Terlalu Besar Untuk Gagal

by - Februari 21, 2019


Bukti permasalahan akan sistem pendidikan di Indonesia

Tulisan ini seharusnya udah nangkring dari sebulan yang lalu, tapi akibat berbagai kesibukan dan kemalasan (again), akhirnya baru bisa gue publish sekarang. Berhubung hampir satu bulan kemarin pikiran gue seakan dicekokin dengan isu tentang pendidikan, keinginan untuk punya bahasan soal ini akhirnya terpecahkan.

Bicara soal pendidikan, jelas gue bukan satu-satunya orang yang langsung berpikir bahwa hal itu ibarat fondasi dan sangat sangat penting dalam kehidupan kita, walaupun setiap orang punya ukuran tersendiri tentang seberapa penting persentase pendidikan dalam hidup mereka. Apakah hanya untuk dapetin ijazah atau bener-bener ingin jadi orang yang berpendidikan? Who knows. Tetapi kalau kita bicara soal pendidikan di Indonesia, satu hal yang muncul di kepala gue adalah, kompleks. Kenapa? Karena saking banyaknya permasalahan yang ada terkait isu pendidikan. Mungkin beberapa dari kalian, begitupun gue, cuma tahu soal pendidikan yang kurang merata, pendidikan yang stuck di tempat walau anggaran mencapai lebih dari 400 triliun rupiah, kualitas pendidikan yang tertinggal 128 tahun dari negara lain, dan pendidikan yang seperti tidak berjalan seimbang dengan infrastruktur. Kenyataannya, permasalahan kita lebih dari itu.

Pada tanggal 21 – 25 Januari kemarin, gue baru saja mengikuti kegiatan PengMas atau pengabdian kepada masyarakat di daerah Parongpong, Lembang yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa di jurusan gue. Selama lima hari disana, ada banyak hal baru yang gue temukan seputar kehidupan masyarakat di daerah terpencil. Gue serasa diingatkan dengan sebuah artikel yang pernah gue baca di majalah digital online asal Australia, Inside Indonesia, tentang sudut pandang seorang ahli epidemiologi, penulis, dan petualang Elizabeth Pisani yang memilih cuti dari pekerjaannya pada akhir tahun 2011 untuk berpetualang di Indonesia, dan sampai saat ini telah melewati puluhan pulau di 27 provinsi. A Nation of Dunces merupakan salah satu hasil pengamatannya dalam isu pendidikan selama ia berada di pulau-pulau terpencil di Indonesia, dan artikel ini diterbitkan sekitar tahun 2013, yah, waktu yang sangat lama untuk gue baru menemukan situs ini di tahun 2018 kemarin, like, you need five years to know this kind of thing is existed! Buat yang pingin baca, gue taruh linknya di bawah, yep.

Pengalamannya selama tinggal di sebuah desa di Sulawesi Tengah, Palu, membawa Elizabeth pada keprihatinan dan kekhawatiran ketika melihat bagaimana sistem pendidikan Indonesia berjalan. Dari mulai sistem pengajaran termasuk komponen-komponen di dalamnya, sarana dan prasarana, dan sebagainya. Dari masyarakat pedesaan, pengajar, siswa, sampai berakhir di tangan pemerintah sendiri. Ternyata tanpa kita sadari, masih sangat banyak masyarakat disana yang buta huruf, dan gak ada sama sekali kesadaran dan kemauan untuk setidaknya bisa membaca. Gak cuma itu, mereka benar-benar bergantung dengan yang namanya kalkulator, bahkan hanya untuk penghitungan yang bagi kita selama ini mungkin udah ada di luar kepala sekalipun.

Elizabeth was sitting at ‘warung’, waiting to pay for her coffee. Two coffees, in fact, and two cakes. The warung owner whips out a calculator and starts to punch numbers into it: 2000 + 2000 + 1000 + 1000 = 6000. She gave him a 10.000 rupiah note. ‘Clear’, he punches. Then 10.000 - 6000 = 4000, and he counts out two 2000 rupiah notes and gives Eli her change. Meanwhile, other clients wait for their coffee. Is it really possible that he can’t do these sums in his head?

See?
Situasi lain yang juga berhasil bikin gue miris adalah ketika Elizabeth tinggal di salah satu rumah warga, dimana pemilik rumah tersebut adalah seorang guru. Yang beliau tahu, sekolah di Indonesia rata-rata masuk pukul 07.00 pagi, tapi saat itu ibu pemilik rumah bahkan belum siap-siap untuk berangkat ke sekolah dan masih sibuk di dapur. Elizabeth ini merasa, mungkin itu salahnya karena dia udah mengganggu kenyamanan dan ketenangan keluarga tersebut selama tinggal di rumah. Oleh karena itu dia inisiatif bertanya tentang jam berapa sekolah mulai KBM, tapi jawaban ibu tersebut justru berbanding terbalik dengan kehusnudzonannya. Intinya secara nggak langsung ibu bilang walaupun sekolah dimulai pukul 7 pagi, gak masalah kalau dia datang terlambat. Dan karena dari sekian guru yang biasa dateng cuma seperempatnya, bahkan kurang, maka sudah biasa kalau dia gak datang tepat waktu, murid-muridnya pasti bisa memaklumi. Elizabeth kemudian ikut ibu ke sekolah untuk bantu ngajar bahasa Inggris, dia kebagian kelas empat dan enam. Sementara ibu ngajar di kelas peganggannya, yaitu kelas satu. 

Terus gimana sama kelas dua, tiga, dan lima? Murid-murid yang usianya kisaran 7, 8 sampai 10 itu dikasih instruksi untuk masuk ke kelas mereka, ngerjain sesuatu lewat buku ajar, dan disuruh nunggu sampe guru mereka datang. Tapi pada kenyataannya, gak ada satupun guru yang terlihat mengajar atau datang ke sekolah, kecuali ibu.

Jadi, di sekolah tersebut satu guru biasa megang dua atau tiga kelas. Bukan karena jumlah pengajarnya kurang, tapi karena dari sekian guru, hanya sedikit yang bela-belain datang ke sekolah untuk mendidik anak-anak di desa tersebut. Situasi ini kembali mengingatkan gue dengan kondisi sekolah di daerah perbatasan, Entikong, Kalimantan Barat. Walaupun gue gak lolos seleksi tahap II untuk jadi volunteer di kegiatan PengMas disana, tapi sedikit banyaknya gue dapet cukup informasi lewat media sosial Beasiswa 10000. Sama sekali gak berbeda jauh, bahkan situasi di Entikong lebih parah. Pada satu sekolah, bisa dipastikan hanya ada dua guru yang mengajar dan beliau-beliau ini harus membagi antara kelas 1-3 dan kelas 4-6, tentu, dengan gaji yang ala kadarnya.

Iya lah, apa sih yang lo harapkan dari ngajar di suatu daerah perbatasan dan terpencil yang sama sekali gak mendapat perhatian pemerintah?

Kembali ke topik soal jumlah pengajar yang kasarnya udah sedikit, tapi justru gak semua dari mereka bersedia mengabdi untuk pendidikan. Cukup miris kalau ingat apa sebenarnya tujuan mereka jadi guru. Apa cuma untuk dapet jabatan dan supaya gak diledek sebagai pengangguran? Kalau gue sih kayaknya lebih milih jadi pengangguran dibanding punya profesi guru, tapi justru gak berkontribusi apa-apa di dalamnya. Dan ini juga yang sebenarnya jadi masalah cukup serius. Ada banyak orang yang kuliah untuk jadi guru, tapi justru nggak niat jadi guru. Mereka hanya mengandalkan profesi dan jabatan, akibat label PNS yang menggiurkan. Akhirnya yang bisa dihasilkan hanyalah dateng ke sekolah seminggu sekali tanpa memberi pengajaran apapun, alias cuma kasih materi yang ada di buku, terus siswa-siswanya disuruh nyalin, deh. Gak heran kalau masih ada masyarakat yang ngitung 2000 + 2000 + 1000 + 1000 aja masih pake kalkulator.

Tapi sih, usut punya usut, para pengajar yang gak dateng ke sekolah itu bertindak bukan tanpa alasan, tapi karena memang bantuan dan kepedulian dari pemerintah disana dirasa sangat kurang, seperti yang udah gue sebut-sebut sebelumnya. Segala fasilitas baik untuk pengajar dan siswa, serta tunjangan tidak begitu diperhatikan, padahal banyak dari mereka yang jarak antara rumah dan sekolah cukup jauh. Jadi, yang dituntut untuk berjuang bukan hanya murid, tetapi juga pengajar itu sendiri.

Situasi-situasi kayak gitu lagi-lagi gak jauh berbeda dengan apa yang gue alami ketika PengMas kemarin. Di SDN Tunas Karya, satu kelas dari setiap angkatannya rata-rata cuma ada 16 – 20 murid. Ketika gue tanya sama salah satu guru kenapa hanya sedikit siswa yang dateng ke sekolah tersebut, beliau bilang kalau orangtua anak-anak di sana ternyata masih kurang peduli akan pentingnya pendidikan. Di antara mereka masih ada yang berpikir, kalau wong cilik, wong deso ya jadi wong ndeso aja, gak perlu sekolah tinggi-tinggi, apalagi perempuan. Mereka lebih sering menyuruh anak-anak mereka untuk ngurus hewan ternak, ngasuh adik, atau ikut berkebun dan berjualan. Karena itu juga akhirnya guru-guru disana yang harus turun tangan dari rumah ke rumah untuk memberi pengertian kepada setiap orangtua supaya mau menyekolahkan anaknya. Gue yang awalnya suudzon sama guru-guru yang nggak datang ke sekolah dan cuma mengandalkan jabatan itu agak terketuk karena ternyata masih ada juga yang peduli dengan murid-muridnya, terkhusus dengan kondisi yang memprihatinkan tentang masyarakat yang kurang memperhatikan pendidikan anak mereka di saat situasi udah meng-global seperti sekarang. Terus beliau juga cerita, kalau total pengajar di SD tersebut ada 8 orang, tapi yang biasa dateng cuma setengahnya, maksimal lima. Most of them juga rumahnya cukup jauh dari sekolah. Again.

Setelah gue pikir-pikir, sebenarnya semua masalah saling berkaitan. Gak cuma tertumpu pada pemerintah, serta para birokrat yang cuma mengejar jabatan dan lupa pekerjaan, tapi juga terletak pada tingkat kesadaran masyarakat terhadap pendidikan yang rupanya masih belum merata sempurna. Situasi ini udah kelewat memprihatinkan, apalagi kalau melihat bahwa kita udah bukan tinggal di era 60-an dimana nggak sekolah karena sekolah jauh dan sulit itu masih suatu kewajaran. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, jantungnya masalah itu ada di akar. Akar dari sebuah tindakan itu ada pada pemikiran, bukan? Dan ini yang harus ditanam pada masyarakat pedesaan yang kurang peduli akan pendidikan. Supaya anak-anak mereka gak tumbuh jadi pribadi yang apatis dan nggak mewarisi kebobrokan orang-orang di birokrat.

Omong-omong, gue bukan mau sok idealis. Gue juga gak bener-bener amat jadi orang. Lempeng aja. Gue cuma percaya bahwa sesuatu yang buruk itu bisa diubah, bisa dipoles, karena gue peduli dengan kondisi lingkungan dan masyarakat gue bertahun-tahun yang akan datang. Gue gak mau tinggal di suatu negara yang stuck, karena masyarakatnya cukup setia dengan label negara berkembang, yang sebenarnya gak berkembang-berkembang amat. Gue juga gak mau negara gue dicap gagal padahal kita terlalu besar untuk itu, hanya karena terlalu banyak guru, tetapi terlalu sedikit yang diajarkan.

There is as yet no system for rewarding people who work harder, who teach better, who inspire kids to think, to explore, to develop their potential.

Mengutip dari artikel tersebut, menurut gue negara kita memang masih belum sadar betul bahwa yang namanya timbal balik dan penghargaan itu dibutuhkan dalam suatu pekerjaan. Bukan, gak melulu harus tentang gaji. It's not aall about money. Gue yakin ada yang lebih membahagiakan dari sekadar memberi tunjangan atau gaji yang naiknya gak seberapa. Ada perkara yang lebih besar dari itu. Kalau gue boleh sedikit puitis, contohnya menunduk ke bawah, melupakan sejenak kerusuhan yang dibuat orang-orang tamak di depan sana, dan menyadari bahwa kita kelak akan tua. Ada wajah-wajah baru yang harus menelan kepahitan karena kita. Ada semangat baru yang harus menyongsong bumi pertiwi. Minimal peduli aja dengan masa depan anak-anak bangsa, gue rasa dengan itu udah jadi semangat untuk guru-guru di daerah pedalaman sana yang hopeless dengan kondisi pendidikan mereka.

Karena tanpa disadari, akhir-akhir ini kita itu terlalu sibuk cuap-cuap soal presiden, pemerintahan sekarang, orang-orang yang tahu hukum saling sindir dan lapor akibat ucapan mereka sendiri, seakan-akan hanya itu permasalahan negara. Asal kalian tau aja, orang-orang yang tinggal di desa terpencil sana mana peduli sama pemilu. Gak sedikit dari mereka yang nggak kenal sama salah satu paslon, atau keduanya, atau bahkan pemimpin mereka yang sekarang. Yang mereka tahu, mereka cuma harus berjuang tiap hari buat makan, melangsungkan hidup. Yang mereka harap cuma pemerintah yang lebih maju, yang nggak cuma cuap-cuap pas lagi kampanye, yang gak cuma ngomong depan kamera selayaknya artis.

Akhir kata, gue harap pemerintahan yang baru nantinya bisa lebih aware dengan kondisi pendidikan, alias gak cuma bangun ini itu hanya supaya bisa bersaing dengan negara lain. Jumlah dan kualitas pengajar di setiap desa baik di daerah-daerah terpencil atau perbatasan bisa sama rata, tentunya dengan penghasilan dan tunjangan yang lebih baik. Gue harap juga kualitas pengajaran yang diberikan bisa sesuai dengan keadaan jaman sekarang dimana para siswa dituntut untuk berpikir lebih kreatif dan inovatif, jadi problem solver dari sejak dini dan gak melulu dikasih ceramah sama guru. Gue rasa akan lebih membanggakan kalau anak-anak muda kita yang justru nangkring di deretan universitas-universitas bergengsi di luar negeri, atau kompetisi-kompetisi bertaraf Internasional dengan segudang prestasi mereka. Apalagi kalau di dalamnya diisi oleh mereka-mereka yang datang dari pedalaman, yang selama ini gak mendapat pendidikan setaraf dengan mereka yang tinggal di perkotaan. Terharu gue ngebayanginnya:') Semakin terharu kalau ngebayangin tentang negara gue yang, sayang, terlalu besar untuk gagal. Sekian.

Link:





You May Also Like

3 komentar

  1. Jangan lupakan juga pendidikan attitude. Akademik tanpa attitude is a big no.
    Berkaca dari banyaknya kasus siswa melawan guru, membuktikan kurangnya pendidikan attitude yang diajarkan oleh tenaga pengajar maupun orang tua siswa nya sendiri.

    BalasHapus
  2. Problem terbesarnya sih kesadaran pentingnya pendidikan, bener yg dibahas diatas, terkadang anaknya sudah peduli pendidikan akan tetapi dari orang tuanya "mengkikis" Motivasinya dalam mengejar Cita-citanya

    BalasHapus
  3. aku diajak mikir so deep tentang pendidikan sama artikel awl kali ini. ibarat kamu ngajak aku ngobrol awl. its inspiring dan emang sejalan dengan pemikiranku soal pendidikan dari jaman suamiku jafi guru honoree yang selalu jadi tumbal GURU DATANG TERLAMBAT KE SEKOLAH atau GURU IZIN ADA KEPENTINGAN KELUARGA sementara suamiku cuman dikasih gaji 300ribu itupun kadang dibayar 3 bulan sekali! hal kayak gini nih yang bikin guru honorer gak bertahan lama atau pegawai honorer punya side job nakal lewat jalur samping. makanya gak heran ada aja pegawai honorer yang bisa punya mobil padahal ....yah you know lah.

    btw ngomongin soal pendidikan, aku juga waktu magang kuliah dulu di parongpong awl. lebih lama malah sampai 3 bulan. masyrakat disana kan emang rata-rata kerja di kebun, terus anak anaknya di suruh jaga kebun daripada ke sekolah. waktu itu tahun 2003 deh kayaknya. terus pemikiran kaya gitu masih bertahan sampai sekarang, nah ini yang awl sebut akar yang gak berubah 0 ubah dan setia dengan label nergara berkembang. susah move on nya kalo masyarakat nya aja gak mau sekolah. miris ya.

    aku juga pengen mengaris bawahi kurikulum awl,

    temenku yang stay di singapore mengaku shock dengan kurikulum pendidikan anak SD yang dalam hal ini anakku. Anak SD kelas 1 udah dikasih segitu padatnya materi, padahal di singapore anak SD kelas 1 cuman diajarin etika aja dan sedikit berhitung dan membaca. bukan di jejali dengan harus bisa menyelesaikan soal matematika bercerita lalu berhitung.

    kebayang gak? anak SD kelas 1 yang kita semua tahu logika nya aja masih berkembang terus dipaksa menghitung dari soal bercerita? buat ku it doesnt make sense, at all. gak ngerti pertimbangan kebijakan bikin materi dan kurikulumnya seperti apa.

    kalau calistung sih emang wajib ya, sejak TK diajarin juga kayaknya emang jadi keharusan. karena toh itu dasar. kalau pun mau kasih soal bercerita ya rangsang anak untuk memahami cara berfikir secara logika dengan diskusi bukan disuruh membaca.

    well, ya gitu deh intinga awl, hehehe

    BalasHapus