Minggu lalu adalah minggu yang lumayan berat, karena gue baru saja selesai bayar uang kuliah untuk semester berikutnya, dan terpaksa pakai uang tabungan gue (yang tadinya mau gue pakai untuk beli ponsel baru, karena ponsel gue yang sekarang RAM-nya sangat kecil) sebagai tanggungjawab atas diri gue sendiri yang nggak bisa ujian sidang bulan ini—seperti yang direncanakan sebelumnya. Kenapa batal sidang bulan ini? Karena data-data yang gue butuhkan molor terkumpulnya. Bukan karena data-data saja, sih, dari awal semester kemarin progress gue memang lamban karena berbagai kendala. But it's alright, at least i've tried my best.
Penelitian gue memang lumayan sulit buat dilaksanakan di masa-masa pembelajaran jarak jauh seperti ini karena membutuhkan partisipan, bukan menggunakan pendekatan kualitatif dimana (dalam jurusan gue) pendekatan ini fokusnya ke analisis linguistik. Kalaupun butuh responden biasanya penelitian yang terkait dengan analisis kesalahan penggunaan tata bahasa, dsb. Oh iya, di jurusan gue ini memang ada dua konsentrasi jurusan yang harus dipilih saat akan memasuki semester V, yaitu jurusan Bisnis dan Pendidikan. Oleh karena gue ambil konsentrasi Pendidikan saat itu, alhasil gue harus berjibaku dengan setumpuk data kuantitatif. Ini sempat jadi salah satu pilihan yang gue sesali sebelumnya. Pada saat memilih konsentrasi Pendidikan, gue termasuk cari aman, sebab gue nggak mau berurusan dengan linguistik yang mana akan belajar lebih dalam lagi tentang kebahasajepangan. Apalagi kalau memilih Bisnis, gue akan dihadapkan dengan mata kuliah yang berkaitan erat dengan bahasa-bahasa perusahaan, sebagai entrepreneur, misalnya, and in Japanese definitely. Gue pikir dulu gue nggak cukup capable untuk ambil konsentrasi kesana—when i haven't even tried yet.
But now i've got my lessons and i try to enjoy things i should have never regretted of.
Ngomong-ngomong soal kuliah dan serentet tanggungjawab, usia segini kayaknya mulai rentan banget menghadapi siklus dimana pencapaian orang lain menjadi terlihat "wah" dan lantas merasa malu ketika melihat diri sendiri yang masih stay di tempat yang sama. Insecure kali ya, lebih tepatnya.
Lihat teman-teman gue bolak balik Jepang dan Korea Selatan buat study exchange atau kerja, lihat teman-teman gue yang satu per satu mulai pergi lebih dulu meninggalkan almamater, lihat beberapa teman gue yang juga mulai sukses merintis usaha dan tekun di bidangnya, lihat teman-teman gue yang mulai aktif jadi content creator, dengan berani mengembangkan skill mereka dan keluar dari jalur akademik yang selama ini dijalani, even ada yang udah sempat kolaborasi sama penulis untuk jadi illustrator design-nya, dan of course, lihat sebagian besar teman-teman gue yang udah mulai bekerja.
I know, seperti yang beberapa kali pernah gue mention di postingan-postingan sebelumnya, bahwa hidup kita bukanlah perbandingan atau arena balap dimana setiap orang harus dijadikan musuh untuk sama-sama berlomba meraih "garis finish". Life isn't a race with everybody else, but is a race with ourselves, our own lives. Toh bukankah pada akhirnya garis finish kita berbeda-beda? Nggak mungkin ada yang exact sama. Reward-nya pun tentu beda-beda. Ada yang mungkin dapat trophy, ada yang dapat hadiah bertemu dengan orang baru, ada yang dapat hadiah uang seabrek-abrek, atau ada yang sesederhana dapat sebuah hidayah atau pembelajaran berharga dari Tuhan untuk menjalani fase hidup yang berikutnya.
Akan sangat childish dan kontradiktif dengan kata-kata motivasi yang pernah gue tuliskan kalau gue berkata ingin menjadi seperti mereka yang saat ini garisnya nggak lagi sejalan dengan gue—menjadi mahasiswa kolot. Nggak, gue nggak betul-betul ingin menjadi sama seperti mereka cuz i know my place and where i'm standing at. Posisi gue nggak pantas untuk mengharapkan "hadiah" yang sama karena tujuan dan misi berupa pengorbanan atau perjuangan hidup yang teman-teman gue dan gue sendiri alami pasti berbeda. Karena itu, gue justru ikut berbahagia dengan segala pencapaian mereka. Seperti beberapa sohib gue yang baru selesai yudisium kemarin.
Oleh karena itu, poin yang mau gue sampaikan saat ini bukanlah tentang bagaimana cara agar nggak insecure atau bagaimana supaya gue nggak kebanyakan mengeluh dan melihat ke atas, karena jawabannya mungkin hanya satu; gue hanya perlu fokus dengan diri sendiri, jalani dan nikmati apa yang ada sekarang. Melainkan semua ini adalah tentang bagaimana dan apa yang membawa gue pada situasi yang (menurut gue) kurang beruntung saat ini, yang membuat gue merasa tertinggal jauh di belakang, yang mungkin bisa menjadi sedikit pembelajaran untuk teman-teman yang sedang mengalami hal serupa, atau juga sedang ke tahap itu. Bukan gue nggak menikmati hidup dan mensyukuri segala hikmah yang gue miliki sekarang. I do enjoying and trying to be surrendered over the things that happened in my life, but i must be aware too that not all of these are good and fun to get thru. That's why within this post, gue ingin berbagi tentang apa yang sudah gue pelajari dari kesalahan-kesalahan tersebut.
Dulu, dari SD – SMA, sebelum menginjak bangku kuliah gue termasuk anak yang aktif dan lumayan rajin di kelas. Not that ambitious yang bisa saja menghalalkan segala cara agar bisa on top, tapi gue cukup serius dalam belajar, sampai-sampai ketika ranking gue turun, gue akan merasa sangat stress dan gelisah, kenapa bisa? Dan bagaimana cara naiknya lagi? Gue akan kalang kabut. Mungkin karena gue sudah dilatih belajar dari usia 4,5 tahun dan masuk SD 5 tahun tanpa menikmati bangku TK, pendidikan menjadi sesuatu yang begitu kompetitif buat gue. Belum lagi dorongan dari orangtua agar gue menjadi anak yang rajin dan berprestasi dengan baik.
Dalam setiap kerja kelompok pun, gue yang hampir sering meng-handle atau menjadi kepala karena gue kurang percaya dengan hasil kerja orang lain, dan karena gue ingin selalu mendapat nilai yang bagus. Kalau menurut gue ada yang perlu diperbaiki, gue nggak segan-segan untuk mengerjakan semuanya sendiri karena gue nggak rela kalau harus dapat nilai yang kurang memuaskan. Mau kerja secara mandiri atau berkelompok, nilai gue harus bagus!
Namun semuanya berbeda saat gue mulai menikmati kehidupan perkuliahan. Sebab gue mulai menjadi satu-satunya yang memegang kontrol atas urusan akademik, dan karena perkuliahan cenderung lebih santai daripada kehidupan sekolah, membuat gue merasa memiliki kebebasan untuk not doing what i get used to do which is being persistent and passionate in academic matters. Karena, nggak akan ada guru yang memanggil ke ruang BK kalau gue nggak masuk kelas 2 – 3 kali, nggak ada lagi masuk sekolah jam 7.15 dari Senin sampai Jum'at, nggak ada lagi adegan lari-lari ngejar angkutan umum karena takut terlambat, nggak ada lagi guru yang nyariin kalau gue nggak masuk kelas setelah istirahat padahal tadi paginya gue hadir, nggak ada lagi peringkat kelas diiringi dengan pembagian raport oleh orangtua. Semua tanggungjawab ada di tangan gue, mau jadi mahasiswa yang rajin, atau jadi mahasiswa biasa-biasa aja yang sering bolos? It's all up to me. Sayangnya gue memilih menjadi mahasiswa average yang skill-nya nggak meningkat banyak dan sering skip kelas karena belum ngerjain tugas. Iya, lumayan bandel juga gue dulu.
Di perkuliahan, kami diberikan jatah absen tiga kali bagi yang nggak bisa hadir di kelas. Kalaupun bolos lebih dari itu, ya sudah, otomatis nggak lolos mata kuliah yang bersangkutan dan gue masih bisa mengulang di semester depan. Berbeda dengan saat di sekolah dulu dimana semua mata pelajaran harus dihabiskan pada semester itu. Pengawasan dari orangtua pun nggak seketat dulu saat masih di bangku sekolah, mungkin karena mereka terlalu percaya dengan kemampuan gue, saat gue sendiri perlahan-lahan mulai meragukan diri sendiri. Alhasil gue kehilangan arah akan kapal yang sedang gue layarkan.
Gue merasa capek menjadi anak rajin yang sering dimanfaatin orang untuk jadi kepala di setiap kerja kelompok. Gue capek belajar karena nyatanya skill gue nggak bertambah pesat. Gue juga capek belajar karena gue merasa masih bisa ngikutin mata kuliah yang ada, berpikir bahwa toh gue sudah pernah belajar subjek yang sama waktu SMA, tanpa menyadari bahwa tingkat kesulitan mata kuliahnya akan semakin tinggi tiap semesternya. Akibatnya gue lengah, gue nggak bisa ngejar ketertinggalan, gue terseok-seok. Sekalipun bisa ngejar, itu cuma saat di kelas dan gue harus ekstra belajar dulu setiap H-1 (atau bahkan -1 jam) sebelum kelas dimulai. Minat dan semangat belajar gue naik turun, karena gue merasa sudah menyerah duluan ketika melihat orang-orang yang lebih jago dan hebat skill-nya di atas gue. Anehnya, aura kompetisi yang selama ini gue temukan di sekolah nggak ada di bangku perkuliahan. Mungkin karena orang-orang yang gue temui cenderung lebih santai, lebih YOLO, dan nggak terlalu ambisius.
Lama-lama gue jadi berhenti becoming someone i get used to, gue berhenti mengatur berbagai mimpi dan rencana yang mestinya bisa gue capai sebelum saat ini, dan sebelum semester gue kelebihan. Gue berhenti menjadi seseorang yang konsisten dalam berusaha. Gue berhenti punya tujuan. Gue berhenti menjadi seorang Awl yang serius dalam persoalan akademik.
Kondisi ini didukung dengan organisasi dan kegiatan lain di luar kampus yang membuat nyaman. Sehingga gue lupa akan kewajiban dan segala cara yang harusnya gue lakukan untuk meraih tujuan plus menjalankan kewajiban itu. I was lost, cuz i was too comfortable in my zone. Menurut gue, kenapa gue harus terburu-buru kalau gue bisa santai? Kenapa gue harus berlari kalau bisa berjalan?
"Tuh, lihat, teman-teman di samping gue pada jalan, kok!"
Lalu lupa dengan beberapa teman lain yang awalnya ada di belakang gue, sekarang melesat jauh di depan sana. Terlihat seperti semut kecil di ujung mata. Gue pikir masa depan gue masih panjang, masih banyak hal yang mau gue lakukan, and it's not all about studying in college. Mungkin pendapat ini nggak masalah untuk sebagian orang, and some people might think that it's pretty normal to go through. Namanya mahasiswa seumuran gue, pasti akan menemui banyak hal menantang yang suka nggak suka, atau sengaja nggak sengaja akan dilahap pada akhirnya. Itu juga lah yang mendasari pemikiran santai gue sebelumnya. Tapi gue berusaha untuk melihat dari kacamata yang lain saat ini.
And you know what? Pemikiran ini nggak jauh berbeda dengan seminar-seminar motivasi yang selalu menggaungkan dan mengunggulkan sosok Mark Zuckerberg, Bill Gates dan Steve Jobs, tiga mahasiswa yang sempat DO dari kampusnya di usia 19 tahun untuk merintis perusahaan (yang kemudian menjadi) terbesar di dunia, yakni Facebook, Microsoft dan Apple, agar kita bisa terus memaklumi setiap kegagalan dan movement sebagai validasi atas keputusan yang mungkin saja menyimpang. Masalahnya, kalau hal itu terjadi kepada gue, bukannya belajar mencari jati diri dan memperjuangkan apa yang menjadi passion gue, gue malah akan mendatangkan kegagalan dengan sendirinya. Gue yang mengundang kegagalan lain, dan bukan menghindari itu. Karena hidup gue nggak sama dengan Mark, Bill Gates, dan juga Steve Jobs, yang di-DO dari kampus ternama di Amerika. Kalau gue mau ikut-ikutan kayak Steve Jobs, yang ada malah jadi Steve Jobless.
Situasi ini semakin diperparah ketika gue menemui beberapa kegagalan baru. Saat gue sedang sadar dan berusaha untuk memperbaiki diri, gue gagal empat kali berturut-turut JLPT (Japanese Language Proficiency Test) intermediate level, dan gagal untuk mengantongi piala ketika gue mendapatkan kepercayaan dosen untuk membawa nama baik kampus di ajang Speech Contest. Padahal gue sangat percaya diri sebab tema yang gue bawakan cukup menarik dan solutif. Gue juga merasa gue belajar dengan cukup sebelum ujian JLPT.
Saat itu gue ada di semester VI. Gue merasa sudah berusaha cukup keras untuk kembali ada di jalur ini. Merasa termotivasi karena melihat teman-teman gue yang berangkat untuk pertukaran ke Jepang. So i watched animes and dorama everyday, i exercised my listening skill with various Japanese content in YouTube and other streaming platform, i was trying to engage with Japanese fellas who were learning English or Bahasa, baik yang sedang berada di Indonesia atau lewat aplikasi semacam HelloTalk, Hello Pal, Tandem, hingga Duolingo. Beberapa hal tersebut adalah bentuk usaha gue untuk melepas idealisme yang menganggap bahwa belajar bahasa asing nggak perlu mengenal budayanya, dan cukup lewat textbook. Gue mulai realistis dan mencoba jatuh cinta dengan jurusan gue, karena belajar secara teori saja nggak akan membawa gue jauh kemana-mana.
Tapi kenyataannya, gue tetap gagal. Dan semua itu terjadi ketika gue sedang on fire memperbaiki kesalahan gue. I know, seharusnya sudah jelas bahwa gue kurang berusaha dan maksimal dalam mengerahkan kemampuan gue. Namun yang namanya kecewa, selalu datang tepat di waktu-waktu yang sulit. Bukannya mengejar ketertinggalan, gue malah berlari ke samping, menerobos batas dari arena yang gue mulai senangi itu. I was devastated dan seolah mendapatkan pengakuan untuk kembali berada di zona gue yang terlalu nyaman dan melenakan. Karena pada akhirnya, sekeras apapun gue berusaha, gue akan selalu berada di titik yang sama, nggak maju, tapi justru semakin mundur, semakin jauh dan semakin tertinggal.
Lambat laun, gue menyadari bahwa gue nggak bisa selamanya berlari dari track tersebut. Selain karena gue harus menyelesaikan tanggung jawab, gue punya janji tak terucap di dalam hati yang gue simpan untuk orangtua gue (dan keluarga, tentunya). Dulu, saat memilih untuk masuk ke jurusan yang gue pilih, ayah gue sempat ragu dan bertanya-tanya, "apakah prospeknya akan bagus untuk masa depan kamu setelah lulus?"
Dengan mantap gue menjawab, "iya! Sekarang banyak perusahaan-perusahaan asing dan peluang untuk bekerja dengan ijazah ini pasti akan besar, karena bahasa asing bisa menjadi jembatan untuk kita melihat dunia luar, yah." Nggak persis sama, tapi kurang lebih begitu maksud gue saat mencoba meyakinkan bokap. Sekarang, beliau menaruh harapan besar bagi gue. Dia sudah percaya bahwa gue akan bertanggungjawab dengan pilihan yang gue ambil, dan bahwa gue akan memiliki masa depan yang sedikit lebih baik, karena skill gue sedikit banyaknya mungkin akan menjamin masa depan gue. Gue lupa, untuk mencapai itu, gue harus bekerja ekstra keras, bersaing dengan mereka-mereka yang ber-privilege dan cerdas di bidangnya. Karena gue bukan satu-satunya orang yang ingin bisa berada disana. Nggak kok, orangtua gue bukan typical orangtua yang strict dan nyetir anaknya. Wajar kalau mereka sedikit berharap untuk kebaikan gue. That's why sudah sepatutnya gue memangku tanggungjawab ini.
Beberapa hari lalu, gue mendapat komentar dari kak Eno yang memacu diri gue untuk bisa kembali on track. Kak Eno berpesan, meski susah, penting untuk kita kembali fokus pada tujuan awal kita, kenapa memutuskan itu, dan dalam hal ini memutuskan untuk kuliah di jurusan yang gue ambil. Gue merasa mendapatkan angin segar untuk pelan-pelan kembali memulai track dengan semangat yang baru. Karena sebelumnya, gue memang sedang bertarung dengan berbagai perasaan gelisah akan meneruskan persimpangan ini, atau melanjutkan apa yang telah gue pelajari. Meski masa depan nggak ada yang bisa mengira, setidaknya gue berusaha, dan gue nggak mau berlari untuk yang kesekian kalinya.
Kebetulan juga, tulisan ini gue buat untuk tantangan menulis dari CRLand-nya kak Eno, yang menurut gue temanya sangat relate dengan keresahan yang gue rasakan. So, untuk menjawab dua hal apa yang mau gue improve dari diri gue..
Pertama, gue mau meng-improve cara pandang gue, dalam hal ini unlearn soal nilai-nilai kehidupan yang menggiring gue pada suatu kecerobohan dan ketertinggalan saat ini. Iya, saat ini. Karena masa depan adalah sesuatu yang abu-abu dan gue nggak tahu pelajaran apa lagi yang akan membawa gue nantinya. Namun yang jelas, sekarang gue ingin memantapkan itu dalam hati gue, bahwa untuk mencapai sesuatu, nggak ada kata berhenti dan lelah. Beristirahatlah secukupnya, sewajarnya, hanya saat gue membutuhkannya. Gue nggak mau mudah tergoyahkan oleh beberapa kerikil kecil yang mungkin akan mematahkan semangat gue lagi. Karena Mark Zuckerberg, Bill Gates dan Steve Jobs nggak berhenti untuk melakukan risetnya meski mereka drop out dari college. Dan beberapa orang sukses lainnya, bahkan memulai bekerja dan giat berlatih dalam waktu yang intens sejak mereka masih di bangku sekolah. Salah satu contohnya penyanyi favorit gue, Isyana Sarasvati. Sudah cukup untuk gue bermain-main. Meski, lagi-lagi gue nggak bisa menyamakan hidup mereka dengan gue, tapi untuk mengambil hikmah dan motivasi gue rasa nggak ada salahnya. Daripada selalu menjadikan rasa malas sebagai validasi untuk memperlambat kesuksesan. Nggak ada kata berhenti untuk berjuang. Gue harus menyimpan itu dalam-dalam di benak gue.
Lalu yang kedua adalah me-relearn tentang semua skill gue dalam bahasa Jepang—which is my major. Hal ini sudah pasti gue akan mengulas kembali beberapa mata kuliah dan ilmu kebahasajepangan yang mulai merosot dari kepala gue. It takes time, obviously. Tapi gue mau berusaha untuk memulai semuanya kembali. Nggak benar-benar dari nol, mungkin. Tapi dari track yang terakhir kali gue tinggalkan. Karena pada akhirnya ini semua bukan hanya tentang gue dan idealisme gue. Sebab, dalam beberapa bulan atau beberapa tahun kedepan, gue mungkin belum bisa memberi makan diri sendiri dan membantu membiayai adik-adik gue lewat menulis. So, buat gue saat ini pepatah "better late than regret" lebih pantas disematkan daripada "better late than never". Because i have to be realistic, and see things more clearly than before. Gue percaya gue masih punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Nggak cuma demi diri gue dan segala mimpi-mimpi yang masih tersimpan di buku catatan, tapi untuk orang-orang yang gue sayangi, dan untuk masa depan adik-adik gue.
Sedikit demi sedikit gue mulai menemukan ritmenya. Sekarang gue percaya bahwa belajar bisa darimana saja, dari platform apapun dan nggak mesti selalu kaku, selama caranya positif dan mudah untuk diimplementasikan.
Beberapa strategi belajar masih gue cari, dan beberapanya lagi biarlah gue simpan agar tulisan ini nggak menjadikan gue congkak, melainkan sekadar menjadi saksi bisu, bahwa dalam setiap barisnya, gue menitipkan harapan besar akan perubahan diri gue ke arah yang lebih baik. Semoga, someday, resolusi-resolusi kecil yang telah gue buat serealistis mungkin ini bisa menemui rasa leganya nanti, Aamiin.
Teruntuk teman-teman, juga kakak-kakak yang sudah membaca tulisan panjang ini sampai akhir, terima kasih banyak. Tolong do'akan gue, ya. Gue juga berharap, semoga segala harapan kita bisa terwujud suatu hari, pada situasi dan kondisi yang tepat yang Allah tentukan untuk menerimanya. Semangat!💪🏻♥️