Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram twitter LinkedIn YouTube Spotify Email

Notes of Little Sister





Generasi dimana orang-orang lebih senang menertawakan kehidupan orang lain dan menganggap lucu konten-konten sampah

Gue sepertinya sedang ada di masa-masa jenuh buat nulis. Bukan karena nggak punya ide, tapi karena gue gak merasa punya dorongan buat menyampaikan sesuatu yang seharusnya penting untuk dibaca. Gue merasa menulis disini jadi sia-sia karena poin penting yang ingin gue sampaikan hanya diterima oleh sedikit orang–itupun kalau doi beneran baca. Mungkin ini suka dukanya jadi idealis. Gak semua orang bisa menikmati konten yang isinya cenderung terlalu serius dan mumet. Jujur gue juga kalau udah terlalu mumet sama urusan ini itu kayaknya gak ada waktu buat baca-baca tulisan yang bisa numbuhin mumet-mumet baru. Akhirnya yang dicari pun hiburan, atau paling nggak konten yang seger yang bisa bikin kita lupa sejenak dari problema dan rutinitas yang menyita. I see.

Kita tuh selalu tertarik buat dikasih postingan lucu dan menggelikan yang gak jarang bikin kepala geleng-geleng sendiri. Mungkin ngetawain orang memang jadi salah satu tindakan paling enak, paling bikin puas dan lo gak butuh effort lebih untuk mendapatkan kepuasan itu. Gue pun seringkali begitu. Cuma lama-lama jengkel juga sih kalau sampe setiap hari yang trending isinya konten-konten gak bermutu. Saking senengnya orang sama konten menghibur, udah deh, terus aja dikasih asupan begitu sama para "content creator" yang nggak jelas. Bahkan acara televisi yang seharusnya serius, berkelas dan minim bercanda pun, sekarang di-setting untuk paling nggak ada satu segmen dimana komedian atau pelawak muncul disitu, atau kalau nggak komedian, ya hostnya dituntut buat bawain segmen lucu-lucuan bareng bintang tamu. Gue yang tadinya semangat pingin ngedengerin cerita-cerita inspiratif dan asik dari si bintang tamu akhirnya cuma bisa "hm okay" dan terpaksa matiin TV. Iya, matiin TV. Gue gak perlu lagi ganti channel karena toh gak ada program yang well-informed dan well-educated di era sekarang selain isinya ketawa ketiwi, dangdut, sama kepo dan rumpiin hidup artis.

Kayaknya di balik kejenuhan ini gue nggak sama sekali mendapat pencerahan. Gimana nggak, nonton TV gak mungkin, udah dari kapan tau gue puasa nonton. Buka yucub sama medsos, yang ada isinya misuh-misuh semua liat berita si anu yang berantem sama lulove, terus liat berita video dara arafah yang viral–yang ujung-ujungnya ada nama lulove juga huft, berita sunda empire, rumah kuya yang entah untuk keberapa kalinya masuk top trending, prank ojol, halilintar, kue ricis, lulove lagi, bocil-bocil tiktok yang entah gimana caranya bisa punya fanbase sampe bikin meet&greet, drama perseteruan artis, drama perselingkuhan artis, drama perjulidan selebgram, and ANOTHER STUPIDITY THAT I CAN'T BELIEVE IT'S TRULY EXIST.

Kayaknya gak salah kalau gue bilang orang-orang ini adalah generasi hobi bercanda. Mereka cuma tau caranya bikin konten bobrok yang berkedok hiburan. Ada influencer yang hobinya ngomong cursing words dianggap lucu dan keren. Kalau dikomentarin gak lucu, kita yang dianggap kurang main dan ujung-ujungnya menyalahkan selera. Kalau ditanya kenapa kok influencer ngomongnya gitu, kontennya gitu, "ya gue kan emang kerjaannya ngelucu", "gue cuma menghibur orang". Perasaan dari jaman dulu pelawak atau orang yang senang ngelucu di depan orang lain itu punya effort lebih karena harus bisa melucu dengan berbagai topik. Lah ini cuma ngomong ng*n**t doang bisa jadi lucu? Anehnya banyak orang yang bertingkah geram dengan pointing out kesalahan dan kekurangan si pembuat konten karena mengajarkan yang gak baik dan bikin konten gak bermutu, tapi mereka gak sadar telah membuang waktu untuk mencari kekurangan dengan bela-belain nontonin konten mereka. Pura-pura iwh, tapi tetep kepo sama kontennya terus mantengin di instagram itu gimana malih? Gue jadi takut lama kelamaan kita jadi orang yang munafik karena gak bisa bedain mana yang jahil dan bathil, mana yang baik dan buruk, mana yang pura-pura dan tulus, mana yang berfaedah dan mana yang nggak.

Masa iya kan kalau mau jadi influencer harus ada penyaringannya dulu? Dengan membludaknya para content creator dan influencer, ini jelas susah. Harusnya udah pada tahu lah hal-hal basic macem gini. Tapi ya itu, makin susah karena masing-masing mungkin udah punya pasarnya. Gen Halilintar sampe anak cucu cicitnya—yakali—udah punya pasarnya sendiri, yang menurut gue sangat disayangkan para subscribersnya seperti nggak bisa memilah konten apa yang bisa mereka tonton dan nggak. Terus channel gaming, juga udah punya sasarannya. Channel kuliner, channel masak, channel edukasi, dll. Tapi pembagian pasar dan sasaran penonton itu gak bikin gue puas karena lagi-lagi (seperti politik kita yang sama sekali nggak cerdas) banyak ketimpangan disana-sini. Konten yang positifnya mungkin gak lebih banyak dari konten serampangan.

Gue bener-bener jenuh. Sangat jenuh karena cuma tiga puluh atau empat puluh persen kayaknya postingan atau konten yang bener-bener mengedukasi dan menginform diri. Apakah udah jadi watak? Apa karena bagian dari identitas? Bahwa orang Indonesia, rakyat negara +62 tuh apa-apa dibawa santai, dibercandain. Saking senengnya bercanda, apa aja bisa dijadiin konten. Sampe ke masalah yang menyangkut financial dan hidup orang aja bisa di-prank. Gue nggak menyangka hal-hal bercanda bisa bikin orang lupa diri dan gelap mata. Oh iya, asal kalian tau aja, kebanyakan ketawa bisa bikin otak dan hati kita mati. Bisa bikin lupa diri dan hilang empati. Gak percaya? Butuh bukti secara ilmiahnya? Oh, don't worry guys. Allah has said it clearly. You can easily find it in your Holy Qur'an and it's absolute. And if you know already, that's okay. Gak ada salahnya mengingatkan hati yang udah ketutup rating, trafik dan jumlah followers.

Mungkin kita selama ini banyak lupanya, bahwa gak semua hal bisa dibercandain. Mungkin kerasnya hidup membuat kita lupa dengan kenyataan bahwa hidup nggak sebercanda itu untuk dimainin dan diketawain seenak jidat, hingga akhirnya menertawakan orang lain lewat "konten-konten" pun dijadikan sebuah pelarian, which is gak memberi efek apa-apa pada diri lo yang butuh hiburan selain hati yang semakin mati. Sejujurnya gue udah pernah bahas sedikit yang nyenggol tentang ini di postingan yang judulnya "Everything Goes Viral with Social Media" but that's that. Gue bener-bener nggak menyangka hal semacam itu terus menjamur dan menjadi candu yang gak ada abisnya. Lagi-lagi gue menyayangkan kenapa pengaruh yang ditimbulkan dari internet menjadi nggak terbendung kayak gini? Kenapa kita nggak memanfaatkan media sosial dengan sebaik-baiknya, dengan seberguna-bergunanya.

Untungnya di balik generasi yang hobi bercanda ini ternyata ada juga orang-orang baik dan waras yang gak mau kalah dengan dibodohi konten-konten prank nggak jelas. Gue bersyukur banget karenanya ada platform yang memanfaatkan jaringan internet seperti kitabisa.com, ruangguru, Kophi, Komunitas Jendela, beasiswa10000, @perempuangagal, @pedulikucingpasar, dan masih banyak lagi. Untungnya juga, orang-orang yang mungkin sama jenuh dan gedeknya dengan gue bisa terjaring dengan platform itu supaya akhirnya bisa saling bermanfaat untuk sesama. Buat yang masih awam dengan platform-platform penebar kebaikan, mending kalian abisin waktu dengan itu, deh. Paling nggak jadi donatur kecil-kecilan gitu. Dijamin hidup lo bakal lebih bahagia dibanding nontonin selebgram gak jelas yang katanya lucu padahal garing. Internet itu luas cuy, coba carilah yang isinya faedah dikit.
Share
Tweet
Pin
Share
3 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Terlalu Besar Untuk Gagal
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Just Listen
  • Bukan Salah Indonesia

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • The Phantom of the Opera: Di Balik Danau
  • Priority Chat
  • Cuma Cerita
  • Cuma Cerita #2
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
  • Kiamat Sudah Dekat
  • Matre: Realistis atau Materialistis?
  • Spoonerism, Alasan di Balik Keselip Lidah
  • Refleksi Dua Dekade

Blog Archive

  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (31)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ▼  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ▼  Februari 2020 (1)
      • Generasi Hobi Bercanda
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

digital marketing Intermeso karir Krisis 1/4 Abad lifestyle Opini Perempuan Podcast Poetry Review slice of life Thoughts

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.