Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram twitter LinkedIn YouTube Spotify Email

Notes of Little Sister



Body Positivity Bukan Validasi


Teman-teman, ada yang masih ingat? Lebih dari setahun yang lalu, jagat maya kita sempat dihebohkan oleh pernyataan salah satu influencer yang sempat keblinger freedom of speech, karena mengata-ngatai tubuh seseorang di tempat gym dengan sebutan "polusi visual". 

Kemudian setelahnya, muncul lagi pernyataan kontroversial dari MH, seorang model alias "Menteri Kecantikan" yang mengeluh di media sosial pribadinya dikarenakan standard kecantikan Victoria Secret's Angels dan tayangan Gossip Girl favoritnya kini telah bergeser dari yang ia yakini selama ini. Seolah tak kuasa menahan kekesalan, dengan lantang ia melabeli "buriq" seorang perempuan berkepala pelontos dan berkulit gelap yang diketahui sebagai pemeran baru seri Gossip Girl.

Ujaran tidak mengenakan terhadap perempuan yang dianggap tidak memiliki tubuh seperti standard masyarakat juga pernah dialami oleh Nurul, seorang atlet angkat besi sepulang dari Olimpiade Tokyo di Bandara Soekarno-Hatta pada pertengahan Agustus tahun lalu. 

Sikap ini seakan-akan semakin melanggengkan eksklusivitas standard kecantikan yang tidak merangkul semua kalangan dan jenis tubuh. Karena itu, gerakan women support women pun tampaknya hanya berlaku untuk lingkaran tertentu.

Pergelutan di media sosial terhadap self-acceptance semacam ini lagi-lagi menunjukan adanya miskonsepsi perihal body positivity. Bagi orang-orang bertubuh "privilege" yang bisa sesuai dengan standard Victoria Secret, gerakan body positivity tampaknya hanyalah bentuk validasi rasa malas bagi orang-orang yang tidak bisa memiliki badan seperti bihun—kurus, langsing, dan berkulit terang. Seakan-akan perjuangan mayoritas perempuan selama berpuluh-puluh tahun tak ada artinya bagi mereka. Padahal body positivity, atau gerakan mencintai dan menerima diri tanpa harus sesuai dengan standard yang berlaku di masyarakat ini sudah diperjuangkan sejak tahun 1960-an di Amerika Serikat.


Asal Usul Kampanye Body Positivity

Kampanye ini berawal dari adanya tindakan diskriminatif terhadap orang-orang yang berbadan gemuk.  Fat Acceptance dan Fat Liberation diusung oleh kelompok NAAFA (National Association for Advancement of Fat Acceptance) dan juga feminisme yang aktif di California. Mereka lalu menerbitkan manifesto yang inovatif, dimana isinya ialah menuntut kesetaraan bagi para pemilik tubuh gemuk atau penyandang obesitas dalam seluruh aspek kehidupan. Mereka bahkan menyinggung perihal industri-industri tertentu yang berperan dalam mendukung standard kecantikan dan budaya diet, hingga menyatakan industri ini sebagai musuh.

Gerakan perjuangan inipun terus berkembang pesat. Pada tahun 1980-an, antusiasme terhadap pembebasan orang gemuk dari diskriminasi mulai terus tersebar ke penjuru dunia. London Fat Women’s Group menyusul terbentuk pada pertengahan 80-an dan aktif selama bertahun-tahun. 

Orang-orang memang tidak menggunakan istilah Body Positivity pada masa itu, tapi para aktivis yang berperan dalam menyuarakan anti-diskriminasi pada penyandang obesitas ini dapat dengan mudah dijumpai di berbagai acara talk show dan media lainnya. Lalu pada era 90-an, aktivis-aktivis tersebut berdemonstrasi di depan White House, menggelar protes di depan pusat kebugaran yang memajang iklan bernada fatphobic, dan menari-nari bersama rombongan kendaraan pawai pada parade San Francisco’s Pride.

Topik yang kemudian mencuat tentang dorongan mencintai tubuh sendiri ada yang membingungkan beberapa pendengar, namun di saat yang sama juga ada banyak orang yang merasa terinspirasi. Mungkin karena pada saat itu istilah self-love, self-acceptance, dan body positive tidak lazim seperti sekarang. Tampaknya orang-orang ini berpikir bahwa, jika seseorang yang terlihat seperti mereka (dianggap tidak sesuai standard kecantikan) saja bisa belajar untuk mencintai diri sendiri, siapapun tentu bisa. 

Baca juga:  Childfree yang Diperdebatkan

Hingga memasuki awal 2000-an, internet akhirnya menjadi salah satu platform dimana berbagai bentuk penghinaan terhadap tubuh orang lain dan kampanye tentang mencintai tubuh sendiri mulai banyak tersebar. Meski kondisi tersebut dibarengi dengan munculnya anonimitas (orang-orang yang tidak menunjukan identitas diri di media sosial) dan menyebabkan perundungan, namun kondisi ini tidak dapat terelakan juga menunjukan bentuk ekspresi diri.

Ketika beragam papan pesan dan ruang obrolan tahun 90-an digantikan dengan media sosial, para aktivis ini terus membangun aksinya secara digital. Mereka berpindah dari grup AOL dan forum online NAAFA ke Tumblr dan Instagram. Adanya tagar dan grup-grup Facebook pun membantu banyak orang untuk terhubung dengan cara yang baru. Generasi yang baru ini kemudian menyebarkan aura positif yang dikenal sebagai Body Positivity. 


Menerapkan Body Positivity, Tak Mesti Jadi Toxic Positivity

Bagi orang-orang yang memiliki badan lebih kecil dan minim mendapat ejekan seputar kondisi tubuh, mungkin merasa bahwa gerakan body positivity hanyalah bentuk validasi atas rasa malas mereka yang bertubuh gemuk untuk memiliki gaya hidup lebih sehat. Nyatanya, tujuan awal kampanye ini adalah untuk meyakinkan orang-orang bahwa siapapun harus diperlakukan dengan baik, tidak peduli bagaimana bentuk badan mereka, warna kulit mereka, hingga cantik atau tidak rupanya. Toh, segala standard cantik yang berlaku di masyarakat tidak bisa menentukan bagaimana value diri seseorang, dan bagaimana ia berperilaku di lingkungan sekitarnya.

"Lantas, bagaimana kalau para penyandang obesitas atau pemilik tubuh gemuk itu sendiri yang menjadikan ini validasi?"

It's not the campaign that is wrong. It's on them and their mindset. Karena biar bagaimanapun, gue percaya tubuh yang sehat adalah kunci untuk hidup yang juga lebih sehat. Dan gue rasa, mereka sendiri sadar bahwa tubuhnya adalah aset berharga yang mesti dijaga, dirawat dan diberi asupan gizi dengan baik agar bisa bugar hingga tua nanti. Percayalah, gue yang memiliki tubuh kurus pun masih berjuang untuk bisa memiliki hidup yang lebih sehat, dengan pola makan yang teratur dan bergizi. Lagipula, kenapa sih, badan kurus dan langsing harus diasosikan dengan tubuh yang indah dan molek? Apa semua hal yang berkaitan dengan tubuh juga harus dipandang sebagai estetika?

Perlu diingat, bahwa kita bukan patung yang tubuhnya bisa sama rampingnya, bisa dibentuk molek sedemikian rupa, tidak tampak kekurangan sama sekali, tanpa gelambir dan stretchmark disana sini. We have different shapes, sizes, and bone structures. 

Tidak semua orang yang kurus hidupnya sehat atau penyakitan, begitupun dengan orang-orang yang memiliki tubuh gemuk. Bisa jadi mereka memang memiliki struktur tulang yang lebih padat dari orang kebanyakan, and that's okay, as long as mereka merawat tubuhnya dengan baik dan sadar akan kesehatan diri sendiri.

Hal ini berkaitan dengan sub-judul yang gue sematkan di atas. Yap, meski body positivity adalah gerakan yang bagus untuk menyadarkan siapapun bahwa setiap orang berhak memiliki citra tubuh yang positif, namun tidak semata-mata kita jadi bisa merayakan obesitas begitu saja tanpa mau mengubah diri sendiri ke arah yang lebih positif. Bukankah sejatinya itu yang dimaksudkan body positivity? 

Tidak merawat tubuh kita sebagaimana mestinya dengan mengonsumsi makanan secara sembarangan dan berlebihan dengan dalih body positivity justru akan berdampak buruk bagi diri kita. Inilah yang disebut dengan toxic positivity.

"Duh, ribet banget yaa jaman sekarang terlalu banyak istilah."

Indeed. Tapi menurut gue istilah seperti ini cukup penting untuk diketahui, agar kita bisa lebih mengenal diri sendiri dan tahu kapan waktunya untuk ngerem saat kita sudah terlalu memaksakan prinsip "body positivity" ini. 

Dilansir dari Alodokter, toxic positivity adalah kondisi ketika seseorang menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir dan bersikap positif serta menolak emosi negatif. 

Melihat suatu hal dengan positif memang baik, tapi tidak jika malah mendiskreditkan emosi negatif tersebut, seolah-olah perasaan yang tidak positif adalah sesuatu yang tidak valid untuk kita terima. Karena hal ini bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental, seperti yang dikutip dari City Nomads di bawah.
Radiating positivity 24/7 is a tough feat for anyone. The pressure to be positive can become toxic quickly. This toxic positivity may not exactly improve one's self or body-image. In fact, may even be counterproductive, because it can manifest as mental health conditions like depression and body dysmorphia, eating disorders and more in the long run.
So, kalau kamu sedang merasa tidak puas dengan kondisi tubuhmu karena berbagai hal, it's okay to feel that way sometimes. Siapa tahu perasaan itu malah mendorong kamu untuk bisa memiliki gaya hidup yang lebih sehat dan teratur. Tapi juga jangan merasa buruk sampai berlarut-larut, karena sesungguhnya setiap orang punya kekurangan dan kelebihannya masing-masing.

Believe me, segala standard yang dibangun oleh masyarakat selama ini adalah buah dari kapitalisme. That's why you shouldn't feel guilty about your own body that doesn't fit the beauty standard. Tidak salah juga sebetulnya kalau menteri kecantikan yang gue mention di atas merasa sebal ketika tipe model favoritnya di Victoria's Secret berubah secara inklusif, karena dia hanyalah "korban" dari citra kecantikan yang berusaha dibangun oleh orang-orang di balik Victoria's Secret--the capitalistic marketing itself. 

Instead of spending time in front of the mirror criticizing our shortcomings, why don't we use the time we have to examine our strengths and upgrade skills for the sake of our future and our own happiness? Furthermore, we can stop using our bodies to define ourselves and our worth at all. Because our lives isn't only about body and appearance. It's broader than that.


Reference:

BBC: The History of the Body Positivity Movement
Mengenal Lebih Jauh Tentang Toxic Positivity
Citynomads.com: Why Body Positivity Isn't All that Positive


Share
Tweet
Pin
Share
9 komentar
 
Seksisme: Basi Lo!

Pernah nggak sih, kamu ngalamin dilecehkan secara nggak langsung di ruang publik atau ketika menggunakan transportasi umum? Dilirik, dilihatin dari atas sampai bawah dengan tatapan sensual sama laki-laki—yang terlihat jelas dari tatapannya bukan seseorang yang bisa memuliakan perempuan. Lalu digangguin saat lagi jalan, disiulin, dipriwitin kayak pemain bola, ditanya-tanya sesuatu yang sifatnya personal as if kamu sengaja lagi mejeng untuk menarik perhatian mereka?

Gue pernah, bahkan sering sekali dalam beberapa bulan terakhir ini. Saking seringnya, gue sampai muak dan enggan keluar rumah kalau urusannya nggak penting-penting amat. Males juga harus bolak balik pakai angkutan umum, males meladeni sebagian sopirnya yang nggak tau bagaimana caranya beretika terhadap stranger yang kebetulan perempuan ini. Udah pakai masker, kerudung, ditambah jaket yang disleting hingga leher, dan tertutup sedemikian rupa nyatanya nggak bikin manusia-manusia mata keranjang ini berhenti menggoda cewek yang lewat dan muncul di hadapannya. Seperti yang gue bilang tadi, seakan-akan kehadiran kita disitu adalah 'hadiah' atas dahaga nafsunya yang belum tersalurkan. 


Dipaksa Menguasai Pertahanan Diri


Gue termasuk cukup beruntung karena memiliki wajah jutek yang bisa gue manfaatkan dalam situasi-situasi semacam ini. Tapi lama-lama lelah juga kalau harus auto jalan ngangkang kayak ibu hamil setiap jalan melewati kerumunan bapak-bapak atau anak muda seperti mereka hanya agar gue nggak terlihat feminim di depan mereka. Dan gue rasa, gue bukan satu-satunya yang mengalami mekanisme pertahanan diri seperti ini.

Tumbuh di lingkungan yang patriarkis dengan segala stereotip gendernya terhadap perempuan, mau nggak mau membuat gue terbiasa menjalani hidup dengan penuh ketakutan. Terutama bagaimana kami seakan-akan hanya dipandang sebagai makhluk "visual", makhluk pemuas nafsu, makhluk yang dianggap seperti barang karena segala lekuk tubuhnya adalah tontonan. Meskipun, ya, gue nggak sepolos itu untuk nggak menyadari ada dari kaum perempuan sendiri yang berprofesi demikian. 

Namun masalahnya, nggak semua orang demen dicat-callingin, nggak semua perempuan suka cari perhatian, nggak semua perempuan mau dideketin dan dilecehkan hanya karena dianggap menarik, nggak semua perempuan berprofesi seperti apa yang laki-laki ini pikirkan. Bahkan kalau ada orang-orang yang memang ingin terlihat menarik untuk lawan jenis, bukan berarti mereka nggak bisa dihargai. Gue rasa pelaku-pelaku pelecehan seksual dari skala kecil sampai besar ini perlu direhabilitasi dan mendapatkan pendidikan khusus tentang bagaimana seharusnya dia bersikap dan memposisikan perempuan nggak lebih dari sosok manusia yang memang faktanya punya banyak perbedaan. Dan perbedaan ini bukan untuk dimanfaatkan, tapi untuk dihormati. 

Gue sangat amat lelah dengan ini semua. Bahkan jikalau gue diberikan satu saja kesempatan—yang sangat nggak mungkin—untuk mengubah dunia, mungkin gue lebih memilih untuk menghapuskan segala perasaan dan syahwat antara laki-laki dan perempuan. Biar bisa sama-sama saling jaga tuh mata dan hati.

"Auto jadi malaikat kali!"

Ya jangan dipikirin sampe jauh juga, namanya lagi nge-rant dan berandai-andai sesuatu yang mustahil bagi manusia. Kalau dilawan sama nalar memang nggak masuk, jangan, yang ada malah makin pusing. 

Baca juga: How I See Feminist As A Muslim

Belum lagi serangkaian berita kekerasan seksual yang wara wiri belakangan di media secara nggak langsung semakin menambah kewaspadaan gue sebagai perempuan—dan pastinya teman-teman di luar sana. Gue jadi khawatir, dimana tempat yang aman bagi kami kalau predator-predator seksual seperti itu berkeliaran di sekitar kita? Dan bukan hanya predator itu sendiri, kita juga harus dihadapkan dengan berbagai konstruksi sosial dan stigma yang mengikat masyarakat. Bahkan banyak instansi pemerintah dan tokoh masyarakat, sampai-sampai segelintir tenaga kesehatan yang ikut mengiyakan stigmasisasi dan seksisme macam ini.

Nggak terhitung berapa banyak masyarakat—khususnya perempuan—di media sosial yang sering mengeluh mendapatkan perlakuan kurang nyaman ketika mereka harus memeriksakan diri ke dokter obgyn, ketika masalah yang dialami bukan soal kehamilan, melainkan cuma soal sembelit, menstruasi yang nggak teratur, dan serangkaian konsultasi lain terkait organ reproduksinya. Ditambah lagi kelakuan lucu polisi-polisi kita yang sangat sering bertindak nggak adil dalam mengurus kasus pelecehan, kasus pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lain.

Sebagai instansi yang seharusnya mengayomi dan melindungi rakyat, kebanyakan dari mereka malah ikut menghakimi korban, menutup-nutupi kasus, menyepelekan pengalaman korban seakan-akan mengusut kasus hanya akan membuang waktu mereka. Karena jawabannya apa?

"Kamu yakin? Nanti kamu sendiri lho yang menanggung malu."
"Kita nikahkan saja ya, dengan pelaku."
"Saya sih mau bantu, tapi nanti Anda siap tidak dengan segala konsekuensinya? Semisal dituduh balik dengan pasal pencemaran nama baik?" 

Lha, apa ini? Gaslighting? Bukannya bantu kuatkan dan support, kok malah nambah-nambah beban pikiran korban. Seakan-akan menikahkan korban dengan rapist adalah jawaban terbaik, seakan-akan asas kekeluargaan bisa menyelesaikan semua masalah begitu saja. Memangnya lagi main koperasi-koperasian?

Coba kita rewind sejenak berita yang selama ini mencuat, ada berapa banyak kasus-kasus pelecehan atau kekerasan seksual yang diabaikan oleh aparat, sampai harus menunggu viral dulu untuk bisa diusut? Dalam catatan gue, setidaknya ada enam kasus pelecehan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir—yang mana terus bertambah sejak terakhir kali gue cek linimasa Twitter sore tadi. Bahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pun mencatat kira-kira ada 8.800 kasus kekerasan seksual yang terjadi dari bulan Januari sampai November tahun lalu. Itu yang tercatat di laporan, belum termasuk kasus-kasus lain yang terhambat di persoalan internal keluarga, dan lain-lain.

Beberapa yang sempat ramai di media nasional, di antaranya ada kasus pemerkosaan seorang anak penyandang disabilitas rungu-wicara yang dilakukan secara beramai-ramai (gang rape) di Makassar pada awal tahun 2021, kasus pelecehan seksual di lingkungan kerja pemprov DKI Jakarta yang dilakukan oleh mantan Kepala Badan Pelayanan Pengadaan Barang dan Jasa (BPPBJ), kasus kekerasan seksual 14 anak remaja yang dilakukan oleh pemilik sebuah sekolah, hingga serangkaian kasus pelecehan seksual di perguruan tinggi yang sempat ramai beberapa bulan lalu. 

Baca juga: Kenapa Kita Misoginis?

Let's Break the Bias


Pandangan seksis yang menganggap satu gender lebih superior daripada gender lainnya juga menimbulkan berbagai polemik lain seperti bias gender yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Misalnya, perempuan dianggap nggak terlalu penting untuk bersekolah tinggi-tinggi, karena toh nantinya akan berurusan di dapur, mengelola rumah tangga, dan sebagainya—yang secara nggak langsung juga merendahkan pekerjaan ibu rumah tangga (internalized misogyny). Selain itu, perempuan nggak boleh menjadi pemimpin dalam sebuah organisasi jika masih ada anggota laki-laki di dalamnya, nggak peduli sekompeten apa perempuan ini.

Berbagai batasan-batasan yang stereotypical ini pada akhirnya hanya akan mematikan mimpi-mimpi ribuan anak perempuan yang ingin memiliki kehidupan lebih layak dengan meng-upgrade diri mereka sendiri. Sadar nggak, sih? Lingkungan masyarakat kita sudah sering mengingatkan agar anak-anak dan pemuda pemudinya bisa memiliki taraf kehidupan yang lebih baik, bisa sukses dan menjadi orang yang berguna, tapi sekali saja anak mereka melangkahkan kaki untuk mendobrak stigma-stigma, mereka juga yang menghentikan langkahnya. Langkah-langkah kecil yang berharap bisa sampai di suatu perubahan.

Oleh karena itu, International Women's Day yang diperingati pada tanggal 8 Maret lalu mengusung tema #BreakTheBias, seolah menjadi penggerak sekaligus pengingat bagi siapapun bahwa berbagai bias gender yang dilanggengkan terhadap kaum perempuan selama ini sebetulnya telah memberi pengaruh yang begitu besar tentang bagaimana pandangan-pandangan masyarakat selama ini terbentuk. 

We want to remind everyone that it's not about wanting to be the first or to be the most powerful  over men, but simply wanting the justice we deserve, not just as women, but as human beings—in the name of humanity. Setara bukan berarti melawan kodrat dan memaksa untuk sama, despite segala perbedaan biologis yang dimiliki laki-laki dan perempuan. In my humble opinion, setara berarti seimbang. Nggak ada lagi bias, nggak ada lagi superioritas tanpa batas, nggak ada lagi interseksionalitas terhadap perempuan, nggak ada lagi sistem patriarkis yang menempatkan perempuan sebagai sosok manusia yang nggak punya pilihan, nggak ada lagi kesenjangan dan ketidakadilan sosial terhadap perempuan (atau bahkan kelompok marjinal) di tempat kerja, dan nggak ada lagi pandangan seksis terhadap siapapun. 

To those who think sexism is normal and should be considered as something understandable, basi lo! Let's break the bias, as much as we want changes.



References:

HitsSuara.com: Nakes Dianggap Judgmental ke Pasien KB
CNN Indonesia: Marak Kekerasan Seksual Sepanjang 2021
Share
Tweet
Pin
Share
11 komentar
Childfree yang Diperdebatkan

Belum lama ini ramai fenomena gaya hidup tanpa-anak a.k.a childfree/childless menghiasi linimasa media sosial. Saya yang sudah mendengar konsep ini wara wiri sejak beberapa waktu lamanya, agak tergelitik ketika mengetahui fakta bahwa yang membuat isu ini menjadi trending adalah netizen yang bukan penganut childfree yang seolah kebakaran jenggot ketika menemukan prinsip yang bertentangan dengan kebanyakan orang (kedepannya saya akan gunakan kata childless karena preferensi pribadi).
Padahal, sudah cukup lama dan seringnya influencer Gitasav yang mengangkat isu ini bicara tentang pilihannya untuk childless. Yah, memang kenyataannya pro-kontra akan selalu ada, sih. Terlebih untuk negara kita yang mayoritas muslim konservatif, pemikiran-yang-dianggap tabu sebab datang dari negara barat nggak ubahnya ibarat pemahaman anak SD yang mentah dan seakan-akan nggak lolos "sertifikasi" ketika masuk ke Indonesia.
Sama seperti isu feminisme yang dianggap melekat dengan embel-embel LGBT, kita pikir paham ini hanya berlaku untuk para non-binari yang kehilangan haknya dalam bermasyarakat di segala aspek kehidupan. Padahal, feminisme jelas datang sebagai penyelamat bagi kawan-kawan puan yang tertindas dan mendapat perlakuan nggak adil berdasarkan budaya misoginis dan sistem patriarki yang dianut sebagian besar bangsa-bangsa di dunia. Hak-hak untuk mendapat keadilan dalam lingkup politik, pendidikan, pekerjaan, sosial dan masyarakat itulah yang menjadi tujuan mereka sesungguhnya. Namun ibarat peribahasa nila setitik rusak susu sebelanga, beberapa kelompok seakan menihilkan mimpi besar ini.
Mungkin mereka lupa, R.A Kartini juga bagian dari pergerakan feminisme, yang sering kita bungkus dengan istilah emansipasi. Begitu pun dengan konsep childless. Kelompok-kelompok penentang ini bersikukuh bahwa gaya hidup tanpa-anak hanyalah trend atau gaya-gayaan orang luar negeri saja yang memang malas nggak mau punya anak. Padahal tentu kenyataannya nggak semudah seperti apa yang dibayangkan. 
Lagi-lagi sebagaimana childless adalah konsep pemikiran yang dianggap melenceng, orang-orang yang memiliki prinsip yang berbeda ini juga dapat dengan mudahnya dicap nggak cukup Islami oleh beberapa kalangan.
"Halah darimana itu pemikiran! Jelas-jelas jadi orangtua itu ibadah untuk mendapat ridho Allah."
"Kasihan satu amalan jariyahnya terputus."
"Perempuan kok melawan kodrat. Punya rahim tuh ya dimanfaatkan. Nggak kasihan apa sama perempuan lain yang pingin punya anak tapi nggak bisa? Respek dong!"
"Jangan menikah kalau takut punya anak. Apalagi ketakutan gara-gara lingkungannya gak cukup nyaman untuk ditinggali. Kalau begitu Anda nggak percaya sama Tuhan."
Dan masih banyak lagi.
Rasa-rasanya nggak habis manusia dicekoki beragam tekanan yang datang dari sesamanya sendiri. Belum menikah, disuruh cepat menikah. Ketika sudah menikah, seolah dipaksa untuk memiliki anak—walaupun itu bukan satu-satunya tujuan setiap pasangan dalam pernikahan. Seakan-akan kalau nggak memiliki anak adalah dosa besar yang bisa menimpa seisi dunia. Padahal agama Islam sendiri agama yang rahmatan lil 'alamin. Manusia diberi akal agar mereka bisa berpikir dan memilih sendiri jalan yang menurutnya baik dan benar—meskipun pada akhirnya pilihan kita yang barangkali menentukan takdir kedepannya yang memang sudah Allah tetapkan di Lauhul Mahfudz.
Kita diberikan kebebasan untuk menentukan mana yang baik dan nggak untuk diri kita sendiri berdasarkan berbagai pertimbangan. Memang semua ada hisabnya, baik memiliki anak atau nggak. Namun kenapa pula, sih, situ yang panik ngurusin hisab (pertanggungjawaban) orang lain? Pilihan kita tanggung jawab masing-masing, kok.
Daripada sibuk mengkonfrontasi prinsip hidup pasangan-pasangan anti-mainstream ini, lebih baik bantu tingkatkan kesadaran di lingkungan sekitarnya soal keadaan bumi yang semakin kesini semakin rusak ditinggali manusia-manusia serakah. Supaya kehidupan anak cucu kita bisa sejahtera. Itu termasuk menjalankan ibadah dan tugas sebagai orangtua, bukan?
Konfrontasi yang bermunculan di publik ini alhasil hanya menimbulkan kebencian dan permusuhan antar sesama komunitas muslim itu sendiri—sesuatu yang jelas nggak merepresentasikan agama yang penuh kedamaian dan toleransi. Tindakan semacam inilah yang membuat orang lain bisa-bisa punya anak bukan karena keinginan dan atas kesadaran sendiri, tapi semata-mata untuk memenuhi kewajiban sosial.
"Memangnya ada ya yang begitu?"
Oh ya jelas, bung. Buktinya banyak istri-istri korban kekecewaan mertua di luar sana yang mengalami tekanan batin karena belum juga bisa "memberikan" cucu meski sudah di usia pernikahan yang kesekian. Tanpa menyarankan untuk konsultasi ke ahlinya, dengan seenaknya saja para mertua ini menyalahkan sang istri yang nggak melahirkan keturunan. Padahal bisa saja yang infertil ini justru pihak suami, toh. Okay, sepertinya saya terlalu banyak menonton mega-series Suara Hati Istri di saluran ikan terbang. Tapi, perlu diketahui, bahwa sedikit banyaknya kasus tersebut juga terjadi di kehidupan sehari-hari kita.
Lebih dari itu, sebetulnya pengkhayatan keislaman seseorang nggak bisa dilihat sekadar dari keinginannya untuk punya anak (kandung) atau tidak. Ada yang memang memiliki trauma masa kecil dan nggak ingin hal yang sama terjadi kepada anaknya kelak, ada juga yang memang sulit bergaul dengan anak-anak.
"Tapi kalau sudah jadi ibu, kan, aura keibuannya pasti akan keluar dengan sendirinya. Itu natural, lho. Jangan takut."
Iya memang, tapi disinilah masalahnya. Kita perlu mengerti bahwa nggak semua orang bisa mengambil pilihan itu. Ada orang-orang yang memang perlu untuk mempertimbangkan banyak hal sebelum bertindak. Bukan semata-mata karena nggak percaya Tuhan-Nya, namun ia tahu bahwa Tuhan juga menyukai hamba-Nya yang nggak tergesa-gesa dan berpikir bijak sebelum memutuskan. 
Bagaimana jika pasangan-pasangan childless ini ternyata banyak bersedekah dengan tangan kirinya dan memiliki anak asuh di berbagai panti atau yayasan yang tersebar di daerah tempat tinggal mereka? Bagaimana jika orang-orang yang menyuruh mereka memiliki anak justru ternyata menanggalkan banyak kewajiban yang harusnya dilakukan sebagai orangtua?
Meleknya pasangan-pasangan baru terhadap ilmu parenting, finansial, dan sebagainya yang berkaitan dengan peran orangtua adalah salah satu tanda kemajuan sekaligus bangkitnya kesadaran bahwa memang nggak semua orang bisa jadi orangtua yang baik, nggak semua orang sanggup menjadi orangtua, karena peranan ini sesungguhnya mulia dan berat sekali. Ketika ada seseorang yang sadar akan hal tersebut sehingga membantunya menentukan prinsip hidupnya, seharusnya kita hargai dan apresiasi. Mengingat banyak sekali kasus-kasus dimana terdapat ribuan anak terlantar dan dibuang oleh orangtuanya sendiri karena ketidaksanggupan mereka memenuhi kewajiban, yang mana semua itu diawali oleh kurang bijaknya suami dan istri dalam mengambil keputusan.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Cewek Matre: Realistis atau Materialistis?

Beberapa hari lalu sebuah pertanyaan di akun base Twitter lagi-lagi kembali menggelitik gue. Kira-kira begini pertanyaannya:

Cewek Matre: Realistis atau Materialistis?
Pertama-tama, gue sengaja menghindari untuk menulis judul dengan kata kunci "cewek matre", karena sebetulnya fenomena matre atau materialistis ini bisa terjadi kepada siapa saja, terlepas dari gender-nya perempuan atau laki-laki. Hanya saja sebagai makhluk sosial yang kelak diharapkan menjadi seorang istri, wanita lebih sering diposisikan atau memposisikan dirinya sendiri sebagai sosok yang perlu selalu dibiayai dan ditunjang kebutuhannya oleh laki-laki—meski pada kenyataannya belum menikah sekalipun.

Jadi, perlu ditekankan bahwa narasi yang gue angkat disini bukan semata-mata menunjukan kebencian terhadap sesama perempuan atau melanggengkan budaya misoginis, tetapi menyoroti sebuah perilaku atau fenomena sosial yang selama ini divalidasi sebagai tindakan realistis berdasarkan kacamata gue.

Gue sering mendengar jawaban yang sangat umum dari beberapa orang ketika dirinya ditanya, "kenapa sih cewek itu matre?", dengan dalih bahwa mereka tidak matre, melainkan realistis. Seolah mengiyakan stereotip yang berlaku di kalangan perempuan sebagai makhluk yang berorientasi pada uang dan barang-barang mahal nan branded. Padahal, entah dirinya memang hidup pas-pasan atau minimalis sehingga apa yang dibeli murni adalah kebutuhan, atau memang berusaha melarikan diri dari kenyataan bahwa barang-barang yang dibelanjakan selama ini bukan keluar dari kantong pribadinya.

Banyak juga narasi yang gue dengar seperti ini, "sebagai cewek jangan mau keluar uang. Masa dari sekarang aja cowok lu nggak mau bayarin? Gimana nanti jadi suami?". Dan serangkaian opini yang mengatasnamakan komitmen serta tanggungjawab laki-laki sebagai pencari nafkah.

Realistis dan materialistis (matre) sebetulnya adalah dua hal yang berbeda dan nggak bisa dipaksakan beriringan. Realistis memiliki arti bahwa seseorang tidak selalu memikirkan sesuatu terlalu tinggi, melainkan semampunya. Ia berorientasi pada hal-hal yang bisa ia lakukan tanpa harus merugikan orang lain. Sementara materialistis adalah perilaku dimana seseorang secara sadar atau tidak, terlalu fokus dan bahkan bisa terobsesi terhadap uang dan kebendaan—yang digantungkan kepada orang lain. Rajeev Kamineni dalam jurnalnya mengatakan bahwa, "materialism is the ‘devotion to material needs and desires, to the neglect of spiritual matters; a way of life, opinion or tendency based entirely upon material interests’". 

Jika merujuk pada pengertian di atas, materialistis jauh dari kata lawannya, realistis, sebab perilaku ini mengabaikan nilai-nilai spiritual yang mana merupakan salah satu fondasi menjadi realis; yakni menjalani hidup apa adanya, sewajarnya dan semampunya.

Meski begitu, di sisi lain nggak semua orang yang money-oriented dapat digolongkan sebagai manusia matre, karena bergantung pada perspektif dan kondisi tertentu. Jika seseorang tidak mampu membiayai kehidupannya sendiri karena satu dan lain hal—katakanlah tidak memiliki pekerjaan yang stabil dan kesulitan dalam hal ekonomi, dimana situasi tersebut membuatnya membutuhkan bantuan orang lain yang dia percayai, tindakan ini masih bisa dikatakan realistis, selama ada consent dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Tetapi kalau memang seseorang menggantungkan seluruh hidupnya pada manusia lain hanya untuk memuaskan keinginan akan hal-hal yang berada di luar kuasanya, maka jangan mengelak juga kalau hubungannya berlandaskan materialisme, bukan rasa cinta.

Memang, hidup tanpa uang rasanya bakal hampa dan morat-marit bikin pusing kepala. Bahkan dalam menjalin hubungan, kita nggak bisa cuma mengandalkan cinta. Untuk apa ada komitmen dan rumah tangga kalau semua bisa diselesaikan hanya dengan "cinta". Tapi konsep ini nggak bisa dijadikan alasan untuk kita hambur-hamburkan uang hanya untuk memenuhi keinginan pribadi, apalagi menjadikan individu lain tambang materi saat keadaan kita sendiri sebetulnya mengharuskan kita untuk hidup lebih cukup.

"Men always have to pay the bills, though!"

"Yaa nggak selamanya harus, dong. Apalagi kalau baru nge-date doang😅. Katanya hubungan itu kerjasama, bareng-bareng. Kalau masih bisa berbagi, kenapa nggak?"

I know how hard and suck life is. Terkadang ada juga gue temukan perempuan-perempuan kuat yang mandiri dan menjadi tulang punggung keluarga, plus menjadi ibu dari anaknya, tapi masih dianggap sosok matre hanya karena dia terlihat berusaha menyenangkan dirinya sendiri sesekali dengan barang yang dia suka. Ini juga menjadi masalah, menurut gue. Tentang bagaimana kondisi matre atau tidaknya seseorang tidak sesuai dengan konteks yang sebenarnya, seperti para lelaki yang sering melabeli perempuan dengan kata matre secara asal. 

Karena itu, gue sedih setiap kali mendengar narasi-narasi yang mengkerdilkan kaum perempuan sendiri hanya karena konstruksi sosial yang mengatur bahwa memang sudah seharusnya perempuan apa-apa dibayarin, apa-apa nggak bisa membiayai keperluannya sendiri meski belum menikah dengan pasangannya ini diiyakan begitu saja—yang sejak tadi membawa pada satu kesimpulan: cewek itu matre! 

Hanya karena perempuan ujung-ujungnya di rumah, ngurus anak dan di dapur, begitu? Hanya karena kebutuhan perempuan lebih banyak, begitu? Dan menurut gue inipun sebetulnya nggak bisa dijadikan tolak ukur. Namanya materialistis bisa hidup dalam diri siapapun, dan jangan salah, keinginan dan kebutuhan laki-laki pun bisa sama banyaknya, lho, kalau ditimbang-timbang. Hanya saja jenis dan bentuknya bisa beda-beda. Lagi-lagi ini masalah perspektif dan bagaimana tindakan sosial mempengaruhi pandangan seseorang akan suatu kelompok atau komunitas (dalam hal ini perspektif gender). 

Menjadi realistis bukan artinya semua keinginan harus jadi butuh, tapi bisa menempatkan yang mana kebutuhan dan mana keinginan, serta yang mana prioritas dan mana yang perlu dikesampingkan, kemudian bertanggungjawab atas pilihan diri sendiri.

Menurut gue, ini bukan soal cewek nggak boleh kalah dari cowok, bukan soal cewek harus jadi leader pada setiap kesempatan, bukan soal cewek harus jadi kepala rumah tangga melawan kodrat, bukan soal cewek harus mandiri dan hidup selamanya sendiri tanpa perlu bantuan lawan jenis, sebab sudah sepantasnya masing-masing dari kita menjadi pribadi yang mandiri dan tangguh menghadapi berbagai situasi dan kondisi. Akan tetapi lebih kepada menghargai diri sendiri sebagai individu yang nilainya lebih besar dan berharga dari sekadar prinsip materi yang membutakan.



Artikel terkait:
Kamu Cewek Matre atau Cewek Realistis?
Share
Tweet
Pin
Share
36 komentar
Belajar Kesetaraan

Dalam satu bulan ini ada banyak banget sampah-sampah pikiran yang nggak bisa sepenuhnya langsung gue utarakan di blog seperti sebelumnya. Apalagi setelah ngikutin perkembangan berita yang trending di media sosial, pasti adaaaa aja yang bikin sakit kepala. Akhirnya hari ini gue memutuskan untuk menyalurkan salah satu dari sekian "sampah" tersebut yang erat kaitannya dengan kesetaraan dan femininitas. 

Selama lebih (sedikit) dari 20 tahun gue hidup, sejujurnya gue nggak pernah merasa kerdil hanya karena gender, hanya karena gue perempuan, terlebih dalam hal pendidikan. Gue selalu melihat porsi antara laki-laki dan perempuan itu sama. Makanya ketika gue menemukan sebuah narasi seperti ini, "mengapa kita harus merasa kemampuan kita lebih rendah hanya karena kita perempuan?", gue tidak lantas merasa empowered sebab gue sudah menemukan itu jauh sebelum orang-orang menyadari bahwa permasalahan akademik laki-laki dan perempuan bisa seimbang, nggak ada yang mendominasi salah satu—meski patriarki dalam beberapa aspek, khususnya di dunia kerja, masih sangat terasa kentalnya.

Mungkin karena gue besar dalam keluarga broken home dan waktu sehari-hari lebih banyak dihabiskan bersama eyang, tante, dan adik-adik—karena gue tinggal dengan eyang dan tante gue supaya lebih dekat ke sekolah, role model gue pun gak hanya terbatas pada sosok orangtua; ayah dan ibu. Dari kecil jelas gue sudah bisa menyaksikan sendiri perjuangan ayah gue untuk menafkahi kami, anak-anaknya, memenuhi kebutuhan kami. Di sisi lain, gue juga menemukan itu pada sosok eyang putri gue yang mati-matian membiayai anak bungsunya dengan caranya sendiri, sampai tante gue bisa lulus sekolah dan akhirnya terpaksa gap year untuk bekerja dan membiayai kuliahnya sendiri. Pokoknya apapun yang bisa dia lakukan pasti dilakukan. Ditambah sekarang ini gue juga melihat sosok ibu gue yang bekerja tanpa henti untuk membiayai keluarga dan mengirimi uang untuk kami, anak-anaknya setiap bulan. Ayah gue yang selalu mendukung apapun keputusan gue untuk menjadi seseorang yang gue inginkan, dan untuk memilih jalan yang gue mau pun selama ini telah banyak mempengaruhi diri gue untuk melihat segala sesuatu dengan lebih luas, nggak sebatas hitam dan putih, nggak sebatas biru dan pink which somehow it's such a huge privilege for me.

Perspektif gue terhadap kesetaraan antara laki-laki dan perempuan pun semakin terbentuk ketika gue menginjak bangku sekolah. Dari SD-SMA (bahkan sampai di perkuliahan), gue nggak pernah melihat juara kelas selalu didominasi oleh murid laki-laki. Semuanya seimbang, sama. Mau itu peringkat kelas kek, juara lomba-lomba atau kompetisi tertentu kek, juara Olimpiade kek, semuanya lengkap. Malah waktu SMA, di kelas gue dulu yang selalu mendominasi peringkat 3 besar perbandingan antara laki-laki dan perempuannya pasti 1:2. Iya, murid-murid perempuannya lebih ambis daripada murid laki-laki (nggak tau ya kalau di sekolah lain😂). Gue justru merasa insecure kalau melihat perempuan lain yang bisa sukses akademik dan kariernya, atau bahkan siapapun yang semangat dalam meniti kariernya tinggi, terlepas dari dia laki-laki atau perempuan.

Namun beberapa cuitan seperti yang gue temukan di bawah ini ternyata masih membatasi gerak beberapa kaum perempuan di luar sana.

Setara Belajar, Belajar Setara


Belajar Kesetaraan
Source: Twitter

Sampai sekarang, sejujurnya  gue masih nggak mengerti apa korelasinya menikah dan mengejar pendidikan bagi perempuan. Bukankah keduanya sama-sama pilihan? Toh jika menikah menjadi sebuah kewajiban, bukankah menuntut ilmu, mengisi kepala kita dengan berbagai pengetahuan pun bisa disebut sebagai kewajiban? Gue lebih tidak mengerti lagi bahwa orang-orang yang melarang seorang laki-laki untuk menikah dengan perempuan yang memiliki pendidikan lebih tinggi darinya, dan orang-orang yang melarang perempuan tersebut untuk mengejar pendidikan hanya untuk memenuhi tanggungjawab sosial atas stigma tersebut nyatanya adalah orangtua mereka sendiri, keluarga sendiri. Maksud gue, bagaimana bisa konstruksi sosial yang membatasi gerak dan kebebasan sang anak untuk menentukan value diri terlebih dalam ranah pendidikan tersebut diiyakan saja oleh para orangtua? Okelah, kalau masalahnya karena ekonomi yang sulit, dan orangtua yang tak sanggup kalau harus kembali menyekolahkan anaknya sementara banyak kebutuhan yang harus dipenuhi.

Namun ini lain soal, bung. Beberapa orangtua melarang anak perempuan mereka untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya, atau tidak sama sekali menikahi perempuan yang berpendidikan lebih tinggi daripada laki-laki disebabkan oleh stigma yang mengakar di masyarakat itu sendiri.

"Nanti kamu diinjak-injak sama istrimu!"
"Jadi perempuan itu ujung-ujungnya di rumah, nggak perlu lah sekolah tinggi tinggi."
"Aduh, gimana ini, masa suami kalah gelarnya sama istri. Gajinya gedean istri dong."

Kasarnya, kalau gue mau jadi orang cerdas, kenapa gue harus capek-capek "memikirkan" seseorang yang nanti akan jadi suami gue? Memikirkan bagaimana hidupnya kalau pendidikan gue lebih baik/lebih tinggi dari dia? Memikirkan bagaimana perasaannya kalau gaji gue lebih besar dari dia saat menikah nanti, dan serangkaian pencapaian lain, padahal tu jodoh nongol aja belum. Kalau seperti ini, seolah-olah tugas "memantaskan" itu hanya dilimpahkan untuk perempuan. Sementara laki-laki, mau bagaimanapun dia, pantas saja selama perempuan yang akan dinikahinya tidak lebih tinggi derajatnya daripada dia. 

Lho, bukankah saling memantaskan itu adalah tugas setiap pasangan? Setiap individu? Kalau memang lelaki tersebut khawatir perannya terinjak-injak hanya karena sang istri adalah wanita karier yang sukses dan pendidikannya tinggi, berarti lelaki tersebut lah yang tidak bisa memantaskan dirinya sendiri. Jahat, kan? Iya, memang jahat. Doktrin tersebut lah yang sebetulnya jahat sehingga menjebak dan merepresi pola pikir masyarakat dengan dalih mengamalkan adat istiadat serta nilai moral. Lebih lanjut lagi, jahat sebab telah membatasi setiap individu untuk bisa mengamalkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi sebagai makhluk sosial. Tapi, kan, bukan begitu konsep menikah, membersamai dan memantaskan diri. Paling nggak, begitulah menurut gue yang masih anak bau kencur ini.

Kenapa sih kita harus terjebak dalam realitas sosial yang pada dasarnya, dalam hal ini, dibentuk oleh asumsi, pemikiran, serta sudut pandang masyarakat—yang sayangnya diiyakan begitu saja oleh masyarakat itu sendiri. Konsep inipun banyaknya telah dipengaruhi oleh stereotip gender, yang memberi batas bahwa perempuan nggak boleh begini, laki-laki harus begitu. Laki-laki nggak boleh kalah dari perempuan, dan perempuan harus nerimo aja "kodratnya" untuk diam di rumah. Bahkan, ketika seseorang mau sekolah dan berilmu aja harus dikekang oleh stereotip semacam ini?

*Ini nih sebabnya banyak laki-laki yang juga terjebak dalam toxic masculinity.

Sepertinya kita harus pelan-pelan membedakan antara kodrat dan tanggung jawab atau peran. Kalau bicara kodrat, berarti sesuatu yang sifatnya absolut, mutlak, nggak bisa diubah begitu saja. Misalnya perempuan punya payudara untuk menyusui, sementara laki-laki tidak. Perempuan bisa melahirkan dan menstruasi, laki-laki tidak. Akan tetapi laki-laki punya tenaga yang lebih kuat dibandingkan perempuan, karena sifatnya dia lebih banyak melakukan pekerjaan yang keras dan lebih berat. Kenapa? Karena kodrat perempuan ini secara nggak langsung mengurangi tingkat produktivitas perempuan untuk bekerja di luar rumah. Inilah kenapa kewajiban suami dalam rumah tangga adalah menafkahi, karena hak-hak produktif itu ia yang ambil alih seluruhnya, yang mana kalau sudah punya anak, istri pasti lebih punya andil dalam mengurus anak di rumah. Dan menurut gue, ini bukan sebuah opresi (seperti yang selama ini dinyinyirin feminazi), tapi adalah pilihan dan bentuk kesepakatan. 

Lalu, apakah nanti sang ibu boleh bekerja lagi? Ya boleh-boleh saja selama ada consent dan tanggung jawab itu nggak dilupakan, baik dari sisi istri maupun suami. Pernah dengar nggak, sih, bahwa ada usia tertentu baiknya orangtua mendidik sekaligus mengiringi perkembangan anak? Katanya seorang anak balita usia 0-7 tahun baiknya dirawat dan dididik sepenuhnya oleh sang ibu, kemudian anak usia 7-14 tahun oleh sang ayah, dan selanjutnya terus oleh kedua orangtua. Berarti, sesungguhnya kehidupan rumah tangga itu harus diiringi dengan kerjasama, kesepakatan, supaya sakinah, mawaddah, wa rohmah. 

Lagipula, jodoh itu cerminan, dijemput. Jangan takut anaknya nggak akan ketemu jodoh hanya karena sekolah tinggi-tinggi. Bahkan sama common sense aja nggak bisa diterima, sih. Mungkin ini penyebabnya kalau dalam memandang suatu hal kita terlalu ke kiri dan terlalu ke kanan, susah buat menetralisir otak dan menilai dari sisi tengah untuk mengambil kesimpulan yang bijaksana. Kalau seandainya jodoh si anak itu bertemu dengan lelaki yang dianggap "setara" dengannya saat tengah melanjutkan pendidikan itu, gimana? Bukankah lebih bagus?🤔

Menurut gue, dengan kita pakeukeuh-keukeuh (sama-sama bersikeras) menuruti realitas yang ada, kita malah jadi lupa caranya hidup sebagai manusia normal. Apa-apa harus "melayani" social construct yang menjerumuskan hak-hak dan martabat manusia sendiri. Kalau agama saja memperbolehkan siapapun untuk menuntut ilmu atau pendidikan setinggi-tingginya, kenapa kita manusianya malah terjebak dalam hukum yang dibuat atas nafsu patriarki?

Jangan, jangan terlalu mengkotak-kotakan manusia hanya berdasarkan gender, apalagi merepresi pola pikir anak cucu kita sendiri. Hidup sesuai dengan syari'at dan nggak melupakan kodrat kita sebagaimana mestinya memang perlu, tapi beragama pun perlu diseimbangi dengan akal. Nalar itu privilege-nya manusia lho, kenapa kita berakal? Ya karena kita berpikir. Kalau cuma mengandalkan stereotip dan hidup sekadar gengsi, bagaimana kita bisa jadi manusia seutuhnya? Wong yang dituju hanya penilaian manusia, bukan Tuhan.

Share
Tweet
Pin
Share
17 komentar

review film little women

Baca dulu postingan ini sebelum mengenal cewek-cewek tangguh di Massachusetts:

Keliling Paris dan Concord Dalam Dua Hari

o-o

Setelah jalan-jalan ke Perancis, gue istirahat sebentar dan beralih ke Massachusetts, masih di abad ke-19, yakni tahun 1868, setelah berakhirnya perang saudara Amerika. Beberapa tahun perjalanan setelah Revolusi Perancis yang dipimpin Eddie Radmayne dan Aaron Tveit. 

Sebelum itu gue mau ngingetin nih, postingan yang ini dan sebelumnya cuma sebatas review abal-abal, selebihnya cerita plus pendapat gue soal film keduanya, bukan konten khusus review yang terstruktur dan jelas karena sejujurnya gue nggak sebakat itu untuk review sesuatu😂 Terakhir kali gue nge-review film itu waktu ada tugas Sakubun atau karangan sekitar dua tahun lalu *hmm lumayan lama. Jadi, yeah, intinya gue cuma pingin sharing soal tontonan gue beberapa hari ini. Yuuk mari kita lanjoott!
Share
Tweet
Pin
Share
18 komentar
How i see feminist as a muslim


Berawal dari kemunculan gerakan feminis yang menyuarakan aspirasinya untuk mendukung hak perempuan, kemudian merembet ke isu-isu seputar kasus pelecehan yang ternyata semakin meningkat setiap tahunnya. Masyarakat kita seakan baru sadar bahwa masalah perempuan ternyata nggak sesepele kelihatannya. Stereotip gender, KDRT, kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual fisik dan non-fisik adalah beberapa dari segelintir kasus yang sering menghantui kaum perempuan. Kasus yang sering dianggap "apaan sih" sama sebagian orang di luar sana, karena manusia-manusia yang hobi bercanda. Yeah. Tapi bukan tentang kasus-kasus itu yang mau gue bahas disini,  karena seperti yang kalian sudah tahu, hampir  di setiap negara di belahan dunia manapun, perempuan selalu menjadi sosok yang tertindas, dianggap lemah, dan nggak bisa apa-apa.

Jujur, pertama kali denger di Indonesia mulai aktif ada gerakan ini, gue sangat menyambut dengan senang hati, karena menurut gue belakangan ini emansipasi di negara kita mulai kembali dipertanyakan. Meski keadaan perempuan jaman sekarang gak sesulit dan semengekang dulu, kenyatannya di luar sana masih ada aja orang yang terbelenggu sistem patriarki dan bahkan sengaja memanfaatkannya untuk menyudutkan kaum perempuan. Akun-akun anti feminis, contohnya, yang selama ini menurut gue terkesan selalu mencari kesalahan dari poin-poin yang diperjuangkan feminis, dan bahkan mengaitkan semuanya dengan agama, bahwa feminis tidak sejalan dengan napas Islam dan Islam nggak butuh feminis karena ia sudah sangat sempurna dalam memuliakan kaum perempuan. I see.

Yep, Islam memang sudah sempurna mengajarkan kita betapa istimewanya kaum perempuan, karena itu laki-laki memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan dan menafkahi perempuan/istrinya. Oleh karena itu pula, saking sempurnanya Islam menjelaskan dan mengatur posisi laki-laki dan perempuan lengkap beserta teknisnya, seharusnya sudah jelas bahwa Islam juga fleksibel di setiap zaman. Sebelum ada feminis, Islam sudah lebih dulu progresif mengatur keadilan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan kodratnya, dan menjunjung tinggi keadilan untuk semua umat, siapapun dan bagaimanapun mereka. Sebagai muslim, gue tentu mengikuti apa yang agama gue ajarkan. Tapi sebagai warga negara Indonesia, gue juga mendukung feminis.

"lah, berarti lo liberal dong? kurang baca, labil, jangan2 pro-LGBT!"


Friends, let me tell you. Kita ini tinggal di negara yang beragama dan sekaligus berpancasila. Ada lima agama yang diakui secara legal oleh negara. It means everyone comes with different culture and backgrounds of point of view about women, equality, and feminism itself. Sebagai warga negara, menurut gue pemikiran itu sah-sah aja untuk diaplikasikan mengingat gak semua orang mengerti dan paham akan agama Islam. Siapa tau juga kan agama lain menjelaskan kemuliaan perempuan di dalamnya? Oleh karena ketidaktahuan itu, salah satu cara agar kita bisa satu suara dan bersama-sama menuntut keadilan atas hak-hak yang direnggut in terms of humanity, adalah dengan mendukung gerakan ini. Bukankah semua agama mengajarkan akan pentingnya kemanusiaan?

Seperti tulisan yang gue kutip dari tirto.id, menurut penulis Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan (2005), kelompok penentang feminisme tak menangkap bahwa sebenarnya Islam sudah siap untuk memperkenalkan esensi kemanusiaan seperti yang dilakukan oleh para feminis.

Gue tau para ekstrimis di luar sana banyak yang memberi judgment dan seakan sudah anti-pati duluan bahwa feminisme itu erat kaitannya dengan melegalkan LGBT, melegalkan zina dan aborsi, kemudian menutup mata begitu aja. Mungkin kalian benar, di negara-negara Eropa sana fungsi dan paham feminisme menjadi sebesar itu—karena aliran feminisme sendiri terbagi ke dalam beberapa jenis, tapi selama yang gue tahu, ketika kita menyebut diri kita sebagai feminis, it doesn't mean we supported every single thing of what really feminism is.

Cause basicly, you decide what feminism is for you.


Sampai  saat ini dan seterusnya, gue termasuk orang yang percaya bahwa feminis nggak selalu berarti mendukung LGBTQ, melegalkan zina dan menyetujui prostitusi akibat tulisan "my body is mine". Siapapun bisa mengartikan sendiri apa itu gender buat mereka, apa itu definisi "my body is mine" bagi mereka. Toh bagi gue, gender ya cuma dua, laki-laki dan perempuan. Walaupun begitu, gak lantas gue mendiskriminasi mereka yang jalan hidupnya itu berbeda dari kebanyakan orang, gak lantas gue menjadi homophobic dan menghardik mereka, apalagi sampe membakar hidup-hidup transpuan seperti yang terjadi di Jakarta beberapa waktu lalu—Astaghfirullah. Jangankan soal itu, bahkan di dalam feminisme sendiri sebenarnya gak ada lho misi-misi berujar kebencian terhadap laki-laki, karena menjunjung kesetaraan bukan berarti melemahkan gender yang lainnya. Perihal kemanusiaan, gak ada kata diskriminasi, semua manusia berhak untuk hidup dan memperoleh keadilan. Who are we to judge? Sebagai muslim, kita pasti paham betul ada zat yang Maha yang punya kewenangan menghakimi dan menghukum hamba-Nya.  We can disagree their point of views but it doesn't mean we can't respect them to be what they want to be. Equality doesn't only live on gender issues but on all aspects that fight for the right of all people's lives. 

Di samping itu, soal "my body is mine", tubuh kita dan semua hal di dunia ini pun memang benar milik Tuhan, yang ada dalam kontrol kita. Gak salah kalau ada hashtag yang menyuarakan soal #tubuhkuotoritasku, karena pada kenyataannya memang tubuh kita ada dalam tanggungjawab kita dan gak bisa semena mena diatur orang lain. Adanya kalimat seperti itu pun karena dipicu oleh perlindungan terhadap perempuan yang selama ini dianggap sepele, terbukti dengan banyaknya kasus pelecehan, pemerkosaan, dan kejahatan seksual lainnya.  Oleh karena itu pula, nggak ada yang namanya tubuh kita milik seseorang, milik germo, milik suami, atau apapun itu. Pun jika semuanya milik Allah,  justru kita berkewajiban untuk menjaga diri kita, melindungi tubuh kita sebaik-baiknya, bukan untuk dianggap mainan dan dijadikan ajang pemuas nafsu kaum lelaki. Namun dalam konteks yang lebih luas ini, narasi #tubuhkumilikAllah yang digaungkan @Indonesiatanpafeminis dirasa kurang tepat karena gerakan ini bukan hanya berlaku dalam lingkup Islam, tapi seluruh aspek, menyangkut kemanusiaan. Kita tinggal dalam keberagaman, bukan?

Eits, tapi tunggu, gue gak sedang ngedismiss fakta bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan sangat memuliakan kaum perempuan hanya untuk berusaha sejalan dengan feminisme, apalagi mendesakralisasi nilai Islam. Dalam beberapa aspek, gue tidak menolak bahwa laki-laki posisinya di atas perempuan karena dialah yang memegang penuh tanggung jawab, terkhusus dalam kehidupan berumah tangga. Gue juga yakin kenapa dalam Islam sendiri "seakan" menanamkan budaya patriarkial, karena tujuannya adalah untuk membedakan bahwa bagaimanapun laki-laki dan perempuan secara kodrat berbeda, dan harus dibatasi supaya nggak melampaui kodratnya. Itupun sebenarnya bukan patriarki, karena patriarki sendiri berarti suatu kondisi dimana lelaki memegang kekuasaan penuh di atas perempuan dengan tidak memberi suatu kebebasan apapun, mengekang, mendiskriminasi, dan bisa jadi mengintimidasi.

Can you get my point there?


Menjadi seorang muslim dan warga negara yang baik nggak mesti selalu kaku. Apalagi Islam sendiri agama yang sudah sangat-sangat sesuai di masa apapun kita hidup, jelas karena itu datangnya dari Allah dan menjadi tuntunan hidup di dunia. 

Gue yakin kita semua sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk, serta mana yang bisa diterima dan tidak. Kemudian menyeimbangkan antara keduanya—maksudnya adalah, ketika lo menemukan ada sesuatu yang salah, gak ada yang menyuruh lo untuk menelan paham itu bulat-bulat, kan?

Tentu, gue pun masih harus belajar banyak tentang ini, tapi bicara soal kemanusiaan IMHO seharusnya kita gak perlu membutuhkan teori yang serasional mungkin hanya untuk berperilaku baik terhadap sesama. Bukankah katanya poin penting dari gerakan feminisme adalah memperjuangkan hak-hak perempuan yang tertindas dalam ruang lingkup sosial, politik, masyarakat, dan pendidikan?

Toh, ketika ada sisi positif yang bisa kita ambil dari feminis untuk kemaslahatan bersama, kenapa nggak? Ketika keduanya bisa berjalan bersamaan, kenapa nggak? Selama kita nggak lupa akan apa yang agama kita ajarkan, dan selama kita nggak terbawa arus feminisme yang radikal, liberal dan ekstrim, kenapa nggak, kan? Bisa jadi, paham itupun datangnya dari Allah supaya kita bisa belajar lebih banyak tentang agama-Nya dan lebih bijak dalam melihat dua sisi. Bahwa inti dari semuanya adalah menginginkan kesejahteraan bagi sesama umat manusia.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
I'm not like the other girls


Entah kenapa pikiran gue malam ini random sekali. Something about misogynist has just popped up into my head for no reason—since it's become a real thing now. Bagi yang masih kurang familiar dengan kata ini, secara umum misogini didefinisikan sebagai kebencian atau rasa tidak suka terhadap perempuan, dan dapat diwujudkan dalam berbagai cara; diskriminasi seksual, fitnah perempuan, kekerasan terhadap perempuan, dan objektifikasi seksual. Sederhananya, misogini ini semacam tindakan menyepelekan dan merendahkan kaum perempuan, seperti yang kalian sering dengar bersamaan dengan budaya patriarki.

Mungkin kita lebih sering dengar kasus-kasus diskriminatif terhadap perempuan dan tindakan-tindakan mengobjektifikasi lainnya yang dilakukan oleh laki-laki. Tapi tahukah kita? Bahwa misoginis itu gak selamanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Gue, kita, khususnya perempuan, justru berkemungkinan besar untuk melakukan hal yang sama terhadap sesama perempuan. Ini yang dinamakan misoginis terinternalisasi, atau bahasa kerennya internalized misogyny.

According to Cultural Bridges to Justice, internalized misogyny or sexism is defined as the involuntary belief by girls and women that the lies, stereotypes and myths about girls and women that are delivered to everyone in a sexist society ARE TRUE.

Seseorang dianggap mengidap internalized misogyny ketika dia secara nggak sadar sudah membenarkan stereotip, mitos dan kebohongan yang berkembang di society bahwa perempuan itu inferior, lemah, nggak bisa apa-apa, pantas diobjektifikasi, sudah kodratnya buat ngelayanin cowok, being the one to be blamed when she is literally a victim, terus berakhir di dapur—mau setinggi apapun pendidikannya, dan maaasih banyak lagi.

Apa kalian salah satu di antaranya?

Kalau iya, lebih baik refleksi diri, deh. Ingat-ingat lagi, coba sadari, apa kita sering merasa spesial dengan menjadi berbeda dari yang lain? But wait, we're not gonna end this topic here. There are sooo many interesting things to talk about. Tapi sebelum itu, here are some memes that you might have seen on social media:

i'm not like the other girls





That's quite ironic, isn't it?

Gue jadi teringat dulu sering banget self-proclaimed bahwa gue berbeda, gue nggak sama dengan orang-orang, hanya karena gue nggak suka warna pink seperti halnya kebanyakan perempuan. Gue memandang perempuan lain sebagai inferior sebab gue lebih bangga menjadi tomboy, karena itu artinya gue nggak sama dengan cewek-cewek stereotipikal yang hobinya dandan dan belanja. Gue juga cenderung julid saat ngeliat cewek lain yang gampang nangis hanya karena masalah sepele, hanya karena luka kecil. Gue merasa kuat  sebagai cewek hanya karena gue gak pernah pingsan dan terkapar di UKS. Terkadang gue prefer temenan sama cowok karena ngumpul bareng ciwi-ciwi somehow rempong dan banyaknya ngeghibahin orang (walaupun kadang cowok ghibahnya bisa lebih parah sih kyknya). Gue suka lebih percaya diri dengan make-up natural karena kalau make-up nya tebel-tebel, gue akan dicap centil dan dianggap "attention seeker". Gue merasa superior to other women karena gue nggak suka nontonin yucub yang isinya beauty vlogger dan beauty enthusiast,  walaupun pada akhirnya gue menikmati juga kok beberapa channel kecantikan. Dan serangkaian narasi "i'm not like other girls" lainnya.

Pada saat yang sama, ketika gue mulai suka beli skincare, suka beli barang-barang which i think it's too girly to buy or to wear before, gue jadi merendahkan diri sendiri. Gue malah mempertanyakan diri sendiri, "do u really wanna buy this women's product?". When actually i, myself, is naturally a woman. 

What's so damn wrong with being an average woman, tho? Why am i worrying those stereotypes too much? Gue pun seakan perlahan menjauh dari "menjadi perempuan" yang gue mau, padahal nggak ada yang melarang dan mendoktrin gue untuk secara konstan melakukan itu. Semua itu akibat internal misoginis gue yang nggak mau disamakan dengan perempuan manapun.

Pandangan seksis macem gini udah lama banget bertengger dalam diri gue, tanpa gue sadari, dan mungkin begitu juga kalian. Gue bisa aja bilang kalau cowok tuh nggak boleh begini begitu sama perempuan, nggak boleh mengobjektifikasi sesuka hati dengan ngomongin hal-hal yang berbau seksual, tapi gue lupa bahwa gue juga terkadang belittling mereka yang secara teknis ada dalam komunitas yang sama dengan gue. As a woman.

Maka dari itu, gue pun mencari tahu apa sih yang bikin kita-kita ini dengan mudahnya membenci dan merendahkan perempuan? Either laki-laki atau sesama perempuan sekalipun. Beberapa artikel bilang bahwa, dalam buku seorang pakar psikologi dari Universitas Cornell, yaitu Professor Kate Manne, lelaki yang misoginis bukannya membenci wanita. Mereka hanya tidak suka jika dominasi mereka sebagai lelaki terancam sehingga mereka menghukum, menyakiti, dan membenci wanita yang cenderung mendominasi dalam sebuah hubungan. Alasan yang pertama bisa jadi karena mereka punya trauma masa lalu atau masalah dengan ibunya. Kedua, para lelaki ini merasa frustrasi dengan definisi maskulinitas dan feminisme yang ada di masa sekarang. Ketiga, banyak mendapat penolakan romantis dari perempuan, sehingga perlakuan misoginisnya bisa berarti ajang balas dendam, etc. Ngeri banget, sih. Terakhir, mereka nggak mengerti tentang perempuan-perempuan yang selalu membawa paham feminisme dan bermain sebagai korban dalam aspek apapun, karena again, budaya patriarkial yang kuat yang masih mereka pegang.

Sementara untuk internalized misogyny sendiri, berdasarkan artikel yang gue baca, women are educated from infancy both explicitly and implicitly on “appropriate” ways to act, think, and feel. These cultural conceptions of womanhood are so deeply ingrained that they dictate performances of femininity, even behind closed doors.

Dari sejak kecil kita memang sudah dicekokin dengan berbagai perbedaan yang jelas antara laki-laki dan perempuan. Contoh kecilnya dari warna pakaian. Baju-baju anak perempuan identik dengan warna pink, sementara anak laki-laki adalah biru. Treatment yang berlaku di lingkungan sekitar pun memberi batasan apa yang harusnya dilakukan oleh anak laki-laki, dan mana yang harusnya dilakukan oleh anak perempuan. Mungkin untuk beberapa alasan, perlakuan itu penting dalam membatasi gerak si anak agar orientasi seksualnya nggak menyimpang. Tetapi, negatifnya, budaya itu jadi bikin kita nggak bisa lepas dari pandangan seksis yang ada. Sehingga ketika ada golongan perempuan yang merasa beda dengan perempuan kebanyakan, they will say that "i'm different!". "Nggak kayak lo pada yang suka pake rok mini dan liptint warna terang."

Salah satu contoh yang kentara banget di saat kita sudah beranjak dewasa, yaitu adanya oppresion yang menghubung-hubungkan harga diri dengan penampilan. Sebagai cewek, kalau mau gampang cari kerja dan gampang dapet relasi, penampilan itu nomor satu. Good looking itu suatu keharusan. Apalagi kalo cantik, beuuhh. Intinya sesuatu yang berkaitan dengan kecantikan, it all belongs to woman. Dan kalau penampilan lo dianggap buruk, kemungkinan harga diri lo akan dipandang rendah karena lo tidak cukup baik untuk menjadi seorang wanita. Akibatnya, sudut pandang itu jadi mengakar pada diri kita bahwa perempuan harus cantik, dan kalau nggak cantik-cantik amat ya berarti beda dari yang lain.

But then, it doesn't surprise me at all. Karena memang kenyataannya kebohongan, mitos dan stereotip itu sendirilah yang bikin internal misogini muncul, seperti yang sudah gue mention sebelumnya. Gue kemudian mencari-cari akar dari semua ini. Apa, sih? Apa yang menyebabkan pola pikir kita menjadi sebegitu dangkalnya mengekspresikan perbedaan?

Ternyata jawabannya cuma satu. Dan ini berlaku untuk semua orang. Gak cuma perempuan, tapi juga laki-laki. Can y'all guess it?

Ya, jawabannya ego. Manusia punya sifat natural yang ada dalam dirinya, yang gak mau dibandingkan ketika ada orang yang lebih baik dari dirinya—paling tidak menurut pandangannya. Ketika dia menemukan sesuatu yang terlihat biasa, dia akan menertawakan hal itu, meremehkan dan menganggap dirinya superior. Sesederhana itu jawabannya. Satu kata bisa mengubah jutaan mindset orang-orang terhadap femininity dan masculinity. I know this is super ironic!

Menjadi berbeda memang selalu terdengar mengesankan, karena itu berarti lo gak sama dengan orang lain.

"Lo unik!"
"Gak semua orang kayak lo."

Tetapi ketahuilah bahwa semua kata-kata itu menipu. Kita cenderung nggak menjadi diri kita yang sebenarnya, karena satu pujian itu bikin kita puas terhadap diri sendiri dan menyangkal keberagaman.

Di saat yang bersamaan, orang-orang yang merasa beda ini ketika dipuji cantik, mereka nggak bisa bohong kalau dari lubuk hati yang terdalam juga seneng ngedengernya (yah, namanya juga perempuan. Ujiannya itu ada di telinga, paling seneng kalo udah dipuji). Padahal itu artinya mereka sama dengan perempuan-perempuan di luar sana yang cantik, yang punya karakter dan keunikan tersendiri, and who's come with different shapes and sizes.

Jadi, masih gak mau disamain sama perempuan lain?

Pada awalnya mungkin sulit melepaskan diri dari internal misoginis yang selalu datang di pikiran kita tanpa diprediksi. Tapi kalau bukan diri sendiri yang berubah, siapa lagi?

Gue juga terkadang masih sekelebat menganggap orang lain inferior karena beberapa alasan. Tapi lantas gue tahu ini gak bisa selalu dibiarkan begitu aja. Karena dengan menyadari bahwa internalized misogyny adalah sesuatu yang harus dihindari, itu mengartikan bahwa kita menghargai setiap orang apapun dan bagaimanapun dirinya.

Gue pun sekarang bisa beli apa aja yang sebelumnya gue anggap 'terlalu cewek', karena pada akhirnya gue sadar, memiliki sesuatu yang 'terlalu cewek' tidak merusak citra diri gue sama sekali sebagai perempuan. Ketika merasa jadi cewek yang kuat pun, gue sadar mungkin itu suatu petunjuk bahwa gue harus bisa merangkul mereka-mereka yang tidak sekuat gue. Dengan menyadari semua itu, sekarang apapun terasa lebih jelas dan terang. Because basicly women are women. Gak ada spesialisasi perempuan yang begini dan begitu. Kalaupun beda, apa yang beda? Lo mau bilang, "apa cuma gue yang blablabla?"

Oh, no no no. Gak cuma lo yang beda, gak cuma gue yang beda. Kita semua pernah ada di posisi mempertanyakan itu kepada diri sendiri. Dan jawabannya nggak, bukan cuma lo yang beda karena lo nggak sendiri.

Anyway, kalau ada di antara kalian laki-laki yang pernah merasa demikian terhadap teman sesama lelaki, mungkin kalian juga mengidap internalized misandrist atau misandry. Dorongan maskulinitas yang berkembang dalam society sama halnya dengan femininitas yang berasal dari stereotip gender bahwa cewek itu biasanya begini, cowok biasanya begitu, dan tanpa disadari mungkin menimbulkan insecurity terhadap diri sendiri. I don't know how this happens to men tapi intinya sama, siapapun kamu di luar sana yang merasa minder atau merasa superior karena berbeda, laki-laki atau perempuan, sebaiknya ubah mindset kalian selayaknya dunia yang nggak sempit ini. Planet kita luas. Ada miliyaran orang di muka bumi ini dan kita bukan satu-satunya orang yang diciptakan berbeda.
Share
Tweet
Pin
Share
8 komentar
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Terlalu Besar Untuk Gagal
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Just Listen
  • Bukan Salah Indonesia

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • The Phantom of the Opera: Di Balik Danau
  • Priority Chat
  • Cuma Cerita
  • Cuma Cerita #2
  • Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Kiamat Sudah Dekat
  • Matre: Realistis atau Materialistis?
  • Spoonerism, Alasan di Balik Keselip Lidah
  • Refleksi Dua Dekade

Blog Archive

  • ▼  2022 (9)
    • ▼  November 2022 (1)
      • Lika Liku Jadi Career Shifter dan Tips Memulainya
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (31)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

digital marketing Intermeso karir Krisis 1/4 Abad lifestyle Opini Perempuan Podcast Poetry Review slice of life Thoughts

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.