perempuan sebagai sosok manusia yang nggak punya pilihan, nggak ada lagi kesenjangan dan ketidakadilan sosial terhadap perempuan (atau bahkan kelompok marjinal) di tempat kerja, dan nggak ada lagi pandangan seksis terhadap siapapun. 

To those who think sexism is normal and should be considered as something understandable, basi lo! Let's break the bias, as much as we want changes.



References:

HitsSuara.com: Nakes Dianggap Judgmental ke Pasien KB
CNN Indonesia: Marak Kekerasan Seksual Sepanjang 2021
Share
Tweet
Pin
Share
11 komentar
Kebenaran Ada Pada Diri Sendiri


Ada yang menarik dari bagaimana orang-orang saat ini menunjukan karakternya satu sama lain di media sosial. Setiap kali ada opini, perdebatan atau hal-hal yang bertentangan dari mayoritas, maka dianggap menyimpang, sesat dan perlu diluruskan. Bukan hanya hal-hal yang menyangkut ideologi atau keyakinan, tapi juga tentang preferensi, prinsip dan nilai-nilai kehidupan itu sendiri yang pada dasarnya tentu sangatlah personal. 

Daripada menyampaikan argumen dengan baik, seringkali kita merasa paling benar ketika berdiskusi atau beradu pendapat dengan seseorang. Sehingga saat menjumpai hal yang bergeser dari apa yang kita percayai, seolah ada kecenderungan untuk selalu mau mengoreksi persepsi lawan agar bisa sesuai dengan milik kita. Padahal, sikap seperti ini pada akhirnya bisa berujung menyakiti orang lain, bahkan diri kita sendiri. 

Alih-alih membuka diskusi dengan nyaman, akhir-akhir ini gue sering melihat bagaimana kebanyakan orang di internet justru lebih senang pointing out their logical fallacy terhadap kubu yang "terlihat berbeda" dan memposisikan mereka di kotak yang salah, seakan-akan pemikiran dan pengalaman mereka nggak sama validnya untuk di bawa ke permukaan, seakan-akan ada kamus benar dan salah dalam menyampaikan gagasan. 

Gue nggak bisa menemukan penyebab mengapa orang-orang ini bisa secara lantang menyerang individu lain dengan alasan defending their beliefs, selain keegoisan yang selalu butuh untuk diberi makan. Bahkan sesederhana perkara bubur diaduk atau nggak, we can also be easily offended as if there has to be the right way to eat porridge. 

Kondisi ini membuat gue terasa relate ketika membaca bab favorit dari buku The Things You Can See Only When You Slow Down tentang "menjadi benar" karya Haemin Sunim. Menurut beliau, menjadi benar itu nggak sama pentingnya dengan saling memberi rasa nyaman dan bahagia, karena setiap orang sebetulnya punya keyakinan, nilai-nilai dan pemikiran mereka sendiri yang pasti sangat fundamental untuk mereka that we cannot imagine compromising on. Trying to convince someone to adopt our views is largely the work of our ego. Even if we turn out to be right, our ego knows no satsfaction and seeks a new argument to engage in.

Ini yang bikin gue sering takut dan malas akhir-akhir ini ketika mengemukakan pendapat di media sosial, terlebih lagi Twitter (walaupun cuma nge-tweet alakadarnya dan bukan beropini). Gue sering ditampakan dengan orang-orang yang hobi saling serang satu sama lain hanya untuk memperjuangkan apa yang menurutnya benar. Lebih parah lagi, they did it on purpose, semata-mata untuk mendapatkan pleasure atau kepuasan sendiri atas argumen kosong yang dilontarkan. 

Well, nggak ada salahnya mempertahankan persepsi dan value kita. Tapi ketika sudah memperlakukan lawan bicara selayaknya musuh yang nggak punya thinking process, itu justru akan membuat diskusi jauh dari kata nyaman. What's the point of discussion kalau ujung-ujungnya memaksa orang lain untuk punya value yang sama? Bahkan di dalam agama gue sendiri, dakwah yang baik adalah dakwah yang dilakukan dengan respectful, bukan dengan kekerasan, baik berupa verbal atau fisik.

Bukankah setiap orang punya pendapat dan pengalaman yang berbeda? Pengalaman gue nggak mungkin exact sama dengan pengalaman orang lain, bahkan teman-teman gue. Apa yang mendasari mereka untuk punya pendapat atau sudut pandang yang berbeda juga nggak mesti harus sama. Begitu juga dengan prinsip dan proses pendewasaan gue, bisa berbeda tergantung bagaimana gue tumbuh. Awl yang sekarang, bukan Awl yang sama dengan lima tahun lalu. Dan gue nggak berharap gue yang sekarang adalah orang yang sama beberapa tahun berikutnya. I want to be a better person.

Maka dari itu, sekarang gue lebih senang melipir di pojokan setiap kali melihat keributan di internet. Gue hanya senang memikirkannya sesaat sampai lupa begitu aja, tanpa gue "dokumentasikan" seperti biasanya disini. Terkadang memang ada banyak hal yang baiknya di-yaudahin dan didiemin aja, walaupun nggak salah juga kalau kita mau menuliskan itu dan membagikannya ke orang lain. 

Mungkin sisi positifnya gue jadi bisa lebih kalem dan objektif sebelum menyimpulkan sesuatu, tapi sisi negatifnya gue jadi takut untuk bersuara dan menggali potensi gue lebih jauh lagi. Apakah ini wajar? Bahkan sampai pada titik dimana setiap kali dapat notifikasi, gue langsung merasa gelisah sebelum ngecek notifikasi itu. Gue langsung overthinking, apakah ada omongan gue yang salah? Apakah gue salah nge-tweet atau nulis komentar? While I didn't even tweet something, yet the problem is on them and not me.

Dari sini gue jadi belajar, betapa ucapan seseorang itu bisa memberi pengaruh yang signifikan terhadap psikis orang lain. Now that I have learned something, baik sebagai orang yang dipojokan dan memojokan (I'm not gonna lie that I've also behaved like one at least once in my life or even more), gue akan lebih menjaga kata-kata gue setiap kali menyampaikan sesuatu, even untuk hal yang menurut gue benar dan perlu diluruskan. Because I don't know what they've been through that makes them bring things to the table.


Share
Tweet
Pin
Share
12 komentar
Childfree yang Diperdebatkan

Belum lama ini ramai fenomena gaya hidup tanpa-anak a.k.a childfree/childless menghiasi linimasa media sosial. Saya yang sudah mendengar konsep ini wara wiri sejak beberapa waktu lamanya, agak tergelitik ketika mengetahui fakta bahwa yang membuat isu ini menjadi trending adalah netizen yang bukan penganut childfree yang seolah kebakaran jenggot ketika menemukan prinsip yang bertentangan dengan kebanyakan orang (kedepannya saya akan gunakan kata childless karena preferensi pribadi).
Padahal, sudah cukup lama dan seringnya influencer Gitasav yang mengangkat isu ini bicara tentang pilihannya untuk childless. Yah, memang kenyataannya pro-kontra akan selalu ada, sih. Terlebih untuk negara kita yang mayoritas muslim konservatif, pemikiran-yang-dianggap tabu sebab datang dari negara barat nggak ubahnya ibarat pemahaman anak SD yang mentah dan seakan-akan nggak lolos "sertifikasi" ketika masuk ke Indonesia.
Sama seperti isu feminisme yang dianggap melekat dengan embel-embel LGBT, kita pikir paham ini hanya berlaku untuk para non-binari yang kehilangan haknya dalam bermasyarakat di segala aspek kehidupan. Padahal, feminisme jelas datang sebagai penyelamat bagi kawan-kawan puan yang tertindas dan mendapat perlakuan nggak adil berdasarkan budaya misoginis dan sistem patriarki yang dianut sebagian besar bangsa-bangsa di dunia. Hak-hak untuk mendapat keadilan dalam lingkup politik, pendidikan, pekerjaan, sosial dan masyarakat itulah yang menjadi tujuan mereka sesungguhnya. Namun ibarat peribahasa nila setitik rusak susu sebelanga, beberapa kelompok seakan menihilkan mimpi besar ini.
Mungkin mereka lupa, R.A Kartini juga bagian dari pergerakan feminisme, yang sering kita bungkus dengan istilah emansipasi. Begitu pun dengan konsep childless. Kelompok-kelompok penentang ini bersikukuh bahwa gaya hidup tanpa-anak hanyalah trend atau gaya-gayaan orang luar negeri saja yang memang malas nggak mau punya anak. Padahal tentu kenyataannya nggak semudah seperti apa yang dibayangkan. 
Lagi-lagi sebagaimana childless adalah konsep pemikiran yang dianggap melenceng, orang-orang yang memiliki prinsip yang berbeda ini juga dapat dengan mudahnya dicap nggak cukup Islami oleh beberapa kalangan.
"Halah darimana itu pemikiran! Jelas-jelas jadi orangtua itu ibadah untuk mendapat ridho Allah."
"Kasihan satu amalan jariyahnya terputus."
"Perempuan kok melawan kodrat. Punya rahim tuh ya dimanfaatkan. Nggak kasihan apa sama perempuan lain yang pingin punya anak tapi nggak bisa? Respek dong!"
"Jangan menikah kalau takut punya anak. Apalagi ketakutan gara-gara lingkungannya gak cukup nyaman untuk ditinggali. Kalau begitu Anda nggak percaya sama Tuhan."
Dan masih banyak lagi.
Rasa-rasanya nggak habis manusia dicekoki beragam tekanan yang datang dari sesamanya sendiri. Belum menikah, disuruh cepat menikah. Ketika sudah menikah, seolah dipaksa untuk memiliki anak—walaupun itu bukan satu-satunya tujuan setiap pasangan dalam pernikahan. Seakan-akan kalau nggak memiliki anak adalah dosa besar yang bisa menimpa seisi dunia. Padahal agama Islam sendiri agama yang rahmatan lil 'alamin. Manusia diberi akal agar mereka bisa berpikir dan memilih sendiri jalan yang menurutnya baik dan benar—meskipun pada akhirnya pilihan kita yang barangkali menentukan takdir kedepannya yang memang sudah Allah tetapkan di Lauhul Mahfudz.
Kita diberikan kebebasan untuk menentukan mana yang baik dan nggak untuk diri kita sendiri berdasarkan berbagai pertimbangan. Memang semua ada hisabnya, baik memiliki anak atau nggak. Namun kenapa pula, sih, situ yang panik ngurusin hisab (pertanggungjawaban) orang lain? Pilihan kita tanggung jawab masing-masing, kok.
Daripada sibuk mengkonfrontasi prinsip hidup pasangan-pasangan anti-mainstream ini, lebih baik bantu tingkatkan kesadaran di lingkungan sekitarnya soal keadaan bumi yang semakin kesini semakin rusak ditinggali manusia-manusia serakah. Supaya kehidupan anak cucu kita bisa sejahtera. Itu termasuk menjalankan ibadah dan tugas sebagai orangtua, bukan?
Konfrontasi yang bermunculan di publik ini alhasil hanya menimbulkan kebencian dan permusuhan antar sesama komunitas muslim itu sendiri—sesuatu yang jelas nggak merepresentasikan agama yang penuh kedamaian dan toleransi. Tindakan semacam inilah yang membuat orang lain bisa-bisa punya anak bukan karena keinginan dan atas kesadaran sendiri, tapi semata-mata untuk memenuhi kewajiban sosial.
"Memangnya ada ya yang begitu?"
Oh ya jelas, bung. Buktinya banyak istri-istri korban kekecewaan mertua di luar sana yang mengalami tekanan batin karena belum juga bisa "memberikan" cucu meski sudah di usia pernikahan yang kesekian. Tanpa menyarankan untuk konsultasi ke ahlinya, dengan seenaknya saja para mertua ini menyalahkan sang istri yang nggak melahirkan keturunan. Padahal bisa saja yang infertil ini justru pihak suami, toh. Okay, sepertinya saya terlalu banyak menonton mega-series Suara Hati Istri di saluran ikan terbang. Tapi, perlu diketahui, bahwa sedikit banyaknya kasus tersebut juga terjadi di kehidupan sehari-hari kita.
Lebih dari itu, sebetulnya pengkhayatan keislaman seseorang nggak bisa dilihat sekadar dari keinginannya untuk punya anak (kandung) atau tidak. Ada yang memang memiliki trauma masa kecil dan nggak ingin hal yang sama terjadi kepada anaknya kelak, ada juga yang memang sulit bergaul dengan anak-anak.
"Tapi kalau sudah jadi ibu, kan, aura keibuannya pasti akan keluar dengan sendirinya. Itu natural, lho. Jangan takut."
Iya memang, tapi disinilah masalahnya. Kita perlu mengerti bahwa nggak semua orang bisa mengambil pilihan itu. Ada orang-orang yang memang perlu untuk mempertimbangkan banyak hal sebelum bertindak. Bukan semata-mata karena nggak percaya Tuhan-Nya, namun ia tahu bahwa Tuhan juga menyukai hamba-Nya yang nggak tergesa-gesa dan berpikir bijak sebelum memutuskan. 
Bagaimana jika pasangan-pasangan childless ini ternyata banyak bersedekah dengan tangan kirinya dan memiliki anak asuh di berbagai panti atau yayasan yang tersebar di daerah tempat tinggal mereka? Bagaimana jika orang-orang yang menyuruh mereka memiliki anak justru ternyata menanggalkan banyak kewajiban yang harusnya dilakukan sebagai orangtua?
Meleknya pasangan-pasangan baru terhadap ilmu parenting, finansial, dan sebagainya yang berkaitan dengan peran orangtua adalah salah satu tanda kemajuan sekaligus bangkitnya kesadaran bahwa memang nggak semua orang bisa jadi orangtua yang baik, nggak semua orang sanggup menjadi orangtua, karena peranan ini sesungguhnya mulia dan berat sekali. Ketika ada seseorang yang sadar akan hal tersebut sehingga membantunya menentukan prinsip hidupnya, seharusnya kita hargai dan apresiasi. Mengingat banyak sekali kasus-kasus dimana terdapat ribuan anak terlantar dan dibuang oleh orangtuanya sendiri karena ketidaksanggupan mereka memenuhi kewajiban, yang mana semua itu diawali oleh kurang bijaknya suami dan istri dalam mengambil keputusan.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Terlalu Besar Untuk Gagal
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Just Listen
  • Bukan Salah Indonesia

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • The Phantom of the Opera: Di Balik Danau
  • Cuma Cerita
  • Priority Chat
  • Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Cuma Cerita #2
  • Kiamat Sudah Dekat
  • Spoonerism, Alasan di Balik Keselip Lidah
  • Bad For Good
  • 36 Questions Movie Tag

Blog Archive

  • ▼  2023 (1)
    • ▼  Februari 2023 (1)
      • Kejar Passion itu Omong Kosong
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (31)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

digital marketing Intermeso karir Krisis 1/4 Abad lifestyle Opini Perempuan Podcast Poetry Review slice of life Thoughts

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.