Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
  • Portfolio
instagram twitter LinkedIn YouTube Spotify Email

Notes of Little Sister



Sulitnya Jadi Realistis

Pada masa-masa menjelang akhir semester di perkuliahan, gue akhirnya menyadari bahwa gue adalah salah satu mahasiswa yang merasa salah jurusan. Bukan karena dipilihkan orangtua, bukan juga karena ikut-ikutan teman, tapi karena saat itu gue nggak punya pilihan lain untuk mengambil jurusan yang lebih "gue banget"—atau mungkin karena gue belum tahu pasti apa yang mau gue kejar.

Secara, gue hanya lulusan program Bahasa sewaktu di SMA, stereotip dan opsi yang ada untuk kami pun menjadi sangat mengerucut, nggak lain ujung-ujungnya kuliah bahasa, antropologi, atau ilmu komunikasi. Well, pilihan sebetulnya banyak, terbuka lebar. Gue bisa pilih bidang mana aja yang memang gue suka, as long as gue mampu menyaingi puluhan ribu pendaftar lainnya. Tapi mengingat gue harus realistis dengan kapasitas otak gue😄, pilihan itu pun meredup. 

Dulu, gue masih menganggap bahwa belajar bahasa asing adalah passion gue—yang gue rasakan saat belajar bahasa Korea secara otodidak, tapi nyatanya nggak berlaku untuk bahasa Jepang yang pelajaran kanjinya bikin kepala pusing bukan main. Nyatanya mempelajari suatu bahasa yang mana budayanya nggak familiar bagi kita merupakan cambuk tersendiri.

Sebagai yang bukan pecinta anime, idol Jepang, dan hal-hal lain yang berbau "jejepangan", bertemu dengan lingkungan yang seperti ini menjadi pertempuran tersendiri dalam batin gue. Karena ternyata ketertarikan itu bisa berbanding lurus dengan bertambahnya pengetahuan kita dalam berbahasa. 

Misalnya, sering nonton anime bisa menambah kosakata berbahasa Jepang kita, meskipun itu nggak dipakai untuk bahasa formal. Lalu menonton tayangan berbahasa Jepang di YouTube dan terjaring dengan teman orang asing melalui media sosial, juga bisa meningkatkan kemampuan berbicara, kosakata dan mengasah grammar kita dengan spontanitas yang baik.

Gue suka budaya Jepang, but not into their pop-culture. Gue lebih mengagumi alam mereka dan bagaimana kehidupan orang-orang disana. Mungkin karena gue nggak seambis itu dan hanya senang belajar, so when it comes to formal education, gue nggak bisa menemukan excitement itu lagi. 

Menyadari fakta itu (bahwa gue nggak merasa menemukan kenikmatan disana), keinginan gue untuk shift career setelah lulus pun menjadi semakin besar. Perlahan-lahan gue mulai mempelajari tentang digital kreatif. Keinginan ini muncul ketika gue serius ngeblog pertengahan tahun 2020 lalu. Mungkin ini satu-satunya sisi positif yang bisa gue syukuri dari invasi Covid-19. 

Gue jadi punya waktu lebih banyak untuk figure out tentang apa yang mau gue lakukan, dan apa yang cocok buat gue. Karena sejak saat itu, mulai banyak bermunculan bootcamp online untuk mereka yang mau mengembangkan skill di industri digital. Sesuatu yang align dengan hobi gue, yaitu menulis di internet. Gue belajar tentang SEO dan copywriting yang mana kedua cabang ini ada di bawah digital marketing. So I learned about digital marketing.

Mulanya susah, tapi gue coba jalani dengan santai karena gue yakin bidang ini lah yang mau gue tekuni. But now, having my career switch, malah membuat gue memikirkan lagi soal keputusan gue untuk mengejar karir di bidang yang berbeda. Gue kembali mempertanyakan diri sendiri, apakah ini sesuatu yang benar-benar ingin gue lakukan? Apakah berhenti belajar bahasa adalah kesalahan? Apa sih yang sebenarnya mau gue tuju? Penghasilan atau passion? Semua itu menyatu jadi tanda tanya besar,

"emang iya passion sepenting itu?"

Jika orang-orang bilang quarter life crisis adalah masa-masanya mencari goals dan dimana kita bisa fit in, mungkin disinilah diri gue berada sekarang. Di satu moment, gue merasa yakin banget dengan pilihan yang gue ambil. Tapi di sisi lain, gue merasa ragu bahwa pilihan yang gue ambil akan membawa gue ke sesuatu yang besar, sesuatu yang gue idam-idamkan, yang mana sisi realistis dari diri gue bilang bahwa bukan passion lah yang bisa memenuhi.

Di dunia dimana inflasi terus menaik seperti sekarang, gue belum bisa membayangkan sejauh mana passion ini bisa menghidupi gue. Walaupun, yah, usia gue masih muda dan masih panjang perjalanan yang akan gue tempuh kedepannya. Namun gue nggak mau menghabiskan waktu hanya dengan menebak-nebak kemana life maps gue. Kalau gue bisa tahu apa yang gue mau sekarang, maka gue akan kejar itu secepat yang gue bisa. 

Kadang gue masih nggak percaya, bahwa gue yang dulunya selalu mengagung-agungkan passion, sekarang malah penuh keraguan. Ternyata pengalaman sebagai orang dewasa bertahun-tahun ini menuntun gue menjadi seseorang yang teramat realistis, dan pemikiran soal passion adalah dampaknya.

Is it a sign that I'm growing up? Karena katanya, ragu itu bukan tentang salah atau benar. But it keeps us aware dengan segala kemungkinan yang terjadi di masa depan. Kewaspadaan dan pertimbangan-pertimbangan sebelum memutuskan sesuatu membuat kita bisa lebih bijak dan bertanggungjawab dengan pilihan yang kita ambil. I hope so. 

Menjadi seseorang yang terbiasa realistis, bikin gue meragukan idealisme diri sendiri. Mungkin karena gue sering ditampar dan dihadapkan dengan realita yang cukup pahit tentang bagaimana buah-buah pemikiran yang idealis dienyahkan begitu saja oleh orang-orang yang punya kuasa. Sebuah sikap yang akhirnya melahirkan skeptisisme di kalangan masyarakat kita, bahkan anak-anak muda yang cenderung dianggap sebagai agen perubahan dan otaknya idealisme. 

Yah, walaupun sampai detik ini gue masih belum tahu apa ini betul-betul jalan yang ingin gue lalui, dan akan seperti apa hidup gue 2 atau 3 tahun berikutnya. Namun yang gue yakini, gue hanya harus belajar dan belajar semaksimal mungkin. Dan seharusnya sudah jelas sekali untuk gue sadari bahwa hidup itu penuh perjuangan, nggak ada yang instan. Semua perlu dilakukan step by step, nggak bisa langsung terobos. 

Toh, menjadi realistis bukan berarti harus meninggalkan apa yang kita suka, dan apa yang kita ingin lakukan. Kalau bidang ini memberi gue ilmu baru dan pengalaman baru, kenapa nggak, kan?
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Berawal Dari Kegelisahan (How to produce a creative content with Raditya Dika)

Mendadak gue ingat pernah ikut kelas "Persiapan Menjadi Video Creator" bersama Raditya Dika yang diselenggarakan oleh Kominfo x Siberkreasi tahun lalu dan ingin menuliskan sedikit bahasan pentingnya pada kelas waktu itu. Dalam salah satu sesi, Bang Radit sempat memberikan tips tentang bagaimana caranya membuat ide konten yang kreatif dan bermanfaat.

Menurutnya, hal tersebut bisa dimulai dengan memikirkan kegelisahan diri sendiri, diikuti dengan memikirkan cara untuk bisa menghadapi kegelisahan tersebut. Iyap, jadi pada dasarnya, kita yang punya masalah, kita sendiri yang cari jalan keluarnya, lalu kita coba bagikan deh, ke khalayak umum. Barangkali konten tersebut ngena di sebagian orang, atau mungkin bisa menjadi solusi dan jawaban juga atas kegelisahannya.

Contohnya terdapat di dalam konten-konten Raditya Dika sendiri yang mana salah satunya dapat kita lihat lewat video reels berikut ini:

View this post on Instagram

A post shared by Raditya Dika (@raditya_dika)


Dalam video itu, kegelisahan Radit adalah: tidak bisa tidur dengan lampu dinyalakan, namun ia lupa mematikan lampu dan malas turun lagi saat sudah beranjak ke kasur. 

Cara unik yang dia lakukan untuk bisa mematikan lampu, atau supaya bisa tidur meski lampu dinyalakan adalah dengan melemparkan bola kasti ke arah saklar menggunakan tongkat baseball. Hal itu ia lakukan bukan semata-mata agar saklar bisa tertekan off, tapi agar dia merasa kelelahan dan setelah itu bisa tidur meski lampu dinyalakan.

Well, cara ini memang nggak bisa dilakukan untuk semua orang, mengingat ini hanya komedi🤣. Tapi itulah fondasi yang dimiliki Bang Radit dalam membuat konten-kontennya yang out of the box. 

Selama kelas berlangsung, gue jadi mikir, kira-kira konten atau tulisan apa yang bisa gue buat based on kegelisahan yang gue miliki, ya🤔 Apakah jangan-jangan sebenernya gue udah pernah buat yang sesuai dengan content pillar Bang Radit?

Turns out, setelah gue baca-baca ulang beberapa postingan lama, selama ini gue sudah banyak menuliskan tentang kegelisahan gue ke blog—dan mungkin juga teman-teman bloggers yang lain secara nggak sadar. Walaupun memang nggak semua gue terapkan pilar yang kedua: cara mengatasi kegelisahan tersebut, tapi gladly gue sudah mengerti gimana basis dalam membuat konten itu berkat ilmu yang gue dapat dalam kelasnya Bang Radit.

Beberapa contoh tulisan gue yang berangkat dari kegelisahan adalah Bahagia Perlu Uang? dan Don't Stop. Dalam postingan yang pertama, gue mengajak orang-orang terkhusus teman-teman yang sama-sama sedang mengalami krisis seperempat abad untuk bekerja keras dan memiliki growth mindset terhadap uang, karena bagaimana pun alat tukar ini bisa memberi sedikit banyaknya power dalam hidup kita, entah itu untuk menghidupi diri dan keluarga, atau membantu orang-orang yang tengah kesulitan di luar sana. 

Mengapa ini jadi kegelisahan gue? Karena ketika menulis itu, keluarga gue sedang mengalami masalah pelik soal keuangan. Mungkin ada tiap hari dimana kami harus memutar otak gimana agar uang ini bisa terus berputar, misalnya dipakai untuk berdagang, dan gimana caranya agar uang yang dihasilkan bisa jadi modal untuk hari esok dan nggak habis dipakai menutupi kebutuhan rumah tangga.

Therefore, I came up with the conclusion bahwa keluarga gue akan bisa lebih sejahtera dan senang if I could earn more money for them. Supaya gue bisa bantu biayai adik-adik yang sebentar lagi akan masuk kuliah tahun depan, bisa bayar orang untuk bantu-bantu jalankan UMKM eyang gue, supaya bisa support financial kedua orangtua gue, lalu sisanya ingin bisa membantu orang-orang yang membutuhkan di sekitar. Sebab gue pernah dengar dan belajar, bahwa ujian bagi seseorang itu sebetulnya bisa jadi ujian juga untuk kita. Apakah kita mau bantu seseorang itu untuk melalui 'ujiannya' atau nggak?

Lalu tulisan yang kedua, Don't Stop, berangkat dari kegelisahan gue yang merasa belum qualified enough untuk lulus dari jurusan yang gue tempuh. Gue merasa bodoh dan salah jurusan, karena nggak banyak ilmu yang bisa gue bawa sampai detik itu menjadi mahasiswi. 

Karena saat itu gue masih ingin mengejar cita-cita di bidang yang linear, maka dalam tulisan itu gue maksudkan (lebih tepatnya kepada diri sendiri) bahwa penting untuk kita kembali fokus dengan tujuan awal dan kembali menata rencana-rencana yang bisa kita susun saat diri kita tengah goyah dan kehilangan arah akan tujuan hidup kedepan. Tentunya dalam kasus gue adalah mencari metode belajar yang cocok, dan mengurangi intensitas penggunaan media sosial agar bisa lebih fokus, nggak lagi terdistraksi dengan bisingnya kehidupan internet. 

Hal yang sama juga gue terapkan pada podcast gue, Notes of Little Sister. Kalau teman-teman perhatikan, hampir semuanya mengarah pada kegelisahan dan bagaimana sebaiknya kita deal dengan itu (tentunya menurut diri gue sendiri), and yesss, semua topik itu nggak jauh-jauh dari kehidupan personal gue yang diharapkan bisa jadi salah satu sarana pengembangan diri untuk siapapun yang mendengar. Nanti gue akan posting khusus tentang podcast, bakal ada yang baca nggak yaa?😆

Lihat juga: Manusia Lemah


Berawal Dari Kegelisahan (How to produce a creative content with Raditya Dika)

Kembali soal tips membuat konten dari Raditya Dika, selain mengambil inspirasi dari kegelisahan diri sendiri, tentunya kita juga bisa menjadikan kegelisahan yang kita miliki terhadap lingkungan sekitar sebagai ide konten. Dan tanpa disadari, ini cara yang sudah dilakukan banyak content creator untuk menghasilkan konten-konten yang menarik dan untuk menjangkau massa yang sesuai dengan segmentasinya masing-masing. 

Para content creator ini berbondong-bondong memproduksi konten berdasarkan kegelisahan dan isu-isu yang happening di kehidupan sosial kita. Misalnya aja isu kesehatan mental, pelecehan seksual, investasi bodong, sampai ke persoalan quarter life crisis. Masing-masing dari mereka menawarkan cara uniknya tersendiri untuk bisa melewati atau menemukan solusi bagi audiens dari berbagai permasalahan tersebut—and most of the time it helps! 

Yang paling menarik, nggak cuma konten dengan topik yang serius aja yang bisa diangkat dari keresahan publik, konten berjenis komedi atau hiburan pun masuk-masuk aja, lho. Contohnya yaa kayak video Bang Radit di atas😆

So, buat yang sering kena writer's block, stuck dan kehabisan ide untuk menulis konten, mungkin bisa mencoba dengan breakdown satu per satu apa yang menjadi kegelisahan teman-teman. Dimulai dari skala yang paling kecil, yakni dalam diri, sampai skala yang terbesar. 

Kira-kira, ide konten apa aja sih yang udah teman-teman buat based on kegelisahan? Yuk, sharing!🤩






Share
Tweet
Pin
Share
6 komentar
 
Seksisme: Basi Lo!

Pernah nggak sih, kamu ngalamin dilecehkan secara nggak langsung di ruang publik atau ketika menggunakan transportasi umum? Dilirik, dilihatin dari atas sampai bawah dengan tatapan sensual sama laki-laki—yang terlihat jelas dari tatapannya bukan seseorang yang bisa memuliakan perempuan. Lalu digangguin saat lagi jalan, disiulin, dipriwitin kayak pemain bola, ditanya-tanya sesuatu yang sifatnya personal as if kamu sengaja lagi mejeng untuk menarik perhatian mereka?

Gue pernah, bahkan sering sekali dalam beberapa bulan terakhir ini. Saking seringnya, gue sampai muak dan enggan keluar rumah kalau urusannya nggak penting-penting amat. Males juga harus bolak balik pakai angkutan umum, males meladeni sebagian sopirnya yang nggak tau bagaimana caranya beretika terhadap stranger yang kebetulan perempuan ini. Udah pakai masker, kerudung, ditambah jaket yang disleting hingga leher, dan tertutup sedemikian rupa nyatanya nggak bikin manusia-manusia mata keranjang ini berhenti menggoda cewek yang lewat dan muncul di hadapannya. Seperti yang gue bilang tadi, seakan-akan kehadiran kita disitu adalah 'hadiah' atas dahaga nafsunya yang belum tersalurkan. 


Dipaksa Menguasai Pertahanan Diri


Gue termasuk cukup beruntung karena memiliki wajah jutek yang bisa gue manfaatkan dalam situasi-situasi semacam ini. Tapi lama-lama lelah juga kalau harus auto jalan ngangkang kayak ibu hamil setiap jalan melewati kerumunan bapak-bapak atau anak muda seperti mereka hanya agar gue nggak terlihat feminim di depan mereka. Dan gue rasa, gue bukan satu-satunya yang mengalami mekanisme pertahanan diri seperti ini.

Tumbuh di lingkungan yang patriarkis dengan segala stereotip gendernya terhadap perempuan, mau nggak mau membuat gue terbiasa menjalani hidup dengan penuh ketakutan. Terutama bagaimana kami seakan-akan hanya dipandang sebagai makhluk "visual", makhluk pemuas nafsu, makhluk yang dianggap seperti barang karena segala lekuk tubuhnya adalah tontonan. Meskipun, ya, gue nggak sepolos itu untuk nggak menyadari ada dari kaum perempuan sendiri yang berprofesi demikian. 

Namun masalahnya, nggak semua orang demen dicat-callingin, nggak semua perempuan suka cari perhatian, nggak semua perempuan mau dideketin dan dilecehkan hanya karena dianggap menarik, nggak semua perempuan berprofesi seperti apa yang laki-laki ini pikirkan. Bahkan kalau ada orang-orang yang memang ingin terlihat menarik untuk lawan jenis, bukan berarti mereka nggak bisa dihargai. Gue rasa pelaku-pelaku pelecehan seksual dari skala kecil sampai besar ini perlu direhabilitasi dan mendapatkan pendidikan khusus tentang bagaimana seharusnya dia bersikap dan memposisikan perempuan nggak lebih dari sosok manusia yang memang faktanya punya banyak perbedaan. Dan perbedaan ini bukan untuk dimanfaatkan, tapi untuk dihormati. 

Gue sangat amat lelah dengan ini semua. Bahkan jikalau gue diberikan satu saja kesempatan—yang sangat nggak mungkin—untuk mengubah dunia, mungkin gue lebih memilih untuk menghapuskan segala perasaan dan syahwat antara laki-laki dan perempuan. Biar bisa sama-sama saling jaga tuh mata dan hati.

"Auto jadi malaikat kali!"

Ya jangan dipikirin sampe jauh juga, namanya lagi nge-rant dan berandai-andai sesuatu yang mustahil bagi manusia. Kalau dilawan sama nalar memang nggak masuk, jangan, yang ada malah makin pusing. 

Baca juga: How I See Feminist As A Muslim

Belum lagi serangkaian berita kekerasan seksual yang wara wiri belakangan di media secara nggak langsung semakin menambah kewaspadaan gue sebagai perempuan—dan pastinya teman-teman di luar sana. Gue jadi khawatir, dimana tempat yang aman bagi kami kalau predator-predator seksual seperti itu berkeliaran di sekitar kita? Dan bukan hanya predator itu sendiri, kita juga harus dihadapkan dengan berbagai konstruksi sosial dan stigma yang mengikat masyarakat. Bahkan banyak instansi pemerintah dan tokoh masyarakat, sampai-sampai segelintir tenaga kesehatan yang ikut mengiyakan stigmasisasi dan seksisme macam ini.

Nggak terhitung berapa banyak masyarakat—khususnya perempuan—di media sosial yang sering mengeluh mendapatkan perlakuan kurang nyaman ketika mereka harus memeriksakan diri ke dokter obgyn, ketika masalah yang dialami bukan soal kehamilan, melainkan cuma soal sembelit, menstruasi yang nggak teratur, dan serangkaian konsultasi lain terkait organ reproduksinya. Ditambah lagi kelakuan lucu polisi-polisi kita yang sangat sering bertindak nggak adil dalam mengurus kasus pelecehan, kasus pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lain.

Sebagai instansi yang seharusnya mengayomi dan melindungi rakyat, kebanyakan dari mereka malah ikut menghakimi korban, menutup-nutupi kasus, menyepelekan pengalaman korban seakan-akan mengusut kasus hanya akan membuang waktu mereka. Karena jawabannya apa?

"Kamu yakin? Nanti kamu sendiri lho yang menanggung malu."
"Kita nikahkan saja ya, dengan pelaku."
"Saya sih mau bantu, tapi nanti Anda siap tidak dengan segala konsekuensinya? Semisal dituduh balik dengan pasal pencemaran nama baik?" 

Lha, apa ini? Gaslighting? Bukannya bantu kuatkan dan support, kok malah nambah-nambah beban pikiran korban. Seakan-akan menikahkan korban dengan rapist adalah jawaban terbaik, seakan-akan asas kekeluargaan bisa menyelesaikan semua masalah begitu saja. Memangnya lagi main koperasi-koperasian?

Coba kita rewind sejenak berita yang selama ini mencuat, ada berapa banyak kasus-kasus pelecehan atau kekerasan seksual yang diabaikan oleh aparat, sampai harus menunggu viral dulu untuk bisa diusut? Dalam catatan gue, setidaknya ada enam kasus pelecehan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir—yang mana terus bertambah sejak terakhir kali gue cek linimasa Twitter sore tadi. Bahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pun mencatat kira-kira ada 8.800 kasus kekerasan seksual yang terjadi dari bulan Januari sampai November tahun lalu. Itu yang tercatat di laporan, belum termasuk kasus-kasus lain yang terhambat di persoalan internal keluarga, dan lain-lain.

Beberapa yang sempat ramai di media nasional, di antaranya ada kasus pemerkosaan seorang anak penyandang disabilitas rungu-wicara yang dilakukan secara beramai-ramai (gang rape) di Makassar pada awal tahun 2021, kasus pelecehan seksual di lingkungan kerja pemprov DKI Jakarta yang dilakukan oleh mantan Kepala Badan Pelayanan Pengadaan Barang dan Jasa (BPPBJ), kasus kekerasan seksual 14 anak remaja yang dilakukan oleh pemilik sebuah sekolah, hingga serangkaian kasus pelecehan seksual di perguruan tinggi yang sempat ramai beberapa bulan lalu. 

Baca juga: Kenapa Kita Misoginis?

Let's Break the Bias


Pandangan seksis yang menganggap satu gender lebih superior daripada gender lainnya juga menimbulkan berbagai polemik lain seperti bias gender yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Misalnya, perempuan dianggap nggak terlalu penting untuk bersekolah tinggi-tinggi, karena toh nantinya akan berurusan di dapur, mengelola rumah tangga, dan sebagainya—yang secara nggak langsung juga merendahkan pekerjaan ibu rumah tangga (internalized misogyny). Selain itu, perempuan nggak boleh menjadi pemimpin dalam sebuah organisasi jika masih ada anggota laki-laki di dalamnya, nggak peduli sekompeten apa perempuan ini.

Berbagai batasan-batasan yang stereotypical ini pada akhirnya hanya akan mematikan mimpi-mimpi ribuan anak perempuan yang ingin memiliki kehidupan lebih layak dengan meng-upgrade diri mereka sendiri. Sadar nggak, sih? Lingkungan masyarakat kita sudah sering mengingatkan agar anak-anak dan pemuda pemudinya bisa memiliki taraf kehidupan yang lebih baik, bisa sukses dan menjadi orang yang berguna, tapi sekali saja anak mereka melangkahkan kaki untuk mendobrak stigma-stigma, mereka juga yang menghentikan langkahnya. Langkah-langkah kecil yang berharap bisa sampai di suatu perubahan.

Oleh karena itu, International Women's Day yang diperingati pada tanggal 8 Maret lalu mengusung tema #BreakTheBias, seolah menjadi penggerak sekaligus pengingat bagi siapapun bahwa berbagai bias gender yang dilanggengkan terhadap kaum perempuan selama ini sebetulnya telah memberi pengaruh yang begitu besar tentang bagaimana pandangan-pandangan masyarakat selama ini terbentuk. 

We want to remind everyone that it's not about wanting to be the first or to be the most powerful  over men, but simply wanting the justice we deserve, not just as women, but as human beings—in the name of humanity. Setara bukan berarti melawan kodrat dan memaksa untuk sama, despite segala perbedaan biologis yang dimiliki laki-laki dan perempuan. In my humble opinion, setara berarti seimbang. Nggak ada lagi bias, nggak ada lagi superioritas tanpa batas, nggak ada lagi interseksionalitas terhadap perempuan, nggak ada lagi sistem patriarkis yang menempatkan perempuan sebagai sosok manusia yang nggak punya pilihan, nggak ada lagi kesenjangan dan ketidakadilan sosial terhadap perempuan (atau bahkan kelompok marjinal) di tempat kerja, dan nggak ada lagi pandangan seksis terhadap siapapun. 

To those who think sexism is normal and should be considered as something understandable, basi lo! Let's break the bias, as much as we want changes.



References:

HitsSuara.com: Nakes Dianggap Judgmental ke Pasien KB
CNN Indonesia: Marak Kekerasan Seksual Sepanjang 2021
Share
Tweet
Pin
Share
11 komentar
Kebenaran Ada Pada Diri Sendiri


Ada yang menarik dari bagaimana orang-orang saat ini menunjukan karakternya satu sama lain di media sosial. Setiap kali ada opini, perdebatan atau hal-hal yang bertentangan dari mayoritas, maka dianggap menyimpang, sesat dan perlu diluruskan. Bukan hanya hal-hal yang menyangkut ideologi atau keyakinan, tapi juga tentang preferensi, prinsip dan nilai-nilai kehidupan itu sendiri yang pada dasarnya tentu sangatlah personal. 

Daripada menyampaikan argumen dengan baik, seringkali kita merasa paling benar ketika berdiskusi atau beradu pendapat dengan seseorang. Sehingga saat menjumpai hal yang bergeser dari apa yang kita percayai, seolah ada kecenderungan untuk selalu mau mengoreksi persepsi lawan agar bisa sesuai dengan milik kita. Padahal, sikap seperti ini pada akhirnya bisa berujung menyakiti orang lain, bahkan diri kita sendiri. 

Alih-alih membuka diskusi dengan nyaman, akhir-akhir ini gue sering melihat bagaimana kebanyakan orang di internet justru lebih senang pointing out their logical fallacy terhadap kubu yang "terlihat berbeda" dan memposisikan mereka di kotak yang salah, seakan-akan pemikiran dan pengalaman mereka nggak sama validnya untuk di bawa ke permukaan, seakan-akan ada kamus benar dan salah dalam menyampaikan gagasan. 

Gue nggak bisa menemukan penyebab mengapa orang-orang ini bisa secara lantang menyerang individu lain dengan alasan defending their beliefs, selain keegoisan yang selalu butuh untuk diberi makan. Bahkan sesederhana perkara bubur diaduk atau nggak, we can also be easily offended as if there has to be the right way to eat porridge. 

Kondisi ini membuat gue terasa relate ketika membaca bab favorit dari buku The Things You Can See Only When You Slow Down tentang "menjadi benar" karya Haemin Sunim. Menurut beliau, menjadi benar itu nggak sama pentingnya dengan saling memberi rasa nyaman dan bahagia, karena setiap orang sebetulnya punya keyakinan, nilai-nilai dan pemikiran mereka sendiri yang pasti sangat fundamental untuk mereka that we cannot imagine compromising on. Trying to convince someone to adopt our views is largely the work of our ego. Even if we turn out to be right, our ego knows no satsfaction and seeks a new argument to engage in.

Ini yang bikin gue sering takut dan malas akhir-akhir ini ketika mengemukakan pendapat di media sosial, terlebih lagi Twitter (walaupun cuma nge-tweet alakadarnya dan bukan beropini). Gue sering ditampakan dengan orang-orang yang hobi saling serang satu sama lain hanya untuk memperjuangkan apa yang menurutnya benar. Lebih parah lagi, they did it on purpose, semata-mata untuk mendapatkan pleasure atau kepuasan sendiri atas argumen kosong yang dilontarkan. 

Well, nggak ada salahnya mempertahankan persepsi dan value kita. Tapi ketika sudah memperlakukan lawan bicara selayaknya musuh yang nggak punya thinking process, itu justru akan membuat diskusi jauh dari kata nyaman. What's the point of discussion kalau ujung-ujungnya memaksa orang lain untuk punya value yang sama? Bahkan di dalam agama gue sendiri, dakwah yang baik adalah dakwah yang dilakukan dengan respectful, bukan dengan kekerasan, baik berupa verbal atau fisik.

Bukankah setiap orang punya pendapat dan pengalaman yang berbeda? Pengalaman gue nggak mungkin exact sama dengan pengalaman orang lain, bahkan teman-teman gue. Apa yang mendasari mereka untuk punya pendapat atau sudut pandang yang berbeda juga nggak mesti harus sama. Begitu juga dengan prinsip dan proses pendewasaan gue, bisa berbeda tergantung bagaimana gue tumbuh. Awl yang sekarang, bukan Awl yang sama dengan lima tahun lalu. Dan gue nggak berharap gue yang sekarang adalah orang yang sama beberapa tahun berikutnya. I want to be a better person.

Maka dari itu, sekarang gue lebih senang melipir di pojokan setiap kali melihat keributan di internet. Gue hanya senang memikirkannya sesaat sampai lupa begitu aja, tanpa gue "dokumentasikan" seperti biasanya disini. Terkadang memang ada banyak hal yang baiknya di-yaudahin dan didiemin aja, walaupun nggak salah juga kalau kita mau menuliskan itu dan membagikannya ke orang lain. 

Mungkin sisi positifnya gue jadi bisa lebih kalem dan objektif sebelum menyimpulkan sesuatu, tapi sisi negatifnya gue jadi takut untuk bersuara dan menggali potensi gue lebih jauh lagi. Apakah ini wajar? Bahkan sampai pada titik dimana setiap kali dapat notifikasi, gue langsung merasa gelisah sebelum ngecek notifikasi itu. Gue langsung overthinking, apakah ada omongan gue yang salah? Apakah gue salah nge-tweet atau nulis komentar? While I didn't even tweet something, yet the problem is on them and not me.

Dari sini gue jadi belajar, betapa ucapan seseorang itu bisa memberi pengaruh yang signifikan terhadap psikis orang lain. Now that I have learned something, baik sebagai orang yang dipojokan dan memojokan (I'm not gonna lie that I've also behaved like one at least once in my life or even more), gue akan lebih menjaga kata-kata gue setiap kali menyampaikan sesuatu, even untuk hal yang menurut gue benar dan perlu diluruskan. Because I don't know what they've been through that makes them bring things to the table.


Share
Tweet
Pin
Share
12 komentar
Childfree yang Diperdebatkan

Belum lama ini ramai fenomena gaya hidup tanpa-anak a.k.a childfree/childless menghiasi linimasa media sosial. Saya yang sudah mendengar konsep ini wara wiri sejak beberapa waktu lamanya, agak tergelitik ketika mengetahui fakta bahwa yang membuat isu ini menjadi trending adalah netizen yang bukan penganut childfree yang seolah kebakaran jenggot ketika menemukan prinsip yang bertentangan dengan kebanyakan orang (kedepannya saya akan gunakan kata childless karena preferensi pribadi).
Padahal, sudah cukup lama dan seringnya influencer Gitasav yang mengangkat isu ini bicara tentang pilihannya untuk childless. Yah, memang kenyataannya pro-kontra akan selalu ada, sih. Terlebih untuk negara kita yang mayoritas muslim konservatif, pemikiran-yang-dianggap tabu sebab datang dari negara barat nggak ubahnya ibarat pemahaman anak SD yang mentah dan seakan-akan nggak lolos "sertifikasi" ketika masuk ke Indonesia.
Sama seperti isu feminisme yang dianggap melekat dengan embel-embel LGBT, kita pikir paham ini hanya berlaku untuk para non-binari yang kehilangan haknya dalam bermasyarakat di segala aspek kehidupan. Padahal, feminisme jelas datang sebagai penyelamat bagi kawan-kawan puan yang tertindas dan mendapat perlakuan nggak adil berdasarkan budaya misoginis dan sistem patriarki yang dianut sebagian besar bangsa-bangsa di dunia. Hak-hak untuk mendapat keadilan dalam lingkup politik, pendidikan, pekerjaan, sosial dan masyarakat itulah yang menjadi tujuan mereka sesungguhnya. Namun ibarat peribahasa nila setitik rusak susu sebelanga, beberapa kelompok seakan menihilkan mimpi besar ini.
Mungkin mereka lupa, R.A Kartini juga bagian dari pergerakan feminisme, yang sering kita bungkus dengan istilah emansipasi. Begitu pun dengan konsep childless. Kelompok-kelompok penentang ini bersikukuh bahwa gaya hidup tanpa-anak hanyalah trend atau gaya-gayaan orang luar negeri saja yang memang malas nggak mau punya anak. Padahal tentu kenyataannya nggak semudah seperti apa yang dibayangkan. 
Lagi-lagi sebagaimana childless adalah konsep pemikiran yang dianggap melenceng, orang-orang yang memiliki prinsip yang berbeda ini juga dapat dengan mudahnya dicap nggak cukup Islami oleh beberapa kalangan.
"Halah darimana itu pemikiran! Jelas-jelas jadi orangtua itu ibadah untuk mendapat ridho Allah."
"Kasihan satu amalan jariyahnya terputus."
"Perempuan kok melawan kodrat. Punya rahim tuh ya dimanfaatkan. Nggak kasihan apa sama perempuan lain yang pingin punya anak tapi nggak bisa? Respek dong!"
"Jangan menikah kalau takut punya anak. Apalagi ketakutan gara-gara lingkungannya gak cukup nyaman untuk ditinggali. Kalau begitu Anda nggak percaya sama Tuhan."
Dan masih banyak lagi.
Rasa-rasanya nggak habis manusia dicekoki beragam tekanan yang datang dari sesamanya sendiri. Belum menikah, disuruh cepat menikah. Ketika sudah menikah, seolah dipaksa untuk memiliki anak—walaupun itu bukan satu-satunya tujuan setiap pasangan dalam pernikahan. Seakan-akan kalau nggak memiliki anak adalah dosa besar yang bisa menimpa seisi dunia. Padahal agama Islam sendiri agama yang rahmatan lil 'alamin. Manusia diberi akal agar mereka bisa berpikir dan memilih sendiri jalan yang menurutnya baik dan benar—meskipun pada akhirnya pilihan kita yang barangkali menentukan takdir kedepannya yang memang sudah Allah tetapkan di Lauhul Mahfudz.
Kita diberikan kebebasan untuk menentukan mana yang baik dan nggak untuk diri kita sendiri berdasarkan berbagai pertimbangan. Memang semua ada hisabnya, baik memiliki anak atau nggak. Namun kenapa pula, sih, situ yang panik ngurusin hisab (pertanggungjawaban) orang lain? Pilihan kita tanggung jawab masing-masing, kok.
Daripada sibuk mengkonfrontasi prinsip hidup pasangan-pasangan anti-mainstream ini, lebih baik bantu tingkatkan kesadaran di lingkungan sekitarnya soal keadaan bumi yang semakin kesini semakin rusak ditinggali manusia-manusia serakah. Supaya kehidupan anak cucu kita bisa sejahtera. Itu termasuk menjalankan ibadah dan tugas sebagai orangtua, bukan?
Konfrontasi yang bermunculan di publik ini alhasil hanya menimbulkan kebencian dan permusuhan antar sesama komunitas muslim itu sendiri—sesuatu yang jelas nggak merepresentasikan agama yang penuh kedamaian dan toleransi. Tindakan semacam inilah yang membuat orang lain bisa-bisa punya anak bukan karena keinginan dan atas kesadaran sendiri, tapi semata-mata untuk memenuhi kewajiban sosial.
"Memangnya ada ya yang begitu?"
Oh ya jelas, bung. Buktinya banyak istri-istri korban kekecewaan mertua di luar sana yang mengalami tekanan batin karena belum juga bisa "memberikan" cucu meski sudah di usia pernikahan yang kesekian. Tanpa menyarankan untuk konsultasi ke ahlinya, dengan seenaknya saja para mertua ini menyalahkan sang istri yang nggak melahirkan keturunan. Padahal bisa saja yang infertil ini justru pihak suami, toh. Okay, sepertinya saya terlalu banyak menonton mega-series Suara Hati Istri di saluran ikan terbang. Tapi, perlu diketahui, bahwa sedikit banyaknya kasus tersebut juga terjadi di kehidupan sehari-hari kita.
Lebih dari itu, sebetulnya pengkhayatan keislaman seseorang nggak bisa dilihat sekadar dari keinginannya untuk punya anak (kandung) atau tidak. Ada yang memang memiliki trauma masa kecil dan nggak ingin hal yang sama terjadi kepada anaknya kelak, ada juga yang memang sulit bergaul dengan anak-anak.
"Tapi kalau sudah jadi ibu, kan, aura keibuannya pasti akan keluar dengan sendirinya. Itu natural, lho. Jangan takut."
Iya memang, tapi disinilah masalahnya. Kita perlu mengerti bahwa nggak semua orang bisa mengambil pilihan itu. Ada orang-orang yang memang perlu untuk mempertimbangkan banyak hal sebelum bertindak. Bukan semata-mata karena nggak percaya Tuhan-Nya, namun ia tahu bahwa Tuhan juga menyukai hamba-Nya yang nggak tergesa-gesa dan berpikir bijak sebelum memutuskan. 
Bagaimana jika pasangan-pasangan childless ini ternyata banyak bersedekah dengan tangan kirinya dan memiliki anak asuh di berbagai panti atau yayasan yang tersebar di daerah tempat tinggal mereka? Bagaimana jika orang-orang yang menyuruh mereka memiliki anak justru ternyata menanggalkan banyak kewajiban yang harusnya dilakukan sebagai orangtua?
Meleknya pasangan-pasangan baru terhadap ilmu parenting, finansial, dan sebagainya yang berkaitan dengan peran orangtua adalah salah satu tanda kemajuan sekaligus bangkitnya kesadaran bahwa memang nggak semua orang bisa jadi orangtua yang baik, nggak semua orang sanggup menjadi orangtua, karena peranan ini sesungguhnya mulia dan berat sekali. Ketika ada seseorang yang sadar akan hal tersebut sehingga membantunya menentukan prinsip hidupnya, seharusnya kita hargai dan apresiasi. Mengingat banyak sekali kasus-kasus dimana terdapat ribuan anak terlantar dan dibuang oleh orangtuanya sendiri karena ketidaksanggupan mereka memenuhi kewajiban, yang mana semua itu diawali oleh kurang bijaknya suami dan istri dalam mengambil keputusan.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
 
Bahagia Perlu Uang

When i think about happiness, it's true that it comes from the smallest thing in our lives. But is it always true? Apakah konsep ini berlaku sepanjang kita hidup? Mungkin ya, mungkin saja tidak. Biasanya nih, anak muda zaman sekarang paling sering mengglorifikasi soal "rules of life" (even if this kind of thing exists), semacam; apakah kita bisa hidup bahagia tanpa uang?; atau apakah sebetulnya uang bisa memberi kita impian yang konyol dan kehidupan tanpa penderitaan? Lalu sering khawatir bahkan sebelum memulai garis start pertamanya. 

Before we move on, i need to clarify something. Gue nggak sedang membahas tentang kebahagiaan secara general. Membicarakan soal kaitan uang dengan kebahagiaan nggak berarti gue nge-dismissing fakta bahwa rasa bahagia itu besar sekali maknanya, bahkan tanpa harus diselubungi dengan hal-hal berupa materi. Also, gue rasa kita perlu meluruskan beberapa hal di awal, bahwa frasa "money can't buy happiness" yang akan gue mention di postingan ini, nggak pernah gue maksudkan secara literal. Ini hanya konotasi, after all.  If you disagree about what i writes on this topic, it's very okay. Your opinion could be different than mine, and this might sounds contradictory to my previous post which tells about finding your own happiness through the silly dreams that you might have had since you were kids, but let me explain further.

Sebagai manusia normal, rasanya kita tidak bisa mengelak bahwa hampir setiap waktu, kita perlu uang untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman dan nyaman dalam berkehidupan. Tidak hanya kebutuhan primer, sekunder, namun juga tersier yang seringkali perlu untuk disokong. Kita memerlukan uang untuk bayar tagihan, belanja kebutuhan seperti pangan, sandang (bahkan ketika seseorang memiliki gaya hidup minimalis), lalu untuk bayar air, bayar token listrik, kuota internet, hingga sekadar beli bensin untuk kendaraan yang digunakan sehari-hari. Semua aspek dalam hidup kita seakan-akan tidak bisa digerakan tanpa kehadiran uang, dan banyak sekali permasalahan hidup yang bisa diselesaikan dengan uang. Bahkan dalam kondisi pandemi seperti ini, perekonomian negara tidak bisa dihentikan sementara hanya untuk lockdown, karena efek jangka panjang yang ditimbulkan mungkin akan lebih buruk dari yang bisa kita kira. Mengapa? Alasan paling dasarnya semata-mata karena kita membutuhkan uang untuk hidup, terlebih dalam situasi sulit seperti saat ini. Most people do.

Kenyataan ini didukung oleh data yang dikumpulkan peneliti Universitas Princeton pada tahun 2010, bahwa rata-rata dari 450.000 orang dewasa di Amerika Serikat memiliki perasaan sedikit lebih bahagia ketika dikaitkan dengan uang atau pemasukan. Dapat dikatakan bahwa orang yang memiliki pendapatan sekitar $70.000 per tahun cenderung lebih bahagia daripada mereka yang menghasilkan sekitar $40.000 per tahun. Perbedaan yang tidak besar, namun signifikan secara statisik. Kualitas emosional ini dinilai dengan pertanyaan yang meminta mereka untuk memikirkan tentang kondisi di hari-hari sebelumnya dan menilai seberapa banyak kebahagiaan dan kenikmatan yang dialami, hingga seberapa banyak mereka tersenyum dan tertawa.

Selain itu, peneliti juga mengatakan bahwa manusia sulit untuk benar-benar bahagia jika hidup dalam kemiskinan. Jika kita selalu merasa lapar, kedinginan, dan tinggal di lingkungan yang tidak aman atau selalu berutang uang kepada seseorang, rasanya kebahagiaan bisa sulit dipahami. Contoh lain adalah ketika kita memiliki masalah kesehatan sementara tidak memiliki cukup uang untuk pergi ke dokter (tidak semua orang punya BPJS), kemungkinan besar ada dua kekhawatiran yang mesti dihadapi—kesehatan dan uang. 

Di bawah tingkat pendapatan tertentu, orang miskin sebenarnya kurang bahagia dan kurang puas dengan kehidupan mereka daripada kebanyakan orang. Terlebih ketika mereka tidak menemukan adanya quantum leaps atau penghasilan yang meningkat signifikan setiap harinya, bahagia seakan hanya jadi ilusi. Mungkin, dalam kondisi seperti inilah bahagia datang dari hal yang sederhana. Tapi, apakah pada akhirnya itu cukup untuk mengenyangkan perut kita? Apakah hal itu cukup untuk membayar tagihan yang menumpuk? Tidak juga.

Baca juga: Matre: Realistis atau Materialistis?

Uang Bikin Bimbang

Yah, kita bicara fakta saat ini. Memang, manusia sudah sepatutnya banyak bersyukur dan tabah dalam menghadapi cobaan hidup yang datang silih berganti, karena pada kenyataannya tidak semua hal bisa dinilai dengan materi. Namun, sebagaimana manusia yang selalu butuh validasi, adakalanya kita selalu berusaha untuk mencari pembenaran atas hal-hal yang kita lakukan ketika belum berusaha sepenuhnya. Misalnya, seseorang yang sering mengeluh karena mendapatkan gaji kecil dan pas-pasan, sementara apa yang didapatnya itu tak lain karena usaha yang kurang maksimal. Lantas untuk meyakinkan diri bahwa ia sudah hidup lebih baik, seseorang ini hanya berlindung di balik kata "syukur" tanpa benar-benar memaknainya. Sebab ada orang yang pandai bersyukur, kemudian bekerja lebih keras di hari esok, begitu seterusnya. Namun ada juga orang yang bersyukur, tapi tidak diiringi dengan usaha yang lebih keras karena tidak tahu caranya memberi limit terhadap diri sendiri.

Terlebih untuk yang usianya masih muda dan prima, rasanya memalukan berpikir tentang "cukup" ketika kita bisa melakukan sesuatu yang lebih lagi untuk kebaikan diri sendiri maupun lingkungan sekitar, sebagai bekal di masa depan nantinya. Iya, sebagai generasi digital, gue tahu banyak anak muda yang sedang mengalami dilema semacam ini. Go for it, or give it up. Sama halnya dengan perkara menentukan passion atau main job, dan idealisme dengan realita.

Bukan Soal Privilege

Selain bisa mengurangi kegelisahan dalam hal financial, dengan uang kita juga bisa "membeli" banyak pengalaman yang tidak terlupakan. Contohnya, traveling ke berbagai daerah atau negara, menonton pertandingan bola, menyaksikan drama musikal di suatu tempat atau bahkan di Broadway, atau kalau dikerucutkan lagi, sesederhana menikmati suasana yang menenangkan di pinggir danau seberang kota. Do we only need a cent of money? Obviously, we don't. Meskipun kita tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk membeli pengalaman tertentu, paling tidak sejumlah uang yang lebih besar bisa membantu kita menikmati pengalaman dengan perasaan nyaman.

Uang juga memungkinkan kita untuk dapat memberikan kebahagiaan dalam bentuk lain terhadap orang-orang yang lebih membutuhkan. Jadi, tidak semata-mata selalu untuk memenuhi ego manusia akan pemenuhan kebutuhannya. Serta kita juga bisa memiliki akses dalam mempelajari hal-hal baru dengan fasilitas yang lebih mendukung. Siapa disini yang senang menggambar dan tergiur ingin membeli alat berupa procreate agar hasil gambarnya dapat lebih maksimal? Atau, adakah yang ingin bisa memiliki alat rekam khusus dengan kualitas mumpuni bagi yang sedang mengolah kemampuan suara? *Ehm, itu.. keinginan gue, sih😅.

Kebanyakan orang juga menemukan kebahagiaannya tersendiri ketika bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan membahagiakan orang-orang yang disayang secara materiil dengan jerih payahnya. At the end of the day, it's about money, isn't it?

So, apakah sebetulnya uang bisa "membeli" kebahagiaan? Yap, kalau kita bisa memanfaatkan dan mengelolanya dengan cara yang benar. Namun apakah kita harus menjadi kaya untuk bisa bahagia? Ini dia yang harus gue luruskan. Kenyataannya, kebahagiaan memang bukan bersumber dari uang. Apalagi jika semakin banyak uang di dalam tabungan kita, maka semakin banyak kita berinvestasi, dan semakin besar kerugian, serta rasa stress yang mungkin akan kita dapatkan. Mungkin ini sebabnya Jeff Bezzos tidak lagi merasa antusias ketika perusahannya mendapatkan keuntungan jutaan dollar yang berkali lipat. Walaupun hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa orang yang memiliki gaji 400 juta per tahun tidak lebih menderita daripada orang yang hanya mampu menghasilkan uang sebesar 70 juta per tahun, begitupun seterusnya. Toh, banyak millioner yang ujung-ujungnya memilih "sengsara" dalam kekayaan daripada sengsara dalam kemiskinan.

Beberapa di bawah ini gue kutip sedikit potongan diskusi dari postingan Instagram influencer favorit gue, Fellexandro Ruby, yang kebetulan membahas topik serupa beberapa waktu lalu, agar postingan ini tidak terasa begitu saklek dan satu arah. Well, sharing is caring!

Bahagia Perlu Uang

Bahagia Perlu Uang
Of course, we wouldn't! Seperti yang baru saja gue bilang, in fact uang memang bukan sumber kebahagiaan. Toh, manusia hidup lebih lama daripada uang itu sendiri, kan? Begitupun perasaan bahagia, it lasts longer than the money itself. Money and happiness are two different things, but this post tries to elaborate them.

Bahagia Perlu Uang
Yes, it is the phase of our life that helps us see things clearly and takes us to the next (financial) journey.

Bahagia Perlu Uang

Bahagia Perlu Uang
I suddenly remembered what my friend once said, we don't really want stuff, we just want feelings. Like, we thought we want money, but deep down we only want the feeling of ease and comfort which we thought money could bring.

Baca juga: Menjadi Manusia

Pada intinya, ini bukan menyinggung tentang privilege atau tidak mensyukuri rezeki yang didapat, melainkan lebih kepada menyadari realita bahwa kita bisa menikmati hal-hal yang orang ber-uang miliki tanpa harus kaya dan punya privilege, dan kita juga harus yakin untuk bisa memperoleh rezeki yang lebih jika kita tidak hanya bersyukur dan berserah, tapi berusaha sebaik-baiknya kemampuan diri.

Namun dari diskusi singkat di atas, kita juga perlu mengingatkan diri sendiri untuk tidak memetakan kebahagiaan hanya pada materi. Seperti yin dan yang, alangkah lebih baik jika semuanya dilakukan dengan seimbang, tidak berlebihan. Gapapa bekerja keras selagi kuat, but just don't push yourself so hard that you can't even enjoy your hard-earned money and the time you have. Karena gue yakin mindset kita terhadap uang juga perlu untuk direm sesekali agar tidak gelap mata.

Bahagia Perlu Uang


Tulisan ini gue buat bukan untuk mengajak teman-teman menjadi money-oriented atau materialistis, gue hanya ingin mengingatkan diri sendiri dan mungkin teman-teman sebaya yang sedang mengalami quarter life crisis (atau masalah pelik soal keuangan), bahwa underprivileged bukan alasan untuk kita bertahan dalam victim mentality dan berlindung di balik kalimat "money can't buy happiness". Uang bisa "membelikan" kita beberapa hal yang membawa rasa kebahagiaan kok, ketika dilakukan dengan cara yang tepat sesuai takaran kita. Oleh sebab itu, jangan berhenti menyerah within your limit, and don't mind about other people's life—being salty about privilege, etc. 

Berhenti membandingkan diri dengan orang lain, tinggalkan medsosmu untuk sementara waktu jika perlu, dan.. jangan sampai memberi afirmasi terhadap diri sendiri dengan cara yang salah yang malah bisa mengendurkan limit yang kita punya.
Share
Tweet
Pin
Share
21 komentar
Impian yang Konyol just awl

Beberapa hari yang lalu, gue having convo dengan teman gue di WhatsApp. Awalnya ngobrolin perihal komik Solo Leveling, yang isinya bercerita tentang manusia biasa yang berubah menjadi pemburu monster akibat portal waktu yang muncul tiba-tiba dan menghubungkan dunia nyata dengan dunia sihir dan monsters. Salah satu pemburu (tokoh utama) dikategorikan sebagai yang terlemah dan masuk ke dalam portal yang juga dianggap berisi monster-monster paling lemah. Namun tanpa disadari, portal itu ternyata adalah yang paling mematikan. Tokoh utama ini berperang melawan monster hingga hanya dia satu-satunya pemburu yang tersisa, dan membuat kekuatannya naik level menjadi yang paling hebat—dan berakhir menjadi pemburu paling mematikan di dunia.

Kemudian, singkat cerita teman gue bertanya, "seandainya diberi kekuatan kayak gitu, kekuatan apa yang ingin kamu miliki?"

Dengan polosnya gue menjawab, "aku pingin bisa keliling dunia dalam waktu sepersekian detik dan nggak kelihatan siapapun alias invisible. Aku pingin datengin rumah artis ternama satu persatu dan lihat kesehariannya kayak gimana."

Then he burst out laughing. Kira-kira lengkapnya begini kutipan convo kami:

He said, "what a simple dream to wish for🤣".

"Well, i thought it isn't as simple as that😅."

"If you have that kind of power, other people may have imagined going to places no one else could. While your dream is so simple, omg😆."

"I think it would be funny if i could sneak into a famous artist's house, then see how they really are, playing there, swimming and take a nap at their big mansion all day."

Kok kedengarannya menyeramkan, ya? Hahaha. But no no, gue nggak bermaksud ingin jadi stalker paparazzi yang menguntit mereka demi mendapatkan keuntungan. I don't wanna take anything for granted. Gue hanya penasaran gimana personality mereka in real life, seperti apa isi rumah mereka, dan ingin main-main disana. Sesederhana itu😅.

"Yeah, but if people have such powers, usually they already have a desire related to the world, whether they want to rule the world, change the world, etc."

Jujur, gue nggak ada sama sekali pikiran kesana. Menurut gue, apa yang terjadi di dunia ini, dari skala kecil sampai besar semua memang sudah garis ceritanya seperti itu. Gue nggak mau mengubah dunia, karena gue nggak punya kekuatan seperti itu, dan gue bukan orang jahat yang selalu bersembunyi di balik nama besar dan kepentingan banyak orang. Lebih sederhananya lagi, gue nggak mau berurusan dengan "manusia-manusia" ini. Bahkan mungkin, kalau gue nggak mengenal Tuhan, tindakan terjauh yang ingin gue lakukan adalah menghilangkan setengah populasi di bumi ini, seperti Thanos. Bumi ini udah terlalu runyam dan sesak karena ulah manusia. *Sorry friends, i agree with Thanos in this case. Dan seperti halnya kemunculan Covid-19 yang dianggap sebagai salah satu cara elite global untuk memusnahkan beberapa populasi, menurut penikmat teori konspirasi. Yikes!

Tapi gue bukan titan, bukan pula makhluk planet lain, gue manusia yang sangat kecil jika dilihat dari ketinggian, gue juga masih punya pedoman hidup. So the only thing i can do is to find my own happiness.

Selama ini gue nggak sadar bahwa mimpi gue yang absurd dan konyol ini ternyata datang dari hal-hal yang kecil dan sepele. Gue suka ngikutin berita artis-artis internasional favorit gue, gue suka nonton film, TV series/drakor, variety-reality show, gue juga suka dengerin musik genre apapun yang enak di telinga gue. Pokoknya, gue adalah salah satu produk era millenials yang pertumbuhannya nggak lepas dari dunia entertainment—kebanyakan nonton TV waktu kecil. Diam-diam gue suka curious dengan background mereka dan kehidupannya di balik layar. Seandainya gue bisa bertemu dengan mereka secara langsung, mungkin pertanyaan ini yang akan muncul di kepala gue: what did you do for living and how did you overcome all of it to get to where you are today? Sebab gue selalu senang belajar dari orang-orang hebat—nggak mesti yang terkenal, terlebih dari mereka yang datang dari keluarga underprivileged. Memberi gue motivasi dan semangat, bahwa paling tidak, masih banyak orang yang berjaya dan nggak sekadar menjual angan-angan, bahkan menyodorkan kemungkinan-kemungkinan terburuk karena mereka sendiri mengalami ada di posisi itu.

Kembali soal mimpi, mungkin karena itu ada satu impian—yang sudah jelas mustahilnya—yang tersimpan di memori gue sejak kecil. Ingin jalan-jalan pakai mesin waktu, invisible, dan menyelinap masuk ke rumah selebriti atau orang-orang penting di dunia😆. Kayaknya nih, hati kecil gue pingin banget bisa ngerasain langsung suasana kota di negara-negara lain sebagai lokal, makanya tinggal di rumah orang instead of stay at airbnb😂.

Tapi, apakah ini artinya gue nggak punya mimpi? Of course, i have. Hanya saja lebih realistis, dan mungkin.. lebih possible untuk gue raih (Aamiin). Namanya juga impian yang konyol, hehe.

Akhir kata, kita nggak bisa mengelak bahwa kebahagiaan selalu datang dari hal-hal yang memang sederhana. Dan gue menyadari,  sedewasa atau setua apapun usia kita beranjak, sometimes kita masih punya sisi anak-anak di dalam diri. Sisi inilah yang somehow bisa membuat gue stay happy dan nggak takut untuk bermimpi, sedikit melupakan tentang realitas yang selama ini menghambat diri sendiri.

o-o

Gue jadi pingin tau deh, apakah teman-teman juga punya mimpi yang kelewat nggak masuk akal buat diwujudkan? or is it just me?🤣 Yok, cerita-cerita!!
Share
Tweet
Pin
Share
23 komentar
Hi, guys! How have you been? Semoga sehat selalu, ya. Satu bulan ternyata cukup panjang untuk gue nggak menulis dan aktif di blog, karena lagi-lagi semuanya terasa begitu cepat berlalu. Hari ini gue memutuskan untuk menuliskan perasaan yang sebetulnya udah dua minggu ini bersemayam di pikiran gue.

Bosan yang Dirindukan
Trotoar, saksi bisu langkah-langkah kecil kaki gue, dan sebuah museum di sebelah kiri yang sampe sekarang belum pernah gue masuk ke dalamnya

Akhir bulan lalu, gue akhirnya pindah dari kost yang udah gue tempati selama tepat empat tahun setengah. Dulu gue pikir empat tahun bukan waktu yang singkat, seharusnya. Tapi setelah dijalani, rasanya juga nggak selambat itu. Masih banyak tempat-tempat yang belum pernah gue explore disana, even banyak jalanan kecil di sekitar Bandung yang baru gue temuin satu tahun terakhir ini. Karena dua tahun pertama gue hanya dihabiskan dengan urusan perkuliahan dan organisasi, gue jaraaaaang banget main keluar. Sampe-sampe nih, objek wisata di dekat sini aja ada yang belum pernah gue jabanin. Tapi percaya deh, gue yakin sebagian orang Bandung juga nggak semuanya pernah berlibur ke objek wisata terdekat, contohnya Farm House, d'Ranch, Orchid Forest Lembang, Kawah Putih, atau Lodge Maribaya. Iya, gue belum pernah main kesana. Bukan sebuah pencapaian untuk diceritain, ya?😂

Sebetulnya gue agak berat untuk ninggalin kota tercinta ini. Karena banyaak banget momen-momen yang gue lalui disana, entah itu sama sohib atau teman dekat. Sebab ini artinya gue juga harus meninggalkan orang-orang yang gue temui sepanjang empat tahun setengah ini. Gue akan kangen dengan jajanan dan makanan-makanan di Gergerkalong atau sepanjang daerah Setiabudi. Contohnya, bapak penjual Pau Pau Dimsum yang baik hati dan ceria dengan dimsumnya yang gede-gede tapi murah, dengan mas tukang bakso Malang dekat kost gue yang juga baik hati dan enak plus murah meriah baksonya (tuhkan, gue lupa nggak sempat pamit sama beliau), bapak ibu warkop yang baru gue kenal dan sempat gue mention di postingan sebelumnya, tukang bubble tea langganan gue di depan alfamidi dari tingkat satu dengan gerobak, wajah mas-masnya dan keramahan yang masih sama terasa, mie ayam Cipaganti yang sementara ini rasanya nggak bisa dikalahin sama mie ayam manapun karena isian jamur favorit gue, ibu penjaga laundry yang udah setia menyapa gue setiap kali bawa pakaian segede gaban (dan baru bisa inget nama gue setahun terakhir ini, karena biasanya suka salah sebut), Soto Sedaap Boyolali di Gerlong, thai tea favorit gue di tikungan KPAD yang manisnya pas, nggak kalah sama thai tea yang harganya meledak di luaran sana, kemudian kafe Lain Hati Sukahaji yang selalu jadi alternatif yang tepat untuk gue menghindar dari keramaian karena letaknya yang cukup jauh dari jalan raya, juga Bebek Kaleyo sebagai saksi bisu dimana pertama kalinya gue makan bebek seumur hidup (dan berakhir jatuh cinta karena ternyata rasanya sama aja kayak ayam), jajjangmyeon Chinguya Nolja dan mbak waitress-nya yang sangat ramah, Ramen Aa yang dulu seriiiiing banget jadi alternatif tempat makan kalau gue dan sohib lagi bingung mau makan apa, Oseng Mercon yang sempat mengisi waktu-waktu kosong gue saat lagi break kelas, entah itu sendiri atau sama sohibul, mie tulang Kedai Utama yang bikin gue diare saking pedesnya tapi gak pernah bosan buat dipesan, Nobu Ramen dengan menu niku udon favorit gue yang sayang sekali baru gue coba cicip enam bulan lalu setelah sekian lama tinggal disana. 

By the way, gue punya sebutan khusus untuk nama makanan udon ini, yakni dibalik jadi odun😂. Karena gue salah satu orang yang "mengidap" spoonerism, jadi gue sering banget ngomong terbolak balik😆. Makanya setiap kali gue mau makan udon, pasti secara otomatis gue akan bilang odun, dan yes, gue lebih nyaman bilang odun daripada udon HAHA. Mungkin soon gue akan cerita tentang kebiasaan ini dan istilahnya secara detail😬. Terus ada juga kebab hejo dengan aa penjualnya yang gondrong dan santun, tukang cireng isi dan gehu di seberangnya yang jadi favorit gue, plus warteg biru yang selalu mengerti selera, perut, dan kantong gue, serta semua nama jalan juga tempat-tempat favorit di pusat kota Bandung yang biasa jadi tempat gue refreshing dari segala macam hal mumet, terutama alun-alun, balai kota, dan sepanjang jalan Parongpong dengan salah satu jagung bakar di tepi jalan, yang nggak pernah bisa gue lupa adegan pas jatuh dari bangku reyot.

Lalu Gramedia Merdeka (beberapa harus gue sebut lagi sebagai bentuk rasa rindu gue), yang meskipun nggak selalu beli buku setiap mampir kesana, tapi gue selalu merasa recharged saat menghirup aroma buku-buku yang ada dan melihat stationary yang lucu-lucu, dan of course mal BIP di seberangnya yang so far paling sering gue kunjungin waktu masih bisa nonton dengan bebas di bioskop (karena memang dekat dengan Gramedia dan BEC, gue jadi bisa mampir buat cuci mata), dan yang kedua jatuh kepada Ciwalk yang juga biasa jadi pelarian di kala gue ingin mengeluarkan stress (read: karaoke sekenceng-kencengnya). Btw kok kelihatannya gue jadi kayak anak-anak sok edgy yang demen hedon ya LOL. Nggak kok, gue jarang main, kecuali kalau merasa lagi butuh aja. Soalnya gue lebih sering boros soal makanan, guys🤣 Lihat aja daftar tempat makan yang bakal gue kangenin di atas. Segini masih belum gue sebutin semua karena lupa. Lebih tepatnya karena gue udah terlalu sering kesana (dan bosen juga mondar mandir Gerlong), jadi yang ada di kepala gue ya cuma itu aja😅.

Terus Borma Setiabudi, sebagai penyelamat di kala gue sedang bosan dengan makanan-makanan Gerlong, yet jadi musuh di saat yang bersamaan karena bisa langsung ngabisin dompet gue yang pas-pasan🤧, McD Setiabudi yang sering bikin tipis dompet kalau gue lagi khilaf, tapi nggak pernah bosan buat balik lagi saking cintanya sama McFlurry.. dan definitely, setiap sudut di kampus yang selalu bisa jadi tempat di kala gue butuh menyendiri dan berkontemplasi. Nggak cuma itu, lebih jauh lagi, semua memori yang gue punya bersama teman-teman, sahabat, dan partner yang nggak akan bisa tergantikan dengan memori di tempat-tempat lain. Dari mulai gue jadi maba,

Bosan yang Dirindukan
Coba tebak gue yang mana?

sampai jadi angkatan kolot kayak sekarang. Gue rasa setiap langkah yang gue jejakan disana tentunya adalah bagian dari proses pendewasaan gue, yang bikin gue sadar bahwa hidup harus terus berjalan, dan bahwa empat tahun nyatanya bukan waktu yang panjang untuk gue bisa terus menikmati momen-momen di dalamnya.

Now, last but not least.. setiap sudut dan ruang di kost-an gue yang dalam kurun waktu delapan bulan kemarin secara nggak langsung berada dalam kekuasaan gue, karena cuma gue satu-satunya penghuni yang tersisa disana akibat pandemi. Dan karena sebelumnya memang cuma gue satu-satunya penghuni semester tua. Mungkin hanya di bagian ini gue bisa menerima kenyataan, bahwa empat tahun setengah bukan waktu yang singkat untuk dijalani. Sebab disana lah gue belajar untuk lebih mengenal diri gue, dan apa yang menjadi tujuan hidup gue. Dari yang sebelumnya hanya seorang anak remaja 17 tahun yang baru lulus sekolah dan completely clueless dengan bagaimana kehidupan luar sesungguhnya, even clueless dengan jati diri gue yang sebenarnya.

I was finding my own true colors there, membangun perspektif-perspektif dan prinsip baru, belajar meresapi hidup sebenar-benarnya dan mengambil hikmah dari sana, belajar mengenal inner child diri dan menemukan bahwa selama ini nyatanya gue nggak sekuat dan setangguh itu, gue bisa rapuh dan lemah, and it's pretty normal untuk anak muda kayak gue yang masih terombang-ambing dalam segala macam ups and downs-nya hidup,  thus i learnt to see things more clearly in the middle ground and be more human with others—and am still in a long journey to find new experiences on my own. Sisi introvert yang membuat gue bisa berkembang meski hanya diri gue seorang di ruang kecil, juga sisi ekstrovert yang seringkali bikin gue exhausted tapi juga membuat gue senang sebab bisa mengenal orang lain dengan berbagai kepribadiannya. 

Meski gue sendiri punya love-hate relationship dengan kost-an ini karena terkadang menyebalkan dan terlalu gelap (dan lumayan serem), tapi itu cukup homey setiap kali gue pulang atau kembali dari kegiatan-kegiatan yang melelahkan, karena suasananya yang sejuk dikelilingi oleh tanaman-tanaman dan pohon rindang that makes it feel more like a green house. Fyi, suami dari pemilik kost-an ini dulunya adalah dosen Biologi, jadi mereka cinta banget sama gardening and planting. Gue rasa kalau setiap sudut kamar gue adalah saksi hidup, mungkin mereka bisa menjelaskan bagaimana dan apa saja yang sudah gue lalui selama beberapa tahun ini kepada diri gue dari sudut pandang mereka. It's like a roller coaster, honestly. Now i'm already 22, more different than i was in four and half a year ago. 

Beberapa bulan terakhir ini, entah ada berapa kata bosan yang gue ucapkan, saking jenuhnya dengan pemandangan dan suasana yang sama yang gue rasakan, bahkan termasuk makanan-makanannya. Tapi sekarang, gue justru menemukan bahwa rasa bosan itu adalah rasa yang paling gue rindukan. Mungkin karena gue sudah terbiasa dengan sudut-sudut kost-an yang menemani gue selama 24 jam setiap hari, so it will take time for me to get used to other habits—which is not really a new habit since i'm coming back to where i from. I'm not gonna say where i move to anyway, karena bagi gue ini satu-satunya privasi yang ingin gue jaga dari media sosial.

Sejujurnya masih banyak perasaan yang tiba-tiba nggak bisa gue tuliskan dengan kata-kata atas perjalanan yang penuh liku dengan kost-an, kampus, dan setiap sudut Bandung yang pernah mengisi hari-hari gue. However, life must go on and i fully realized that i couldn't stay there any longer if i wanted to go ahead and pursue all the hopes and dreams i have for my loved ones.

Ah iya, yang membuat gue semakin sedih adalah kemarin gue nggak sempat berpamitan dengan ibu kost dan keluarganya karena beliau sedang pergi keluar kota. Gue agak menyesal karena lupa mengabari lebih cepat di hari-hari sebelumnya, tapi semoga beliau selalu sehat dan selalu berada dalam lindungan-Nya.

Di bawah ini gue pingin bagiin hasil jepretan temen gue waktu kita jalan-jalan sore di kampus, sebagai obat rindu. Salah satunya gue udah posting di paling atas. Akhir kata, jangan lupa bahagia, teman-teman!😊

View dari Taman Bareti, Isola

Pemandangan langit dari rooftop kost-an (kalau ini foto iseng gue waktu berjemur di loteng)

Langit maghrib di kampus tercinta

Gedung Isola a.k.a Rektorat

Share
Tweet
Pin
Share
28 komentar
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Terlalu Besar Untuk Gagal
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Just Listen
  • Di Balik Angkasa
  • Bukan Salah Indonesia

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • The Phantom of the Opera: Di Balik Danau
  • Priority Chat
  • Lihatlah Lebih Dekat
  • Tentang Harta yang Paling Berharga
  • Belajar Nggak Neko-Neko
  • Spoonerism, Alasan di Balik Keselip Lidah
  • Sulitnya Jadi Realistis
  • Tips Membuat Konten yang Kreatif: Berawal Dari Kegelisahan
  • Di Balik Angkasa
  • Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji

Blog Archive

  • ▼  2022 (8)
    • ▼  Juni 2022 (3)
      • Sulitnya Jadi Realistis
      • Belajar Nggak Neko-Neko
      • Spoonerism, Alasan di Balik Keselip Lidah
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (31)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

Intermeso Krisis 1/4 Abad lifestyle Opini Perempuan Podcast Poetry Review slice of life Thoughts

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.