• Home
  • About
  • Opini
    • Pendidikan
    • Feminist
    • Knowledge
    • Intermeso
  • Thoughts
  • Poetry
  • Lifestyle
Powered by Blogger.
instagram twitter LinkedIn YouTube Spotify Email

Notes of Little Sister

Don't Stop Learning

Minggu lalu adalah minggu yang lumayan berat, karena gue baru saja selesai bayar uang kuliah untuk semester berikutnya, dan terpaksa pakai uang tabungan gue (yang tadinya mau gue pakai untuk beli ponsel baru, karena ponsel gue yang sekarang RAM-nya sangat kecil) sebagai tanggungjawab atas diri gue sendiri yang nggak bisa ujian sidang bulan ini—seperti yang direncanakan sebelumnya. Kenapa batal sidang bulan ini? Karena data-data yang gue butuhkan molor terkumpulnya. Bukan karena data-data saja, sih, dari awal semester kemarin progress gue memang lamban karena berbagai kendala. But it's alright, at least i've tried my best. 

Penelitian gue memang lumayan sulit buat dilaksanakan di masa-masa pembelajaran jarak jauh seperti ini karena membutuhkan partisipan, bukan menggunakan pendekatan kualitatif dimana (dalam jurusan gue) pendekatan ini fokusnya ke analisis linguistik. Kalaupun butuh responden biasanya penelitian yang terkait dengan analisis kesalahan penggunaan tata bahasa, dsb. Oh iya, di jurusan gue ini memang ada dua konsentrasi jurusan yang harus dipilih saat akan memasuki semester V, yaitu jurusan Bisnis dan Pendidikan. Oleh karena gue ambil konsentrasi Pendidikan saat itu, alhasil gue harus berjibaku dengan setumpuk data kuantitatif. Ini sempat jadi salah satu pilihan yang gue sesali sebelumnya. Pada saat memilih konsentrasi Pendidikan, gue termasuk cari aman, sebab gue nggak mau berurusan dengan linguistik yang mana akan belajar lebih dalam lagi tentang kebahasajepangan. Apalagi kalau memilih Bisnis, gue akan dihadapkan dengan mata kuliah yang berkaitan erat dengan bahasa-bahasa perusahaan, sebagai entrepreneur, misalnya, and in Japanese definitely. Gue pikir dulu gue nggak cukup capable untuk ambil konsentrasi kesana—when i haven't even tried yet. 

But now i've got my lessons and i try to enjoy things i should have never regretted of.

Ngomong-ngomong soal kuliah dan serentet tanggungjawab, usia segini kayaknya mulai rentan banget menghadapi siklus dimana pencapaian orang lain menjadi terlihat "wah" dan lantas merasa malu ketika melihat diri sendiri yang masih stay di tempat yang sama. Insecure kali ya, lebih tepatnya.

Lihat teman-teman gue bolak balik Jepang dan Korea Selatan buat study exchange atau kerja, lihat teman-teman gue yang satu per satu mulai pergi lebih dulu meninggalkan almamater, lihat beberapa teman gue yang juga mulai sukses merintis usaha dan tekun di bidangnya, lihat teman-teman gue yang mulai aktif jadi content creator, dengan berani mengembangkan skill mereka dan keluar dari jalur akademik yang selama ini dijalani, even ada yang udah sempat kolaborasi sama penulis untuk jadi illustrator design-nya, dan of course, lihat sebagian besar teman-teman gue yang udah mulai bekerja. 

I know, seperti yang beberapa kali pernah gue mention di postingan-postingan sebelumnya, bahwa hidup kita bukanlah perbandingan atau arena balap dimana setiap orang harus dijadikan musuh untuk sama-sama berlomba meraih "garis finish". Life isn't a race with everybody else, but is a race with ourselves, our own lives. Toh bukankah pada akhirnya garis finish kita berbeda-beda? Nggak mungkin ada yang exact sama. Reward-nya pun tentu beda-beda. Ada yang mungkin dapat trophy, ada yang dapat hadiah bertemu dengan orang baru, ada yang dapat hadiah uang seabrek-abrek, atau ada yang sesederhana dapat sebuah hidayah atau pembelajaran berharga dari Tuhan untuk menjalani fase hidup yang berikutnya.

Akan sangat childish dan kontradiktif dengan kata-kata motivasi yang pernah gue tuliskan kalau gue berkata ingin menjadi seperti mereka yang saat ini garisnya nggak lagi sejalan dengan gue—menjadi mahasiswa kolot. Nggak, gue nggak betul-betul ingin menjadi sama seperti mereka cuz i know my place and where i'm standing at. Posisi gue nggak pantas untuk mengharapkan "hadiah" yang sama karena tujuan dan misi berupa pengorbanan atau perjuangan hidup yang teman-teman gue dan gue sendiri alami pasti berbeda. Karena itu, gue justru ikut berbahagia dengan segala pencapaian mereka. Seperti beberapa sohib gue yang baru selesai yudisium kemarin.

Oleh karena itu, poin yang mau gue sampaikan saat ini bukanlah tentang bagaimana cara agar nggak insecure atau bagaimana supaya gue nggak kebanyakan mengeluh dan melihat ke atas, karena jawabannya mungkin hanya satu; gue hanya perlu fokus dengan diri sendiri, jalani dan nikmati apa yang ada sekarang. Melainkan semua ini adalah tentang bagaimana dan apa yang membawa gue pada situasi yang (menurut gue) kurang beruntung saat ini, yang membuat gue merasa tertinggal jauh di belakang, yang mungkin bisa menjadi sedikit pembelajaran untuk teman-teman yang sedang mengalami hal serupa, atau juga sedang ke tahap itu. Bukan gue nggak menikmati hidup dan mensyukuri segala hikmah yang gue miliki sekarang. I do enjoying and trying to be surrendered over the things that happened in my life, but i must be aware too that not all of these are good and fun to get thru. That's why within this post, gue ingin berbagi tentang apa yang sudah gue pelajari dari kesalahan-kesalahan tersebut.

Dulu, dari SD – SMA, sebelum menginjak bangku kuliah gue termasuk anak yang aktif dan lumayan rajin di kelas. Not that ambitious yang bisa saja menghalalkan segala cara agar bisa on top, tapi gue cukup serius dalam belajar, sampai-sampai ketika ranking gue turun, gue akan merasa sangat stress dan gelisah, kenapa bisa? Dan bagaimana cara naiknya lagi? Gue akan kalang kabut. Mungkin karena gue sudah dilatih belajar dari usia 4,5 tahun dan masuk SD 5 tahun tanpa menikmati bangku TK, pendidikan menjadi sesuatu yang begitu kompetitif buat gue. Belum lagi dorongan dari orangtua agar gue menjadi anak yang rajin dan berprestasi dengan baik.

Dalam setiap kerja kelompok pun, gue yang hampir sering meng-handle atau menjadi kepala karena gue kurang percaya dengan hasil kerja orang lain, dan karena gue ingin selalu mendapat nilai yang bagus. Kalau menurut gue ada yang perlu diperbaiki, gue nggak segan-segan untuk mengerjakan semuanya sendiri karena gue nggak rela kalau harus dapat nilai yang kurang memuaskan. Mau kerja secara mandiri atau berkelompok, nilai gue harus bagus!

Namun semuanya berbeda saat gue mulai menikmati kehidupan perkuliahan. Sebab gue mulai menjadi satu-satunya yang memegang kontrol atas urusan akademik, dan karena perkuliahan cenderung lebih santai daripada kehidupan sekolah, membuat gue merasa memiliki kebebasan untuk not doing what i get used to do which is being persistent and passionate in academic matters. Karena, nggak akan ada guru yang memanggil ke ruang BK kalau gue nggak masuk kelas 2 – 3 kali, nggak ada lagi masuk sekolah jam 7.15 dari Senin sampai Jum'at, nggak ada lagi adegan lari-lari ngejar angkutan umum karena takut terlambat, nggak ada lagi guru yang nyariin kalau gue nggak masuk kelas setelah istirahat padahal tadi paginya gue hadir, nggak ada lagi peringkat kelas diiringi dengan pembagian raport oleh orangtua. Semua tanggungjawab ada di tangan gue, mau jadi mahasiswa yang rajin, atau jadi mahasiswa biasa-biasa aja yang sering bolos? It's all up to me. Sayangnya gue memilih menjadi mahasiswa average yang skill-nya nggak meningkat banyak dan sering skip kelas karena belum ngerjain tugas. Iya, lumayan bandel juga gue dulu.

Di perkuliahan, kami diberikan jatah absen tiga kali bagi yang nggak bisa hadir di kelas. Kalaupun bolos lebih dari itu, ya sudah, otomatis nggak lolos mata kuliah yang bersangkutan dan gue masih bisa mengulang di semester depan. Berbeda dengan saat di sekolah dulu dimana semua mata pelajaran harus dihabiskan pada semester itu. Pengawasan dari orangtua pun nggak seketat dulu saat masih di bangku sekolah, mungkin karena mereka terlalu percaya dengan kemampuan gue, saat gue sendiri perlahan-lahan mulai meragukan diri sendiri. Alhasil gue kehilangan arah akan kapal yang sedang gue layarkan.

Gue merasa capek menjadi anak rajin yang sering dimanfaatin orang untuk jadi kepala di setiap kerja kelompok. Gue capek belajar karena nyatanya skill gue nggak bertambah pesat. Gue juga capek belajar karena gue merasa masih bisa ngikutin mata kuliah yang ada, berpikir bahwa toh gue sudah pernah belajar subjek yang sama waktu SMA, tanpa menyadari bahwa tingkat kesulitan mata kuliahnya akan semakin tinggi tiap semesternya. Akibatnya gue lengah, gue nggak bisa ngejar ketertinggalan, gue terseok-seok. Sekalipun bisa ngejar, itu cuma saat di kelas dan gue harus ekstra belajar dulu setiap H-1 (atau bahkan -1 jam) sebelum kelas dimulai. Minat dan semangat belajar gue naik turun, karena gue merasa sudah menyerah duluan ketika melihat orang-orang yang lebih jago dan hebat skill-nya di atas gue. Anehnya, aura kompetisi yang selama ini gue temukan di sekolah nggak ada di bangku perkuliahan. Mungkin karena orang-orang yang gue temui cenderung lebih santai, lebih YOLO, dan nggak terlalu ambisius.

Lama-lama gue jadi berhenti becoming someone i get used to, gue berhenti mengatur berbagai mimpi dan rencana yang mestinya bisa gue capai sebelum saat ini, dan sebelum semester gue kelebihan. Gue berhenti menjadi seseorang yang konsisten dalam berusaha. Gue berhenti punya tujuan. Gue berhenti menjadi seorang Awl yang serius dalam persoalan akademik.

Kondisi ini didukung dengan organisasi dan kegiatan lain di luar kampus yang membuat nyaman. Sehingga gue lupa akan kewajiban dan segala cara yang harusnya gue lakukan untuk meraih tujuan plus menjalankan kewajiban itu. I was lost, cuz i was too comfortable in my zone. Menurut gue, kenapa gue harus terburu-buru kalau gue bisa santai? Kenapa gue harus berlari kalau bisa berjalan? 

"Tuh, lihat, teman-teman di samping gue pada jalan, kok!"

Lalu lupa dengan beberapa teman lain yang awalnya ada di belakang gue, sekarang melesat jauh di depan sana. Terlihat seperti semut kecil di ujung mata. Gue pikir masa depan gue masih panjang, masih banyak hal yang mau gue lakukan, and it's not all about studying in college. Mungkin pendapat ini nggak masalah untuk sebagian orang, and some people might think that it's pretty normal to go through. Namanya mahasiswa seumuran gue, pasti akan menemui banyak hal menantang yang suka nggak suka, atau sengaja nggak sengaja akan dilahap pada akhirnya. Itu juga lah yang mendasari pemikiran santai gue sebelumnya. Tapi gue berusaha untuk melihat dari kacamata yang lain saat ini.

And you know what? Pemikiran ini nggak jauh berbeda dengan seminar-seminar motivasi yang selalu menggaungkan dan mengunggulkan sosok Mark Zuckerberg, Bill Gates dan Steve Jobs, tiga mahasiswa yang sempat DO dari kampusnya di usia 19 tahun untuk merintis perusahaan (yang kemudian menjadi) terbesar di dunia, yakni Facebook, Microsoft dan Apple, agar kita bisa terus memaklumi setiap kegagalan dan movement sebagai validasi atas keputusan yang mungkin saja menyimpang. Masalahnya, kalau hal itu terjadi kepada gue, bukannya belajar mencari jati diri dan memperjuangkan apa yang menjadi passion gue, gue malah akan mendatangkan kegagalan dengan sendirinya. Gue yang mengundang kegagalan lain, dan bukan menghindari itu. Karena hidup gue nggak sama dengan Mark, Bill Gates, dan juga Steve Jobs, yang di-DO dari kampus ternama di Amerika. Kalau gue mau ikut-ikutan kayak Steve Jobs, yang ada malah jadi Steve Jobless. 

Situasi ini semakin diperparah ketika gue menemui beberapa kegagalan baru. Saat gue sedang sadar dan berusaha untuk memperbaiki diri, gue gagal empat kali berturut-turut JLPT (Japanese Language Proficiency Test) intermediate level, dan gagal untuk mengantongi piala ketika gue mendapatkan kepercayaan dosen untuk membawa nama baik kampus di ajang Speech Contest. Padahal gue sangat percaya diri sebab tema yang gue bawakan cukup menarik dan solutif. Gue juga merasa gue belajar dengan cukup sebelum ujian JLPT. 

Saat itu gue ada di semester VI. Gue merasa sudah berusaha cukup keras untuk kembali ada di jalur ini. Merasa termotivasi karena melihat teman-teman gue yang berangkat untuk pertukaran ke Jepang. So i watched animes and dorama everyday, i exercised my listening skill with various Japanese content in YouTube and other streaming platform, i was trying to engage with Japanese fellas who were learning English or Bahasa, baik yang sedang berada di Indonesia atau lewat aplikasi semacam HelloTalk, Hello Pal, Tandem, hingga Duolingo. Beberapa hal tersebut adalah bentuk usaha gue untuk melepas idealisme yang menganggap bahwa belajar bahasa asing nggak perlu mengenal budayanya, dan cukup lewat textbook. Gue mulai realistis dan mencoba jatuh cinta dengan jurusan gue, karena belajar secara teori saja nggak akan membawa gue jauh kemana-mana.

Tapi kenyataannya, gue tetap gagal. Dan semua itu terjadi ketika gue sedang on fire memperbaiki kesalahan gue. I know, seharusnya sudah jelas bahwa gue kurang berusaha dan maksimal dalam mengerahkan kemampuan gue. Namun yang namanya kecewa, selalu datang tepat di waktu-waktu yang sulit. Bukannya mengejar ketertinggalan, gue malah berlari ke samping, menerobos batas dari arena yang gue mulai senangi itu. I was devastated dan seolah mendapatkan pengakuan untuk kembali berada di zona gue yang terlalu nyaman dan melenakan. Karena pada akhirnya, sekeras apapun gue berusaha, gue akan selalu berada di titik yang sama, nggak maju, tapi justru semakin mundur, semakin jauh dan semakin tertinggal.

Lambat laun, gue menyadari bahwa gue nggak bisa selamanya berlari dari track tersebut. Selain karena gue harus menyelesaikan tanggung jawab, gue punya janji tak terucap di dalam hati yang gue simpan untuk orangtua gue (dan keluarga, tentunya).  Dulu, saat memilih untuk masuk ke jurusan yang gue pilih, ayah gue sempat ragu dan bertanya-tanya, "apakah prospeknya akan bagus untuk masa depan kamu setelah lulus?"

Dengan mantap gue menjawab, "iya! Sekarang banyak perusahaan-perusahaan asing dan peluang untuk bekerja dengan ijazah ini pasti akan besar, karena bahasa asing bisa menjadi jembatan untuk kita melihat dunia luar, yah." Nggak persis sama, tapi kurang lebih begitu maksud gue saat mencoba meyakinkan bokap. Sekarang, beliau menaruh harapan besar bagi gue. Dia sudah percaya bahwa gue akan bertanggungjawab dengan pilihan yang gue ambil, dan bahwa gue akan memiliki masa depan yang sedikit lebih baik, karena skill gue sedikit banyaknya mungkin akan menjamin masa depan gue. Gue lupa, untuk mencapai itu, gue harus bekerja ekstra keras, bersaing dengan mereka-mereka yang ber-privilege dan cerdas di bidangnya. Karena gue bukan satu-satunya orang yang ingin bisa berada disana. Nggak kok, orangtua gue bukan typical orangtua yang strict dan nyetir anaknya. Wajar kalau mereka sedikit berharap untuk kebaikan gue. That's why sudah sepatutnya gue memangku tanggungjawab ini.

Beberapa hari lalu, gue mendapat komentar dari kak Eno yang memacu diri gue untuk bisa kembali on track. Kak Eno berpesan, meski susah, penting untuk kita kembali fokus pada tujuan awal kita, kenapa memutuskan itu, dan dalam hal ini memutuskan untuk kuliah di jurusan yang gue ambil. Gue merasa mendapatkan angin segar untuk pelan-pelan kembali memulai track dengan semangat yang baru. Karena sebelumnya, gue memang sedang bertarung dengan berbagai perasaan gelisah akan meneruskan persimpangan ini, atau melanjutkan apa yang telah gue pelajari. Meski masa depan nggak ada yang bisa mengira, setidaknya gue berusaha, dan gue nggak mau berlari untuk yang kesekian kalinya.

Kebetulan juga, tulisan ini gue buat untuk tantangan menulis dari CRLand-nya kak Eno, yang menurut gue temanya sangat relate dengan keresahan yang gue rasakan. So, untuk menjawab dua hal apa yang mau gue improve dari diri gue..

Pertama, gue mau meng-improve cara pandang gue, dalam hal ini unlearn soal nilai-nilai kehidupan yang menggiring gue pada suatu kecerobohan dan ketertinggalan saat ini. Iya, saat ini. Karena masa depan adalah sesuatu yang abu-abu dan gue nggak tahu pelajaran apa lagi yang akan membawa gue nantinya. Namun yang jelas, sekarang gue ingin memantapkan itu dalam hati gue, bahwa untuk mencapai sesuatu, nggak ada kata berhenti dan lelah. Beristirahatlah secukupnya, sewajarnya, hanya saat gue membutuhkannya. Gue nggak mau mudah tergoyahkan oleh beberapa kerikil kecil yang mungkin akan mematahkan semangat gue lagi. Karena Mark Zuckerberg, Bill Gates dan Steve Jobs nggak berhenti untuk melakukan risetnya meski mereka drop out dari college. Dan beberapa orang sukses lainnya, bahkan memulai bekerja dan giat berlatih dalam waktu yang intens sejak mereka masih di bangku sekolah. Salah satu contohnya penyanyi favorit gue, Isyana Sarasvati. Sudah cukup untuk gue bermain-main. Meski, lagi-lagi gue nggak bisa menyamakan hidup mereka dengan gue, tapi untuk mengambil hikmah dan motivasi gue rasa nggak ada salahnya. Daripada selalu menjadikan rasa malas sebagai validasi untuk memperlambat kesuksesan. Nggak ada kata berhenti untuk berjuang. Gue harus menyimpan itu dalam-dalam di benak gue.

Lalu yang kedua adalah me-relearn tentang semua skill gue dalam bahasa Jepang—which is my major. Hal ini sudah pasti gue akan mengulas kembali beberapa mata kuliah dan ilmu kebahasajepangan yang mulai merosot dari kepala gue. It takes time, obviously. Tapi gue mau berusaha untuk memulai semuanya kembali. Nggak benar-benar dari nol, mungkin. Tapi dari track yang terakhir kali gue tinggalkan. Karena pada akhirnya ini semua bukan hanya tentang gue dan idealisme gue. Sebab, dalam beberapa bulan atau beberapa tahun kedepan, gue mungkin belum bisa memberi makan diri sendiri dan membantu membiayai adik-adik gue lewat menulis. So, buat gue saat ini pepatah "better late than regret" lebih pantas disematkan daripada "better late than never". Because i have to be realistic, and see things more clearly than before. Gue percaya gue masih punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Nggak cuma demi diri gue dan segala mimpi-mimpi yang masih tersimpan di buku catatan, tapi untuk orang-orang yang gue sayangi, dan untuk masa depan adik-adik gue.

Sedikit demi sedikit gue mulai menemukan ritmenya. Sekarang gue percaya bahwa belajar bisa darimana saja, dari platform apapun dan nggak mesti selalu kaku, selama caranya positif dan mudah untuk diimplementasikan.

Beberapa strategi belajar masih gue cari, dan beberapanya lagi biarlah gue simpan agar tulisan ini nggak menjadikan gue congkak, melainkan sekadar menjadi saksi bisu, bahwa dalam setiap barisnya, gue menitipkan harapan besar akan perubahan diri gue ke arah yang lebih baik. Semoga, someday, resolusi-resolusi kecil yang telah gue buat serealistis mungkin ini bisa menemui rasa leganya nanti, Aamiin.

Teruntuk teman-teman, juga kakak-kakak yang sudah membaca tulisan panjang ini sampai akhir, terima kasih banyak. Tolong do'akan gue, ya. Gue juga berharap, semoga segala harapan kita bisa terwujud suatu hari, pada situasi dan kondisi yang tepat yang Allah tentukan untuk menerimanya. Semangat!💪🏻♥️
Share
Tweet
Pin
Share
41 komentar
Ada kalanya saya merasa begitu gagal menjadi seorang manusia. Tak berharga. Selalu sia-sia. Tapi ada kalanya pula saya merasa menjadi orang yang beruntung, dan teramat berharga. Banyak hal yang saya bisa dan mungkin orang lain tidak bisa—meski hal sebaliknya pun berlaku. Banyak mimpi-mimpi saya yang baik, yang tak sekadar untuk kenikmatan diri sendiri, tapi juga orang-orang di sekitar saya.

Meski usia yang "bertambah" semakin kesini semakin terasa tak ada gunanya untuk dirayakan, namun saya bersyukur diingatkan bahwa setidaknya saya pernah dilahirkan di hari yang sama 22 tahun lalu—nenurut kalender masehi. Hari dimana mungkin perekonomian belum begitu membaik, tetapi kedua orangtua saya berhasil survived dan mendidik saya hingga menjadi sosok manusia seperti saat ini. Bahkan masih bersama atau tidaknya orangtua saya, saya percaya apapun jalannya proses itu tetap dapat mendidik dan menjadikan saya seseorang yang selalu belajar, yang masih selalu tumbuh dan melakukan banyak kesalahan, yang masih perlu belajar banyak hal tentang hidup, termasuk tentang mimpi dan kenyataan. Saya masih harus belajar mengembangkan skill di bidang apapun, khususnya dalam bidang yang saya pelajari.

Menjadi dewasa membuat saya semakin realistis menjalani kehidupan, dalam aspek apapun. Bahkan dalam persoalan akademik, saya banyak belajar untuk lebih realistis dan mengabaikan idealisme jika memang sudah tak bisa lagi diperjuangkan. Sebab, sulit rasanya hidup di dunia di mana idealisme hidup dalam lembah jurang penuh ketakutan dan keputusasaan. Semua orang berlomba-lomba mengisi perutnya masing-masing, entah bagaimanapun caranya, yang mereka tahu mereka bisa sampai di "tujuan".

Sudahlah, terlalu bosan saya menyinggung tentang carut marut manusia-manusia "lapar" di luar sana.

Terima kasih untuk keluarga, yang selalu menguatkan, mendo'akan, menjadi tempat saya pulang dari segala macam keresahan, dan menjadi alasan utama saya masih bisa selalu bersyukur sampai detik ini. Terima kasih untuk sahabat, teman hidup, partner, orang-orang yang sangat saya sayangi dan syukuri kehadirannya. Tanpa support dari mereka, saya hanya akan selamanya menjadi ignorant. Tanpa teman, tanpa harapan, kelabu rasanya. Terima kasih pula kepada teman-teman di internet, yang bisa membuka sedikit mata saya untuk berharap akan hal baik di dunia yang penuh candu ini, membuat hari-hari saya setidaknya menjadi lebih baik.

Masih panjang perjalanan dan rintangan yang harus saya lewati, sebab itu artinya saya masih harus belajar dengan kesalahan-kesalahan lain yang mungkin akan saya lakukan di masa depan—disengaja atau tidak, kecil atau besar. Jika Tuhan mengizinkan, saya berharap semoga Dia menjemput saya dalam keadaan di mana saya telah belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut, mewujudkan motto sederhana dalam hidup saya belakangan ini; menjadi manusia sebaik-baiknya.

Sampai jumpa di usia yang telah berkurang lagi, nanti—insya Allah.
Share
Tweet
Pin
Share
18 komentar
Tentang Harta yang Paling Berharga

Setelah tujuh bulan ini berkutat dengan ruang hampa sendiri, akhirnya hari Senin kemarin gue dijemput pulang sama ayah gue supaya bisa menikmati libur tahun baru di rumah—yang sebetulnya nggak betul-betul bisa gue nikmati, bahkan semakin bikin stress, karena itu artinya gue nggak bisa santai-santai lagi dalam menyelesaikan tanggung jawab gue, yang selama ini seringkali tertahan dan dikuasai oleh segala macam mood (yang naik turun tanpa henti) dalam waktu singkat. Meskipun minggu depan gue sudah harus segera balik, tapi daripada gue semakin  stress dan overwhelmed di Bandung, setidaknya pulang ke rumah pun menjadi solusi paling baik yang bisa gue lakukan untuk back to reality.

Bicara soal rumah, sebetulnya definisi rumah bagi gue ada banyak. Rumah, tempat gue pulang dari melaksanakan tugas dan kewajiban di luar sana sebagai individu, dimana gue nyaman untuk melakukan segala hal yang pingin gue lakukan disana. Rumah, juga tempat keluarga gue tinggal, yang tentu dalam kenyataan sebenarnya buat gue ada banyak pula, karena ibu dan ayah gue tinggal di tempat yang berbeda, dan adik-adik gue pun tinggal bersama eyang dan tante kami—meski jaraknya nggak terlalu jauh. Terakhir, rumah bagi gue adalah tempat dimana gue kembali ke Yang Maha Kuasa, yang mana menjadi kesimpulan paling jelas bahwa pada akhirnya rumah adalah tempat gue kembali. Dan untuk sekarang, rumah menjadi tempat gue kembali dari segala macam ketakutan, kekhawatiran, dan keegoisan tak berujung yang selama ini hinggap dalam kepala gue  saat harus menjalani hari-hari seorang diri.

Mungkin nggak hanya bagi gue, tapi juga bagi sebagian orang di luar sana, keluarga adalah rumah, dimana mereka nggak hanya sekadar jadi saudara, atau sekadar jadi orang-orang terpenting yang lahir di garis keturunan yang sama—atau bukan sekalipun, tapi literally jadi support system, tanpa harus menunjukan bahwa mereka mendukung gue dalam keadaan apapun. Terkadang, hanya dengan obrolan-obrolan ringan dan cerita-cerita lama tentang kehidupan (yang bahkan sudah sering gue dengar tanpa bosan) dari eyang gue, bagian negatif dalam diri gue terasa seperti healing dengan sendirinya. Kehangatan itu benar-benar bisa jadi obat untuk gue yang beberapa waktu ini terlalu sibuk dengan urusan sendiri sampai lupa gimana rasanya pulang. 

Thankfully, gue menemukan kembali kesederhanaan yang gue (sebetulnya) rindukan selama ini. Kesederhanaan yang cukup untuk membuat gue kembali kepada kenyataan—seperti yang gue mention sebelumnya. Bahwa gue seharusnya cukup berjalan maju tanpa terlalu merisaukan banyak hal. Bahwa gue perlu sadar, satu tahun panjang yang baru saja gue lewati sebetulnya sama dengan tahun-tahun sebelumnya yang berat, penuh tantangan, dan penuh sukacita. Mengutip seperti kata Pak Anton, it's just another year, actually. Karena pada kenyataannya, meski gue berhasil survived, gue tetap melakukan kesalahan besar dengan menyia-nyiakan waktu. Another lesson learned from 2020.

But let's now move on to another topic. Gue sudah cukup banyak belajar menasehati diri gue sendiri beberapa waktu kebelakang ini. Kasian juga lama-lama diomongin terus😂 Consequences are consequences, all i can do is deal with it. Sekarang gue cuma mau bagi-bagi yang manisnya aja.

Hari ini gue merasa lebih hidup. Kayak judul film tentang zombie tahun kemarin; Alive. Karena apalagi kalau bukan gue bisa ketawa bareng keluarga, makan bareng, denger cerita-cerita waktu dulu kedua eyang gue masih muda dan banyak dikejar cowok, lalu pernah naik becak dan nyusruk gara-gara jalanan yang bolong, sampai cerita soal mereka yang nekad bawa motor jauh-jauh dari Jakpus ke Bogor tanpa surat-surat dan SIM karena masih SMP (yang ujung-ujungnya ditilang polisi juga)😂, dan masih banyaaaak lagi cerita seru lainnya. Gue juga bisa main bareng ponakan gue yang lucu dan menggemaskan😍, plus hari ini gue dimasakin palumara sama eyang gue. Yepp! Salah satu masakan khas Sulawesi kesukaan gue—tapi khusus cuma kalau buatan eyang gue🤣. 

Jadi, sedikit cerita tentang silsilah, karena alm. kakek gue orang Makassar, dari dulu eyang putri gue sering banget masakin makanan-makanan khas sana, salah satunya palumara ini—though setelah gue searching ada juga yang bilang masakan ini asalnya dari Palu😂. Paling nggak masih sama-sama Sulawesi lah yaa, wk. Dan karena kebetulan dulu eyang gue sempat buka usaha catering, jadi masakan-masakannya pasti nggak pernah mengecewakan di lidah gue🤤—selain kenyataan bahwa masakan rumah emang terrrdabessttt dan nggak ada yang bisa ngalahin, mau sejauh apapun dan seenak apapun tempat makan yang gue datangi.

So, that's all for me. Walaupun ceritanya sedikit, tapi rasa puas dan bahagia di hati of course lebih banyak dari ini😍. Not bad lah yaa untuk mengawali postingan pertama di tahun 2021😉

o-o

How 'bout you guys? Adakah cerita yang pingin teman-teman bagikan juga di hari pertama di bulan Januari ini? Let me know, ya!
Share
Tweet
Pin
Share
14 komentar
Things I Have Stopped Doing

Sebetulnya gue nggak berniat untuk update blog dalam waktu dekat ini, karena memang lagi rungsing banget dengan beberapa hal in real life—yang membuat gue perlahan harus menjauh dari dunia maya. Pengecualian untuk salah satu platform called Quora, yang baru-baru ini lebih sering gue visit karena somehow media ini lebih sehat dan bisa lebih terkontrol algoritmanya IMO, karena gue bisa memilih sendiri mana topik yang mau gue konsumsi dan mana yang nggak—i don't even know is the algorithm works in this platform?😆

Dan pertanyaan yang terus melekat di kepala gue dari sekian topik yang muncul disana adalah, hal apa saja yang sudah berhenti gue lakukan—yang of course, memberi dampak positif untuk keberlangsungan hidup gue? Tapi karena gue nggak biasa jawab pertanyaan semacam ini di Quora, so just let me share what things i have stopped doing so far in here. Hitung-hitung sebagai refleksi diri dan postingan penutup di akhir tahun.

So, what 10 things you have reduced/stopped doing in your life?

1. Watching TV

Terhitung kurang lebih udah lima atau enam tahun ini gue nggak pernah lagi nonton TV dalam waktu yang lama, itulah kenapa jawaban ini yang paling pertama berkelebat di pikiran gue. Alasannya? Cuz i just don't feel the need to watch any of them, selain karena memang banyak program televisi yang semakin kesini semakin membosankan. Tayangan televisi yang gue tonton terakhir kali ya Mata Najwa, itupun nontonnya di YouTube😂. Ditambah menurut gue, kalau kita kebanyakan nonton TV, rasa nasionalisme gue justru malah semakin luntur karena yang kelihatan pasti yang jelek-jeleknya doang. Berita-berita rungsing tadi lah, acara-acara rumpi lah, atau program pencarian bakat yang berubah jadi acara lawak lah (sampe juri-jurinya juga jadi ikutan lawak), hingga soal sinetron yang alurnya ketebak alias gitu-gitu aja. Pokoknya nggak bikin gue happy dan makin cinta sama negara ini.

2. Using social media extensively

Kehidupan selama pandemi ini jujur bikin gue semakin attached sama media sosial, alhasil gue menyadari banyak waktu yang terbuang percuma. Ditambah kondisi psikis gue nggak merasa lebih baik saat nongkrong disana. Iya sih, saat keadaan gue sedang baik-baik aja, no problemo untuk sesekali cek Instagram, Twitter, Facebook, dsb, untuk dapet informasi terbaru dari komunitas, teman-teman, dan konten informatif lainnya, tapi pada akhirnya kegiatan ini tetap sia-sia. Even untuk mengakses berita yang paling penting sekalipun, otak gue berasa runyam dan drained banget karena yang muncul selalu berita negatif, hoax dan serangkaian polarisasi politik lainnya. So yeah.. saat ini gue sangat membatasi penggunaan medsos. Dua puluh sampai tiga puluh menit sehari cukup, and i'm happier with my real life!

3. Saying yes

Gue rasa salah satu kelemahan menjadi orang yang gak enakan adalah selalu berkata "iya", when i don't really wanna say yes. Entah sejak kapan gue mulai berani untuk memilah-milah kapan saatnya gue bisa bilang iya dan tidak, tapi seingat gue hal ini sudah gue terapkan lumayan lama. Ini bukan meromantisisasi self-love, tapi lebih kepada menghargai diri sendiri dan orang lain, bahwa alangkah lebih baik jika sesuatu dilakukan dengan hati yang tulus dan ikhlas. Bukan karena sekadar.

4. Trying to blend in

One thing I can never tolerate in a group is gossiping other people. Karena itu blend in yang gue maksud disini adalah memaksakan diri hanya agar bisa diterima di suatu kelompok, padahal gue sadar dari sejak awal bahwa gue nggak bisa fit in dengan mereka. Salah satunya kebiasaan ngerumpi. Awal-awal gue masih bisa ngikutin arus, sih, tapi semakin kesini gue semakin bisa memberi batasan untuk diri sendiri. That's why gue sangat sayang dengan teman-teman gue sekarang (yang juga sangat sedikit) ini, karena ternyata kami sefrekuensi.

5. Overdressing

Well, in fact gue nggak semencolok dan selebay itu dalam berpakaian, hanya saja dalam kurun waktu tiga tahun kebelakang ini gue betul-betul prefer cara berpakaian yang lebih simple, baik itu soal style maupun pemilihan warna. Kalau dulu overdressing yang gue maksud adalah gue bisa pakai dua baju dalam satu kali dengan warna yang terbilang terang, contohnya kaos lengan pendek berwarna biru dongker yang dilapisi kemeja warna biru langit as an outer, sekarang nggak, or let's say jarang. I thought this was too much. Harusnya kalau gue mau pake outer untuk menutupi baju yang lengannya pendek, gue bisa pake outer yang bener-bener proper atau paling nggak warnanya jangan terlalu terang. Oh iya, warna pakaian yang gue punya dulu juga lebih variatif, banyaknya sama warna-warna pastel. Now i prefer earth tone as my favorite. It's preference, ofc. Pada intinya gue happy karena sekarang lebih bodo amat sama penampilan😁.

6. Impulsive buying of unnecessary things

Semoga hal ini nggak cuma berhenti gue lakukan karena bokek, LOL. Tapi nggak, sih, kenyataannya gue memang lebih pingin hidup minimalis dari sekarang. Memiliki barang-barang yang sebenarnya nggak terlalu gue butuhin itu bisa makan tempat banyak (dan sangat gue sesali), belum lagi kalau dibuang pun gue bingung harus buang kemana. Kecuali kalau sistem pemilahan sampah di Indonesia lebih tertib dan teratur macam di Jepang, kayaknya sih oke-oke aja *hush😂*.

7. Living in the past

Dengan segala permasalahan hidup as a decent human being, tentu gue nggak bisa selamanya lari dari masa lalu. Banyak malam-malam yang berlalu dengan tangis dan trauma akan segala macam ketakutan, baik itu apa yang gue alami atau justru kesalahan-kesalahan yang pernah gue lakukan yang menghantui. Yah, meski gue tahu gue masih harus struggling dengan ini, tapi setidaknya gue jadi lebih sadar dan merasa lebih content dengan kehidupan yang sekarang. Whatever happened in the past, stay there. Karena yang bisa gue lakukan sekarang hanyalah berjalan maju. Diri gue terlalu berharga hanya untuk menoleh pada hal-hal yang sudah usang.

8. Putting high expectation on people

Jujur gue bingung, apakah gue udah betul-betul berhenti menaruh harapan pada orang lain? Karena seringkali kenyataan nggak seindah harapan. Tapi dari postingan yang terakhir, gue memang belajar banyak untuk nggak lagi-lagi menggantungkan harapan terlalu tinggi terhadap mereka yang justru sama-sama manusia lemah dan banyak bolongnya kayak gue—i'm tryin'. Toh nggak semua orang bisa sejalan dengan gue, nggak semua orang harus sama personality traits-nya kayak gue, nggak semua orang harus sesuai pula dengan ekspektasi gue. I don't wanna be the ones who treat others the way they think God wants them to behave.

9. Judging a book by its cover

Gue punya beberapa cerita lucu sekaligus menohok soal bagaimana tindakan judgmental atau menilai sesuatu dari cover-nya itu mengubah sudut pandang gue. Iya, tapi hanya satu yang sampai saat ini memorable banget. Suatu hari gue lagi kepingin banget makan pempek tapi yang asli dari Palembang. Karena disini susah nyari yang khas Sumatera sana, gue jadi skeptis duluan sama pedagang-pedagang yang jualan pempek disini, sampai pada saat gue ketemu pedagang baru, gue malah suudzon duluan kalau pempek abang itu pasti sama aja kayak pempek lain yang dijual disini, dan akhirnya gue memutuskan untuk nggak beli sama sekali. Kemudian beberapa bulan setelahnya gue pingin makan pempek lagi, tapi karena memang nggak nemu-nemu juga tempat yang gue rasa itu khas Palembang, jadi gue pilih untuk menyambangi salah satu pedagang baru tadi, dan tebak apa? Ternyata si masnya ini baru dateng jauh-jauh dari Palembang buat buka usaha pempek, that's why gue nggak pernah lihat sebelumnya (yang parahnya malah skeptis duluan). Dan tebak lagi gimana?😅 Pempeknya enak bangeettt, asli. Rasa ikan dan cukonya nggak sepahit yang biasa gue makan, jadi pas banget di lidah. Bau ikannya juga nggak menonjol banget, walaupun tetap nggak menghilangkan rasa pempeknya. Pokoknya mirip sama pempek khas Palembang yang pernah gue makan, deh🤧. Sejak saat itu, gue mulai ngurang-ngurangin perilaku buruk yang menilai sesuatu hanya dari luarnya aja. Lucu ya, Tuhan memang punya ribuan cara untuk nyadarin hamba-Nya. Semacam langsung ditampakin, "nih, lihat", begitu😅.

10. Wearing skinny jeans

Katakanlah gue udah kehabisan topik di poin terakhir ini, atau memang kesulitan buat menentukan karena banyak hal yang masih sedang gue usahakan untuk berhenti dilakukan atau dikurangi. Tapi berhenti pakai celana skinny jeans tiba-tiba berkelebat di kepala gue. Well, sebenarnya ini bukan sesuatu yang buruk juga. Setiap orang pasti punya preferensi masing-masing dalam memilih pakaian. Hanya saja buat gue pribadi skinny jeans itu bikin gerak gue nggak leluasa, ditambah membuat bentuk kaki gue terlalu kelihatan. Ini yang gue kurang suka. Memakai pakaian yang terlalu menonjolkan lekukan atau bentuk tubuh itu bikin gue berasa nggak pakai baju. Ditambah badan gue kurus, sangat sangat nggak direkomendasikan untuk pakai baju yang ketat macam gitu—emang udah paling bener pakai baju oversized. So far gue lebih pilih boyfriend jeans atau celana jeans lain yang gombrang, sisanya of courseeee celana bahan atau chino kesukaan gue dari brand lokal😁. Oh iya, skinny jeans yang terakhir gue beli itu sekitar tahun 2015, pas dicoba udah nggak muat lagi LOL.

Dari sekian daftar di atas, setelah dipikir-pikir kayaknya gue paling banyak berkompromi dengan internal diri, bukan sesuatu yang terlihat dengan mata kepala gue sendiri atau orang lain, semacam pakai skinny jeans, atau nonton televisi. Mungkin karena itu bagian dari pendewasaan, dan merupakan sebagian dari hal buruk yang ada dalam diri gue, yang nggak dapat dilihat oleh orang lain, dan hal-hal yang hanya diri gue sendiri yang rasakan. Sebetulnya di balik daftar tadi masih ada banyak hal yang pingin gue berhenti lakukan, atau setidaknya mulai dikurangi, di antaranya procrastinate, nggak males olahraga, overthinking, being a night owl—which i'm still doing right now😌. Semoga perubahan ini nggak cuma sesaat gue lakukan, tapi bisa selamanya berhenti dengan kebiasaan-kebiasaan buruk lain.

Kalau teman-teman sendiri, adakah hal spesifik yang kalian berhenti lakukan dalam kurun waktu lima tahun kebelakang ini? Kalau ada, let me know, ya! I'd love to hear from you!😁
Share
Tweet
Pin
Share
34 komentar
The Gift of Imperfection


Lagi-lagi malam ini Tuhan menegur gue dengan cara-Nya, sekaligus mengingatkan gue bahwa kita nggak bisa mengubah seseorang kecuali semua atas ridho dan hidayah-Nya. Beberapa kali gue dihadapkan dengan hal ini—sesuatu yang nggak gue sukai yang ada pada diri orang lain, dan dalam beberapa waktu itu pula gue bertingkah seolah gue adalah mentor atau bahkan hakim yang bisa dengan lantang menghakimi bahwa yang dia lakukan itu salah, jelek, dosa, atau suatu keburukan. Sementara gue lupa, bahwa gue juga makhluk yang tidak sempurna, yang kadang kala melakukan kesalahan yang sama. Dan gue lupa, bahwa jalan hidup setiap orang, termasuk keburukan dan kebaikan yang dilakukan, bukan campur tangan gue dan bukan hak gue untuk masuk ke dalamnya sesuka hati, apalagi untuk bersikap seakan menjadi yang paling benar atas hidup mereka. 

It's true that we can't expect people to be the way we want them to be, cuz it's not our job to change others. It's God's. The only thing we can do is trying our best to be a kind human being as He wants us to be, pray the best for them, and let Him do the rest.

Sebab mungkin, bisa aja sebetulnya gue adalah salah satu dari sekian penyebab buruk yang membuat hal negatif kemudian muncul dalam diri seseorang. Hanya saja seseorang itu nggak mengungkapkannya ke gue. Karena itu, gue harus sadar, yang perlu gue lakukan ialah mendo'akan yang terbaik untuk kebaikan bersama. Bahwa gue pingin menjadi manusia yang sebaik-baiknya, dan bahwa gue ingin melalui proses itu dengan orang-orang yang gue sayangi. Meski sempat beberapa kali gue berpikir bahwa gue berlebihan, lebay, "gak gahol", terlalu polos, atau terlalu kaku, tapi setelah dipikir-pikir gue justru berpikiran seperti ini karena sejujurnya gue sangat sayang dan peduli, dan menginginkan yang terbaik untuk orang-orang di sekitar gue. Gue nggak mau melepas sesuatu yang berharga, hanya karena sesuatu itu gue anggap memiliki satu ketidaksempurnaan. Sesakit apapun kenyataan itu, dan sesedih apapun. Namun karena sekarang gue sadar akan segala keterbatasan diri gue sebagai manusia yang juga banyak salah dan dosa, selain mendo'akan, yang bisa gue lakukan saat ini ya cukup memperbaiki diri gue sebaik-baiknya, memperbaiki hubungan gue dengan Yang Maha Kuasa, dan tentu dengan orang lain. Bukankah contoh terbaik atas perubahan dari diri kita adalah salah satu cara paling baik yang bisa kita lakukan? Instead of giving such a harsh comment, memaksa dengan kekerasan, etc.

Selama ini, tanpa sadar gue hanya mengenal sifat "ketidaksempurnaan" manusia sebagai teori, nggak pernah benar-benar diilhami, dipahami. Sampai ketika Tuhan menegur gue untuk yang kesekian kalinya, dengan cara yang selama ini gue anggap ceroboh dan bodoh, bahwa terkadang ketidaksempurnaan itu ada untuk kita terima, dan untuk kita do'akan. Bukan untuk kita judge. Supaya gue sadar, apakah gue bisa menerima ketidaksempurnaan itu atau tidak? Apakah gue harus selalu berujung menuntut kesempurnaan yang justru nggak akan berefek apa-apa kecuali kebohongan semata? Sebab artinya gue sudah memaksa orang lain untuk sama seperti apa yang gue inginkan. And now i realized that i have to accept it since it's not my job. Mungkin, apa yang terjadi kepada gue sekarang adalah sebuah cerminan akan segala noda dan ketidaksempurnaan yang ada pada diri gue.

Dengan ini, gue berharap semoga segala beban yang nggak seharusnya hinggap di hati gue bisa Ia angkat, dan gue harus berlapang dada sambil mendo'akan yang terbaik. Mendo'akan apa? Mendo'akan agar tangan-Nya sampai di hatinya, mendo'akan agar apa yang telah jauh dari-Nya bisa Dia tuntun kembali, dan bahwa gue ingin berjalan bersama menuju sesuatu yang baik yang selalu Dia lindungi langkahnya. Gue menginginkan sebuah pantulan yang ketika gue lihat di "cermin", pantulan itu adalah pantulan yang bisa menuntun gue untuk menjadi seseorang yang lebih baik setiap harinya. 

Is it too much? Gue harap nggak. Semoga. Sebab gue percaya Tuhan Maha Baik atas segala niat baik yang kita miliki. Seperti yang Dia katakan, "Aku sesuai dengan persangkaanmu kepada-Ku".

And.. why do i name the title as "The Gift of Imperfection"?

No, it's not Brené Brown's book yang punya judul sama. Bagi gue, ketidaksempurnaan yang berkali-kali gue temukan dan baru gue sadari kali ini adalah sebuah hadiah yang Tuhan tunjukan agar gue bisa sabar, bisa menerima dan sekaligus hadiah yang menyadarkan gue akan sebuah cinta yang tulus. Iya, sebab alasan utama kenapa gue nggak bisa membiarkan sesuatu yang menurut gue nggak sejalan dengan prinsip gue ini adalah karena gue yakin dari hati terdalam gue ada niat yang tulus yang bukan sekadar memberi makan ego agar gue tampak terlihat paling benar, bukan. I do care so much, justru.

For the last, i'm sorry if you guys couldn't get what i'm talking about, since it is something personal that i've ever wrote. Tapi satu yang pasti, gue sedang belajar untuk menerima ketidaksempurnaan sebagai sesuatu yang betul-betul bisa gue terima, dan bisa selalu gue do'akan agar menemukan sisi baik dan hikmah pada akhirnya (tentu sempurna dalam kadar manusia). Sebab hidup itu proses. Meski apa yang gue risaukan tetap bukan menjadi sesuatu yang bisa dibenarkan, tapi at least gue harus percaya dengan proses itu. Dan kuncinya seperti yang gue bilang, membiarkan rencana Tuhan bekerja sebagaimana mestinya—bersama dengan do'a kita.

Insya Allah.
Share
Tweet
Pin
Share
16 komentar

 

Menjadi Sebaik-baiknya Manusia

Sudah beberapa waktu kebelakang ini gue merasa sangat kosong. Banyak hal yang ingin gue tulis, tapi entah kenapa ketika diurai satu persatu nggak ada yang bisa gue tuliskan sama sekali. Postingan mengenai komentar sosial yang biasanya gue publish pun kira-kira udah dua bulan ini nggak gue lakukan. Kenapa? Karena  isi kepala gue rasanya mau meledak (selain kenyataan bahwa gue memang nggak bisa juggling terus menerus dari tanggung jawab gue yang lain). Saking penuhnya, seringkali nggak tahu lagi apa saja yang gue pikirkan. Maka dari itu, sepanjang waktu ini gue nggak banyak mengikuti perkembangan berita di media sosial, and that's why kalau teman-teman menyadari, gue hanya memposting tulisan yang ringan-ringan, yang memang mencerminkan hobi gue, seperti postingan tentang Kaligrafi Jepang, dan yang baru-baru ini gue publish, Unlock the Key: Neoclassical Metal Versi Isyana Sarasvati?.

Sejujurnya, gue masih nggak menyangka bahwa tahun 2020 ini benar-benar 180 derajat berbanding terbalik dengan tahun sebelumnya, dimana pada sepanjang tahun 2019, bisa dibilang kegiatan gue full. Beberapa bulan di awal tahun 2019, gue dapat kerjaan sebagai tutor untuk salah satu lembaga pelatihan kerja di sekitar kampus gue. Meski dari segi penghasilan nggak sebesar saat gue jadi freelance writer di awal tahun ini, tapi feel-nya sangat terasa berbeda karena pekerjaan itu gue lakukan rutin selama tiga bulan, dan tentu secara tatap muka. Ditambah gue melakukan pekerjaan itu bersama teman-teman sesama tutor yang juga sohib segeng dan sekelas gue. Setiap kali mengajar, gue seperti mendapatkan energi baru dari murid-murid yang semangat banget ingin magang di Jepang, meski mereka tau kehidupan disana nantinya pun nggak akan mudah. Padahal beberapa di antara mereka usianya masih sangat muda di bawah gue. Gue juga sempat mengikuti kegiatan KKN selama empat puluh hari pada pertengahan tahun, tinggal satu rumah dengan sepuluh teman-teman baru satu kelompok yang membuat keintrovertan gue sangat sangat diuji saat itu.

Sambil kerja part-time, kehidupan perkuliahan gue pun berjalan baik-baik aja seperti biasanya. Meski gue harus tetap struggling dengan kemampuan yang sangat terbatas alias nggak berkembang banyak, semuanya ketutup sama rasa syukur gue atas kesibukan yang bermanfaat. Bahkan setiap saat gue mengalami turbulence nih, baik dalam persoalan akademik, pekerjaan, dll, gue merasa bisa mengatasinya dengan baik. Eventually, meski banyak masalah juga, at least ada ending yang bisa gue dapatkan. Sementara sekarang.. gue merasa nggak ada akhirnya. Kita masih harus hidup begini, berjarak dengan ketidakpastian. Petinggi-petinggi negara yang semrawut, regulasi yang serba tumpang tindih, masalah financial yang nggak ada habisnya, selalu gali lobang tutup lobang, belum lagi rencana-rencana yang gagal. Bahkan rencana yang baru dibangun untuk menyesuaikan dengan keadaan aja belum pasti bisa terealisasi. Lihat, kan, lagi-lagi seperti a never-ending journey.

Jangan tanya berapa banyak gue menangis dan sakit di tahun ini, karena kadarnya pastilah berkali lipat lebih sering dari tahun-tahun sebelumnya. Kalau gue boleh trackback lagi, tahun lalu gue banyak menangis karena hal-hal yang berkaitan dengan individu lain. Well, gue memang nggak bisa menyalahkan bahwa sepanjang tahun ini hanyalah mimpi buruk, karena biar bagaimanapun dari kacamata duniawi, gue masih bisa hidup dengan hati yang tenang dua bulan di awal tahun. 

Gue punya waktu cukup dengan keluarga di hari ulangtahun gue, gue pun bisa mendampingi sahabat gue di pernikahannya dari mulai persiapan sampai pertengahan acara (karena setelah itu gue sudah harus segera pulang), gue juga masih sempat merasakan gimana praktik ngajar langsung di SMA meski murid-muridnya lumayan menyebalkan, dan seperti yang gue mention di atas, pertama kalinya di bulan Februari gue dapat job baru sebagai penulis lepas yang mana pertama kali pula gue dapat gaji di atas 1jt. Biasanya pasti di bawah itu mengingat gue hanya freelancer, so i was really grateful. Tapi lagi-lagi inipun nggak bertahan lama karena gue overwhelming dengan dunia virtual.

Ternyata Tuhan memang punya cara-Nya tersendiri untuk menunjukan betapa Maha Kuasa Zat-Nya. Dia seolah ingin mengingatkan kita bahwa planet ini berputar bukan hanya secara fisik, tapi secara spiritual. Dalam esensi kehidupan itu sendiri sejatinya dunia selalu berputar tanpa henti bersama kita. Dan ini sebabnya kenapa gue bilang di atas bahwa dari kacamata duniawi, hidup gue tenang hanya saat dua bulan pertama. Karena dari kacamata spiritual, gue tahu jelas banyak sekali pelajaran yang bisa mendewasakan gue tahun ini.

Pertama, tentu gue jadi bisa lebih mengenal diri gue sendiri dalam segala kondisi. Senang, haru, sedih, rindu (dan rindu ini sendiri banyak cabangnya), sakit, frustrasi, insecure, desperate, gelisah, takut, kecewa, sesal, trauma, dan masih banyak lagi. Gue jadi lebih punya banyak waktu untuk berkontemplasi atas apa yang selama ini tersimpan dalam diri gue, dan apa saja yang sudah gue kerjakan, baik yang membawa manfaat atau keburukan bagi diri gue dan orang lain. Mungkin tanpa adanya pandemi ini, gue justru nggak bisa sadar bahwa gue punya banyak rasa yang selama ini gue abaikan. Bahkan gue jadi lebih bisa berdiri di atas kedua kaki sendiri. Gue jadi lebih sabar dan lebih tahu makna cukup in everything. Dan gue tentu bisa lebih berdamai dengan diri gue. Meski ada satu ilmu yang sampai saat ini—dan mungkin seterusnya—masih sulit gue kuasai, yaitu ikhlas, ikhlas, dan ikhlas, tapi at least i know i'm on my way and now i've found the right track already.

Gue semakin sadar rasanya jadi manusia. Manusia si tempatnya salah, manusia yang punya banyak rasa, manusia yang selalu memendam rasa-rasa itu, manusia yang selalu pura-pura, manusia yang seharusnya cukup berperilaku sebaik-baiknya manusia, manusia yang tahu kemana seharusnya ia kembali saat diri sudah nggak lagi berdaya menempa kerasnya hidup. Nggak merebut "job" Tuhan dengan menghakimi sesama manusia lain (itupun Tuhan nggak dengan lantas menghakimi hamba-Nya jika kita berdosa). Iya, yang kita ingat dari Tuhan itu seringkali hanya bagian yang menakutkan dan menyeramkan. Kita lupa, bahwa Dia Maha Penyayang dan Maha Baik. Kenapa manusia-manusianya malah berlomba-lomba jadi Tuhan dengan bertindak beseberangan?

Nggak menganggu makhluk-makhluk lain yang hidup di sekitar kita, itu juga tugas kita sebagai manusia yang sering sekali dilupakan. Manusia pikir, kita hidup hanya untuk diri sendiri, apa-apa bisa dieksploitasi dan dijadikan uang. Untuk apa? Untuk memenuhi ego manusia. Bahkan nggak hanya binatang dan tumbuh-tumbuhan, manusia lain yang dianggap lemah dan nggak selevel dengan manusia-manusia sombong ini, bisa dieksploitasi juga selagi menguntungkan.

Kembali soal gimana gue survive di tahun ini, gue betul-betul diingatkan tentang bagaimana seharusnya gue bersyukur ketika sampai saat ini masih diberi kesempatan hidup oleh Allah, di saat jutaan orang di luar sana mesti terinfeksi virus—yang sadly sampai saat ini masih juga disepelekan oleh sebagian orang Indonesia. Lalu cukup.

Enoughness yang gue rasakan hikmahnya sepanjang tahun ini lebih besar dari sekadar cukup yang gue tahu selama hidup. Bukan hanya cukup dalam uang, bukan juga cukup tahu kayak lagu Rizky Febian. Tapi cukup, literally cukup menjadi manusia. Ketika kita merasa sedih, ya sedih aja. Ketika bahagia, sebisa mungkin tetap merunduk dan bagi kebahagiaan itu dengan orang lain yang membutuhkan. Tapi ketika kita lagi depresi, ya nggak apa-apa juga untuk merasa begitu dan meluapkan semua emosi yang tertahan di hati, cause it's pretty normal. I've been there. Bahkan alasan kenapa di tahun ini gue banyak menangis, ya salah satunya karena gue merasa depresi dengan segala rencana dan pencapaian yang nggak sejalan dengan harapan. Gue selalu merasa kurang. Kurang cukup, kurang cerdas, kurang baik, kurang berusaha. Sampai akhirnya gue belajar tentang enoughness itu sendiri.

Selama ini gue merasa kurang, karena gue menolak untuk merasa cukup. Gue pikir cukup adalah kurang, nggak bisa memuaskan diri. When i can't afford something i'm craving for, artinya gue kekurangan. Sama ketika gue selalu menyalahkan diri sendiri atas berbagai kegagalan, gue menganggap diri gue kurang. Padahal nggak semua harus diukur dengan lebih dan kurang, kalau kita tahu rasanya cukup. Saat gue nggak bisa beli sesuatu yang gue dambakan karena harganya terlalu mahal, gue bisa beli sesuatu yang harganya di bawah itu atau nggak sama sekali, karena apa yang gue dambakan itu belum tentu berguna bagi diri gue. Mungkin aja kehadirannya bisa digantikan oleh sesuatu yang lain yang sama bermanfaatnya, dan itu cukup. Ketika gue nggak sanggup makan McD sering-sering (ya tekor juga dong tiap hari makan fast food), gue bisa makan-makanan lain yang lebih affordable. Makan di warteg atau di warkop dekat kost gue, misalnya, it's more than enough untuk perut gue. Lalu ketika gue menganggap diri gue bodoh karena belum punya sertifikat Noken/JLPT—sebetulnya dalam hal pengetahuan memang kita selalu perlu haus dan nggak boleh merasa cukup gitu aja sebab ilmu apapun luas sekali jangkauan dan maknanya, harus selalu kita gali. But in order to keep me sane dan supaya gue bisa menghargai diri sendiri, gue harus sadar bahwa saat ini Tuhan mencukupkan gue (bahkan melebihkan gue) dengan keahlian yang lain. I can write, i can sing (paling nggak untuk menghibur diri sendiri), and that's enough.

Berkaitan dengan spiritual journey, gue pun semakin menyadari bahwa sebagai manusia, hamba-Nya Allah, langkah kaki kita nggak akan pernah bisa jauh dari Dia yang punya kuasa atas hidup kita. Dengan segala kesemrawutan dunia yang gue tangisi, satu-satunya yang bisa menenangkan dan memberi harapan adalah Tuhan. Bahkan di saat gue sedang jauh pun, Dia masih mau merangkul gue untuk kembali di jalan yang Dia restui. 

Tahu, nggak? Tuhan itu cemburu sama kita yang selalu mengagung-agungkan kenikmatan duniawi, yang selalu lupa atas keberkahan rezeki yang dilimpahkan terhadap kita. Cemburu karena kita jarang sekali mengingat keberadaan-Nya. Sampai-sampai kita sendiri lupa bahwa kita hanyalah seonggok daging yang lemah jika hidup tanpa arah dan pegangan. Satu hal yang gue pahami hingga detik ini, when we're trying our best to get close to God and asking Him to love us, Dia akan menyayangi kita lebih dari yang kita pinta, and it happens to me as well.

Pernah di suatu momen gue sudah sangat lelah dan ingin berserah, sampai-sampai do'a yang tersisa di akhir sujud gue hanyalah satu, "ya Allah, tolong rangkul saya. Saya ingin Kau peluk, ya Allah. Bantu saya."

You know what? Selalu ada jalan untuk gue nggak melakukan kesalahan yang selalu gue ulangi, bahkan sampai ke hal detailnya. Semacam langsung diarahkan ke jalan yang seharusnya, dan saat itulah gue tahu, terlepas dari segala dosa, problema dan kekhilafannya, manusia adalah makhluk yang paling Dia sayangi jika kita bergantung kepada-Nya, menempatkan wujud-Nya tepat di hati kita sebagai pegangan. Dan kembali mengingat-Nya dengan sungguh-sungguh adalah cambuk yang sangat keras bagi gue setahun kebelakang ini. Dari sini gue semakin belajar rasanya jadi manusia.

Manusia yang sabar, yang nggak dzalim atau merugikan orang lain, manusia yang mau selalu berbagi dengan orang lain, manusia yang nggak pernah lupa dimana kakinya berpijak dan dari apa mereka berasal, manusia yang punya beragam emosi, manusia yang nggak sekadar hidup dengan asal, manusia yang punya lebih dari segudang kesalahan, manusia yang bisa dan mau untuk selalu belajar dari kesalahan-kesalahan itu, manusia yang diberi privilege berupa nalar yang seharusnya digali dan dimanfaatkan dengan baik, manusia yang selalu kekurangan tapi sebetulnya selalu dicukupkan, manusia yang tahu mana yang baik dan benar, serta mana yang buruk untuk dirinya. 

Iya, gue tahu, berat memang tugas kita untuk "selamat" dari macam-macam ujian yang ada, dari yang ringan sampai yang paling berat sekalipun, but that's just how life works, man. If we succeed, we can get everything priceless. But if we don't pass, we gotta pay for all of the bad deeds that we have done in our entire lives. Gue pun masih berusaha untuk kesana, masih belum sempurna dalam kadar manusia, tapi gue tahu ada Zat yang Maha yang selalu membersamai langkah gue saat orang lain nggak bisa memberikan ketenangan yang sama besarnya dengan ketenangan yang Dia berikan untuk diri gue. So, 2020 betul-betul memberi gue banyak pelajaran, baik secara fisik, mental, maupun spiritual yang nggak akan pernah bisa gue lupa.

Dulu, setiap kali ditanya sama orang apa motto hidup gue, gue selalu kelimpungan mencari quotes yang tepat yang dapat mewakilkan hidup gue. Ya iyalah, wong masih cilik mana ngerti hidup. Tapi sekarang, kalau ada orang yang bertanya ke gue apa motto hidup gue, i can simply answer; jadi sebaik-baiknya manusia.

Now, could you share to me what does "being a human" mean in your version? Are we actually in the same boat of life?
Share
Tweet
Pin
Share
26 komentar
 
Fighting Our Own Battles

Seharian ini (Sabtu, 7 November) waktu gue lebih banyak digunakan untuk nontonin video-video Daniel Mananta di yucub, yang mewawancarai teman-teman artisnya untuk bercerita perihal spiritual journey mereka—yang entah kenapa salah satu cuplikan videonya bisa muncul di timeline gue.

Pada awalnya, gue pikir kehidupan para artis tuh enak, sekali kerja honornya bisa puluhan juta (ratusan malah), walaupun nggak menutup kemungkinan juga mereka tetap merasakan kesulitan dalam mengontrol keuangan—karena di balik income yang besar pasti ada outcome yang juga besar, apalagi kalau outcome-nya berhubungan dengan gaya hidup mevvah. Gue juga seringkali skeptis dengan mereka-mereka yang memanfaatkan hidupnya sebagai konten di platform digital manapun. Kasarnya, nih orang udah pada kaya apalagi sih yang dicari, jangan semua diembat napa😒 . Hanya karena gue merasa konten-konten ini nggak informatif dan cuma 'showing off' kekayaan mereka yang gak ada habisnya.

Long story short, setelah mendengar beberapa cerita soal life journey mereka, gue seperti kembali disadarkan bahwa setiap orang sesungguhnya punya ceritanya masing-masing, punya caranya masing-masing dalam menjalani hidup. Though kalau pada akhirnya mereka memang menjadikan separuh hidupnya sebagai konten—yang ujung-ujungnya menghasilkan uang, itu hak mereka (also privilege that give them such influence). Kita nggak pernah tau apa yang terjadi off camera, cause basicly we are fighting our own battles. Hanya karena gue nggak seberuntung mereka, bukan berarti gue bisa dengan mudah menghakimi, dan menilai mereka berdasarkan apa yang selama ini ditampilkan oleh media.

Artis-artis yang kita kenal di layar kaca selama ini memulai karirnya di sana, di dunia broadcasting tentu dengan perjuangan yang bermacam-macam. Start point mereka sebetulnya sama dengan kita, misalnya, yang memulai karir di bidang digital marketing, rumah makan, toko elektronik, bisnis tekstil, makanan semisal kue-kue lapis, bahkan sampai pakaian di online shop, etc. Bedanya, kalau mereka sukses, mereka bisa dikenal orang satu negara. Sementara kita, ya nggak akan ada yang mau tau dan peduli juga.

But that's my point, man. Even seorang artis yang selama ini kita lihat di televisi aja, ketika sudah memasuki ranah privasi, mereka masih punya cerita tersendiri yang nggak akan pernah kita ketahui kecuali diri mereka sendiri dan Tuhan. Mereka masih harus berjuang untuk hidup selayaknya manusia biasa, sama seperti kita, yang Dia beri ujian untuk bisa 'naik level' menjadi manusia seutuhnya. Hanya saja kadarnya pun pasti beda-beda.

Ini juga salah satu yang mempengaruhi proses pendewasaan gue akhir-akhir ini. Rasa iri dan ketakutan akan tidak bisa menyamai pencapaian orang lagi-lagi menjadi tembok penghalang yang cukup tinggi untuk gue bisa berjalan melewati rintangan yang ada. Seperti yang pernah gue mention di tulisan Berteman Dengan Kegagalan ini, bahwa gue terlalu fokus dengan apa yang orang lain bisa dan orang lain kerjakan, instead of berbenah diri dan evaluasi pekerjaan gue sendiri.

Akhirnya, gue jadi melupakan esensi hidup itu sendiri. Gue lupa bahwa each of us are a fighter in our lives. Kita melawan pergulatan, pertempuran yang sama yang hanya dialami masing-masing diri. Kenapa gue peduli amat sama 'permainan' orang lain? Padahal jelas-jelas gue punya arena bermain gue sendiri?

Sama kayak Atta Halilintar (yang dalam beberapa tahun terakhir konten prank-nya sering bikin gue sebal), dia juga punya perjalanan yang panjang dan berliku untuk bisa ada di jajaran Top YouTuber di Indonesia. Meski kontennya banyak yang 'apaan sih' buat gue, pada akhirnya dia tetap menemui penggemarnya. Videonya tetap ada yang nonton, tetap bisa menghasilkan duit. Kalau memang gue nggak suka dengan channel-nya, it's become my problem, artinya memang bukan gue target audiensnya. Toh nggak suka dengan kontennya bukan berarti gue nggak bisa respect dengan kreatornya. Karena lagi-lagi, he's fighting his own battle to stay productive in order to earn more money in this industry, and that's the reality. Kenyataannya memang masing-masing kategori (di platform apapun) punya sasaran dan punya penontonnya masing-masing, dan suka nggak suka ini juga yang terjadi di dunia pertelevisian Indonesia. Kita nggak bisa mengelak bahwa nggak semua orang punya idealisme yang tinggi untuk bisa menghasilkan sesuatu, apalagi kalau tujuannya semata-mata untuk kebaikan bersama. Jangan berharap tinggi, deh. Toh semua orang sedang berjuang dengan urusannya masing-masing kok, demi keuntungan masing-masing juga.

Karena ini gue jadi lebih belajar untuk jangan terlalu memusingkan apa yang terjadi di sekitar kita, apalagi yang memang sifatnya berkaitan dengan individu, privasi—apapun itu, seperti apa yang orang lain sedang kerjakan dan pencapaian apa yang mereka punya. Mau itu teman gue kek, tetangga gue kek, bahkan artis yang gue lihat di TV. Karena kita nggak bisa memaksa orang lain untuk sama hidup dan jalan pikirannya dengan kita.

Kadang gue suka berpikir, kenapa ya orang-orang zaman sekarang seneng banget ngeributin privilege orang lain dan menganggap bahwa perbedaan starting point itu sebagai masalah buat mereka?

Gue tau, kita memang nggak bisa deny bahwa ada orang-orang yang dari lahir udah kaya dan pasti kaya kalau mereka hanya berusaha sedikit lebih keras—since kesuksesan seringkali diukur dengan kekayaan. Kita pun nggak bisa mengelak bahwa realitas sosial yang hadir di tengah-tengah kita terkait si kaya dan si miskin, kemiskinan struktural dan kultural, serta privilege yang nggak dimiliki semua orang ini bisa jadi masalah yang sangat berarti untuk bisa memotivasi setiap individu bergerak di jalurnya. Itulah kenapa konsep-konsep tentang tatanan kehidupan sosial semacam inipun ada ilmunya. Tapi kita juga nggak bisa selamanya terjebak dalam pola pikir seperti itu. Apalagi sampe jadi pembahasan terus.

Malu nggak sih membayangkan, mereka yang 'punya privilege' tadi sedang bekerja keras memajukan usahanya, menelurkan pundi-pundi uang, sementara kita yang nggak ber-privilege ini cuma sibuk mengeluh karena nggak punya privilege yang sama? Ya gimana kita bisa nyusul mereka kalau gitu? Jadi, siapa yang menghambat kesuksesan diri kita sebetulnya? Privilege orang lain, atau rasa malas dalam diri?

Berada di garis start yang berbeda nggak membuat kita berakhir di garis finish yang berbeda pula. Kita semua akan berakhir sama, mati, di tanah yang sama. Nggak peduli apakah kuburannya mewah atau cuma ditandai dengan nisan kayu. Kita mati di dalam kubur nggak punya apa-apa, dan nggak akan bawa apa-apa selain amal ibadah dan perbuatan.

RANS Entertainment bisa punya pesawat pribadi dan boyong keluarga sama sahabat-sahabatnya liburan kesana sini, karena memang itu adalah hasil jerih payahnya, rezekinya. Raffi Ahmad bisa muncul di semua stasiun TV sekarang ini juga berkat kerja kerasnya yang  udah wara wiri di dunia entertainment dari usia yang sangat muda, even lebih muda dari usia gue sekarang. Agnezmo, bisa jadi penyanyi internasional sekarang karena ada banyak sekali peluh keringat yang dia keluarin untuk meraih impiannya dari sejak kecil. Terus Jessica Tanoe, yang kemarin sempet dinyinyirin karena mengisi seminar motivasi sukses di usia muda, kenyataannya memang dia sukses di usia muda—berkat privilege tadi, ya mau gimana lagi? Kita juga nggak bisa menyalahkan privilege yang mereka punya. Kalau lo masih juga mencari-cari alasan bahwa Agnezmo pun udah kaya dari kecil (misalnya), hidup mereka tetap milik mereka. Kenapa sih bahasan privilege menjadi sepenting itu dan seolah bisa dijadikan senjata atas kemalasan yang mengakar dalam diri? 

"Lho emang iya kok, dia bisa maju juga berkat orangtuanya, warisannya. Privilege does work, men!"

No, privilege doesn't always work for every privileged human being, dude. Ada usaha ya ada hasil. Rumusnya tetap begitu. Gue rasa teman-teman juga pernah denger setidaknya sekali seumur hidup, bahwa ada pula anak-anak ber-privilege di luar sana yang harus berjuang untuk keluar dari stigma atau embel-embel yang melekat dalam dirinya karena sering dianggap sukses berkat tangan-tangan orangtuanya yang sudah 'kaya'. In the end, mereka juga ingin kesuksesannya dilihat sebagai hasil keringatnya, jerih payahnya, bukan semata-mata hasil bantuan orangtuanya yang terpandang. Mungkin aja, kan, itu juga yang dirasakan Jessica Tanoe sebagai anak dari salah satu orang terkaya di Indonesia. Mungkin.

Walaupun sebetulnya gue setuju bahwa acara seminar motivasi harus bisa merepresentasikan realita yang sebenarnya, tapi soal hidup orang lain alangkah baiknya nggak usah kita komentari dan kita campuri. Toh setiap di antara kita udah punya takdir masing-masing. Tinggal kerja keras, dan percayakan sisanya sama kekuatan Yang Maha. Kalau nggak dapet bahagia di dunia, masih ada kehidupan yang lebih kekal nanti, kok. Inget aja itu.

Gue jadi mikir lagi, terkadang ya, yang menjadikan hidup ini seperti perlombaan itu justru manusianya sendiri. Apa-apa membandingkan diri dengan orang lain. Apa-apa merasa harus disandingkan dengan orang lain. Mau sengsara atau bahagia, rasanya kita harus look up ke orang lain. Padahal, berlomba dengan diri sendiri sudah lebih dari berat, seperti melawan segala hawa negatif dalam diri untuk berperilaku dengan baik selayaknya manusia. Masa mau capek-capekin diri sendiri membuat arena baru dengan orang lain yang bahkan gak punya waktu untuk membandingkan hidupnya dengan kita?

Sama, gue bukan dari keluarga yang biasa orang-orang anggap ber-privilege, kok. Nih dompet juga banyak kosongnya daripada penuhnya. Gue pun kadang suka sedih, "kenapa yak hidup gue gini-gini amat?". Tapi serius, deh, nggak akan ada habisnya kalau kita selalu memperhitungkan hak-hak istimewa mana yang nggak kita miliki. 

See, melihat segala sesuatu dengan lebih jelas dan terbuka betul-betul bisa bikin kita lebih tenang dan legowo dalam menjalani kehidupan. Sebab sejatinya kita memang hanya perlu sibuk dengan diri sendiri, berkaca pada diri sendiri, memperbaiki diri, mengevaluasi diri, kerja keras dengan diri sendiri, supaya bisa jadi versi terbaik dalam hidup kita pribadi. Remember these words; life is an ocean of experiences, some are good, some are bad. But the one surviving those experiences is the real hero, the real fighter! 

Jadi, jangan membandingkan diri sendiri dengan orang lain sampe ke tetek bengeknya (yang mana berlaku untuk diri gue). Jangan pula menyepelekan hidup orang lain seenaknya, seolah-olah hanya diri sendiri yang menderita. Sebab kita semua lah pejuang yang sebenarnya atas hidup kita.

Share
Tweet
Pin
Share
24 komentar
Belajar Kesetaraan

Dalam satu bulan ini ada banyak banget sampah-sampah pikiran yang nggak bisa sepenuhnya langsung gue utarakan di blog seperti sebelumnya. Apalagi setelah ngikutin perkembangan berita yang trending di media sosial, pasti adaaaa aja yang bikin sakit kepala. Akhirnya hari ini gue memutuskan untuk menyalurkan salah satu dari sekian "sampah" tersebut yang erat kaitannya dengan kesetaraan dan femininitas. 

Selama lebih (sedikit) dari 20 tahun gue hidup, sejujurnya gue nggak pernah merasa kerdil hanya karena gender, hanya karena gue perempuan, terlebih dalam hal pendidikan. Gue selalu melihat porsi antara laki-laki dan perempuan itu sama. Makanya ketika gue menemukan sebuah narasi seperti ini, "mengapa kita harus merasa kemampuan kita lebih rendah hanya karena kita perempuan?", gue tidak lantas merasa empowered sebab gue sudah menemukan itu jauh sebelum orang-orang menyadari bahwa permasalahan akademik laki-laki dan perempuan bisa seimbang, nggak ada yang mendominasi salah satu—meski patriarki dalam beberapa aspek, khususnya di dunia kerja, masih sangat terasa kentalnya.

Mungkin karena gue besar dalam keluarga broken home dan waktu sehari-hari lebih banyak dihabiskan bersama eyang, tante, dan adik-adik—karena gue tinggal dengan eyang dan tante gue supaya lebih dekat ke sekolah, role model gue pun gak hanya terbatas pada sosok orangtua; ayah dan ibu. Dari kecil jelas gue sudah bisa menyaksikan sendiri perjuangan ayah gue untuk menafkahi kami, anak-anaknya, memenuhi kebutuhan kami. Di sisi lain, gue juga menemukan itu pada sosok eyang putri gue yang mati-matian membiayai anak bungsunya dengan caranya sendiri, sampai tante gue bisa lulus sekolah dan akhirnya terpaksa gap year untuk bekerja dan membiayai kuliahnya sendiri. Pokoknya apapun yang bisa dia lakukan pasti dilakukan. Ditambah sekarang ini gue juga melihat sosok ibu gue yang bekerja tanpa henti untuk membiayai keluarga dan mengirimi uang untuk kami, anak-anaknya setiap bulan. Ayah gue yang selalu mendukung apapun keputusan gue untuk menjadi seseorang yang gue inginkan, dan untuk memilih jalan yang gue mau pun selama ini telah banyak mempengaruhi diri gue untuk melihat segala sesuatu dengan lebih luas, nggak sebatas hitam dan putih, nggak sebatas biru dan pink which somehow it's such a huge privilege for me.

Perspektif gue terhadap kesetaraan antara laki-laki dan perempuan pun semakin terbentuk ketika gue menginjak bangku sekolah. Dari SD-SMA (bahkan sampai di perkuliahan), gue nggak pernah melihat juara kelas selalu didominasi oleh murid laki-laki. Semuanya seimbang, sama. Mau itu peringkat kelas kek, juara lomba-lomba atau kompetisi tertentu kek, juara Olimpiade kek, semuanya lengkap. Malah waktu SMA, di kelas gue dulu yang selalu mendominasi peringkat 3 besar perbandingan antara laki-laki dan perempuannya pasti 1:2. Iya, murid-murid perempuannya lebih ambis daripada murid laki-laki (nggak tau ya kalau di sekolah lain😂). Gue justru merasa insecure kalau melihat perempuan lain yang bisa sukses akademik dan kariernya, atau bahkan siapapun yang semangat dalam meniti kariernya tinggi, terlepas dari dia laki-laki atau perempuan.

Namun beberapa cuitan seperti yang gue temukan di bawah ini ternyata masih membatasi gerak beberapa kaum perempuan di luar sana.

Setara Belajar, Belajar Setara


Belajar Kesetaraan
Source: Twitter

Sampai sekarang, sejujurnya  gue masih nggak mengerti apa korelasinya menikah dan mengejar pendidikan bagi perempuan. Bukankah keduanya sama-sama pilihan? Toh jika menikah menjadi sebuah kewajiban, bukankah menuntut ilmu, mengisi kepala kita dengan berbagai pengetahuan pun bisa disebut sebagai kewajiban? Gue lebih tidak mengerti lagi bahwa orang-orang yang melarang seorang laki-laki untuk menikah dengan perempuan yang memiliki pendidikan lebih tinggi darinya, dan orang-orang yang melarang perempuan tersebut untuk mengejar pendidikan hanya untuk memenuhi tanggungjawab sosial atas stigma tersebut nyatanya adalah orangtua mereka sendiri, keluarga sendiri. Maksud gue, bagaimana bisa konstruksi sosial yang membatasi gerak dan kebebasan sang anak untuk menentukan value diri terlebih dalam ranah pendidikan tersebut diiyakan saja oleh para orangtua? Okelah, kalau masalahnya karena ekonomi yang sulit, dan orangtua yang tak sanggup kalau harus kembali menyekolahkan anaknya sementara banyak kebutuhan yang harus dipenuhi.

Namun ini lain soal, bung. Beberapa orangtua melarang anak perempuan mereka untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya, atau tidak sama sekali menikahi perempuan yang berpendidikan lebih tinggi daripada laki-laki disebabkan oleh stigma yang mengakar di masyarakat itu sendiri.

"Nanti kamu diinjak-injak sama istrimu!"
"Jadi perempuan itu ujung-ujungnya di rumah, nggak perlu lah sekolah tinggi tinggi."
"Aduh, gimana ini, masa suami kalah gelarnya sama istri. Gajinya gedean istri dong."

Kasarnya, kalau gue mau jadi orang cerdas, kenapa gue harus capek-capek "memikirkan" seseorang yang nanti akan jadi suami gue? Memikirkan bagaimana hidupnya kalau pendidikan gue lebih baik/lebih tinggi dari dia? Memikirkan bagaimana perasaannya kalau gaji gue lebih besar dari dia saat menikah nanti, dan serangkaian pencapaian lain, padahal tu jodoh nongol aja belum. Kalau seperti ini, seolah-olah tugas "memantaskan" itu hanya dilimpahkan untuk perempuan. Sementara laki-laki, mau bagaimanapun dia, pantas saja selama perempuan yang akan dinikahinya tidak lebih tinggi derajatnya daripada dia. 

Lho, bukankah saling memantaskan itu adalah tugas setiap pasangan? Setiap individu? Kalau memang lelaki tersebut khawatir perannya terinjak-injak hanya karena sang istri adalah wanita karier yang sukses dan pendidikannya tinggi, berarti lelaki tersebut lah yang tidak bisa memantaskan dirinya sendiri. Jahat, kan? Iya, memang jahat. Doktrin tersebut lah yang sebetulnya jahat sehingga menjebak dan merepresi pola pikir masyarakat dengan dalih mengamalkan adat istiadat serta nilai moral. Lebih lanjut lagi, jahat sebab telah membatasi setiap individu untuk bisa mengamalkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi sebagai makhluk sosial. Tapi, kan, bukan begitu konsep menikah, membersamai dan memantaskan diri. Paling nggak, begitulah menurut gue yang masih anak bau kencur ini.

Kenapa sih kita harus terjebak dalam realitas sosial yang pada dasarnya, dalam hal ini, dibentuk oleh asumsi, pemikiran, serta sudut pandang masyarakat—yang sayangnya diiyakan begitu saja oleh masyarakat itu sendiri. Konsep inipun banyaknya telah dipengaruhi oleh stereotip gender, yang memberi batas bahwa perempuan nggak boleh begini, laki-laki harus begitu. Laki-laki nggak boleh kalah dari perempuan, dan perempuan harus nerimo aja "kodratnya" untuk diam di rumah. Bahkan, ketika seseorang mau sekolah dan berilmu aja harus dikekang oleh stereotip semacam ini?

*Ini nih sebabnya banyak laki-laki yang juga terjebak dalam toxic masculinity.

Sepertinya kita harus pelan-pelan membedakan antara kodrat dan tanggung jawab atau peran. Kalau bicara kodrat, berarti sesuatu yang sifatnya absolut, mutlak, nggak bisa diubah begitu saja. Misalnya perempuan punya payudara untuk menyusui, sementara laki-laki tidak. Perempuan bisa melahirkan dan menstruasi, laki-laki tidak. Akan tetapi laki-laki punya tenaga yang lebih kuat dibandingkan perempuan, karena sifatnya dia lebih banyak melakukan pekerjaan yang keras dan lebih berat. Kenapa? Karena kodrat perempuan ini secara nggak langsung mengurangi tingkat produktivitas perempuan untuk bekerja di luar rumah. Inilah kenapa kewajiban suami dalam rumah tangga adalah menafkahi, karena hak-hak produktif itu ia yang ambil alih seluruhnya, yang mana kalau sudah punya anak, istri pasti lebih punya andil dalam mengurus anak di rumah. Dan menurut gue, ini bukan sebuah opresi (seperti yang selama ini dinyinyirin feminazi), tapi adalah pilihan dan bentuk kesepakatan. 

Lalu, apakah nanti sang ibu boleh bekerja lagi? Ya boleh-boleh saja selama ada consent dan tanggung jawab itu nggak dilupakan, baik dari sisi istri maupun suami. Pernah dengar nggak, sih, bahwa ada usia tertentu baiknya orangtua mendidik sekaligus mengiringi perkembangan anak? Katanya seorang anak balita usia 0-7 tahun baiknya dirawat dan dididik sepenuhnya oleh sang ibu, kemudian anak usia 7-14 tahun oleh sang ayah, dan selanjutnya terus oleh kedua orangtua. Berarti, sesungguhnya kehidupan rumah tangga itu harus diiringi dengan kerjasama, kesepakatan, supaya sakinah, mawaddah, wa rohmah. 

Lagipula, jodoh itu cerminan, dijemput. Jangan takut anaknya nggak akan ketemu jodoh hanya karena sekolah tinggi-tinggi. Bahkan sama common sense aja nggak bisa diterima, sih. Mungkin ini penyebabnya kalau dalam memandang suatu hal kita terlalu ke kiri dan terlalu ke kanan, susah buat menetralisir otak dan menilai dari sisi tengah untuk mengambil kesimpulan yang bijaksana. Kalau seandainya jodoh si anak itu bertemu dengan lelaki yang dianggap "setara" dengannya saat tengah melanjutkan pendidikan itu, gimana? Bukankah lebih bagus?🤔

Menurut gue, dengan kita pakeukeuh-keukeuh (sama-sama bersikeras) menuruti realitas yang ada, kita malah jadi lupa caranya hidup sebagai manusia normal. Apa-apa harus "melayani" social construct yang menjerumuskan hak-hak dan martabat manusia sendiri. Kalau agama saja memperbolehkan siapapun untuk menuntut ilmu atau pendidikan setinggi-tingginya, kenapa kita manusianya malah terjebak dalam hukum yang dibuat atas nafsu patriarki?

Jangan, jangan terlalu mengkotak-kotakan manusia hanya berdasarkan gender, apalagi merepresi pola pikir anak cucu kita sendiri. Hidup sesuai dengan syari'at dan nggak melupakan kodrat kita sebagaimana mestinya memang perlu, tapi beragama pun perlu diseimbangi dengan akal. Nalar itu privilege-nya manusia lho, kenapa kita berakal? Ya karena kita berpikir. Kalau cuma mengandalkan stereotip dan hidup sekadar gengsi, bagaimana kita bisa jadi manusia seutuhnya? Wong yang dituju hanya penilaian manusia, bukan Tuhan.

Share
Tweet
Pin
Share
17 komentar
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Bukan Salah Indonesia
  • Di Balik Angkasa
  • Indonesia Krisis Moral
  • Just Listen
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Terpaksa Biasa

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

Have new posts emailed to you!

My Spotify

Popular Posts So Far

  • Don't Stop
  • Bahagiaku
  • Harry Potter Questions Tag
  • Letting Go With Smile
  • Blog Story
  • Matre: Realistis atau Materialistis?
  • Di Balik Angkasa
  • Bad For Good
  • Cuma Cerita
  • Refleksi Dua Dekade

Blog Archive

  • ▼  2021 (7)
    • ▼  February 2021 (1)
      • Letting Go With Smile
    • ►  January 2021 (6)
  • ►  2020 (46)
    • ►  December 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  October 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  August 2020 (10)
    • ►  July 2020 (8)
    • ►  June 2020 (4)
    • ►  May 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  March 2020 (2)
    • ►  February 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  December 2019 (3)
    • ►  October 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  August 2019 (1)
    • ►  March 2019 (1)
    • ►  February 2019 (2)
    • ►  January 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  December 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  August 2018 (1)
    • ►  June 2018 (1)
    • ►  May 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  February 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Followers

Categories and Tags

Feminist Intermeso Knowledge lifestyle Minimalism Opini pendidikan Perempuan Podcast Poetry slice of life Thoughts

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.