Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram twitter LinkedIn YouTube Spotify Email

Notes of Little Sister



 
Tips Memulai Karir sebagai Career Shifter di Digital Marketing



Sudah satu tahun kebelakang ini gue memutuskan untuk beralih karir dari jurusan Bahasa Jepang ke Digital Marketing, sesuatu yang menarik perhatian gue dalam dua tahun terakhir. Sejujurnya gue udah sering banget curhat tentang struggle dalam menempuh perkuliahan disana. Bagi yang ngikutin blog dari lama, mungkin udah bosan kali ya dengerin celotehan gue soal kehidupan kuliah. Dalam waktu yang terbilang singkat ini, ada berbagai lika liku yang mesti gue lalui dalam menjadi seorang career shifter.

Alasan gue menulis ini sebetulnya karena ada satu pertanyaan yang muncul di aplikasi NGL gue. Kira-kira begini pertanyaannya.

Tips Memulai Karir sebagai Career Shifter di Digital Marketing

Berhubung gue belum sempat menjawab pertanyaan ini secara langsung di Instagram, jadi gue memutuskan untuk menyimpannya di blog andai kata ada teman-teman yang ingin baca lagi, atau mungkin ingin share ke temannya yang lain. 

Jadi, selama ini apa sih struggle yang mesti gue hadapi ketika mencari kerja yang nggak selinear dengan jurusan kuliah?


1. Nggak Punya Sosok Mentor


Proses mencari kerja memang nggak ada yang mudah. Selain karena kenyataannya seperti itu, fakta lain adalah bahwa gue nggak hanya bersaing dengan teman-teman satu angkatan, tapi juga lulusan bahasa Jepang dari univ lain, eks karyawan atau alumni top university di Jepang, kakak tingkat, adek-adek tingkat gue yang lulus di tahun yang sama, bahkan orang-orang dari jurusan lain yang udah punya sertifikat JLPT.

Gue bingung, putus asa, kecewa, bertanya-tanya. Gue pingin dapat pekerjaan yang sesuai dengan jurusan, tapi gue menyadari kemampuan gue saat itu belum siap untuk dibawa ke dunia kerja. Ada sekat yang tipis antara insecure, dan memang belum mampu. Sementara, gue nggak ingin menganggur lama-lama. Ditambah segala perasaan traumatis ketika bersinggungan dengan Jepang yang masih menghantui.

Maka jalan satu-satunya yang terlintas di kepala gue adalah berpindah haluan. Tapi karena gue hanya sendiri, dan senior serta kerabat yang gue kenal rata-rata adalah mereka yang kerjaannya linear, gue jadi nggak punya gambaran soal career shifting dan gak ada yang bisa gue tanyai secara spesifik tentang itu. So, I was like alone wolf.  Mau nggak mau, gue harus mencari berbagai macam referensi dan informasi soal karir, kursus online endeblabla seorang diri.


2. Harus Bisa Catch Up Skill


Tantangan lain yang mesti gue hadapi sebagai career shifter adalah harus bisa terus catch up dengan kemampuan yang didalami, ritme kerja yang cepat, hingga istilah-istilah yang kurang familiar yang berada di luar scope kita selama ini.

Well, gue yakin yang satu ini sebetulnya nggak hanya tertuju untuk orang-orang yang switch career. Siapapun pasti punya tekanannya tersendiri untuk bisa catch up dengan pekerjaan. Karena kalau sudah masuk ke ranah kerja, kita pasti dituntut untuk belajar juga hal-hal baru.

Hanya saja dalam kasus gue, karena gue belajar digital marketing dari nol, gue merasa bahwa gue harus berusaha dua kali lipat lebih keras dari mereka yang udah punya basic dan pengalaman mendalam soal digital marketing. Karena kalau gue lengah sedikit aja, gue akan tertinggal jauh sekali di belakang. Dan itu juga lah yang gue rasakan saat ini.


3. Nggak Punya Sesuatu yang Menjual di CV


Realita pahit ketika melamar kerja di bidang non-linear adalah nggak punya sesuatu yang bisa dijual selain pengalaman organisasi atau volunteer di CV. Ada kalanya di beberapa waktu, gue jadi ngasal melamar ke bidang ini itu tanpa memikirkan strategi. Nyoba ngelamar jadi Script Editor, Production Assistant (hanya karena gue senang dunia broadcasting), Audio Editor, Personal Assistant, Public Relation, sampai Staff Admin.

Karena gue nggak punya background yang jelas yang representatif dengan bidang tertentu, gue jadi merasa bebas melamar ke posisi apapun sesuka hati. Padahal nggak semudah itu. Gue lupa bahwa saingan gue di loker yang sama adalah mereka yang kemungkinan besar datang dari background yang sesuai. Dengan adanya fakta ini, otomatis gue udah tersingkir duluan sebelum rekruter melihat lebih dalam CV gue.

Lalu, gimana caranya biar kita bisa melamar di bidang tertentu meski nggak punya background yang sesuai dengan profesi impian? 

Nah, gue akan kasih jawaban dan sedikit tipsnya berdasarkan pengalaman gue di bawah ini.


1. Know Your Interest


First and foremost, yang menurut gue perlu kita pikirkan sebelum memutuskan untuk bekerja di bidang yang nggak linear dengan jurusan atau pengalaman sebelumnya adalah know what we want to do. 

Dulu, saat gue masih menganggur dan kebingungan soal karir, hidup gue nggak semata-mata kosong begitu aja. Gue punya blog yang bisa dijadiin sampingan untuk menyalurkan hobi. Alhamdulillah-nya, dari situlah ide tentang digital marketing muncul. Pun kalau gue nggak kepikiran soal digital marketing, gue yakin apa yang mau ditempuh nggak akan jauh-jauh dari industri kreatif—karena itulah bidang yang gue suka dan ingin gue lakukan. 

Maka dari itu, penting untuk kita menyelami diri sendiri sebelum memulai. Coba perbanyak refleksi dan tanya diri sendiri, apa sih yang disuka? Apa yang ingin dilakukan dalam beberapa tahun kedepan? Apa ada suatu bidang yang ingin dipelajari?

Kalau kita udah tau apa yang mau kita lakukan dan pelajari, insya Allah kedepannya akan lebih ringan untuk dijalani. Because we're certainly going somewhere, even though we don't know exactly how it's going and end. At least, kita punya pegangan. Nggak mengambang gitu aja tanpa tujuan.

Tapi jangan lupa, hobi kita nggak selamanya bisa menyenangkan ketika beralih menjadi sebuah pekerjaan. Jadi, saran gue, kamu juga harus siap jika suatu waktu akan mengalami yang namanya jenuh dan drained ketika menjadikan hobi sebuah pekerjaan. Make sure you find your interest and passion to improve your skill in that field.


2. Gabung di Komunitas atau Bootcamp yang Bisa Menunjang Skill


Ketika sudah menemukan bidang apa yang ingin dipelajari, maka langkah selanjutnya adalah menemukan tempat yang tepat supaya keinginan kamu ini bisa tersalurkan, dan minat serta bakatmu bisa terasah.

In my case, di masa gue bebenah LinkedIn, tanpa sengaja gue terhubung dengan beberapa alumni Revo-U yang baru aja lulus dari bootcamp ini dan postingannya sering banget muncul di timeline. Gue yang penasaran dan memang tertarik dengan DM pun akhirnya mencoba daftar program gratisnya Revo-U Mini Course selama satu minggu (sekarang dua minggu).

Perjalanan gue mengikuti bootcamp berlangsung kira-kira selama dua bulan sebelum gue mendapatkan pekerjaan. Dari Revo-U Mini Course, Rakamin Academy, sampai SangSang University. Bahkan gue sempat mencoba gabung di bootcamp Digital Marketing MySkill selama satu bulan untuk membantu meng-upgrade skill gue di tempat kerja. 

Alasan lain kenapa gue menyarankan untuk ikut bootcamp online atau program sejenis adalah, agar kita punya portfolio dan background yang sejalan dengan bidang tersebut pada saat melamar kerja. Ini dia kaitannya dengan pengalaman gue yang ngasal lamar kerja di posisi yang berbeda-beda. 

Nggak mungkin kan, gue melamar untuk posisi UI/UX Designer kalau gue hanya mengandalkan ijazah Bahasa Jepang tanpa pernah praktik atau belajar sama sekali tentang UI/UX. Itu sih cari mati namanya. Karena itu, menurut gue mencari kerja nggak bisa asal-asalan, mesti well-prepared😉.

Mostly, para recruiter nggak akan melihat setinggi apa nilai akademis kamu di perkuliahan, hingga seberapa beken organisasi yang diikuti. Untuk pekerjaan yang cenderung teknikal, portfolio dan keingintahuan kita yang besar untuk belajar justru lebih menarik dan dibutuhkan di dunia kerja. But, pastikan kita betul-betul belajar di setiap bootcamp tersebut dan mampu merepresentasikan diri kita dengan baik pada saat proses interview. Agar recruiter nggak menilai kita sebagai pemburu sertifikat aja (karena banyak lho yang kayak gini).


3. Bangun Career Network dan Temukan Mentor


Masih berkaitan dengan poin pertama tentang struggle gue soal betapa pentingnya punya mentor. Dengan menambah relasi dan network di bidang yang ingin kita tuju, maka besar kemungkinan juga wawasan kita terhadap bidang tersebut akan semakin bertambah. Setidaknya, meski kita nggak pernah bekerja secara langsung disana, tapi kita memiliki gambaran dari orang-orang yang berpengalaman. 

Memiliki mentor juga bisa membantu kita memahami kelebihan dan kekurangan kita, dimana kita bisa fit in, bagaimana sikap yang baik pada saat melalui proses rekrutmen, hingga besaran gaji yang sesuai dengan posisi kita.

Terkadang ada banyak fresh graduates yang merasa belum berhak untuk memahami soal penghasilan, hak-hak karyawan, rata-rata gaji di bidang profesinya, dll. Padahal menurut gue hal kayak gini tuh mendasar banget dan penting untuk diketahui, paling tidak untuk menghindari perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan orang lain dengan seenaknya. Dari sini, kita perlahan juga bisa mengukur value diri kita.

Karena itu, kalau sudah punya mentor, jangan malu untuk bertanya. Take as many notes as possible, mintai tips dan trik dari mereka yang bisa membantu kita dalam mendalami pekerjaan yang kita minati, dan untuk mencapai career goals.

Gue akan kasih sedikit informasi di bawah ini, tentang platform apa aja yang menjadi acuan gue selama proses mencari kerja.

Mestara

Akun ini sering banget ngasih insight dan motivasi soal karir, keuangan, perkuliahan, pengembangan skill, bahkan tentang realita hidup and the bitter truth about living as an adult. Sesi sharing dan pendekatan yang mereka lakuin ke audiens bikin gue merasa punya mentor, meskipun nggak pernah ngobrol secara langsung. Sampai sekarang gue masih engaged dengan akun ini karena saking relatable-nya. 

Karirfess

Kalau ini bukan mentor sih, lebih tepatnya referensi buat gue bisa tahu sedikit gambaran tentang pengalaman orang lain soal dunia kerja, entah itu sesama fresh graduate, orang yang baru dapat pekerjaan, atau mereka yang curhat soal kerjaan. Selalu ada sender yang minta pendapat tentang berbagai hal, dan seru aja baca tanggapan-tanggapan orang lain di kolom reply. Gue bisa dapat banyak insight soal tips wawancara, tips mengatur pengeluaran dan menabung, sampe cara menghadapi bos yang nggak kenal waktu.


4. Optimasi Akun LinkedIn


Masih satu cakupan dengan poin ketiga, but in more specific way. Ini salah satu platform yang nggak boleh dilupain sama siapapun, mau yang udah dapet kerja atau belum sekalipun. Jujur, gue dapet pekerjaan yang sekarang dan sebelumnya itu malah dari LinkedIn. So, gue yakin dengan mengoptimasikan akun LinkedIn, kita bisa mendapatkan impact yang positif untuk keberlangsungan karir kedepannya, dan tentu untuk personal branding juga.

Aktif disini maksudnya ialah bisa dimulai dengan membenah profile, mengisi semua section yang sesuai dan dapat menggambarkan diri kita, serta bisa juga terhubung dengan orang lain yang sefrekuensi. Tentunya disarankan untuk terhubung yang betul-betul menjalin komunikasi, kalau bisa sih sharing juga di DM. Nggak sekadar nambah-nambah koneksi biar kelihatan banyak.


5. Jangan Cepat Puas, Keep Up the Good Work


Selalu ada langit di atas langit. Sounds cliché, but that's the truth. Selalu ada yang lebih dari kita. Selalu ada celah yang bisa kita pelajari. Apabila diibaratkan dengan gelas, untuk memenuhi gelas yang kosong atau baru terisi setengahnya, kita nggak bisa diem aja nunggu gelasnya terisi tiba-tiba, kan? Kita bukan lagi di restoran mevvah yang bisa dengan mudah menunggu pelayan nuangin air di meja kita. We're currently fighting our own battle, that's why we learn. Mau nggak mau, suka nggak suka, meski kadang lelah, harus kita yang mengisi gelasnya sendiri. 

Lalu, ketika gelasnya udah penuh, jangan cepat puas dulu. Sekali airnya kita minum (ilmu yang udah diserap kita pakai), pasti akan berkurang dan butuh untuk diisi lagi supaya kita nggak kehausan (wondering what's next?). Disinilah menurut gue kita perlu aware untuk terus belajar. Karena pasti masih ada hal-hal yang menuntut untuk dipelajari, bahkan di saat kita udah ahli sekalipun.


6. Aktif Berbahasa Inggris atau Bahasa Asing Lainnya


Di era yang sangat kompetitif ini, mempraktikan kemampuan berbahasa Inggris seolah menjadi satu modal yang penting dalam melamar kerja. Gue memang kurang jago dalam bahasa Jepang, tapi gue nggak mau berkelut dengan satu bahasa itu aja. Apabila gue masih bisa berkembang di bidang yang lain, maka gue harus bisa memaksimalkan kemampuan gue disana.

Meskipun nggak semua pekerjaan membutuhkan keahlian bahasa Inggris, tapi kita nggak tau, rekrutmen mana aja yang nantinya meloloskan kita. Apakah yang mensyaratkan keterampilan bahasa Inggris, atau bukan? Dengan mempersiapkan diri seperti ini, kita juga dapat lebih siap dan nggak kaget jika tiba-tiba diwawancara oleh perusahaan yang mengutamakan keterampilan berbahasa asing.

Intinya, kita nggak tau dari pintu mana aja CV kita bisa lolos. Selagi ada peluang, manfaatkan peluang yang ada tersebut dengan mengasah skill kita. 


7. Be Patient


Last but not least adalah sabar. Karena kita kasarnya adalah orang awam yang sedang belajar hal baru, maka perasaan bingung dan merasa tertinggal itu akan sangat wajar dirasakan. Nggak bisa satu tahun dua tahun kerja langsung expert, pasti ada proses panjang yang harus dilalui. Sejujurnya ini pengingat juga sih buat gue yang baru bekerja di industri ini. Jadi, let's enjoy the process. Karena dari proses itulah kita bisa terus bertumbuh menjadi versi diri kita yang lebih baik.


Sebelum gue tutup postingan ini, gue juga ingin mengingatkan. Bahwa sebelum memutuskan bidang mana yang ingin digeluti, kita juga perlu untuk mempertimbangkan seberapa ingin kita keluar dari jalur tersebut dan mempelajari hal baru? Supaya keputusan kita nantinya nggak diintervensi oleh adanya kemungkinan menjadikan pekerjaan yang baru sebagai "pelarian". Karena percayalah, nggak ada satu passion yang mutlak harus kita punya. Apapun bisa berubah-ubah, sebagaimana hati manusia yang mudah terbolak-balik. 

Selain itu, buat gue sendiri, gue memikirkan ini masak-masak karena ingin mencoba membiasakan ke diri sendiri untuk selalu tau apa alasan gue melakukan sesuatu. It sucks when you do something without really knowing the reason of it. Always start with WHY is one of the key. 

Walau di beberapa kesempatan, ada kalanya hidup manusia mengalir aja seperti air, tapi di situasi tertentu nggak ada salahnya untuk memikirkan kenapa kita ingin melakukan hal-hal tersebut. Once we have the reason, kita juga akan makin mantap dalam mempelajari hal baru tersebut. Begitu pun dalam menentukan bidang yang ingin dipelajari. 

Semangat yaa buat teman-teman yang sedang mengalami hal serupa dengan gue! Semoga kita diberikan kekuatan dan berhasil dalam mencapai apa yang dicita-citakan selama ini. Semua yang gue tulis adalah murni dari pengalaman gue yang masih seumur jagung ini. 

Semoga postingan ini bisa menjawab keresahan teman-teman dan bermanfaat dalam proses mencari jati dirinya, terkhusus untuk anonim yang udah bertanya di NGL gue (semoga baca ya😄). Apabila ada di antara teman-teman yang mau menambahkan, feel free to give comments ya!😉

Kira-kira, apa disini ada yang career shifting juga kayak gue? Sharing, yuk!



Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar

 
Rekomendasi Bootcamp UI/UX Design Harisenin

Mendukung era teknologi yang semakin gencar, beragam platform pendidikan berbasis online di Indonesia berlomba-lomba menyediakan program belajar yang mudah diakses dimanapun dan kapanpun bagi siapa saja yang ingin beralih karir, atau memulai karir di bidang tertentu, contohnya bootcamp UI/UX Design yang memberi dampak besar dalam perkembangan industri digital. 

Meningkatnya jumlah bootcamp online tentunya nggak terlepas dari minat masyarakat dan peluang kerja yang terus bertambah terhadap industri ini. Pada bidang profesi UI/UX Designer, kebutuhan semakin meningkat seiring dengan tuntutan pasar yang mulai merambah ke penggunaan aplikasi. Sehingga hal ini membuat para pelaku industri giat mengembangkan dan menciptakan produk mereka sebagus mungkin agar dapat bersaing dengan kompetitor.

Tunggu, deh. Memangnya seberapa penting sih UI/UX Design itu?🤔

Mengenal lebih dalam tentang UI dan UX

Dalam suatu pembuatan aplikasi, UI/UX Designer memiliki peranan penting dalam pengembangan produk digital, untuk dapat memberikan tampilan dan pengalaman yang nyaman bagi pengguna saat mengakses aplikasi mereka.
UI/UX sendiri merupakan singkatan dari User Interface dan User Experience. Secara spesifik, user interface design atau desain antarmuka pengguna yakni mencakup apa saja yang akan dilihat pengguna di layar aplikasi, misalnya teks, penggunaan warna, background, ikon, atau animasi dan elemen-elemen bergerak lainnya. Seseorang yang berkecimpung di bidang desain grafis, biasanya akan mendalami UI Design pula, atau sebaliknya. 
Sementara itu, UX Design berfokus pada pengalaman pengguna, seperti merancang alur interaksi dan pengalaman yang akan dimiliki mereka ketika menggunakan aplikasi. UX Designer memastikan bahwa produk yang dikembangkan dapat digunakan dengan nyaman, menyenangkan, serta mudah diakses oleh pengguna. 
Saat ini terdapat banyak bootcamp UI/UX Design di Indonesia yang dapat kita jumpai dengan mudah di internet. Namun, mungkin hanya beberapa yang bisa menawarkan fasilitas yang lengkap, dan berhasil menyalurkan ribuan alumni hebat di berbagai top company. Salah satu bootcamp yang punya nilai plus ini dan mau gue rekomendasikan kepada teman-teman adalah program bootcamp UI/UX Design dari Harisenin.com.
Harisenin.com sudah banyak menciptakan program belajar online yang relevan di dunia kerja dan sangat suportif dalam membantu para career shifter mengejar impian mereka, dari mulai bootcamp Digital Marketing, Auditor & Financial Analyst, Full-stack Website Development, Human Resources, hingga bootcamp UI/UX Design & Product Management.

Apa sih yang akan didapat dari bootcamp Harisenin.com?

1. Kurikulum

Peserta bootcamp UI/UX Design nantinya akan belajar sebanyak 24 sesi dengan tutor-tutor yang telah berpengalaman. Tak hanya soal UI/UX, mereka juga akan mempelajari secara spesifik tentang Product Management. Beberapa sesi di antaranya meliputi Product Development, UI Principles and Fundamental, Prototyping, dan masih banyak lagi!

2. Harga Terjangkau

Rekomendasi Bootcamp UI/UX Design Harisenin


Program UI/UX Design Harisenin.com berlangsung selama 4-5 bulan. Seperti yang bisa dilihat, dengan kisaran harga yang sudah terjangkau—yakni mulai 2 juta rupiah saja, periode selama itu menurut gue sudah sangat intens dibandingkan bootcamp lain yang hanya berlangsung selama satu atau dua bulan. Bahkan masih terbilang lebih worth it jika dikomparasi dengan bootcamp yang berlangsung lebih lama, tetapi biaya 4 kali lipat di atasnya.

Udah harganya terjangkau, pembayaran pun bisa dicicil sebanyak lima kali. Jadi, untuk teman-teman yang masih kuliah dan nggak bisa membayar full, boleh banget pakai metode pembayaran ini😊.

3. Job Connect

Harisenin juga menyediakan fasilitas yang sangat lengkap dalam mendorong karir mentee, seperti job connect dan career coaching. Kedua hal ini sangat diperlukan untuk membantu menjawab berbagai keresahan peserta seputar karir, khususnya bagi fresh graduates yang masih belum tahu soal tips interview, atau alur rekrutmen di sebuah perusahaan.

Yuk, simak cerita lengkap salah satu alumni UI/UX Design harisenin yang sempat galau dengan quarter life crisis, dan saat ini sudah bekerja di salah satu perusahaan😉.

4. Job Guarantee

Satu hal lagi yang sangat gue kagumi dari Harisenin.com ialah adanya job guarantee, atau jaminan kerja. Melalui jaminan ini, apabila kamu belum mendapatkan pekerjaan dalam kurun waktu 365 hari setelah lulus dari bootcamp yang diikuti, kamu berhak mendapatkan dana pengembalian hingga di atas 110%. Itu semua dilakukan karena Harisenin.com peduli terhadap karir setiap alumninya dan ingin agar mereka berhasil menyalurkan minat dan pengetahuan yang telah didapatkan selama proses belajar di bootcamp Harisenin.

5. Final Project

Selain keempat benefit di atas, ada juga final project dimana peserta dapat mempraktikan secara langsung apa yang telah mereka pelajari selama di kelas. Fasilitas ini dapat memberi kesempatan besar kepada peserta untuk berlatih secara professional dengan didampingi oleh team buddy yang handal di bidangnya, sebelum nantinya terjun di lapangan kerja.

Rekomendasi Bootcamp UI/UX Design Harisenin.com
Redesign App Superindo, Hasil Final Project Group 8 Bootcamp UI/UX Design Harisenin

Inilah salah satu gambaran dari hasil final project yang para alumni sudah kerjakan. Masing-masing dari mereka dibagi ke dalam beberapa grup, agar proses pengerjaan proyek dapat dilakukan dengan intens dan lebih terarah. Selain slide lengkap di atas, kamu juga bisa melihat prototype mereka disini! Super keren dan kreatif, bukan?🤩👏

Bukan bootcamp yang cuma jual sertifikat dan janji

Sebagai mantan anak bootcamp, gue bisa bilang bahwa kelima benefit di atas adalah hal yang paling fundamental dari sebuah program bootcamp. Memberikan fasilitas job connect, career coaching dan real project adalah tindakan yang nyata untuk menunjang keberlangsungan karir peserta. Umumnya, orang-orang mendaftar bootcamp untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang diimpikan, bukan? Maka nggak cuma sebatas belajar dari tutor dan dapat sertifikat, tetapi ada timbal balik yang bisa mentee dapatkan dengan belajar di Harisenin.com.

Sebelum bergabung dengan bootcamp selama 4-5 bulan, kamu juga bisa ikut free trial class-nya terlebih dahulu. Bagi yang masih ragu-ragu ingin mengikuti bootcamp atau nggak, sangat dianjurkan untuk mendaftar free trial-class ini. Jadi, nggak ada deh kata menyesal karena merasa kecemplung di bootcamp yang hanya menawaran "mimpi". Gue sih bisa jamin habis trial class-nya beres, banyak yang berbondong-bondong langsung daftar bootcamp😆.

Selain itu, untuk memastikan bahwa alumni mereka mendapatkan pekerjaan yang relevan, Harisenin.com telah bekerjasama dengan lebih dari 200 perusahaan di berbagai bidang. Setelah lulus dari program, nantinya para alumni akan dihubungkan ke perusahaan-perusahaan tersebut dengan bantuan dari Hiring Partner. So, dengan adanya garansi up to 110% dan program Hiring Partner, peserta bootcamp Harisenin nggak perlu khawatir akan lulus tanpa mendapatkan apa-apa. Karena Harisenin.com selalu berusaha untuk memberikan hasil yang terbaik bagi alumninya😌😉.

Kira-kira, apakah kamu tertarik untuk ikut bootcamp UI/UX Design di Harisenin.com? atau mau coba program bootcamp yang lain? Please, let me know di kolom komentar, ya!😍😁
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Series Review: The Billion Dollar Code, Pelanggaran Paten Terhadap Google Earth?
Sumber: Territory Studio


Sebuah serial Netflix yang tayang pada akhir tahun 2021 ini menceritakan tentang dua pemuda asal Berlin di tahun 90-an bernama Carsten Schlüter dan Juri Müller, yang ambisius dan penuh gagasan dalam menciptakan sebuah inovasi pada dunia teknologi, dimana ‘goal’ mereka adalah ingin membawa “dunia” lebih dekat dengan orang-orang melalui jaringan komputer. Demi mewujudkan itu, mereka bersama kawan-kawannya yang merupakan gabungan dari para seniman dan peretas andal kemudian mendirikan ART+COM, sebuah perusahaan rintisan yang mengolaborasikan antara program komputer dan seni digital. Inovasi ini dinamai TerraVision, yang diluncurkan pada tahun 1994.

TerraVision adalah sebuah representasi virtual jaringan bumi berdasarkan citra satelit, bidikan udara, data ketinggian, dan data arsitektur. Aplikasi 3D yang dikembangkan membuat data terestrial terlihat nyata dan dapat dijelajahi secara interaktif. Siapa pun yang menggunakannya dapat bernavigasi secara bebas dalam waktu yang nyata di dunia maya fotorealistik. Yap, jaringan semacam inilah yang kita lihat pada Google Earth saat ini.

Pada era itu, TerraVision menjadi penemuan yang membanggakan saat dipresentasikan pada ajang Konferensi Serikat Telekomunikasi Internasional di Kyoto. Ketenarannya bahkan sampai di telinga eksekutif Silicon Graphics, Brian Andersson yang perusahaannya merupakan pengembang server Onyx terkuat pada saat itu (yang digunakan oleh ART+COM untuk membuat TerraVision). Namun, tak ada yang menyangka bahwa pertemuan mereka dengan Brian pada akhirnya malah membawa ART+COM pada satu masalah besar di kemudian hari.

Selang satu dekade setelah kesuksesan TerraVision, perusahaan Google lalu memunculkan program komputer yang sangat mirip dengan TerraVision. Berbagai konflik akibat dimunculkannya komponen unggulan Google tersebut kemudian membawa Juri dan Carsten pada persoalan hukum yang pelik saat mereka harus memperjuangkan kasus pelanggaran paten atas algoritma yang dipakai pada Google Earth.

Berdasarkan Kisah Nyata


The Billian Dollar Code sebetulnya diangkat dari kisah nyata dan terinspirasi oleh serial biografi Mark Zuckerberg yang berjudul The Social Network. Pada tahun 2014 lalu, ART+COM selaku perusahaan asal Berlin mengumumkan gugatannya pada Google bahwa mereka telah melanggar produk paten AS No. RE44.550, berjudul 'Metode dan Perangkat untuk Representasi Bergambar dari Data Ruang Angkasa,' terkait dengan teknologi Google Earth-nya.

Jika dalam miniseri ini eksekutif SGI (Silicon Graphics) yang berhubungan langsung dengan Carsten dan Juri hanya diwakili oleh Brian Andersson seorang, maka tidak dengan kisah aslinya. Seorang perwakilan ART+COM menyatakan bahwa pada tahun 1995, dalam proses pengembangan TerraVision, penemu mereka sempat bekerja langsung dengan salah dua petinggi Silicon Graphics yang setelahnya diketahui bekerja sebagai CTO Google Earth dan Kepala Bagian Google Maps. 

Kala itu, SGI bahkan sempat menggunakan TerraVision sebagai demonstrasi komputer Onyx mereka. Hal ini juga yang memicu ART+COM untuk berani menggugat perusahaan raksasa Amerika tersebut—meski gugatan mereka berujung gagal di pengadilan. Selama proses gugatan, Google mengelak dan menyatakan bahwa mereka menggunakan metode yang berbeda untuk menampilkan gambar beresolusi tinggi agar pengguna bisa memperbesar grafik pada titik tertentu secara spesifik.

Pemuda Naif dan Tempat yang Salah


Dalam serial biografi ini, kita diperlihatkan bagaimana kegigihan dan kejeniusan Carsten dan Juri yang membawa salah satu inovasi dalam dunia teknologi ini seakan berujung sia-sia, karena mereka tidak mendapat kesempatan yang sama untuk bersaing dan berkembang layaknya perusahaan-perusahaan Silicon Valley. Idealisme mereka terdengar seperti isapan jempol bagi para Berliner, sebab pada saat itu banyak masyarakat yang masih skeptis dengan perkembangan internet dan kemungkinan kontribusinya di masa depan, sehingga banyak investor yang menertawai ide brilian Carsten dan Juri.

Salah satu adegan yang membuat kita meringis adalah saat mereka berusaha menjelaskan proposal tentang ide membuat monitor kecil di kursi pesawat, namun lantas diremehkan oleh perusahaan yang mereka datangi. Faktanya, monitor LCD saat ini menjadi fitur yang ada di kursi pesawat.

Tampaknya, bagi mereka ART+COM hanya kumpulan anak muda yang naif dan tidak realistis seperti anak kecil yang bercita-cita menjadi astronot. Pada akhirnya, impian ART+COM untuk bisa mengembangkan TerraVision menjadi lebih dari sekadar peta visual, dan mengganti semua perangkat kerja fisik ke internet pun tidak dapat terealisasikan. Mungkin kenyataannya ide gila puluhan tahun lalu ini memang terjadi, tapi tidak melalui sentuhan ART+COM.

Seandainya saja Carsten dan Juri memutuskan untuk berkarir di Silicon Graphics menjadi anak buah Brian saat itu, mungkin mereka tidak perlu merasakan ditolak berkali-kali oleh investor. Namun, jika begitu mungkin saja mereka tak benar-benar mengerti arti dari sebuah perjuangan. Toh, meski mereka tertinggal selangkah dari Brian yang memiliki privilese di bawah Silicon Valley, dan meski perusahaan mereka tidak sebesar Google, TerraVision tetap memiliki nilainya tersendiri dan menjadi satu-satunya karya yang berharga di tangan ART+COM. 

Pada dasarnya, Carsten dan Juri hanyalah anak muda yang penuh dengan ambisi dan inovasi. Sayang cita-cita dan ketulusan mereka untuk mendirikan Silicon Valley versi Berlin tidak disambut baik oleh rekan sebangsanya sendiri.

Jadi, apakah TerraVision benar-benar disabotase? Benarkah Google Earth betul-betul merupakan hasil sabotase TerraVision?
Berdasarkan bukti-bukti yang dimunculkan melalui wawancara karyawan ART+COM dalam tayangan behind the scene, Google Earth dan TerraVision jelas memiliki kemiripan, hanya modifikasi dan rentang usia yang terlihat membedakan. 

Namun, salah seorang mantan karyawan yang pernah bekerja untuk EarthViewer (sebelum Google Earth) mengaku bahwa sebetulnya TerraVision bukan satu-satunya perusahaan yang mengaku sebagai penemu algoritma Google Earth. Bahkan algoritme TerraVision dianggap tidak cukup efisien untuk membuat lompatan ke PC—sesuatu yang justru ia dan tim KeyHole kembangkan saat itu. Meski pertanyaannya berakhir sama, apakah mereka tetap menggunakan algoritma TerraVision dan meningkatkannya agar dapat diterapkan pada PC secara lebih efisien?

Kasus gugatan pelanggaran paten inipun bukan satu-satunya yang pernah terjadi. Beberapa di antaranya ada gugatan dari Authors Guild, sebuah Asosiasi Penerbit Amerika mengenai kasus pelanggaran hak cipta dalam pengembangan database Pencarian Buku Google. Ada juga kasus pengadilan Perfect 10 vs Google dimana Google dituntut untuk berhenti membuat, mendistribusikan gambar Perfect 10, dan menghentikan pengindeksan ke situs yang menghosting gambar tersebut, dan masih banyak lagi kasus pelanggaran yang dilayangkan oleh perusahaan minor lainnya.

Harus kita akui, keaslian menjadi sesuatu yang berharga sekali dalam perkembangan era digital. Tak banyak perusahaan yang bisa menelurkan gagasan-gagasan yang autentik. Pada dasarnya pikiran-pikiran kita dapat terhubung satu sama lain karena dipengaruhi oleh lingkungan dan kemajuan di berbagai sektor. Begitu juga yang terjadi pada Juri dan Carsten dua dekade lalu. Mungkin saja saat itu mereka bukan satu-satunya anak muda yang bermimpi tinggi tentang membuat representasi virtual bumi, karena masuknya teknologi datang pada saat yang bersamaan.

Namun, apakah itu artinya boleh “mencuri” ide orang lain untuk kepentingan diri sendiri? Tidak juga. Bagaimana pun, tak ada yang bisa dibenarkan dari tindakan Brian. Sekalipun dalam etika bisnisnya mengambil ide seseorang untuk kemudian dimodifikasi merupakan sesuatu yang wajar, jelas hal ini tidak dapat dinormalisasi—semestinya.

Sang Agen Perubahan


Dari cerita yang separuhnya telah difiksionalisasi ini, semangat juang dan ambisi Juri dan Carsten muda mengingatkan saya pada slogan “agen perubahan” yang selalu disematkan kepada anak-anak muda. Dulu, saya agak skeptis dengan motto ini. Karena realitanya banyak ide-ide baru yang tidak bisa diimplementasikan secara penuh karena hambatan kapitalisme dan ageisme (diskriminasi usia).

Namun pada akhirnya saya juga tersadar, bahwa kehadiran berbagai platform digital saat ini tidak lepas dari ide-ide jenius para pemuda seperti Mark Zuckerberg, Steve Jobs, Steve Shih Chen, William Tanuwidjaya, Nadiem Makarim, Achmad Zaky, dll. ART+COM mungkin memang bukan salah satu di antara mereka, tapi penemuannya tetap memberi kontribusi yang besar dalam sejarah perkembangan teknologi. Dan tentu saja, perjuangan mereka tidak ada yang sia-sia. Terlebih jika algoritmanya benar telah dicuri, maka kita sudah tahu apa dan siapa yang mendasari lahirnya program Google Earth yang begitu keren saat ini.

Ah iya, omong-omong, judul Billion Dollar itu sendiri mengartikan total keuntungan (sebesar 700 juta dollar) atas algoritma yang selama ini diterapkan pada Google Earth yang mungkin bisa ART+COM dapatkan jika Google mengakui tuduhan pelanggaran paten tersebut. Nilai yang sangat fantastis, bukan?
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Ada yang pernah dengar istilah Spoonerism? Atau adakah di antara kalian yang kalau ngomong suka keselip alias terbolak-balik? Seperti Isyana Sarasvati, dari "bener dong" jadi "beneng dor", dan "terpesona" jadi "tersepona".

Jika ada di antara kalian yang sering mengalami hal serupa, welcome to the club!🙌🏻

Spoonerisme, Alasan Utama Lidah Keseleo

Gue pribadi adalah satu dari sekian orang yang sering banget mengalami selip lidah atau terbolak-balik saat bicara. Contohnya persis seperti yang gue sebut di atas. Kosakata yang baru-baru ini nggak sengaja gue ucapkan itu adalah, "enak" jadi "anek". Gue juga belum lama keseleo pas bilang gave birth, jadi give barth, padahal nggak ada artinya. Gue pikir awalnya aneh, tapi pada kenyatannya banyak banget orang-orang di luar sana yang sering mengalami hal demikian. 

Awalnya gue nggak peduli untuk cari tahu lebih lanjut tentang ini, yang gue tahu, mungkin thinking proccess-nya lebih cepat daripada mulut gue, dan barangkali memang gue aja yang kalau ngomong kecepetan. Setelah ditelusuri, ternyata kondisi semacam ini dinamakan Spoonerisme.

Spoonerisme (spoonerism) adalah kesalahan bicara yang berkaitan dengan transposisi fonetik dalam huruf mati, huruf hidup atau morfem yang biasanya terbolak-balik di antara dua kata dalam sebuah frasa. Istilah spoonerism diambil dari nama William Archibald Spooner (1844-1930), penjaga New College, Oxford, Inggris, yang sering bicara terbolak-balik saat itu. Spoonerisme juga dikenal sebagai marrowsky, seperti nama seorang Polandia yang juga mengidap kebiasaan serupa. 

Biasanya seseorang secara spontan melakukan kesalahan pengucapan ini disebabkan karena gugup, kurang konsentrasi atau terlalu cepat berbicara. Namun ada juga yang memang memiliki kesulitan secara verbal karena terlalu lama diam di suatu negara yang berbeda dengan yang dia tinggali sekarang. Dan karena situasi ini dialami oleh banyak sekali orang di belahan dunia, tentu saja kata atau kalimat yang keselip gak hanya ada dalam bahasa Indonesia. Bahasa Inggris pun banyak yang seringkali bisa keseleo, seperti contoh di bawah ini:
  • "A blushing crow." ("crushing blow")
  • "A well-boiled icicle" ("well-oiled bicycle")
  • "You were fighting a liar in the quadrangle." ("lighting a fire")
  • "Is the bean dizzy?" ("Dean busy")
  • "Someone is occupewing my pie. Please sew me to another sheet." ("Someone is occupying my pew. Please show me to another seat.")
Dalam bahasa Indonesia sendiri, kata atau kalimat yang biasa kepleset adalah sebagai berikut (contoh ini diambil langsung dari testimoni gue saat sedang keselip lidah):
  • "Nanti aku kuping jewermu ya!" ("Nanti aku jewer kupingmu ya!")
  • "Hudas kok." ("Sudah kok") 
  • "Aku makan sudah" (Aku sudah makan) 
  • "Dasar budaya darat" (Dasar buaya darat) 
  • "Aku mau odun!" (Aku mau udon—makanan Jepang) 
  • "Tutupnya pintu." (Tutup pintunya) 
Nah, kira-kira begitulah contoh kosakata yang sering terbalik saat gue ucapkan. Tentu ini belum termasuk kata-kata lain yang gue lupa untuk catat di notes😂

Kalau teman-teman, bagaimana? Apakah ada yang mengalami hal serupa? Let me know, ya!🤩
Share
Tweet
Pin
Share
5 komentar
Berawal Dari Kegelisahan (How to produce a creative content with Raditya Dika)

Mendadak gue ingat pernah ikut kelas "Persiapan Menjadi Video Creator" bersama Raditya Dika yang diselenggarakan oleh Kominfo x Siberkreasi tahun lalu dan ingin menuliskan sedikit bahasan pentingnya pada kelas waktu itu. Dalam salah satu sesi, Bang Radit sempat memberikan tips tentang bagaimana caranya membuat ide konten yang kreatif dan bermanfaat.

Menurutnya, hal tersebut bisa dimulai dengan memikirkan kegelisahan diri sendiri, diikuti dengan memikirkan cara untuk bisa menghadapi kegelisahan tersebut. Iyap, jadi pada dasarnya, kita yang punya masalah, kita sendiri yang cari jalan keluarnya, lalu kita coba bagikan deh, ke khalayak umum. Barangkali konten tersebut ngena di sebagian orang, atau mungkin bisa menjadi solusi dan jawaban juga atas kegelisahannya.

Contohnya terdapat di dalam konten-konten Raditya Dika sendiri yang mana salah satunya dapat kita lihat lewat video reels berikut ini:

View this post on Instagram

A post shared by Raditya Dika (@raditya_dika)


Dalam video itu, kegelisahan Radit adalah: tidak bisa tidur dengan lampu dinyalakan, namun ia lupa mematikan lampu dan malas turun lagi saat sudah beranjak ke kasur. 

Cara unik yang dia lakukan untuk bisa mematikan lampu, atau supaya bisa tidur meski lampu dinyalakan adalah dengan melemparkan bola kasti ke arah saklar menggunakan tongkat baseball. Hal itu ia lakukan bukan semata-mata agar saklar bisa tertekan off, tapi agar dia merasa kelelahan dan setelah itu bisa tidur meski lampu dinyalakan.

Well, cara ini memang nggak bisa dilakukan untuk semua orang, mengingat ini hanya komedi🤣. Tapi itulah fondasi yang dimiliki Bang Radit dalam membuat konten-kontennya yang out of the box. 

Selama kelas berlangsung, gue jadi mikir, kira-kira konten atau tulisan apa yang bisa gue buat based on kegelisahan yang gue miliki, ya🤔 Apakah jangan-jangan sebenernya gue udah pernah buat yang sesuai dengan content pillar Bang Radit?

Turns out, setelah gue baca-baca ulang beberapa postingan lama, selama ini gue sudah banyak menuliskan tentang kegelisahan gue ke blog—dan mungkin juga teman-teman bloggers yang lain secara nggak sadar. Walaupun memang nggak semua gue terapkan pilar yang kedua: cara mengatasi kegelisahan tersebut, tapi gladly gue sudah mengerti gimana basis dalam membuat konten itu berkat ilmu yang gue dapat dalam kelasnya Bang Radit.

Beberapa contoh tulisan gue yang berangkat dari kegelisahan adalah Bahagia Perlu Uang? dan Don't Stop. Dalam postingan yang pertama, gue mengajak orang-orang terkhusus teman-teman yang sama-sama sedang mengalami krisis seperempat abad untuk bekerja keras dan memiliki growth mindset terhadap uang, karena bagaimana pun alat tukar ini bisa memberi sedikit banyaknya power dalam hidup kita, entah itu untuk menghidupi diri dan keluarga, atau membantu orang-orang yang tengah kesulitan di luar sana. 

Mengapa ini jadi kegelisahan gue? Karena ketika menulis itu, keluarga gue sedang mengalami masalah pelik soal keuangan. Mungkin ada tiap hari dimana kami harus memutar otak gimana agar uang ini bisa terus berputar, misalnya dipakai untuk berdagang, dan gimana caranya agar uang yang dihasilkan bisa jadi modal untuk hari esok dan nggak habis dipakai menutupi kebutuhan rumah tangga.

Therefore, I came up with the conclusion bahwa keluarga gue akan bisa lebih sejahtera dan senang if I could earn more money for them. Supaya gue bisa bantu biayai adik-adik yang sebentar lagi akan masuk kuliah tahun depan, bisa bayar orang untuk bantu-bantu jalankan UMKM eyang gue, supaya bisa support financial kedua orangtua gue, lalu sisanya ingin bisa membantu orang-orang yang membutuhkan di sekitar. Sebab gue pernah dengar dan belajar, bahwa ujian bagi seseorang itu sebetulnya bisa jadi ujian juga untuk kita. Apakah kita mau bantu seseorang itu untuk melalui 'ujiannya' atau nggak?

Lalu tulisan yang kedua, Don't Stop, berangkat dari kegelisahan gue yang merasa belum qualified enough untuk lulus dari jurusan yang gue tempuh. Gue merasa bodoh dan salah jurusan, karena nggak banyak ilmu yang bisa gue bawa sampai detik itu menjadi mahasiswi. 

Karena saat itu gue masih ingin mengejar cita-cita di bidang yang linear, maka dalam tulisan itu gue maksudkan (lebih tepatnya kepada diri sendiri) bahwa penting untuk kita kembali fokus dengan tujuan awal dan kembali menata rencana-rencana yang bisa kita susun saat diri kita tengah goyah dan kehilangan arah akan tujuan hidup kedepan. Tentunya dalam kasus gue adalah mencari metode belajar yang cocok, dan mengurangi intensitas penggunaan media sosial agar bisa lebih fokus, nggak lagi terdistraksi dengan bisingnya kehidupan internet. 

Hal yang sama juga gue terapkan pada podcast gue, Notes of Little Sister. Kalau teman-teman perhatikan, hampir semuanya mengarah pada kegelisahan dan bagaimana sebaiknya kita deal dengan itu (tentunya menurut diri gue sendiri), and yesss, semua topik itu nggak jauh-jauh dari kehidupan personal gue yang diharapkan bisa jadi salah satu sarana pengembangan diri untuk siapapun yang mendengar. Nanti gue akan posting khusus tentang podcast, bakal ada yang baca nggak yaa?😆

Lihat juga: Manusia Lemah


Berawal Dari Kegelisahan (How to produce a creative content with Raditya Dika)

Kembali soal tips membuat konten dari Raditya Dika, selain mengambil inspirasi dari kegelisahan diri sendiri, tentunya kita juga bisa menjadikan kegelisahan yang kita miliki terhadap lingkungan sekitar sebagai ide konten. Dan tanpa disadari, ini cara yang sudah dilakukan banyak content creator untuk menghasilkan konten-konten yang menarik dan untuk menjangkau massa yang sesuai dengan segmentasinya masing-masing. 

Para content creator ini berbondong-bondong memproduksi konten berdasarkan kegelisahan dan isu-isu yang happening di kehidupan sosial kita. Misalnya aja isu kesehatan mental, pelecehan seksual, investasi bodong, sampai ke persoalan quarter life crisis. Masing-masing dari mereka menawarkan cara uniknya tersendiri untuk bisa melewati atau menemukan solusi bagi audiens dari berbagai permasalahan tersebut—and most of the time it helps! 

Yang paling menarik, nggak cuma konten dengan topik yang serius aja yang bisa diangkat dari keresahan publik, konten berjenis komedi atau hiburan pun masuk-masuk aja, lho. Contohnya yaa kayak video Bang Radit di atas😆

So, buat yang sering kena writer's block, stuck dan kehabisan ide untuk menulis konten, mungkin bisa mencoba dengan breakdown satu per satu apa yang menjadi kegelisahan teman-teman. Dimulai dari skala yang paling kecil, yakni dalam diri, sampai skala yang terbesar. 

Kira-kira, ide konten apa aja sih yang udah teman-teman buat based on kegelisahan? Yuk, sharing!🤩






Share
Tweet
Pin
Share
6 komentar
Body Positivity Bukan Validasi


Teman-teman, ada yang masih ingat? Lebih dari setahun yang lalu, jagat maya kita sempat dihebohkan oleh pernyataan salah satu influencer yang sempat keblinger freedom of speech, karena mengata-ngatai tubuh seseorang di tempat gym dengan sebutan "polusi visual". 

Kemudian setelahnya, muncul lagi pernyataan kontroversial dari MH, seorang model alias "Menteri Kecantikan" yang mengeluh di media sosial pribadinya dikarenakan standard kecantikan Victoria Secret's Angels dan tayangan Gossip Girl favoritnya kini telah bergeser dari yang ia yakini selama ini. Seolah tak kuasa menahan kekesalan, dengan lantang ia melabeli "buriq" seorang perempuan berkepala pelontos dan berkulit gelap yang diketahui sebagai pemeran baru seri Gossip Girl.

Ujaran tidak mengenakan terhadap perempuan yang dianggap tidak memiliki tubuh seperti standard masyarakat juga pernah dialami oleh Nurul, seorang atlet angkat besi sepulang dari Olimpiade Tokyo di Bandara Soekarno-Hatta pada pertengahan Agustus tahun lalu. 

Sikap ini seakan-akan semakin melanggengkan eksklusivitas standard kecantikan yang tidak merangkul semua kalangan dan jenis tubuh. Karena itu, gerakan women support women pun tampaknya hanya berlaku untuk lingkaran tertentu.

Pergelutan di media sosial terhadap self-acceptance semacam ini lagi-lagi menunjukan adanya miskonsepsi perihal body positivity. Bagi orang-orang bertubuh "privilege" yang bisa sesuai dengan standard Victoria Secret, gerakan body positivity tampaknya hanyalah bentuk validasi rasa malas bagi orang-orang yang tidak bisa memiliki badan seperti bihun—kurus, langsing, dan berkulit terang. Seakan-akan perjuangan mayoritas perempuan selama berpuluh-puluh tahun tak ada artinya bagi mereka. Padahal body positivity, atau gerakan mencintai dan menerima diri tanpa harus sesuai dengan standard yang berlaku di masyarakat ini sudah diperjuangkan sejak tahun 1960-an di Amerika Serikat.


Asal Usul Kampanye Body Positivity

Kampanye ini berawal dari adanya tindakan diskriminatif terhadap orang-orang yang berbadan gemuk.  Fat Acceptance dan Fat Liberation diusung oleh kelompok NAAFA (National Association for Advancement of Fat Acceptance) dan juga feminisme yang aktif di California. Mereka lalu menerbitkan manifesto yang inovatif, dimana isinya ialah menuntut kesetaraan bagi para pemilik tubuh gemuk atau penyandang obesitas dalam seluruh aspek kehidupan. Mereka bahkan menyinggung perihal industri-industri tertentu yang berperan dalam mendukung standard kecantikan dan budaya diet, hingga menyatakan industri ini sebagai musuh.

Gerakan perjuangan inipun terus berkembang pesat. Pada tahun 1980-an, antusiasme terhadap pembebasan orang gemuk dari diskriminasi mulai terus tersebar ke penjuru dunia. London Fat Women’s Group menyusul terbentuk pada pertengahan 80-an dan aktif selama bertahun-tahun. 

Orang-orang memang tidak menggunakan istilah Body Positivity pada masa itu, tapi para aktivis yang berperan dalam menyuarakan anti-diskriminasi pada penyandang obesitas ini dapat dengan mudah dijumpai di berbagai acara talk show dan media lainnya. Lalu pada era 90-an, aktivis-aktivis tersebut berdemonstrasi di depan White House, menggelar protes di depan pusat kebugaran yang memajang iklan bernada fatphobic, dan menari-nari bersama rombongan kendaraan pawai pada parade San Francisco’s Pride.

Topik yang kemudian mencuat tentang dorongan mencintai tubuh sendiri ada yang membingungkan beberapa pendengar, namun di saat yang sama juga ada banyak orang yang merasa terinspirasi. Mungkin karena pada saat itu istilah self-love, self-acceptance, dan body positive tidak lazim seperti sekarang. Tampaknya orang-orang ini berpikir bahwa, jika seseorang yang terlihat seperti mereka (dianggap tidak sesuai standard kecantikan) saja bisa belajar untuk mencintai diri sendiri, siapapun tentu bisa. 

Baca juga:  Childfree yang Diperdebatkan

Hingga memasuki awal 2000-an, internet akhirnya menjadi salah satu platform dimana berbagai bentuk penghinaan terhadap tubuh orang lain dan kampanye tentang mencintai tubuh sendiri mulai banyak tersebar. Meski kondisi tersebut dibarengi dengan munculnya anonimitas (orang-orang yang tidak menunjukan identitas diri di media sosial) dan menyebabkan perundungan, namun kondisi ini tidak dapat terelakan juga menunjukan bentuk ekspresi diri.

Ketika beragam papan pesan dan ruang obrolan tahun 90-an digantikan dengan media sosial, para aktivis ini terus membangun aksinya secara digital. Mereka berpindah dari grup AOL dan forum online NAAFA ke Tumblr dan Instagram. Adanya tagar dan grup-grup Facebook pun membantu banyak orang untuk terhubung dengan cara yang baru. Generasi yang baru ini kemudian menyebarkan aura positif yang dikenal sebagai Body Positivity. 


Menerapkan Body Positivity, Tak Mesti Jadi Toxic Positivity

Bagi orang-orang yang memiliki badan lebih kecil dan minim mendapat ejekan seputar kondisi tubuh, mungkin merasa bahwa gerakan body positivity hanyalah bentuk validasi atas rasa malas mereka yang bertubuh gemuk untuk memiliki gaya hidup lebih sehat. Nyatanya, tujuan awal kampanye ini adalah untuk meyakinkan orang-orang bahwa siapapun harus diperlakukan dengan baik, tidak peduli bagaimana bentuk badan mereka, warna kulit mereka, hingga cantik atau tidak rupanya. Toh, segala standard cantik yang berlaku di masyarakat tidak bisa menentukan bagaimana value diri seseorang, dan bagaimana ia berperilaku di lingkungan sekitarnya.

"Lantas, bagaimana kalau para penyandang obesitas atau pemilik tubuh gemuk itu sendiri yang menjadikan ini validasi?"

It's not the campaign that is wrong. It's on them and their mindset. Karena biar bagaimanapun, gue percaya tubuh yang sehat adalah kunci untuk hidup yang juga lebih sehat. Dan gue rasa, mereka sendiri sadar bahwa tubuhnya adalah aset berharga yang mesti dijaga, dirawat dan diberi asupan gizi dengan baik agar bisa bugar hingga tua nanti. Percayalah, gue yang memiliki tubuh kurus pun masih berjuang untuk bisa memiliki hidup yang lebih sehat, dengan pola makan yang teratur dan bergizi. Lagipula, kenapa sih, badan kurus dan langsing harus diasosikan dengan tubuh yang indah dan molek? Apa semua hal yang berkaitan dengan tubuh juga harus dipandang sebagai estetika?

Perlu diingat, bahwa kita bukan patung yang tubuhnya bisa sama rampingnya, bisa dibentuk molek sedemikian rupa, tidak tampak kekurangan sama sekali, tanpa gelambir dan stretchmark disana sini. We have different shapes, sizes, and bone structures. 

Tidak semua orang yang kurus hidupnya sehat atau penyakitan, begitupun dengan orang-orang yang memiliki tubuh gemuk. Bisa jadi mereka memang memiliki struktur tulang yang lebih padat dari orang kebanyakan, and that's okay, as long as mereka merawat tubuhnya dengan baik dan sadar akan kesehatan diri sendiri.

Hal ini berkaitan dengan sub-judul yang gue sematkan di atas. Yap, meski body positivity adalah gerakan yang bagus untuk menyadarkan siapapun bahwa setiap orang berhak memiliki citra tubuh yang positif, namun tidak semata-mata kita jadi bisa merayakan obesitas begitu saja tanpa mau mengubah diri sendiri ke arah yang lebih positif. Bukankah sejatinya itu yang dimaksudkan body positivity? 

Tidak merawat tubuh kita sebagaimana mestinya dengan mengonsumsi makanan secara sembarangan dan berlebihan dengan dalih body positivity justru akan berdampak buruk bagi diri kita. Inilah yang disebut dengan toxic positivity.

"Duh, ribet banget yaa jaman sekarang terlalu banyak istilah."

Indeed. Tapi menurut gue istilah seperti ini cukup penting untuk diketahui, agar kita bisa lebih mengenal diri sendiri dan tahu kapan waktunya untuk ngerem saat kita sudah terlalu memaksakan prinsip "body positivity" ini. 

Dilansir dari Alodokter, toxic positivity adalah kondisi ketika seseorang menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir dan bersikap positif serta menolak emosi negatif. 

Melihat suatu hal dengan positif memang baik, tapi tidak jika malah mendiskreditkan emosi negatif tersebut, seolah-olah perasaan yang tidak positif adalah sesuatu yang tidak valid untuk kita terima. Karena hal ini bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental, seperti yang dikutip dari City Nomads di bawah.
Radiating positivity 24/7 is a tough feat for anyone. The pressure to be positive can become toxic quickly. This toxic positivity may not exactly improve one's self or body-image. In fact, may even be counterproductive, because it can manifest as mental health conditions like depression and body dysmorphia, eating disorders and more in the long run.
So, kalau kamu sedang merasa tidak puas dengan kondisi tubuhmu karena berbagai hal, it's okay to feel that way sometimes. Siapa tahu perasaan itu malah mendorong kamu untuk bisa memiliki gaya hidup yang lebih sehat dan teratur. Tapi juga jangan merasa buruk sampai berlarut-larut, karena sesungguhnya setiap orang punya kekurangan dan kelebihannya masing-masing.

Believe me, segala standard yang dibangun oleh masyarakat selama ini adalah buah dari kapitalisme. That's why you shouldn't feel guilty about your own body that doesn't fit the beauty standard. Tidak salah juga sebetulnya kalau menteri kecantikan yang gue mention di atas merasa sebal ketika tipe model favoritnya di Victoria's Secret berubah secara inklusif, karena dia hanyalah "korban" dari citra kecantikan yang berusaha dibangun oleh orang-orang di balik Victoria's Secret--the capitalistic marketing itself. 

Instead of spending time in front of the mirror criticizing our shortcomings, why don't we use the time we have to examine our strengths and upgrade skills for the sake of our future and our own happiness? Furthermore, we can stop using our bodies to define ourselves and our worth at all. Because our lives isn't only about body and appearance. It's broader than that.


Reference:

BBC: The History of the Body Positivity Movement
Mengenal Lebih Jauh Tentang Toxic Positivity
Citynomads.com: Why Body Positivity Isn't All that Positive


Share
Tweet
Pin
Share
9 komentar
 
Seksisme: Basi Lo!

Pernah nggak sih, kamu ngalamin dilecehkan secara nggak langsung di ruang publik atau ketika menggunakan transportasi umum? Dilirik, dilihatin dari atas sampai bawah dengan tatapan sensual sama laki-laki—yang terlihat jelas dari tatapannya bukan seseorang yang bisa memuliakan perempuan. Lalu digangguin saat lagi jalan, disiulin, dipriwitin kayak pemain bola, ditanya-tanya sesuatu yang sifatnya personal as if kamu sengaja lagi mejeng untuk menarik perhatian mereka?

Gue pernah, bahkan sering sekali dalam beberapa bulan terakhir ini. Saking seringnya, gue sampai muak dan enggan keluar rumah kalau urusannya nggak penting-penting amat. Males juga harus bolak balik pakai angkutan umum, males meladeni sebagian sopirnya yang nggak tau bagaimana caranya beretika terhadap stranger yang kebetulan perempuan ini. Udah pakai masker, kerudung, ditambah jaket yang disleting hingga leher, dan tertutup sedemikian rupa nyatanya nggak bikin manusia-manusia mata keranjang ini berhenti menggoda cewek yang lewat dan muncul di hadapannya. Seperti yang gue bilang tadi, seakan-akan kehadiran kita disitu adalah 'hadiah' atas dahaga nafsunya yang belum tersalurkan. 


Dipaksa Menguasai Pertahanan Diri


Gue termasuk cukup beruntung karena memiliki wajah jutek yang bisa gue manfaatkan dalam situasi-situasi semacam ini. Tapi lama-lama lelah juga kalau harus auto jalan ngangkang kayak ibu hamil setiap jalan melewati kerumunan bapak-bapak atau anak muda seperti mereka hanya agar gue nggak terlihat feminim di depan mereka. Dan gue rasa, gue bukan satu-satunya yang mengalami mekanisme pertahanan diri seperti ini.

Tumbuh di lingkungan yang patriarkis dengan segala stereotip gendernya terhadap perempuan, mau nggak mau membuat gue terbiasa menjalani hidup dengan penuh ketakutan. Terutama bagaimana kami seakan-akan hanya dipandang sebagai makhluk "visual", makhluk pemuas nafsu, makhluk yang dianggap seperti barang karena segala lekuk tubuhnya adalah tontonan. Meskipun, ya, gue nggak sepolos itu untuk nggak menyadari ada dari kaum perempuan sendiri yang berprofesi demikian. 

Namun masalahnya, nggak semua orang demen dicat-callingin, nggak semua perempuan suka cari perhatian, nggak semua perempuan mau dideketin dan dilecehkan hanya karena dianggap menarik, nggak semua perempuan berprofesi seperti apa yang laki-laki ini pikirkan. Bahkan kalau ada orang-orang yang memang ingin terlihat menarik untuk lawan jenis, bukan berarti mereka nggak bisa dihargai. Gue rasa pelaku-pelaku pelecehan seksual dari skala kecil sampai besar ini perlu direhabilitasi dan mendapatkan pendidikan khusus tentang bagaimana seharusnya dia bersikap dan memposisikan perempuan nggak lebih dari sosok manusia yang memang faktanya punya banyak perbedaan. Dan perbedaan ini bukan untuk dimanfaatkan, tapi untuk dihormati. 

Gue sangat amat lelah dengan ini semua. Bahkan jikalau gue diberikan satu saja kesempatan—yang sangat nggak mungkin—untuk mengubah dunia, mungkin gue lebih memilih untuk menghapuskan segala perasaan dan syahwat antara laki-laki dan perempuan. Biar bisa sama-sama saling jaga tuh mata dan hati.

"Auto jadi malaikat kali!"

Ya jangan dipikirin sampe jauh juga, namanya lagi nge-rant dan berandai-andai sesuatu yang mustahil bagi manusia. Kalau dilawan sama nalar memang nggak masuk, jangan, yang ada malah makin pusing. 

Baca juga: How I See Feminist As A Muslim

Belum lagi serangkaian berita kekerasan seksual yang wara wiri belakangan di media secara nggak langsung semakin menambah kewaspadaan gue sebagai perempuan—dan pastinya teman-teman di luar sana. Gue jadi khawatir, dimana tempat yang aman bagi kami kalau predator-predator seksual seperti itu berkeliaran di sekitar kita? Dan bukan hanya predator itu sendiri, kita juga harus dihadapkan dengan berbagai konstruksi sosial dan stigma yang mengikat masyarakat. Bahkan banyak instansi pemerintah dan tokoh masyarakat, sampai-sampai segelintir tenaga kesehatan yang ikut mengiyakan stigmasisasi dan seksisme macam ini.

Nggak terhitung berapa banyak masyarakat—khususnya perempuan—di media sosial yang sering mengeluh mendapatkan perlakuan kurang nyaman ketika mereka harus memeriksakan diri ke dokter obgyn, ketika masalah yang dialami bukan soal kehamilan, melainkan cuma soal sembelit, menstruasi yang nggak teratur, dan serangkaian konsultasi lain terkait organ reproduksinya. Ditambah lagi kelakuan lucu polisi-polisi kita yang sangat sering bertindak nggak adil dalam mengurus kasus pelecehan, kasus pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lain.

Sebagai instansi yang seharusnya mengayomi dan melindungi rakyat, kebanyakan dari mereka malah ikut menghakimi korban, menutup-nutupi kasus, menyepelekan pengalaman korban seakan-akan mengusut kasus hanya akan membuang waktu mereka. Karena jawabannya apa?

"Kamu yakin? Nanti kamu sendiri lho yang menanggung malu."
"Kita nikahkan saja ya, dengan pelaku."
"Saya sih mau bantu, tapi nanti Anda siap tidak dengan segala konsekuensinya? Semisal dituduh balik dengan pasal pencemaran nama baik?" 

Lha, apa ini? Gaslighting? Bukannya bantu kuatkan dan support, kok malah nambah-nambah beban pikiran korban. Seakan-akan menikahkan korban dengan rapist adalah jawaban terbaik, seakan-akan asas kekeluargaan bisa menyelesaikan semua masalah begitu saja. Memangnya lagi main koperasi-koperasian?

Coba kita rewind sejenak berita yang selama ini mencuat, ada berapa banyak kasus-kasus pelecehan atau kekerasan seksual yang diabaikan oleh aparat, sampai harus menunggu viral dulu untuk bisa diusut? Dalam catatan gue, setidaknya ada enam kasus pelecehan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir—yang mana terus bertambah sejak terakhir kali gue cek linimasa Twitter sore tadi. Bahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pun mencatat kira-kira ada 8.800 kasus kekerasan seksual yang terjadi dari bulan Januari sampai November tahun lalu. Itu yang tercatat di laporan, belum termasuk kasus-kasus lain yang terhambat di persoalan internal keluarga, dan lain-lain.

Beberapa yang sempat ramai di media nasional, di antaranya ada kasus pemerkosaan seorang anak penyandang disabilitas rungu-wicara yang dilakukan secara beramai-ramai (gang rape) di Makassar pada awal tahun 2021, kasus pelecehan seksual di lingkungan kerja pemprov DKI Jakarta yang dilakukan oleh mantan Kepala Badan Pelayanan Pengadaan Barang dan Jasa (BPPBJ), kasus kekerasan seksual 14 anak remaja yang dilakukan oleh pemilik sebuah sekolah, hingga serangkaian kasus pelecehan seksual di perguruan tinggi yang sempat ramai beberapa bulan lalu. 

Baca juga: Kenapa Kita Misoginis?

Let's Break the Bias


Pandangan seksis yang menganggap satu gender lebih superior daripada gender lainnya juga menimbulkan berbagai polemik lain seperti bias gender yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Misalnya, perempuan dianggap nggak terlalu penting untuk bersekolah tinggi-tinggi, karena toh nantinya akan berurusan di dapur, mengelola rumah tangga, dan sebagainya—yang secara nggak langsung juga merendahkan pekerjaan ibu rumah tangga (internalized misogyny). Selain itu, perempuan nggak boleh menjadi pemimpin dalam sebuah organisasi jika masih ada anggota laki-laki di dalamnya, nggak peduli sekompeten apa perempuan ini.

Berbagai batasan-batasan yang stereotypical ini pada akhirnya hanya akan mematikan mimpi-mimpi ribuan anak perempuan yang ingin memiliki kehidupan lebih layak dengan meng-upgrade diri mereka sendiri. Sadar nggak, sih? Lingkungan masyarakat kita sudah sering mengingatkan agar anak-anak dan pemuda pemudinya bisa memiliki taraf kehidupan yang lebih baik, bisa sukses dan menjadi orang yang berguna, tapi sekali saja anak mereka melangkahkan kaki untuk mendobrak stigma-stigma, mereka juga yang menghentikan langkahnya. Langkah-langkah kecil yang berharap bisa sampai di suatu perubahan.

Oleh karena itu, International Women's Day yang diperingati pada tanggal 8 Maret lalu mengusung tema #BreakTheBias, seolah menjadi penggerak sekaligus pengingat bagi siapapun bahwa berbagai bias gender yang dilanggengkan terhadap kaum perempuan selama ini sebetulnya telah memberi pengaruh yang begitu besar tentang bagaimana pandangan-pandangan masyarakat selama ini terbentuk. 

We want to remind everyone that it's not about wanting to be the first or to be the most powerful  over men, but simply wanting the justice we deserve, not just as women, but as human beings—in the name of humanity. Setara bukan berarti melawan kodrat dan memaksa untuk sama, despite segala perbedaan biologis yang dimiliki laki-laki dan perempuan. In my humble opinion, setara berarti seimbang. Nggak ada lagi bias, nggak ada lagi superioritas tanpa batas, nggak ada lagi interseksionalitas terhadap perempuan, nggak ada lagi sistem patriarkis yang menempatkan perempuan sebagai sosok manusia yang nggak punya pilihan, nggak ada lagi kesenjangan dan ketidakadilan sosial terhadap perempuan (atau bahkan kelompok marjinal) di tempat kerja, dan nggak ada lagi pandangan seksis terhadap siapapun. 

To those who think sexism is normal and should be considered as something understandable, basi lo! Let's break the bias, as much as we want changes.



References:

HitsSuara.com: Nakes Dianggap Judgmental ke Pasien KB
CNN Indonesia: Marak Kekerasan Seksual Sepanjang 2021
Share
Tweet
Pin
Share
11 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Terlalu Besar Untuk Gagal
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Just Listen
  • Bukan Salah Indonesia

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • The Phantom of the Opera: Di Balik Danau
  • Cuma Cerita
  • Priority Chat
  • Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Cuma Cerita #2
  • Kiamat Sudah Dekat
  • Spoonerism, Alasan di Balik Keselip Lidah
  • Bad For Good
  • 36 Questions Movie Tag

Blog Archive

  • ►  2023 (1)
    • ►  Februari 2023 (1)
  • ▼  2022 (9)
    • ▼  November 2022 (1)
      • Lika Liku Jadi Career Shifter dan Tips Memulainya
    • ►  Oktober 2022 (2)
      • Bootcamp UI/UX Design Harisenin.com, Langkah Awal ...
      • Series Review: The Billion Dollar Code, Pelanggara...
    • ►  Juni 2022 (1)
      • Spoonerism, Alasan di Balik Keselip Lidah
    • ►  Mei 2022 (1)
      • Tips Membuat Konten yang Kreatif: Berawal Dari Keg...
    • ►  Maret 2022 (2)
      • Body Positivity Bukan Validasi
      • Seksisme: Basi Lo!
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (31)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

digital marketing Intermeso karir Krisis 1/4 Abad lifestyle Opini Perempuan Podcast Poetry Review slice of life Thoughts

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.