Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram twitter LinkedIn YouTube Spotify Email

Notes of Little Sister




Seputar pengalaman tentang bullying

Before 2019 really end, i wanna tell you something and this might be the briefest story i have ever written.

Ada alasan kenapa gue nggak senang bergaul dengan orang, pilih-pilih teman dan cenderung mengucilkan diri. Gue selalu punya pengalaman nggak mengenakan dari sejak SD dalam pertemanan. Entah itu diledek, diejek, dikatain manja lah, belo lah, etc. But it has nothing to do with me now. Ada alasan lain dibalik semua itu. Dibalik antipati gue terhadap manusia lainnya. Lebih tepatnya terhadap orang-orang yang nggak bisa menghargai manusia lainnya.

Gue pake kacamata sekitar kelas satu SMA. But it's not because i have eye problems like minuses or cylinders. No. I was tried to covering my eye-bags that's so "baggy" and "dark" that time—seperti yang mungkin temen real life gue tahu. Gue sangat nggak nyaman dengan ini. Sangat.

Pada awalnya gue nggak pernah mempersalahkan itu. Gue sama sekali gak pernah berusaha melihat kekurangan diri gue cause i think i'm normal just like my friends out there. Gue sama dengan mereka. But apparently some of them saw me another way.

Sebelum kenal skincare dan make-up, so pasti gue ke sekolah cuma pake bedak bayi. Setiap kali gue dateng ke sekolah, instead of say hello or ask me how was my holiday, or have you done your homework, etc, my friends chose to asked 'am i sick?' or 'did i stay up last night?' karena gue terlihat sangat pucat. Saat itu kira-kira SMP kelas satu, dan seharusnya, gue ketemu dengan teman-teman baru yang 90% gak pernah ditemuin di SD. Emang sih, dulu gue dikenal sebagai anak yang penyakitan karena saat kelas 1—2 SD dulu gue sering banget gak masuk gara-gara sakit, bahkan pernah sampe diopname berminggu-minggu karena tifus. Maka itu gak aneh kalau gue dikatain penyakitan dan setiap pelajaran olahraga gak boleh ngelakuin olahraga berat. Tapi yang bikin gue bingung saat itu adalah, kenapa teman-teman baru gue di SMP harus menanyakan hal yang sama? Mereka tau darimana gue penyakitan? Lagian itu kan dulu sering sakitnya, pikir gue. Apakah gue terlihat penyakitan?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus terlintas dalam kepala gue meski akhirnya hilang dengan sendirinya karena gue nggak mau memikirkan hal yang gak penting, toh gue tetep main sama mereka. Tapi agaknya gue memang harus disadarkan saat itu tentang bagaimana orang lain melihat gue, dan semua itu berawal ketika ada anak laki-laki yang ngatain gue zombie. Iya. Zombie, sosok mayat hidup yang berbagi virus dengan manusia normal dengan makan daging mereka, dan kalau di film-film barat biasanya digambarkan dengan jalan sempoyongan sambil tangan ke depan kayak vampire China. Bersama teman-temannya, mereka mengolok-olok gue dari bangku bagian belakang, laughing at me because at that time they thought i'm zombie, karena gue kelihatan penyakitan dan pucat. Seperti biasa, gue nggak mau cari ribut sama mereka, jadi yang gue lakukan hanyalah melotot dan muterin mata—etdah gimana tuh bahasa. Mendelik lah ya. Untungnya pelototan gue cukup ampuh untuk nggak bikin mereka mengulang hal yang sama kepada gue di kemudian hari. Tapi sejak hari itu, ucapan mereka terus terngiang-ngiang di kepala gue. Kenapa? Kenapa mereka ngatain gue zombie? Apa karena gue penyakitan? Apa karena gue pucat? Karena gue gak bisa menemukan alasan lain selain dua itu.

Sepulang sekolah, gue pun menatap cermin. Meniti wajah gue sepersekian detik. I'm beautiful. Gue manis kok—iya gue sePD itu kalau lagi ngaca. But then i've finally found something. Ada semacam kantung mata yang gelap di area bawah mata gue. Entah sejak kapan dark circle ini muncul, mungkin memang gen dari kecil, i don't know. Foto-foto gue kecil kebanyakan dari jarak jauh, jadi gue nggak bisa menemukan detail wajah gue sampai ke mata-matanya.

Sejak saat itu gue pun tau, kenapa anak laki-laki itu ngatain gue zombie. Dan sejak saat itu, gue seperti nggak bersyukur dengan kesempurnaan yang Tuhan kasih. Gue jadi sering ngeluh, "coba mata gue cantik kayak orang lain, pasti banyak temen😟", "kenapa sih mata gue harus gini". Berkali-kali gue googling 'how to reduce dark circle' dan gimana cara ngilanginnya, serta alasan kenapa seseorang bisa memiliki dark circle. Ada banyak artikel yang mungkin gue lahap tentang itu selama bertahun-tahun. 

Gue insecure. Gue nggak PD ikut ekskul ini itu. Bahkan ikut ekskul PMR aja setelah pelantikan malah keluar. Gue nggak nyaman ketika ada orang yang berusaha menelisik wajah gue—dan itu jelas banget—bukan karena gue menarik, atau cantik di mata mereka, tapi karena gue mungkin terlihat 'berbeda'.

Untungnya perasaan itu agak mereda ketika gue kelas 2 SMP, karena gue mulai mau untuk berusaha deket sama orang, termasuk temen cowok—and you know where does the story continue. Tapi ternyata orang-orang yang 'sok' gak hilang juga dari muka bumi. Menjadi anak yang terlihat culun mungkin memang sasaran empuk geng-geng sok iye. Beralih dari problem soal mata, gue pernah diejek, diketawain gara-gara salah beli barang yang mereka suruh gue buat beli ke koperasi. Iya, mereka nyuruh gue beli minuman ke koperasi siswa. Sebagai anak yang baik—atau bego—gue iya-iya aja nurut apa kata mereka. Kebetulan suasana di kelas waktu itu emang lagi rame banget, makanya gue gak begitu dengar apa yang mereka pinta, sampai akhirnya pas gue bawain minuman yang salah, gue diketawain habis-habisan satu kelas. Gue ikut ketawa, tapi hati gue sakit. Gue cuma bisa ngedumel dalam hati. "Belagu lu!" "Hm, gini ya rasanya jadi anak cupu."

Masalah ini nggak pernah gue ceritakan ke siapapun. Even keluarga gue. Karena gue pikir ini cukup sepele pada awalnya. Tapi dengan seringnya orang-orang bertanya perihal keadaan mata gue, gue semakin menganggap bahwa ini nggak sepele. Ini bisa mengganggu psikis gue. Pertanyaan-pertanyaan gak bermutu kalian bisa mempengaruhi hidup gue and how i deal with it.

Kembali ke soal kenapa gue memakai kacamata. Dari kelas tiga SMP, gue udah coba-coba beli kacamata dan sesekali gue pakai ke sekolah untuk membuat gue terbiasa. Of course, kacamata biasa. Tapi kegiatan itu nggak rutin gue lakuin, karena gue pikir biarlah semua itu gue akhiri di masa SMP. Gue pingin buka lembaran baru. Gue pingin memberi kesan baik ketika bertemu dengan teman-teman baru gue nanti di SMA.

So, apakah itu berhasil? Gue nggak bisa bilang iya. Tapi setidaknya masa SMA gue lebih baik daripada masa SMP. Gue cukup aktif di organisasi dan ekskul, gue punya banyak temen dari setiap kelas, dan gue berhasil bikin mereka 'mau' melihat gue karena kagum—maybe🙄, bukan karena apa yang terlihat di wajah gue.

Jadi, apa sekarang gue masih pura-pura minus buat pake kacamata? Nggak. Mata gue beneran minus sekarang. Blur. Dari sejak kelas dua SMA, setahun setelah gue pake kacamata bohongan, tapi saat itu emang gak parah. Gue bercerita seperti ini bukan karena gue pingin seeking attention or something ya, no. Gue pingin orang-orang yang baca ini dan orang-orang lain di luar sana supaya sadar, bahwa komentar-komentar terhadap penampilan seseorang yang nggak memiliki kesan baik ternyata  bisa mempengaruhi hidup mereka, dan tentu saja ini semua nggak bisa dianggap remeh.

Sekarang gue udah berdamai dengan masa itu. Gue udah bisa menerima diri gue apa adanya, termasuk kondisi mata gue. Dan gue lebih gak peduli sekarang setiap ada orang yang berusaha untuk memberi komentar terhadap mata gue. Kadang kalau orang-orang di deket gue ngomongin soal kecantikan dan mata, gue langsung menghindari pembicaraan itu atau nggak pura-pura melakukan kegiatan lain. Bukan karena gue masih insecure, tapi karena gue nggak mau hati kecil gue ngedenger hal-hal yang menjadi strugglenya selama ini. Gue butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa seperti sekarang, dan gue nggak bisa membiarkan hal itu mengusik diri gue lagi. Gue nggak mau bilang keadaan mereka-mereka yang "ngebully" gue sekarang gimana, tapi gue yakin lo semua udah bisa paham apa yang dinamakan karma.

Pesan yang ingin gue sampaikan adalah, gak semua hal bisa dikomentari. Gak semua hal butuh untuk dikoreksi. Kadang apa yang kita pikir becanda, bisa jadi nggak sebecanda itu dalam hidup seseorang. If you want to be something bad in someone's memory, then be it. Tapi nyatanya nggak ada, kan, yang mau menyisakan kenangan buruk dalam hidup orang lain—seharusnya. Apa yang gue alami mungkin memang nggak setara dengan apa yang dialami korban-korban bullying di luar sana, tapi ini membekas cukup dalam di ingatan gue. For years.

Akhir kata, gue harap semoga kita-kita ini bisa lebih sadar akan pentingnya menjaga perkataan. Terkhusus untuk orang-orang yang senang memberi penilaian berdasarkan penampilan semata. Kita ini hidup untuk menikmati hidup. Dan menikmati apa yang ada dalam hidup itu sudah terlalu sulit. Tolong jangan dibuat sulit dengan berucap yang nggak baik. Kalau nggak bisa menanyakan dan memberi komentar baik, alangkah indahnya kalau mulut kita cukup diam, bersihkan hati dari segala komentar julid dan kepo yang sama sekali nggak ada untungnya.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
How i see feminist as a muslim


Berawal dari kemunculan gerakan feminis yang menyuarakan aspirasinya untuk mendukung hak perempuan, kemudian merembet ke isu-isu seputar kasus pelecehan yang ternyata semakin meningkat setiap tahunnya. Masyarakat kita seakan baru sadar bahwa masalah perempuan ternyata nggak sesepele kelihatannya. Stereotip gender, KDRT, kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual fisik dan non-fisik adalah beberapa dari segelintir kasus yang sering menghantui kaum perempuan. Kasus yang sering dianggap "apaan sih" sama sebagian orang di luar sana, karena manusia-manusia yang hobi bercanda. Yeah. Tapi bukan tentang kasus-kasus itu yang mau gue bahas disini,  karena seperti yang kalian sudah tahu, hampir  di setiap negara di belahan dunia manapun, perempuan selalu menjadi sosok yang tertindas, dianggap lemah, dan nggak bisa apa-apa.

Jujur, pertama kali denger di Indonesia mulai aktif ada gerakan ini, gue sangat menyambut dengan senang hati, karena menurut gue belakangan ini emansipasi di negara kita mulai kembali dipertanyakan. Meski keadaan perempuan jaman sekarang gak sesulit dan semengekang dulu, kenyatannya di luar sana masih ada aja orang yang terbelenggu sistem patriarki dan bahkan sengaja memanfaatkannya untuk menyudutkan kaum perempuan. Akun-akun anti feminis, contohnya, yang selama ini menurut gue terkesan selalu mencari kesalahan dari poin-poin yang diperjuangkan feminis, dan bahkan mengaitkan semuanya dengan agama, bahwa feminis tidak sejalan dengan napas Islam dan Islam nggak butuh feminis karena ia sudah sangat sempurna dalam memuliakan kaum perempuan. I see.

Yep, Islam memang sudah sempurna mengajarkan kita betapa istimewanya kaum perempuan, karena itu laki-laki memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan dan menafkahi perempuan/istrinya. Oleh karena itu pula, saking sempurnanya Islam menjelaskan dan mengatur posisi laki-laki dan perempuan lengkap beserta teknisnya, seharusnya sudah jelas bahwa Islam juga fleksibel di setiap zaman. Sebelum ada feminis, Islam sudah lebih dulu progresif mengatur keadilan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan kodratnya, dan menjunjung tinggi keadilan untuk semua umat, siapapun dan bagaimanapun mereka. Sebagai muslim, gue tentu mengikuti apa yang agama gue ajarkan. Tapi sebagai warga negara Indonesia, gue juga mendukung feminis.

"lah, berarti lo liberal dong? kurang baca, labil, jangan2 pro-LGBT!"


Friends, let me tell you. Kita ini tinggal di negara yang beragama dan sekaligus berpancasila. Ada lima agama yang diakui secara legal oleh negara. It means everyone comes with different culture and backgrounds of point of view about women, equality, and feminism itself. Sebagai warga negara, menurut gue pemikiran itu sah-sah aja untuk diaplikasikan mengingat gak semua orang mengerti dan paham akan agama Islam. Siapa tau juga kan agama lain menjelaskan kemuliaan perempuan di dalamnya? Oleh karena ketidaktahuan itu, salah satu cara agar kita bisa satu suara dan bersama-sama menuntut keadilan atas hak-hak yang direnggut in terms of humanity, adalah dengan mendukung gerakan ini. Bukankah semua agama mengajarkan akan pentingnya kemanusiaan?

Seperti tulisan yang gue kutip dari tirto.id, menurut penulis Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan (2005), kelompok penentang feminisme tak menangkap bahwa sebenarnya Islam sudah siap untuk memperkenalkan esensi kemanusiaan seperti yang dilakukan oleh para feminis.

Gue tau para ekstrimis di luar sana banyak yang memberi judgment dan seakan sudah anti-pati duluan bahwa feminisme itu erat kaitannya dengan melegalkan LGBT, melegalkan zina dan aborsi, kemudian menutup mata begitu aja. Mungkin kalian benar, di negara-negara Eropa sana fungsi dan paham feminisme menjadi sebesar itu—karena aliran feminisme sendiri terbagi ke dalam beberapa jenis, tapi selama yang gue tahu, ketika kita menyebut diri kita sebagai feminis, it doesn't mean we supported every single thing of what really feminism is.

Cause basicly, you decide what feminism is for you.


Sampai  saat ini dan seterusnya, gue termasuk orang yang percaya bahwa feminis nggak selalu berarti mendukung LGBTQ, melegalkan zina dan menyetujui prostitusi akibat tulisan "my body is mine". Siapapun bisa mengartikan sendiri apa itu gender buat mereka, apa itu definisi "my body is mine" bagi mereka. Toh bagi gue, gender ya cuma dua, laki-laki dan perempuan. Walaupun begitu, gak lantas gue mendiskriminasi mereka yang jalan hidupnya itu berbeda dari kebanyakan orang, gak lantas gue menjadi homophobic dan menghardik mereka, apalagi sampe membakar hidup-hidup transpuan seperti yang terjadi di Jakarta beberapa waktu lalu—Astaghfirullah. Jangankan soal itu, bahkan di dalam feminisme sendiri sebenarnya gak ada lho misi-misi berujar kebencian terhadap laki-laki, karena menjunjung kesetaraan bukan berarti melemahkan gender yang lainnya. Perihal kemanusiaan, gak ada kata diskriminasi, semua manusia berhak untuk hidup dan memperoleh keadilan. Who are we to judge? Sebagai muslim, kita pasti paham betul ada zat yang Maha yang punya kewenangan menghakimi dan menghukum hamba-Nya.  We can disagree their point of views but it doesn't mean we can't respect them to be what they want to be. Equality doesn't only live on gender issues but on all aspects that fight for the right of all people's lives. 

Di samping itu, soal "my body is mine", tubuh kita dan semua hal di dunia ini pun memang benar milik Tuhan, yang ada dalam kontrol kita. Gak salah kalau ada hashtag yang menyuarakan soal #tubuhkuotoritasku, karena pada kenyataannya memang tubuh kita ada dalam tanggungjawab kita dan gak bisa semena mena diatur orang lain. Adanya kalimat seperti itu pun karena dipicu oleh perlindungan terhadap perempuan yang selama ini dianggap sepele, terbukti dengan banyaknya kasus pelecehan, pemerkosaan, dan kejahatan seksual lainnya.  Oleh karena itu pula, nggak ada yang namanya tubuh kita milik seseorang, milik germo, milik suami, atau apapun itu. Pun jika semuanya milik Allah,  justru kita berkewajiban untuk menjaga diri kita, melindungi tubuh kita sebaik-baiknya, bukan untuk dianggap mainan dan dijadikan ajang pemuas nafsu kaum lelaki. Namun dalam konteks yang lebih luas ini, narasi #tubuhkumilikAllah yang digaungkan @Indonesiatanpafeminis dirasa kurang tepat karena gerakan ini bukan hanya berlaku dalam lingkup Islam, tapi seluruh aspek, menyangkut kemanusiaan. Kita tinggal dalam keberagaman, bukan?

Eits, tapi tunggu, gue gak sedang ngedismiss fakta bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan sangat memuliakan kaum perempuan hanya untuk berusaha sejalan dengan feminisme, apalagi mendesakralisasi nilai Islam. Dalam beberapa aspek, gue tidak menolak bahwa laki-laki posisinya di atas perempuan karena dialah yang memegang penuh tanggung jawab, terkhusus dalam kehidupan berumah tangga. Gue juga yakin kenapa dalam Islam sendiri "seakan" menanamkan budaya patriarkial, karena tujuannya adalah untuk membedakan bahwa bagaimanapun laki-laki dan perempuan secara kodrat berbeda, dan harus dibatasi supaya nggak melampaui kodratnya. Itupun sebenarnya bukan patriarki, karena patriarki sendiri berarti suatu kondisi dimana lelaki memegang kekuasaan penuh di atas perempuan dengan tidak memberi suatu kebebasan apapun, mengekang, mendiskriminasi, dan bisa jadi mengintimidasi.

Can you get my point there?


Menjadi seorang muslim dan warga negara yang baik nggak mesti selalu kaku. Apalagi Islam sendiri agama yang sudah sangat-sangat sesuai di masa apapun kita hidup, jelas karena itu datangnya dari Allah dan menjadi tuntunan hidup di dunia. 

Gue yakin kita semua sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk, serta mana yang bisa diterima dan tidak. Kemudian menyeimbangkan antara keduanya—maksudnya adalah, ketika lo menemukan ada sesuatu yang salah, gak ada yang menyuruh lo untuk menelan paham itu bulat-bulat, kan?

Tentu, gue pun masih harus belajar banyak tentang ini, tapi bicara soal kemanusiaan IMHO seharusnya kita gak perlu membutuhkan teori yang serasional mungkin hanya untuk berperilaku baik terhadap sesama. Bukankah katanya poin penting dari gerakan feminisme adalah memperjuangkan hak-hak perempuan yang tertindas dalam ruang lingkup sosial, politik, masyarakat, dan pendidikan?

Toh, ketika ada sisi positif yang bisa kita ambil dari feminis untuk kemaslahatan bersama, kenapa nggak? Ketika keduanya bisa berjalan bersamaan, kenapa nggak? Selama kita nggak lupa akan apa yang agama kita ajarkan, dan selama kita nggak terbawa arus feminisme yang radikal, liberal dan ekstrim, kenapa nggak, kan? Bisa jadi, paham itupun datangnya dari Allah supaya kita bisa belajar lebih banyak tentang agama-Nya dan lebih bijak dalam melihat dua sisi. Bahwa inti dari semuanya adalah menginginkan kesejahteraan bagi sesama umat manusia.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
I'm not like the other girls


Entah kenapa pikiran gue malam ini random sekali. Something about misogynist has just popped up into my head for no reason—since it's become a real thing now. Bagi yang masih kurang familiar dengan kata ini, secara umum misogini didefinisikan sebagai kebencian atau rasa tidak suka terhadap perempuan, dan dapat diwujudkan dalam berbagai cara; diskriminasi seksual, fitnah perempuan, kekerasan terhadap perempuan, dan objektifikasi seksual. Sederhananya, misogini ini semacam tindakan menyepelekan dan merendahkan kaum perempuan, seperti yang kalian sering dengar bersamaan dengan budaya patriarki.

Mungkin kita lebih sering dengar kasus-kasus diskriminatif terhadap perempuan dan tindakan-tindakan mengobjektifikasi lainnya yang dilakukan oleh laki-laki. Tapi tahukah kita? Bahwa misoginis itu gak selamanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Gue, kita, khususnya perempuan, justru berkemungkinan besar untuk melakukan hal yang sama terhadap sesama perempuan. Ini yang dinamakan misoginis terinternalisasi, atau bahasa kerennya internalized misogyny.

According to Cultural Bridges to Justice, internalized misogyny or sexism is defined as the involuntary belief by girls and women that the lies, stereotypes and myths about girls and women that are delivered to everyone in a sexist society ARE TRUE.

Seseorang dianggap mengidap internalized misogyny ketika dia secara nggak sadar sudah membenarkan stereotip, mitos dan kebohongan yang berkembang di society bahwa perempuan itu inferior, lemah, nggak bisa apa-apa, pantas diobjektifikasi, sudah kodratnya buat ngelayanin cowok, being the one to be blamed when she is literally a victim, terus berakhir di dapur—mau setinggi apapun pendidikannya, dan maaasih banyak lagi.

Apa kalian salah satu di antaranya?

Kalau iya, lebih baik refleksi diri, deh. Ingat-ingat lagi, coba sadari, apa kita sering merasa spesial dengan menjadi berbeda dari yang lain? But wait, we're not gonna end this topic here. There are sooo many interesting things to talk about. Tapi sebelum itu, here are some memes that you might have seen on social media:

i'm not like the other girls





That's quite ironic, isn't it?

Gue jadi teringat dulu sering banget self-proclaimed bahwa gue berbeda, gue nggak sama dengan orang-orang, hanya karena gue nggak suka warna pink seperti halnya kebanyakan perempuan. Gue memandang perempuan lain sebagai inferior sebab gue lebih bangga menjadi tomboy, karena itu artinya gue nggak sama dengan cewek-cewek stereotipikal yang hobinya dandan dan belanja. Gue juga cenderung julid saat ngeliat cewek lain yang gampang nangis hanya karena masalah sepele, hanya karena luka kecil. Gue merasa kuat  sebagai cewek hanya karena gue gak pernah pingsan dan terkapar di UKS. Terkadang gue prefer temenan sama cowok karena ngumpul bareng ciwi-ciwi somehow rempong dan banyaknya ngeghibahin orang (walaupun kadang cowok ghibahnya bisa lebih parah sih kyknya). Gue suka lebih percaya diri dengan make-up natural karena kalau make-up nya tebel-tebel, gue akan dicap centil dan dianggap "attention seeker". Gue merasa superior to other women karena gue nggak suka nontonin yucub yang isinya beauty vlogger dan beauty enthusiast,  walaupun pada akhirnya gue menikmati juga kok beberapa channel kecantikan. Dan serangkaian narasi "i'm not like other girls" lainnya.

Pada saat yang sama, ketika gue mulai suka beli skincare, suka beli barang-barang which i think it's too girly to buy or to wear before, gue jadi merendahkan diri sendiri. Gue malah mempertanyakan diri sendiri, "do u really wanna buy this women's product?". When actually i, myself, is naturally a woman. 

What's so damn wrong with being an average woman, tho? Why am i worrying those stereotypes too much? Gue pun seakan perlahan menjauh dari "menjadi perempuan" yang gue mau, padahal nggak ada yang melarang dan mendoktrin gue untuk secara konstan melakukan itu. Semua itu akibat internal misoginis gue yang nggak mau disamakan dengan perempuan manapun.

Pandangan seksis macem gini udah lama banget bertengger dalam diri gue, tanpa gue sadari, dan mungkin begitu juga kalian. Gue bisa aja bilang kalau cowok tuh nggak boleh begini begitu sama perempuan, nggak boleh mengobjektifikasi sesuka hati dengan ngomongin hal-hal yang berbau seksual, tapi gue lupa bahwa gue juga terkadang belittling mereka yang secara teknis ada dalam komunitas yang sama dengan gue. As a woman.

Maka dari itu, gue pun mencari tahu apa sih yang bikin kita-kita ini dengan mudahnya membenci dan merendahkan perempuan? Either laki-laki atau sesama perempuan sekalipun. Beberapa artikel bilang bahwa, dalam buku seorang pakar psikologi dari Universitas Cornell, yaitu Professor Kate Manne, lelaki yang misoginis bukannya membenci wanita. Mereka hanya tidak suka jika dominasi mereka sebagai lelaki terancam sehingga mereka menghukum, menyakiti, dan membenci wanita yang cenderung mendominasi dalam sebuah hubungan. Alasan yang pertama bisa jadi karena mereka punya trauma masa lalu atau masalah dengan ibunya. Kedua, para lelaki ini merasa frustrasi dengan definisi maskulinitas dan feminisme yang ada di masa sekarang. Ketiga, banyak mendapat penolakan romantis dari perempuan, sehingga perlakuan misoginisnya bisa berarti ajang balas dendam, etc. Ngeri banget, sih. Terakhir, mereka nggak mengerti tentang perempuan-perempuan yang selalu membawa paham feminisme dan bermain sebagai korban dalam aspek apapun, karena again, budaya patriarkial yang kuat yang masih mereka pegang.

Sementara untuk internalized misogyny sendiri, berdasarkan artikel yang gue baca, women are educated from infancy both explicitly and implicitly on “appropriate” ways to act, think, and feel. These cultural conceptions of womanhood are so deeply ingrained that they dictate performances of femininity, even behind closed doors.

Dari sejak kecil kita memang sudah dicekokin dengan berbagai perbedaan yang jelas antara laki-laki dan perempuan. Contoh kecilnya dari warna pakaian. Baju-baju anak perempuan identik dengan warna pink, sementara anak laki-laki adalah biru. Treatment yang berlaku di lingkungan sekitar pun memberi batasan apa yang harusnya dilakukan oleh anak laki-laki, dan mana yang harusnya dilakukan oleh anak perempuan. Mungkin untuk beberapa alasan, perlakuan itu penting dalam membatasi gerak si anak agar orientasi seksualnya nggak menyimpang. Tetapi, negatifnya, budaya itu jadi bikin kita nggak bisa lepas dari pandangan seksis yang ada. Sehingga ketika ada golongan perempuan yang merasa beda dengan perempuan kebanyakan, they will say that "i'm different!". "Nggak kayak lo pada yang suka pake rok mini dan liptint warna terang."

Salah satu contoh yang kentara banget di saat kita sudah beranjak dewasa, yaitu adanya oppresion yang menghubung-hubungkan harga diri dengan penampilan. Sebagai cewek, kalau mau gampang cari kerja dan gampang dapet relasi, penampilan itu nomor satu. Good looking itu suatu keharusan. Apalagi kalo cantik, beuuhh. Intinya sesuatu yang berkaitan dengan kecantikan, it all belongs to woman. Dan kalau penampilan lo dianggap buruk, kemungkinan harga diri lo akan dipandang rendah karena lo tidak cukup baik untuk menjadi seorang wanita. Akibatnya, sudut pandang itu jadi mengakar pada diri kita bahwa perempuan harus cantik, dan kalau nggak cantik-cantik amat ya berarti beda dari yang lain.

But then, it doesn't surprise me at all. Karena memang kenyataannya kebohongan, mitos dan stereotip itu sendirilah yang bikin internal misogini muncul, seperti yang sudah gue mention sebelumnya. Gue kemudian mencari-cari akar dari semua ini. Apa, sih? Apa yang menyebabkan pola pikir kita menjadi sebegitu dangkalnya mengekspresikan perbedaan?

Ternyata jawabannya cuma satu. Dan ini berlaku untuk semua orang. Gak cuma perempuan, tapi juga laki-laki. Can y'all guess it?

Ya, jawabannya ego. Manusia punya sifat natural yang ada dalam dirinya, yang gak mau dibandingkan ketika ada orang yang lebih baik dari dirinya—paling tidak menurut pandangannya. Ketika dia menemukan sesuatu yang terlihat biasa, dia akan menertawakan hal itu, meremehkan dan menganggap dirinya superior. Sesederhana itu jawabannya. Satu kata bisa mengubah jutaan mindset orang-orang terhadap femininity dan masculinity. I know this is super ironic!

Menjadi berbeda memang selalu terdengar mengesankan, karena itu berarti lo gak sama dengan orang lain.

"Lo unik!"
"Gak semua orang kayak lo."

Tetapi ketahuilah bahwa semua kata-kata itu menipu. Kita cenderung nggak menjadi diri kita yang sebenarnya, karena satu pujian itu bikin kita puas terhadap diri sendiri dan menyangkal keberagaman.

Di saat yang bersamaan, orang-orang yang merasa beda ini ketika dipuji cantik, mereka nggak bisa bohong kalau dari lubuk hati yang terdalam juga seneng ngedengernya (yah, namanya juga perempuan. Ujiannya itu ada di telinga, paling seneng kalo udah dipuji). Padahal itu artinya mereka sama dengan perempuan-perempuan di luar sana yang cantik, yang punya karakter dan keunikan tersendiri, and who's come with different shapes and sizes.

Jadi, masih gak mau disamain sama perempuan lain?

Pada awalnya mungkin sulit melepaskan diri dari internal misoginis yang selalu datang di pikiran kita tanpa diprediksi. Tapi kalau bukan diri sendiri yang berubah, siapa lagi?

Gue juga terkadang masih sekelebat menganggap orang lain inferior karena beberapa alasan. Tapi lantas gue tahu ini gak bisa selalu dibiarkan begitu aja. Karena dengan menyadari bahwa internalized misogyny adalah sesuatu yang harus dihindari, itu mengartikan bahwa kita menghargai setiap orang apapun dan bagaimanapun dirinya.

Gue pun sekarang bisa beli apa aja yang sebelumnya gue anggap 'terlalu cewek', karena pada akhirnya gue sadar, memiliki sesuatu yang 'terlalu cewek' tidak merusak citra diri gue sama sekali sebagai perempuan. Ketika merasa jadi cewek yang kuat pun, gue sadar mungkin itu suatu petunjuk bahwa gue harus bisa merangkul mereka-mereka yang tidak sekuat gue. Dengan menyadari semua itu, sekarang apapun terasa lebih jelas dan terang. Because basicly women are women. Gak ada spesialisasi perempuan yang begini dan begitu. Kalaupun beda, apa yang beda? Lo mau bilang, "apa cuma gue yang blablabla?"

Oh, no no no. Gak cuma lo yang beda, gak cuma gue yang beda. Kita semua pernah ada di posisi mempertanyakan itu kepada diri sendiri. Dan jawabannya nggak, bukan cuma lo yang beda karena lo nggak sendiri.

Anyway, kalau ada di antara kalian laki-laki yang pernah merasa demikian terhadap teman sesama lelaki, mungkin kalian juga mengidap internalized misandrist atau misandry. Dorongan maskulinitas yang berkembang dalam society sama halnya dengan femininitas yang berasal dari stereotip gender bahwa cewek itu biasanya begini, cowok biasanya begitu, dan tanpa disadari mungkin menimbulkan insecurity terhadap diri sendiri. I don't know how this happens to men tapi intinya sama, siapapun kamu di luar sana yang merasa minder atau merasa superior karena berbeda, laki-laki atau perempuan, sebaiknya ubah mindset kalian selayaknya dunia yang nggak sempit ini. Planet kita luas. Ada miliyaran orang di muka bumi ini dan kita bukan satu-satunya orang yang diciptakan berbeda.
Share
Tweet
Pin
Share
8 komentar
the importance of minimalism in our lives


Disclaimer: Tulisan ini dibuat dalam bahasa Jepang sebagai naskah untuk kontes pidato bahasa Jepang dalam Pekan Bahasa dan Budaya Jepang ke-45 & Lomba Pidato Bahasa Jepang Regional Jawa Barat 2019 (第45回バンドン日本語日本文化祭弁論大会) yang diselenggarakan oleh Japan Foundation. Namun gue menyertakan juga terjemahannya dalam bahasa Inggris di bagian bawah. Tulisan ini berisi tentang kaitan perilaku konsumtif di media sosial dengan gaya hidup minimalisme yang mana sangat menjadi concern gue. Selamat membaca dan jangan lupa sertakan komentarmu tentang artikel ini!❤️


「さようなら無駄遣い、ようこそミニマリズム」
アイナ・アウリヤ
皆さんは、普段インスタグラムやフェイスブック、ツイッターなどのSNSをよく使いますか?一日でも、SNSをチェックしていないと、落ち着かない人も少なくないですよね。
先月、たまたまユーチューブで、ある外国人のビデオログを見て驚きました。彼は昨年からSNSをやめた理由について話しました。本来、人と人のつながりを便利にさせるSNSが、最近は色々な商売の宣伝であふれて、そんなに必要ないのに、どんどん出てきた商品を買ってしまったそうです。たくさんの無駄遣いを辞めたいから、SNSを辞めるようになったと述べました。彼の話を聞いてから、私が普段、SNSにどれくらい時間を使っているのか、そして日常生活にどんな影響があるのか、について考え始めました。
SNSの影響の一つとして、私の生活に無駄遣いが増えたと感じています。面白いオンライン・ストアや、色々な商品を見るために、インスタグラムなどをよく使います。商品を宣伝しているセレブの投稿や、買った商品を見せている友達の投稿を見た時、私も欲しいと感じ、要らなくてもインターネットで同じ商品を探して買ってしまいます。このことから、SNSに私のお金や時間がたくさん奪われていることが、はっきりとわかります。また、物を買うためにお金を使うだけでなく、SNSを利用するためのインターネット代も忘れてはいけないでしょう。
最近、オンライン・ストアは本当に私たちの消費パターンを変えてしまったと思いませんか。以前は、商品やサービスには、その機能が必要なものだけを選んでいましたが、最近は、他の人にほめられるライフ・スタイルを作る考え方に変わってきています。これによって、悪い影響が出ると私は心配しています。
たとえば、女性は似ている服をいくつも買ってしまったり、男性はかっこいい電化製品を買ってしまったりすることが多いですよね。また、SNSでたくさん「いいね」などをもらうために、人気な物を買って投稿する人もいます。それによって、ライフ・スタイルはより不規則になり、商品を真剣に選ぶことも減り、しばしば買った後に騙されたと感じます。これを解決するためには、ほしいと思ったらすぐ買うのではなく、必要かどうかを考えて商品を買う、という生活パターンに戻す必要があります。
そのために、ライフ・スタイルにミニマリズムを取り入れるべきです。ミニマリズムとは、「無駄に多いものを捨て、本当に自分に必要なものだけを選ぶ努力」のことです。
最近、近藤まりえという日本人の名前をよく耳にしませんか。
彼女は、ミニマリズムのライフ・スタイルを取り入れているコンサルタントとして、人気を集めている日本人です。彼女の考え方は、コンマリ法と呼ばれ、「不要なものを捨てる」「落ち着いて幸せになれるものを大切にする」「人生で重要なことに集中する時間を自分に与える」という考え方です。私は、このミニマリズムのコンセプトで無駄な買い物を防げる、と思います。
考えてみれば、確かに商品は他人に見せてほめてもらうためではなく、使うために買うのです。私は、コンマリ法を使ってミニマリズムの生活を始め、無駄の多い生活を避けることが、良い第一歩だと思います。そのため、自分の持っているものに対してもっと感謝し、それらをもっと必要とする人々に与えることができます。このようにして、私たちは自分を幸せにするだけでなく、他の人を幸せにすることもできるのです。
それでは、SNSはどうでしょうか。
SNS自体が変わることは難しいです。変わることができるのは、自分だけです。SNSを使い、ミニマリズムのライフ・スタイルを広めるキャンペーンなど、前向きなもののために利用できます。そのため、これからSNSでやるべきことは、ミニマリズムを行う人々の写真を投稿し、コンマリ法の利点を共有し、そして、それらからどのような結果が得られるかについて、他の人に伝えることです。私自身も、これからオンライン・ショッピングを減らし、コンマリ法を実施してみたいと思います。

Eng-Trans:

Do you often use SNS such as Instagram, Facebook, and Twitter? Most of the time, there's a lot of people who don't feel comfortable when they don't check social media in a day, do they?

My curiosity about this issue led me to one of the shocking videos on youtube about someone's experience when he was using social media. He talked about why he stopped for being active on SNS since last year. Social media which initially made people's connection more convenient has recently been flooded with various commercial advertisements, which seem to make its users buy more and more unnecessary products. He said that he came to quit SNS/social media because he wanted to free of wasteful life. After watched his video, I started thinking about how much time I usually spend on social media and how it affects my life.

One of the effects that i feel of using SNS intensively is wasteful lifestyle that has increased in my life. I often use Instagram to see interesting online stores and various products. When I see a post from a celebrity promoting a product or a friend showing me what he or she's bought, I feel that I want it, and even if I don't need it, I search for the same product on the Internet and buy it. This clearly shows that my money and my time are being taken away by SNS. In addition to spending money to buy things, you should also not forget the internet bill or quota to use SNS.

Don't you think online stores have really changed our consumption patterns? In the past, only products and services that required their functions were selected. But lately, the concept has turned into a lifestyle that always wants to impress others. If this impulsive behavior continues, I'm worried that this will have a negative impact not only for ourselves, but also to our environment. For example, women often buy several similar clothes, and men often buy cool appliances without thinking whether they're really need those or not. Some people buy and post popular items to get lots of likes on SNS. As a result, lifestyles become more irregular, less serious selection of goods, and often feels deceived after buying. In order to solve this problem, it is necessary to return to the lifestyle pattern of buying a product based on whether it is necessary, rather than buying it only for showing off to people.

One thing we can do to overcome this is to incorporate minimalism into our lifestyle. Minimalism itself is "an effort to throw away useless things and choose only what is really needed."

Have you guys heard about Marie Kondo?

She is a Japanese who is gaining popularity as a consultant who practicing a lifestyle of minimalism. Her idea is called the 'Conmari Method', which is "throw away unnecessary things", "value things that calm down and make you happy", and "give yourself time to concentrate on important things in life". I think that this minimalism concept can prevent unnecessary shopping that we always do.

If you think about it, you certainly buy products for use, not to impress people, right? I think it can be good first step to start a minimalism life using the Conmari Method and avoid a wasteful life. So you can be more thankful for what you have and give them to those who need it more. In this way, we cannot only make ourselves happy, but also make others feel the same way.

So, what about SNS?

SNS itself is difficult to change. Only you who can change. It can be used for positive things such as a campaign to spread the lifestyle of minimalism using SNS. So one of the things you need to do on SNS is to post photos of people doing minimalism, share the benefits of the "Conmari Method", and tell others what the results will be. I myself would like to reduce online shopping and implement this great concept of Marie Kondo! How about you?



Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Fenomena ghibah dan menjadi individu


Sejak kecil gue termasuk anak yang super pemalu, gak mau kenal orang dan sangat pilih-pilih mana kiranya orang yang cocok sama gue dan bisa dijadiin temen. Beranjak remaja, karena merasa pertemanan gue kurang luas dan gitu-gitu aja, gue akhirnya decided untuk aktif di organisasi. Semua aspek dalam kepribadian gue yang kuper gue ubah abis-abisan waktu SMA, yang tadinya mungkin gue cuma jago ngomong di depan kelas pas pelajaran, gue coba beraniin diri untuk ngomong di depan orang-orang yang literally baru gue kenal dan bukan temen sekelas gue. Alhasil meluaslah lingkar pertemanan gue saat itu. Gue punya cukup banyak temen hampir dari semua kelas. Dari anak IPA sampe IPS, dan sejak saat itu gue yakin sama diri sendiri bahwa gue senang bersosialisasi. Menurut gue, seru aja gitu rasanya bisa kenal orang dan nambah temen dari latar yang berbeda-beda. Gue pikir semua orang menyenangkan kalau kita bisa kenal dan deket sama mereka. Tapi untuk beberapa alasan, semua perspektif itu agaknya terpatahkan ketika gue beranjak dewasa. Ketika gue meninggalkan keluguan anak SMA yang mungkin emang udah hobinya memperbanyak teman.

Semakin kesini gue semakin kembali ke wujud asli gue. Awl yang males basa basi sama orang, males dengan keramaian, males dengerin celotehan orang lain yang nyeritain temennya sendiri, dan Awl yang berakhir di kamar, nyaman dengan dunianya sendiri. Gue pikir orang-orang akan selalu menyenangkan, tapi ternyata nggak when it comes to discuss people, when it comes to interfere their problems, when it comes to prevent them to be what they wanna be. 

Gue pernah bilang sebelumnya di postingan yang satu ini, bahwa alasan kenapa hidup kita seperti dituntut untuk sama seperti kacamata orang lain adalah, karena udah menjadi tabiat manusia untuk punya indera ketujuh dengan mengkotak-kotakan tindakan manusia lain yang gak sejalan dengan pandangannya. It really is.

Gue beberapa kali punya pengalaman gak asik ketika lagi kumpul atau diem di suatu tempat, dimana ada aja sekumpulan orang yang ngomongin kejelekan orang lain, padahal objek yang diomongin adalah temennya sendiri. Layaknya udah jadi kegiatan wajib, si bahan obrolan ini seenaknya aja dicap sesuai dengan apa yang mereka lihat, entah doi anaknya pemalas, gasuka gawe, suka ngerokok, banyak gaya, dsb. Seakan-akan orang yang diomongin itu bener-bener salah dan gak patut untuk ditemenin. Hal ini membuktikan bahwa orang bisa dengan mudahnya memberi penilaian kepada orang lain yang menurut mereka tidak sesuai dengan norma dan nilai-nilai bagi mereka—without knowing who actually the person is.

Entah apa yang mendasari manusia-manusia ini untuk pingin tau urusan orang lain dan bahkan menjustifikasi mereka sesuka hati. Okay, mungkin mereka gak benar-benar nge-judge. Gak benar-benar mau tau. They're just being kepo. Mungkin keren aja kayaknya bagi orang Indonesia ketika isi kepalanya penuh dengan informasi seputar hidup orang lain, si A begini, si B begitu. Karena dengan begitu, dia akan dapat dengan mudah diterima oleh society. Lihat aja acara gosip di televisi, contohnya. Instead of nonton acara yang lebih bermutu dan berisi, kita kadang lebih milih nonton acara gosip saking pingin tau gimana perkembangan artis kesukaan kita atau apa yang happening di Indonesia. Tampaknya kebiasaan itupun berlaku dan berkembang di lingkungan sosial. Gak semua orang memang, tapi sebagian besar begitu.

Saking udah malesnya menghadapi situasi memilukan kayak gitu, kadang gue memilih untuk misahin diri, fokus sama apa yang mau gue kerjain. Walau nyatanya yang ada gue dicap tidak setia kawan, apatis, kurang kumpul dan ujung-ujungnya gue juga yang jadi bahan empuk buat diomongin. Pernah suatu ketika gue nimbrung nimpalin ghibahan mereka. Emang dasar yang namanya dosa, kadang bikin asik dan lupa diri kali ya, gue seakan terbawa dengan obrolan itu dan ikut bahagia menghakimi orang yang dimaksud dengan sesuka hati. Namun lantas gue tau ini gak bener. 

Dari sisi agama pun, udah jelas yang namanya ghibah sangat dilarang. Selain kita membicarakan sesuatu yang belum tentu benar adanya, ghibah itu sama sekali gak ada manfaatnya. Informasi yang didapat gak bikin kita pinter, yang ada bikin kita terus berpikiran negatif sama orang lain. Kita jadi seperti disihir untuk gak nemenin orang yang udah diomongin, gak boleh deket sama mereka, dan memandang mereka sesuai dengan apa yang terlihat dan apa kata rumor yang beredar. Kemudian jadi gak sehat lah cara berpikir kita, karena kita hanya fokus untuk mengurusi orang lain dari ujung kepala hingga kaki. Kita jadi takut untuk berteman karena khawatir teman baru nanti akan sama dengan orang-orang yang kita pandang buruk, atau takut kita juga akan jadi bahan omongan di kelompok yang baru nantinya. Akibatnya, kita pun jadi terbiasa bermuka dua.

To be honest, i don't feel i have the urge to interfere someone's life, like commenting her or his photos (for example) on social media just to shaming them—yeah, give such a bad comment even means interfering their lives IMO, apalagi lebih dari itu. I believe everyone has their own lives, has their own privacies dimana kita gak punya hak untuk mencoba masuk ke dalamnya. As long as they would take any responsibility of what they did to the community, it doesn't matter. Dan selama mereka punya komitmen yang bisa dipertanggungjawabkan untuk kemaslahatan society, harusnya gak masalah.

Lagipula, apa hak kita untuk mengomentari dan mencampuri urusan orang lain? Gue sih jujur gak mau segala macam kepentingan gue dicampuri atau bahkan dikomen sama orang yang notabenenya gak tau seluk beluk hidup gue. Itulah kenapa gue pun selalu berusaha untuk gak bersikap demikian kepada orang lain, karena sangat gak enak rasanya ketika ada orang yang berusaha mencampuri urusan pribadi gue seakan mereka sudah sangat mengenal siapa diri gue sebenarnya, like dude, you kno' nothing about me but you're act like you kno' everything? Yah, meski pada akhirnya, still, people has their own shit to invade other people's privacy.

Budaya ini secara gak sadar bikin kita jadi sulit untuk menerima kepribadian orang lain. Menerima keputusan orang lain. Ketika ada orang yang memilih jalan berbeda di dalam suatu kelompok, akan dianggap berbeda dan kurang piknik sama mereka yang merasa dirinya baik-baik aja. Padahal setiap orang punya hak untuk memilih jalannya sendiri. Bukan berarti kurang akrab, bukan juga kurang solid. Mungkin dia memang kurang cocok ada di kelompok itu, atau ada sesuatu yang lebih penting yang harus dikerjain.

Kadang gue suka iri sama orang-orang yang tinggal di luar negeri. Masyarakat disana tergolong individualis. Hidup masing-masing, dan lebih mengutamakan kepentingan pribadi serta mandiri. Silaturahminya gak seerat orang-orang Indonesia, memang. Bagi gue pribadi yang cenderung sangat menghargai privasi dan urusan orang lain, itu jelas jadi keuntungan. Gue gak perlu ribet sama orang yang suka misuh-misuh akibat tindakan orang lain yang berseberangan. Gue juga gak perlu takut dijulidin atau dinyinyirin karena budaya itu mungkin gak akan berlaku keras seperti halnya di negara gue.

Untuk di Indonesia sendiri, mungkin karena memang budaya gotong royong atau kekeluargaannya yang begitu melekat, kita jadi merasa punya tanggung jawab untuk ngebantu setiap orang yang mungkin sedang ada masalah. Kita seperti punya tekanan sendiri untuk selalu ada buat siapapun yang membutuhkan teman. Ini gak salah. I totally agree, tapi sayangnya budaya itu harus merambah juga pada hal yang negatif dimana kita seakan gak memberi ruang untuk orang-orang yang membutuhkan privasi, karena semua hal dengan mudahnya bisa dicampuri.

Gue tau, kita mungkin merasa punya keluarga kedua, atau ketiga di beberapa tempat. Hal kayak gini sering banget gue temuin di organisasi-organisasi atau komunitas di kampus dan atau luar kampus. Namun jangan lupa juga bahwa kita masing-masing adalah individu. Ada banyak hal yang gak mesti semua orang tau, bahkan orangtua kita sendiri. Ada beberapa hal yang cukup jadi rahasia antara diri kita dan Tuhan. Menjadi individualis pun bukan selamanya mementingkan diri sendiri.

Bagi gue, memisahkan diri dengan melihat diri sendiri sebagai individu adalah tindakan menghargai individu lain yang punya privasi dan problema berbeda dengan gue. Punya kepentingan yang berbeda dari gue, dan punya kepribadiannya sendiri. Bukan hak gue untuk selalu mengomentari tindak tanduk dan pandangan individu yang berseberangan dengan gue, karena manusia hakikatnya memang berbeda satu sama lain. Kita yang harus menerima. Kita yang harus mendengarkan. Bukan kita yang asik nyinyir di belakang.

Satu hal yang mesti gue lurusin, gue gak sedang mengajak kalian untuk hidup menjadi apatis dan egois, nggak. Gue pun banyak belajar dari pengalaman, dimana gue pernah menjadi keduanya. Jadi orang yang egois, dan orang yang sosialis. Gue cuma pingin kalian tau bahwa peduli itu ada batasannya. Gak semua hal bisa kita peduliin, gak semua hal harus kita usik, karena masing-masing udah ada porsinya. Mana yang bisa di-handle sendiri dan mana hal yang bisa dilakukan bersama-sama. Peduli, berarti mau melibatkan diri dan bertindak proaktif dalam suatu persoalan. Peduli, berarti menjadi individu yang gak menutup mata dari kondisi apapun. Peduli, bukan menjadi individu yang senang ngurusin hidup orang lain dan sibuk memberi komentar atas apa yang begitu saja terlihat.

Basically we are all the same human beings with the same potential to be a good human being or a bad human being. The important thing is to realize the positive side and try to increase that; realize the negative side and try to reduce. That's the way.

Share
Tweet
Pin
Share
5 komentar

Pulang, selalu menjadi hujan di tengah kemarau 45 hari yang tak kunjung basah
Pulang, selalu menjadi penghangat di kala dingin tak berkesudahan
Pulang, selalu menjadi pengingat jitu untuk kembali menyetir di jalur yang benar
Pulang, selalu menjadi alarm yang tak bisa digubris untuk bangun memperjuangkan mimpi
Pulang, selalu menjadi penawar untuk hati yang kosong
Pulang, selalu menjadi obat untuk jiwa yang sedang mabuk
Pulang, selalu menjadi tanda bahwa jauh bisa memberi ragam cerita untuk manusia

Sedih, kalut, bahagia, rindu.. bahkan lebih dari ini.

Aku tak tahu mengapa tentang rumah selalu begitu hangat untuk dirindukan. Mungkin Tuhan ingin agar kita selalu ingat bahwa hidup ini adalah penantian..
dan pengantrian menuju rumah yang kekal.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Harusnya gue gak banyak cingcong disini, harusnya gue gak cuma merenung, harusnya gue inget lagi tujuan gue sebelum ini apa, harusnya gue tau apa yang mesti gue lakuin sekarang, langkah mana yang harus gue ambil. Harusnya gue do more, work harder, belajar tiga kali lipat lebih banyak dari orang-orang, harusnya gue gak menyesal dan ngabisin waktu dengan percuma, dan harusnya-harusnya yang lain. 

I know.

Lagi-lagi mungkin lo pada udah capek denger bacotan gue soal permasalahan hidup yang gak ada abisnya, yang terlalu typical buat dibicarain. Tp justru karena itu, saking typicalnya terkadang orang-orang gak sadar bahwa permasalahan hidup soal motivasi dan tujuan itu bener-bener gak bisa kita anggap remeh. Dan lagi, gue sedang mengalami fase itu.

Entah kenapa usia segini kayaknya rentan banget buat sedikit-sedikit mempertanyakan hidup, mempertanyakan eksistensi diri terhadap diri sendiri dan orang-orang di sekitar dalam rentang waktu yang sangat sebentar. Belum dua tiga bulan gue merasa bersemangat menjalani hidup, ketemu masalah-masalah baru lagi udah keok.

It shouldn't be me actually. Gue bukan tipe orang yang menganggap masalah tertentu sangat besar sejak gue sendiri dipertemukan dengan berbagai masalah yang kadarnya beda-beda. Dari soal akademik, percintaan, keluarga, pertemanan, dan organisasi. Buat yang udah baca blog gue sebelumnya tentang hidup itu penuh kebohongan, pasti tau prinsip gue ketika lagi merasa terpuruk dalam menghadapi masalah itu apa. "Selalu ingat bahwa setiap orang punya masalah yang lebih besar daripada gue, dan gue harus bersyukur dan ikhlas."

Tenang, gue masih menanamkan itu dalam diri gue. Tapi untuk saat ini, raga gue ragu. Ragu bahwa gue yang sekarang adalah gue yang sebenarnya. Gue merasa tau harus ngapain, tapi gue juga gak tau mesti gimana. Seandainya pikiran bisa keliatan dan terdeteksi waktu di-scan, mungkin kalau kepala gue dibelah yang keluar bukan otak, tapi pikiran ini itu yang amburadul.

Please jangan ceramahin gue bahwa gue harus bertindak, bahwa gue gak boleh stuck, bahwa gue harus usaha, harus inget lagi tujuan gue kuliah apa, perjuangan gue sebelum-sebelumnya gimana, bahwa gue harus inget lagi bahwa ini semua amanah dari Allah dan tanggung jawab yang harus gue emban, bahwa dunia ini hanya titipan, bahwa gue harus berjuang melawan diri sendiri, bahwa gue harus inget ucapan diri gue sendiri soal life is jihad. Seperti yang udh gue garis miringin di atas, gue sangat tau bahwa kebisuan dan kebodohan yang sedang gue lakukan sekarang ini sangat gak etis dan gak seharusnya dipertahanin. Gue cuma merasa butuh sesuatu yang bisa bikin gue menumpahkan semua hal yang ada di kepala ke dalam tulisan. Supaya ini bisa jadi reminder, gak cuma buat orang-orang, tapi utamanya buat diri gue sendiri, bahwa i've been there. We all are might feel the same way about crisis of life. Bahwa gue berkali-kali ada di situasi ini, dan berkali-kali merasakan hal yang sama.

Mungkin udah naturalnya manusia, yang namanya gak ada motivasi buat belajar, dan menjalani hari-hari seperti biasa seakan-akan udah jadi masalah ter-basic yang pasti aja terjadi. Gak cuma disitu, gue jadi teringat sesuatu setelah mencoba mundur beberapa hari ke belakang, tentang penilaian dan komentar orang-orang terhadap kita itu dampaknya bisa sangat mempengaruhi mood. Akhir-akhir ini, gue gak cuma merasa tertekan dengan diri gue sendiri yang terseok-seok buat mau kuliah, tapi juga merasa tertekan dengan omongan orang-orang di luar sana yang bisanya cuma kasih komentar berdasarkan kacamata pribadi.

Gue jadi mengerti, rupanya kehidupan dimana tindakan kita seperti dituntut harus sesuai dengan kacamata orang lain itu gak hanya dialami oleh influencer-influencer. Tapi sebagai orang normal, gue juga merasa demikian. Kenapa? Karena udah menjadi tabiat manusia untuk punya indra ketujuh dengan mengkotak-kotakan tindakan manusia lain yang gak sejalan dengan pandangannya. Seseorang di twitter bilang ke gue bahwa penilaian-penilaian itu udah pasti ada dan akan selalu ada, mau gak mau kita harus terima dan ngedengerin, karena gue sebagai manusia juga ya ujung-ujungnya pasti pernah melakukan hal yang sama. I did. Gue setuju. Gue juga seneng ngomentarin orang, tapi gue tau etika memberi penilaian dan mengomentari orang. Ketika gue tau bahwa penilaian gue sangat subjektif dan gak patut diomongin, gue akan diem. Gue malah lebih baik ngomongin hal-hal lain yang bisa bikin gue pinter, bisa ngebuka wawasan gue instead of ngomongin hasil pengamatan gue terhadap berbagai orang dan sebaliknya.

Tuhkan ngalor ngidul gini gue. Jadi, kesimpulannya apa?

Gue gatau. Namanya juga ngemeng sendiri. Mungkin agan-agan ada yang bisa menyimpulkan? Monggo.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

kenapa anak-anak Indonesia saat ini krisis moral?


Kepeningan gue minggu ini gak cuma disebabkan oleh tugas-tugas kuliah yang lumayan nguras tenaga dan pikiran, tapi juga dipersembahkan oleh sebuah thread di linimasa twitter seputar siswa korban pengeroyokan di salah satu pesantren yang berujung meregang nyawa setelah berhari-hari koma.

Setelah sebelumnya media sosial cukup geger sama video empat siswa SMP beserta bapak salah satu anak yang ngeroyok seorang petugas kebersihan di sekolahnya, dan video seorang siswa SMP yang ‘berani’ megang kerah gurunya sendiri, berita tentang kematian santri di Padang itu gak kalah miris kalau mengulik betapa rendahnya morality anak bangsa jaman sekarang. Tahun 2019 baru mau lewatin Februari, tapi kasus tentang kebodohan-kebodohan murid nowadays udah menuhin timeline kepolisian gue rasa. Ngeri, udah pasti. Miris. Gerah. Gak ngerti lagi sama etika dan moral manusia-manusia abad ini. Diri seorang guru aja udah gak ada harganya, apalagi nyawa, gue berani taruhan kalau orang-orang macem gini memberi label mahal pada harga diri sendiri dibanding nyawa orang lain.

Murid persekusi guru, murid tikam perut guru di kelasnya sendiri setelah dinasehati—camkan, dinasehati cuy—, murid pukul kepala guru pake kursi sekolah, murid keroyok guru, murid lapor guru gara-gara gak terima diceramahi, seorang santri korban bully dikeroyok teman satu asramanya hingga meninggal, adalah beberapa dari sekian kasus yang berhasil tercium media. Iya, kasus santri asal PonPes di Padang Panjang itu bukan kasus pertama yang terjadi dalam kurun waktu empat bulan. Masih di daerah Sumatera, kasus yang sama juga terjadi di salah satu Pondok Pesantren di Ogan Ilir, Palembang, dan pelakunya berusia kisaran 14 tahun.

Kasus-kasus itu bikin otak gue merembet kilas balik ke tahun sebelumnya, tentang kasus anggota the jack yang habis dikeroyok sampai meninggal sama bobotoh waktu dia mau nonton pertandingan antara persib lawan persija. Bunuh-membunuh kemudian bukan menjadi hal tabu di telinga gue. Isu sosial tentang nyawa yang seakan dianggap murah oleh orang-orang yang ‘kerasukan’ ini pada akhirnya bukan cuma terjadi di lingkungan sekolah, antara murid dan guru, junior atau senior, bahkan sesama teman sendiri, tapi juga terjadi di lingkungan masyarakat—so pasti. Dan bisa dipastikan faktor lingkungan masyarakat ini yang secara langsung memberi andil sangat besar terhadap krisis moral hingga di ranah pendidikan.

Sebelum gue lanjut, here’s some informations that i think we all need. Faktor-faktor yang bisa menjadi penyebab kerusakan moral di lingkungan sosial:
  1. Peran media massa dan perkembangan teknologi,
  2. Pendidikan di dalam keluarga,
  3. Pengaruh lingkungan,
  4. Perkembangan nalar tidak dimanfaatkan dengan baik atau bahkan tidak berkembang sama sekali,
  5. Hilangnya nilai-nilai kehidupan yang bisa diamalkan, seperti kejujuran dan rasa tanggung jawab, serta rendahnya disiplin,
  6. Tidak berpikir jauh kedepan,
  7. Memudarnya kualitas keimanan.
Gue jadi teringat ketika gue di sekolah dulu, yang namanya pendidikan karakter, etika, moral yang diajarin guru-guru disana masih berasa kerasnya sampai sekarang. Pernah beberapa kali gue ngalamin yang namanya kontak fisik ringan semacam dicubit, ditempeleng waktu kelas 4 SD gara-gara nggak bisa ngerjain soal matematika di papantulis, dilempar penghapus+spidol, sampai ditunjuk-tunjuk depan muka (ini masuknya verbal sih). Yash, gue anak yang lumayan bego dan bandel waktu itu. SMP lebih seringnya. Bukan karena ngelakuin hal-hal gak wajar dan terlarang, tapi karena gak ngerjain tugas, entah itu tugas yang ada di buku atau LKS. Alhasil gue beberapa kali dikeluarin dari kelas dan gak boleh ikut pelajaran yang bersangkutan sama sekali selama satu minggu itu. Mostly cuma di pelajaran IPA sih, that’s why kalo di matpel Bahasa guru-guru gue gak percaya sebadung itu Aina ini sampe berani gak nyentuh buku sama sekali. Oke, lanjut. Anehnya gue gak merasa ditindas sama sekali. Malahan gak kepikiran yang namanya lapor ke polisi hanya untuk balas dendam—yang secara nalar itu semua justru karena ulah gue sendiri. Jangankan lapor ke polisi, ngadu ke orangtua aja kagak. Bisa-bisa gue sendiri yang justru kena marah emak babeh.

Selain pengalaman pribadi, gue juga sering banget dapet cerita dari tante gue tentang gimana killernya guru-guru dia di sekolah. Ketauan melamun dikit, lempar penghapus yang segede gaban, atau nggak disuruh diem di depan kelas, nerangin pelajaran. Malunya udah setengah mati. Bener-bener gak kebayang kalau sistem pengajaran di sekolah-sekolah sekarang masih keras kayak dulu. Gue rasa laporan di polisi penuh sama murid-murid yang merasa diinjak-injak dan tidak terima dengan perlakuan gurunya.

Kalau dipikir-pikir, kurang baik apa guru-guru jaman sekarang. Kenapa mental kita harus terbiasa dengan istilah semakin dibaikin maka semakin ngerunjak? Lo cuma dinasehatin men, dikasih tau mana yang baik dan buruk—padahal kalau untuk merokok di dalam kelas menurut gue anak SD juga udah paham perbuatan itu salah, tapi nyatanya masih ada siswa yang bahkan belum paham bagaimana menghargai orang yang lebih tua, menghormati guru. Apa karena lagu hormati gurumu sayangi teman udah hilang ditelan bumi, jadinya anak-anak jaman sekarang nggak kenal yang namanya moral dan attitude?

Kalau melihat secara general, memang, usia remaja itu paling rentan nggak bisa mengontrol emosi atau perasaannya, jiwa mereka masih labil, masih menggebu-gebu dan cenderung egois, hanya peduli dengan emosional diri sendiri, tapi itu tidak berarti mereka belum tau mana yang baik dan buruk. Usia remaja cenderung melakukan sesuatu karena keinginannya, terlepas dari perbuatan yang dia lakukan itu salah atau benar, yang mereka tau mereka bisa menentukan sendiri mana langkah yang ingin diambil. Dan hal-hal yang mendorong keinginan untuk memilih atau berbuat sesuatu yang salah itu ada di faktor-faktor yang udah gue sebutin di atas.

Globalisasi, as we all know, jadi biang kerok dari menurunnya morality generasi muda sekarang ini. Media sosial, terutama. Sebuah platform dimana orang-orang bisa sesuka hati mendapatkan apa yang mereka mau, dan selebihnya bisa dengan mudah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, but in negative ways. Dari penggunaan smartphone dan media sosial, peran orangtua bisa sangat sangat berperan untuk membentuk karakter anak mereka di lingkungan sekitar. Gue gak perlu ngejelasin lagi kalau sekarang anak kelas 3 SD juga banyak yang bawa gawai ke sekolah. Seringkali anak-anak muda yang labil dan bener-bener clueless soal etika ini justru kurang mendapat pengawasan dari orangtua mereka.

Para orangtua seperti belum sadar betul bahwa teknologi ini ibarat penyakit, virus yang bisa kapan saja hinggap di badan anaknya. Gak cuma soal pengawasan, pendidikan yang dibentuk dalam keluarga itu sendiri memberi pengaruh besar terhadap sikap sang anak. Ketika ada seorang siswa yang bersikap tidak sopan dan semena-mena kepada gurunya, maka bisa dipastikan ada yang salah dari sistem pembentukan karakter di keluarga mereka. Entah karena masalah broken home, situasi rumah yang kurang harmonis, atau orangtua yang sama-sama sibuk bekerja sampai gak ada waktu untuk anak mereka. Sehingga apa yang mereka bawa ke sekolah itu murni hasil dari yang dia dapatkan selama di rumah.

Tapi, gue harus akui, kondisi ini gak melulu diakibatkan dari lingkungan keluarga. Ada yang didikannya keras, tapi anaknya jadi kebawa keras. Ada juga yang keluarganya religius, tapi si anak bertindak berseberangan. Biasanya hal itu disebabkan oleh lingkungan sosial. Lingkar pertemanan yang dipilih nggak membantu dia untuk mengamalkan apa yang diajarkan orangtua dan guru di sekolah. Sisanya seperti yang gue sebutkan, nilai-nilai kehidupan terkait rasa peduli, tanggung jawab, kejujuran dan kedisiplinan menjadi timpang, yang dengan munculnya hal tersebut jadi bisa mempengaruhi perkembangan nalar si anak. Seiring dengan tingkat intelektualitas yang semakin tinggi, maka seharusnya kemampuan untuk berpikir kedepan, dan menimbang segala konsekuensi atas sikap yang ditunjukannya menjadi lebih besar. Sayangnya, rata-rata siswa yang di ambang batas itu kurang baik dalam mengelola perkembangan nalar mereka.

Jadi, apa dong yang mesti diubah?

Setiap kali kita bikin rumusan masalah, yang jadi jawaban pasti adalah tujuan dari mengapa rumusan masalah itu dibuat. Menurut gue, beberapa aspek yang gue sebutkan tadi sudah cukup menjadi jawaban bahwa itulah yang sedang menjadi krisis dalam pendidikan karakter anak bangsa. Artinya ranah itu yang bisa kita gali, yang bisa kita perbaiki. Dimulai dari pembenahan pada sistem pendidikan karakter di dalam lingkungan keluarga, ruang lingkup pertemanan atau pengaruh masyarakat, penggunaan smartphone, dan perubahan pola pikir remaja yang mesti selalu diarahkan. Bagaimana siswa ini mampu memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan baik, memperluas wawasan dan pengetahuan dalam ranah ilmu pengetahuan dan kehidupan sosial.

Melihat dari kasus yang baru-baru ini viral, gue pikir orangtua lah yang harus bertanggung jawab mendidik anaknya, bukan cuma apa-apa menyalahkan guru yang ada di sekolah. Pola pikir orangtua yang terlalu memanjakan anaknya harus berhenti menganggap bahwa sekolah itu tempat penitipan anak, karena sama sekali bukan. Sekolah bukan tempat dimana lo numpang membesarkan anak dan cuma diempanin materi pelajaran, setelah itu gak tau akan jadi apa anaknya nanti ketika bersosialisasi di lingkungan sosial. Sekolah itu tempat mencari ilmu, sebuah sarana dimana anak dituntut untuk memiliki moral dan etika yang tidak menyimpang, tempat mereka dibina dan didik.

Ketika mereka melakukan kesalahan, guru yang berhak menegur dan memperbaiki. Dan ketika anak mengadu kepada orangtua mereka terkait beberapa treatment pendidikan yang diberlakukan di sekolah, maka orangtua harus memberikan pengertian dan pendidikan tambahan yang semestinya di dalam keluarga. Kalau salah, ya salah. Kalau gurunya yang salah, ya bantu ingetin. Bukan asal main keroyok, atau lapor atas isu penganiayaan. Padahal salahnya sendiri kalau si anak gak bisa kooperatif dengan lingkungan dan norma-norma sosial di sekitarnya. 

Anyway, gue baru aja baca-baca soal pendidikan karakter, etika, moral, dan budi pekerti di sekolah. Sebenarnya semua hal yang menyangkut pendidikan sikap itu udah ada dari kapan tau. Hampir keseluruhan ada di setiap mata pelajaran yang ada di sekolah. Hanya saja kebanyakan apa yang disampaikan masih berupa pengenalan nilai-nilai atau norma, belum secara optimal menyentuh tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Intinya, pendidikan moral itu penting untuk memupuk sikap siswa agar menjadi pribadi yang tidak buta tata krama dan sopan santun. Dalam hal ini, gue jadi merasa setuju dengan senioritas secara general. Yang namanya menghormati dan menghargai seseorang yang lebih tua atau lebih tinggi dudukannya di atas kita adalah sebuah wujud dari etika yang mencerminkan moralitas bangsa.

Ini gue udah kayak nulis makalah daritadi, gak sadar udah 1600 lebih kata bray. Ada yang menyadari sesuatu gak? Atau menyadari ada yang kurang, gitu? Yep.

In the end, pendidikan agama lah fondasi yang teramat penting dan perlu untuk terus diberikan kepada anak-anak sejak dini, agar ketika mereka kehilangan arah, ada batasan yang bisa dihindari, ada hati yang bisa dijadikan pegangan. Islam, kristen, katolik, hindu, buddha. Terlepas dari pandangan masing-masing penganutnya, gue percaya semuanya mengajarkan kebaikan, dan menjadi pijakan dalam setiap tutur kata dan perbuatan penganutnya.

Akhir kata, gue ingin mengungkapkan rasa terimakasih dan syukur gue karena besar dan lahir di dalam keluarga yang cukup keras didikannya. Entah itu secara sosial atau agama. Berkaca pada segala problema yang gue alami sampai detik ini, mungkin gue udah jadi anak nakal dan brandal andai kata fondasi itu gak gue dapatkan sepanjang proses gue hidup.

Walaupun gak mungkin, karena mengingat dunia yang udah makin tua, tapi gak ada salahnya berharap. Semoga Indonesia bisa bangkit dari krisis moral. Aamiin.
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Terlalu Besar Untuk Gagal
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Just Listen
  • Bukan Salah Indonesia

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • The Phantom of the Opera: Di Balik Danau
  • Priority Chat
  • Cuma Cerita
  • Cuma Cerita #2
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
  • Kiamat Sudah Dekat
  • Matre: Realistis atau Materialistis?
  • Spoonerism, Alasan di Balik Keselip Lidah
  • Refleksi Dua Dekade

Blog Archive

  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (31)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ▼  2019 (10)
    • ▼  Desember 2019 (3)
      • Manusia dan Tingkahnya
      • How I See Feminist as a Muslim
      • Kenapa Kita Misoginis?
    • ►  Oktober 2019 (1)
      • Goodbye Wasteful Life, Welcome Minimalism
    • ►  September 2019 (1)
      • Menjadi Individu
    • ►  Agustus 2019 (1)
      • Pulang
    • ►  Maret 2019 (1)
      • Sedang Asbun
    • ►  Februari 2019 (2)
      • Indonesia Krisis Moral
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

digital marketing Intermeso karir Krisis 1/4 Abad lifestyle Opini Perempuan Podcast Poetry Review slice of life Thoughts

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.