Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram twitter LinkedIn YouTube Spotify Email

Notes of Little Sister





Beberapa orang mikir kalau demo mahasiswa itu gak ada gunanya. Instead of berkoar-koar nyapein diri sendiri panas-panasan di depan gedung pemerintah atau rektorat atau apapun itu, mereka lebih sering ngasih saran atau lebih tepatnya berkomentar buat nyerah. "Udahlah, hidup itu penuh perjuangan. Ngapain kita capek2 turun ke jalan cuma buat perjuangin org2 yg bisa jadi nantinya kacang lupa kulit."
Ada juga yang bilang, "sistem itu gak bisa kita ubah. Mau sejahtera ya kerja keras!" Intinya setiap yang mereka katakan adalah lo harus kerja keras! Kerja keras! Berjuang! Kalau mau sukses, mau negara kita maju, mau masuk perguruan tinggi tanpa bayar uang pangkal yang nominalnya puluhan juta, lo harus berjuang!

Gue memang bukan orang yang suka turun ke jalan, ikut demo, menyuarakan pikiran rakyat atau meneriakan keluhan dari teman-teman gue yang membutuhkan keadilan (in this case, masalah demo yang biasa terjadi di PTN/PTS, dan masalah ini yg akan jadi poin utamanya). Gue juga bukan orang yang tau seluk beluk tentang sistem yang ada di pemerintahan, atau kalau gue kerucutkan, gue sama sekali gak mengerti hal-hal yang sebenernya terjadi di balik biaya masuk yang mahal di perguruan tinggi. Padahal at least lo masih kuliah di Indonesia, bukan ke negara lain. Terus pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana uang mahasiwa itu dialokasikan, atau tentang transparansi pembayaran UKT, serta bagaimana bantuan-bantuan yang ada untuk pendidikan itu dimanfaatkan. Gue sangat buta akan hal itu, karena yang gue lakukan adalah hal-hal sewajarnya yang biasa dilakuin mahasiswa. Belajar, berorganisasi, nambah-nambah penghasilan dengan manfaatin keahlian, atau hal-hal lain. Tapi bukan berarti gue membenarkan apa yang mereka katakan tentang kesia-siaan melakukan demo, karena gue sadar betul siapa gue dan posisi gue sekarang.

Gue termasuk salah satu dari sekian banyak orang yang mereka perjuangin buat bisa masuk ke perguruan tinggi (of course gue lolos seleksi masuk, tp pas masuk kudu bayar lg). Gue bisa kuliah itu karena dibantu oleh mereka-mereka yang demo di gedung rektorat, buat menuntut hak pendidikan anak-anak bangsa yang punya tekad buat kuliah tapi terkendala biaya. Kenapa nama gue akhirnya bisa ada di PTN yang gue pilih adalah berkat orang-orang ini, mereka yg jadi perantara Allah buat ngebantu orang-orang yang sebenernya sedang berjuang. Jadi kalau ada yg mikir bahwa orang-orang yang sedang diperjuangin lewat demo itu sesungguhnya gak berjuang, mereka salah. Anak-anak muda yang gabisa bayar kuliah atau uang pangkal itu justru sedang berjuang, dan orang-orang yg demo inilah yang mau membersamai perjuangan mereka. Supaya mereka bisa kuliah, bisa belajar, bisa jadi orang yang cerdas, hebat, dan bisa berkontribusi buat negara, entah dengan hal apa nantinya.

Gue gak bohong bahwa seringkali suara mahasiswa emang sangat berperan dalam mengatasi masalah yang ada, terutama sebagai penyambung pikiran rakyat, buktinya kan mahasiswa yang bergerak di era awal reformasi. Tapi, semakin kesini justru peran kita rasanya semakin disepelein. Apa karena sering turun ke jalan? Panas-panasan terus jadi keliatan kumal, item, dekil, sampe-sampe orang lain yang merasa pinter itu tutup mata dan telinga. Padahal gak semata-mata tanpa tujuan orang-orang gak kenal lelah ini bersuara.

Yah, kadang sebetulnya penguasa-penguasa emang harus ditegur supaya sadar, kalau mereka kebanyakan ngepulin asep rokok daripada kerja. Kadang mereka harus didemo, supaya sadar bahwa masih banyak pemuda-pemudi bangsa yang peduli, cerdas, dan gak rela dibodoh-bodohin. Oke lanjut!

Jadi gini, (setelah tadi dibuka dengan kata-kata yang sedikit esmosi) dalam sebuah kelompok mahasiswa pasti ada yang namanya pro dan kontra. Gue mencoba menjelaskan bahwa kelompok yang kontra dengan segala aturan atau kebijakan pemerintah itu adalah mereka yang rela demo di tengah terik matahari, hanya agar mendapat perhatian dan juga jawaban dari kaum birokrat. Sementara anggota yang pro itu adalah golongan mahasiswa yang masa bodo, yang 'yaudah semuanya seterah aja', yang mikir 'ngapain sih demo-demo gak jelas? toh mereka yang punya jabatan pasti lebih tau', sampe akhirnya mikir kyk yg gue bilang tadi, 'sistem itu gabisa diubah. Jadi let it flow aja.' Mahasiswa kayak gini biasanya disebut mahasiswa apatis. Yeah. Apatis yang bener-bener apatis level kakap.

Kalau boleh jujur, gue berusaha untuk netral karena gue sendiri pun punya pemikiran bahwa berjuang dengan diri sendiri untuk bisa punya tempat yang layak di bangsa sendiri itu lebih baik daripada demo. Tapi jelas, tidak lantas gue membenarkan pemikiran mereka, si kelompok pro soal sistem yang gak bisa diubah, karena gue sama sekali gak lupa dengan orang-orang yang pernah berjuang untuk gue, padahal mereka gak kenal siapa gue, dan pemikiran itu bukan sebuah arti dari kacang lupa kulit. Justru saking kasian dan mirisnya gue ngeliat temen-temen, juga kating-kating di luar sana yang menyuarakan hak mereka sebagai mahasiswa buat turun ke jalan, tapi apa yang mereka lakukan itu seringkali dianggap remeh oleh orang lain. 'Orang-orang' ini yang sering berkomentar tadi. 'Orang-orang' ini yang mikir sistem gak bisa diubah. 'Orang-orang' ini yang sok-sokan nyuruh orang lain berjuang, padahal mereka gak tau barang sedikitpun yang sebenarnya terjadi.

Gue berpikiran seperti itu karena gue merasa muak dengan orang-orang ini. Apalagi sama birokrat-birokrat yang ngeremehin suara mahasiswa. Gue berpikiran seperti itu karena gue pikir salah satu cara supaya kita gak diinjak-injak adalah masuk ke ruang lingkup yang tinggi, dan mengubah sistem yang ada. Entah kenapa mungkin terdengar mustahil dan membara, tapi emang itu salah satu cara supaya lo gak dipandang sebelah mata lagi, dan supaya lo bisa menghentikan kebrutalan yang ada di birokrasi manapun.

So, singkatnya adalah, sistem itu bisa kita ubah, kalau kita punya sesuatu yang bikin mereka menatap ke bawah dan mengakui keberadaan kita, anak-anak bangsa yang gak cuma bisa teriak-teriak di jalan. Layaknya pendidikan kita yang tertinggal 128 tahun dari negara-negara maju, pasti ada sesuatu yang bisa diubah. Maka kalau ada yang berpikir kita gak bisa mengubah sistem yang ada, artinya mereka gak mau maju dong? Artinya mereka mau-mau aja jadi generasi yang stuck di tempat, doing nothing, cuma bisa pidato cuap-cuap dan menganggap kebobrokan dan ketertinggalan yang ada sebagai warisan yang mesti dipertahankan. Kalau banyak orang-orang yang pemikirannya kayak gitu, gue khawatir kita emang gak bisa maju. Gue khawatir kualitas pendidikan kita bahkan bisa lebih dari 128 tahun tertinggal dari negara lain. Gue khawatir pendidikan kita justru semakin merosot, dari yang tadinya urutan ke 62 dari 70 negara, jadi di posisi paling akhir. Dan gue khawatir, 'orang-orang' macem gini yang nantinya mimpin negara.

Omong-omong soal pendidikan, again, apakah kita gak malu dengan angka yang gak sedikit itu? Ketinggalan 128 tahun lho. Masih adem ayem aja bersifat apatis?

Semua orang memang punya hak untuk tidak melakukan apapun, atau bersikap apatis layaknya dia/mereka/siapapun benar-benar bisa hidup mandiri tanpa peduli lingkungan sekitar. Tapi please, Indonesia itu milik kita semua. Tanah air kita. Kalaupun mau jadi orang yang masa bodo, setidaknya jadilah orang yang mau berkarya. Jangan mentang-mentang hidup di negara yang subur, terus jadi keenakan, entar lama-lama diambil orang baru tau rasa kan.

Apa karena orang Indonesia seneng ngelanjutin tradisi? Saking cintanya sama leluhur-leluhur yang udh bangun negara lebih dulu, kita jadi takut buat berbenah. Tradisi emg harus dilestarikan, tapi sebagai generasi 45 harusnya lebih tau tradisi apa aja yang mesti kita lestarikan. Katanya agen perubahan?
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Terlalu Besar Untuk Gagal
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Just Listen
  • Bukan Salah Indonesia

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • The Phantom of the Opera: Di Balik Danau
  • Priority Chat
  • Cuma Cerita
  • Cuma Cerita #2
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
  • Kiamat Sudah Dekat
  • Matre: Realistis atau Materialistis?
  • Spoonerism, Alasan di Balik Keselip Lidah
  • Refleksi Dua Dekade

Blog Archive

  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (31)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ▼  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ▼  Agustus 2018 (1)
      • Katanya Agen Perubahan?
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

digital marketing Intermeso karir Krisis 1/4 Abad lifestyle Opini Perempuan Podcast Poetry Review slice of life Thoughts

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.