Sebuah perbincangan singkat lewat aplikasi WhatsApp dengan teman gue semalem tiba-tiba mengingatkan gue akan suatu keadaan sosial yang secara gak sadar punya dampak cukup besar di society.
Sebelum itu, gue mau cerita dulu. Jadi dari dulu gue seneng banget bikin cerpen, sampe pernah hampir bikin novel waktu kelas satu SMA, bahkan udah setengah jadi, judulnya Kala Musim Semi Menyapa. Buat yang berteman sama gue di facebook, mungkin nyadar gue dulu suka posting kutipan yang ada hashtagnya, nah itu kutipan dari cerita yang gue tulis. Cerita ini juga udah gue bikin covernya dan sekarang gue simpen di draft wattpad, andai kata suatu waktu bisa gue publish disana. Tapi karena kesibukan dan lain-lain, pada saat itu inspirasi seakan hilang gitu aja dan gak ada mood buat lanjutin. Jadilah sampe sekarang terkatung-katung. Gue juga sempet ikutan beberapa kontes menulis cerpen, jadi kontributor dari mulai yang temanya hijrah cinta, kekoreaan, sampe keluarga, dan salah satunya Alhamdulillah masuk dua puluh besar. Bahagia banget rasanya waktu itu. Terus gue juga kadang bikin puisi kalau lagi mood merangkai kata-kata, tapi kebanyakan sih ini cuma gue simpen di diary (not diary at all. Let's just say buku catetan). Gue juga seneng banget bikin cerita bersambung yang gak ada endingnya. Sekarang sih gak tau itu buku ilang kemana. Pokoknya gue dulu penulis banget lah anaknya. Hello mellow goeslaw gitu. Sekarang bisa dibilang gue hampir gak pernah lagi nulis cerpen atau cerita-cerita fiksi lain (kecuali ff). Ada sih beberapa, tapi gak sampe selesai.
Nah, semalem temen gue ini seakan mengingatkan gue tentang hobi itu dengan nawarin diri buat translate cerpen gue—kalau-kalau gue punya cerpen—ke dalam bahasa yang sedang dia pelajari. Terus gue bilang, gue gak punya cerpen sekarang, soalnya lagi seneng cuap-cuap aja, gak ada inspirasi. Biasa aja sih emang, gue yakin dia juga gak akan mikir kalau gue kepikiran sama ucapan doi. Setelah itu dia bales, jangan cuap-cuap melulu, produktif, mulai lagi bikin cerita baru.
Lantas yang membuat gue kepikiran dari obrolan itu adalah, apa yang salah dengan cuap-cuap? Apakah cuap-cuap aja bukan produktif? Btw yang gue maksud dengan cuap-cuap disini adalah menulis opini atau segala macam keresahan terhadap beberapa situasi yang terjadi di lingkungan sekitar, walaupun bisa juga curhatan-curhatan gak penting. Temen gue emang gak bilang itu salah, dia cuma menyemangati gue supaya lebih produktif menghasilkan karya yang bener-bener karya. That’s it. Tapi entah kenapa sekarang ini gue justru merasa lebih kepingin jadi orang yang nggak cuma bisa diem ketika merasa sudah seharusnya speak up dan ketika merasa nggak nyaman dengan beberapa situasi. Gue merasa sudah bukan waktunya gue nyaman jadi apatis dan sibuk berimajinasi. Walaupun hasil tulisan gue di blog ini belum bisa dibilang banyak, tapi jauh di hati gue yang terdalam ada banyak banget keresahan yang ingin gue tumpahkan. Asal tau aja, gue punya banyak draft yang belum dilanjutin sama sekali karena nge-stuck. Dan yang paling penting sih gue merasa ingin keluar dulu dari bubble gue. Bubble yang selama ini terbatas pada fiksi, khayalan dan imajinasi, ingin gue perbesar jadi tidak terbatas, dan melampauinya:)
Sekarang ini otak gue seakan-akan sedang mendukung untuk lebih concern dengan keadaan sekitar, isu-isu sosial, dan berhenti jadi orang yang bisanya cuma mengamati ketika melihat ada berbagai kubu yang saling bertentangan di media sosial. Kalian tau silent majority? Yep, sebuah istilah yang disematkan kepada mayoritas orang yang pasif dalam menyuarakan pendapat mereka. Si mayoritas ini yang secara gak sadar memberi dampak negatif dalam kehidupan bermasyarakat kita.
Lebih jelasnya, silent majority adalah sekumpulan orang yang memilih untuk bungkam karena merasa lebih aman daripada harus bersitegang dengan mereka yang aktif dalam memberikan suaranya. Mereka lebih berhati-hati saat memutuskan untuk berbicara dan menunjukkan keberadaannya kepada orang banyak, karena merasa takut dan enggan menimbulkan perdebatan sehingga benar-benar menjaga hubungan dengan orang sekitar. Lalu bertindak seakan diamnya mereka adalah tanda setuju, padahal diam nggak selalu berarti persetujuan. Dan sebenarnya silent majority ini yang justru punya pemikiran-pemikiran masuk akal sehingga mereka lebih sering memposisikan diri di tengah. Orang-orang ini biasanya lebih mengamati perkembangan isu-isu yang ada, tapi nggak mau bersuara karena alasan-alasan di atas. Bisa dibilang gue termasuk kelompok ini. Bukan karena gue sedang akting atau berlagak polos, tapi memang begitu kenyataannya. Itu sebabnya gue bilang bahwa gue ingin keluar dari zona dimana gue hanya nyaman dengan kata-kata indah, tokoh-tokoh menarik dan cerita fiktif belaka.
Selama ini gue sadar bahwa gue terlalu apatis dengan berbagai hal yang ada di sekeliling gue dan lebih milih cukup tau ketika menjumpai orang-orang yang senang berargumen tanpa common sense yang benar-benar bisa diterima. Gue memilih untuk bungkam ketika mendapati situasi dimana ada beberapa orang yang menyerang pihak-pihak tertentu dengan senjata kepercayaan diri dan playing God serta men-Tuhan-kan ego, seakan apa yang mereka utarakan itu benar padahal justru nihil. Gue inget sekalinya ikutan komen, dibalesnya ngelantur kemana-mana dan lagi-lagi kaum ini malah playing victim dengan masih tetap berlagak pendapat mereka adalah yang paling benar. Alhasil gue jadi semakin males untuk ngeladenin pemikiran-pemikiran orang yang hobinya pointing out kayak gini. Berkaca pada situasi ini jelas gue yakin ada banyak banget orang-orang di luar sana yang hanya berakhir diam di tengah-tengah, membiarkan para vocal minority bertindak sesuka hati mereka, karena merasa berbicara mewakili mayoritas adalah kegiatan buang-buang waktu dan tenaga. Yea, vocal minority, kebalikan dari silent majority dimana isinya adalah orang-orang yang senang dan aktif menyuarakan pendapatnya but not in a good way, playing God dan senang pencitraan. Bahkan pernah suatu ketika ada yang mengaku-ngaku bahwa mereka adalah mayoritas yang sedang menyuarakan pendapatnya. Ckck, what does that mean?
Anyway, gue punya beberapa temen yang sering gue ajak diskusi dan gue mintai pendapatnya soal beberapa masalah, entah yang sudah atau bahkan sedang terjadi, dan dari jawaban-jawaban mereka secara gak langsung memberi gue ilham, bahwa temen-temen gue ini termasuk orang yang 'waras' tapi berakhir hanya sebagai pengamat, karena merasa gak ada artinya berbicara, ketika orang-orang yang merasa waras lebih banyak di luaran sana. Gue jadi semakin sadar, kita gak bisa selamanya begini terus. Membiarkan orang-orang merampas hak bersuara dan berpendapat kita hanya karena mereka merasa paling benar, hanya karena mereka berlindung di bawah oknum-oknum tertentu.
Tadi gue sempet bilang kalau silent majority ini justru berdampak negatif terhadap kehidupan bermasyarakat, kan? Kenapa? Karena terkadang kita terlalu apatis, unaware, masa bodo padahal apa yang sedang terjadi sebenarnya bisa berdampak untuk jangka panjang dan akan jadi berabe kalau ternyata orang-orang di baliknya ini adalah vocal minority. Kalau keadaan ini terus dibiarkan, yang ada kita membiarkan orang-orang yang berisik dan penuh pencitraan itu terus berada di atas, seakan suara mereka adalah mayoritas. Kita membiarkan mereka menguasai berbagai platform media di sekitar kita, tanpa sadar bahwa kita baru saja diam tanpa memberi solusi. Kita sepertinya lupa bahwa silent majority punya pengaruh yang sangat besar, baik dalam perkara-perkara kecil yang sering kita temuin di media sosial, atau bahkan perkara yang besar sekalipun. Kita ini punya kekuatan yang bisa mengubah sekaligus menyingkirkan suara-suara picik di luar sana.
Omong-omong soal kekuatan, gue serasa diingatkan bahwa dalam hitungan bulan negara kita akan menyelenggarakan pilpres. Sebagai generasi muda, gue rasa sudah sepatutnya kita mulai bergerak dan berhenti jadi golongan putih hanya karena merasa negara ini nggak akan ada bedanya kalaupun ganti kepemimpinan, atau hanya karena masa bodo dengan segala urusan birokrat. It's such a very shallow thought, you know? Kita tinggal di negara demokrasi (dan akhirnya kata ini malah keluar) dengan segala konsekuensi sebagai warga negara. Apakah kita mau terus membiarkan orang-orang licik yang tak bertanggungjawab memanfaatkan suara kita? Nggak, kan? Kalau ada yang berpikir diam itu baik, diam itu emas, kayaknya mesti baca-baca lagi deh. Diam itu menjadi emas ketika kita menahan diri dan menjaga lisan dari sesuatu yang mengandung maksiat dan mengakibatkan kemudhorotan. Kalau sekiranya bisa bersuara untuk kebaikan, kenapa nggak? Di saat vocal minority berlomba-lomba menyuarakan pendapatnya, kita sebagai silent majority yang waras dan nggak mudah dibodohin masih diam aja?
Diam itu tidak selalu berarti baik, kalau digunakan untuk berusaha melindungi diri dan menutup mata atas kesalahan dan keburukan yang sedang terjadi. Kalau masih ada yang berpikir lebih baik menonton daripada menciptakan, diam kalian bukan berarti emas.