• Home
  • About
  • Opini
    • Pendidikan
    • Feminist
    • Knowledge
    • Intermeso
  • Thoughts
  • Poetry
  • Lifestyle
Powered by Blogger.
instagram twitter LinkedIn YouTube Spotify Email

Notes of Little Sister


Cewek Matre: Realistis atau Materialistis?

Beberapa hari lalu sebuah pertanyaan di akun base Twitter lagi-lagi kembali menggelitik gue. Kira-kira begini pertanyaannya:

Cewek Matre: Realistis atau Materialistis?
Pertama-tama, gue sengaja menghindari untuk menulis judul dengan kata kunci "cewek matre", karena sebetulnya fenomena matre atau materialistis ini bisa terjadi kepada siapa saja, terlepas dari gender-nya perempuan atau laki-laki. Hanya saja sebagai makhluk sosial yang kelak diharapkan menjadi seorang istri, wanita lebih sering diposisikan atau memposisikan dirinya sendiri sebagai sosok yang perlu selalu dibiayai dan ditunjang kebutuhannya oleh laki-laki—meski pada kenyataannya belum menikah sekalipun.

Jadi, perlu ditekankan bahwa narasi yang gue angkat disini bukan semata-mata menunjukan kebencian terhadap sesama perempuan atau melanggengkan budaya misoginis, tetapi menyoroti sebuah perilaku atau fenomena sosial yang selama ini divalidasi sebagai tindakan realistis berdasarkan kacamata gue.

Gue sering mendengar jawaban yang sangat umum dari beberapa orang ketika dirinya ditanya, "kenapa sih cewek itu matre?", dengan dalih bahwa mereka tidak matre, melainkan realistis. Seolah mengiyakan stereotip yang berlaku di kalangan perempuan sebagai makhluk yang berorientasi pada uang dan barang-barang mahal nan branded. Padahal, entah dirinya memang hidup pas-pasan atau minimalis sehingga apa yang dibeli murni adalah kebutuhan, atau memang berusaha melarikan diri dari kenyataan bahwa barang-barang yang dibelanjakan selama ini bukan keluar dari kantong pribadinya.

Banyak juga narasi yang gue dengar seperti ini, "sebagai cewek jangan mau keluar uang. Masa dari sekarang aja cowok lu nggak mau bayarin? Gimana nanti jadi suami?". Dan serangkaian opini yang mengatasnamakan komitmen serta tanggungjawab laki-laki sebagai pencari nafkah.

Realistis dan materialistis (matre) sebetulnya adalah dua hal yang berbeda dan nggak bisa dipaksakan beriringan. Realistis memiliki arti bahwa seseorang tidak selalu memikirkan sesuatu terlalu tinggi, melainkan semampunya. Ia berorientasi pada hal-hal yang bisa ia lakukan tanpa harus merugikan orang lain. Sementara materialistis adalah perilaku dimana seseorang secara sadar atau tidak, terlalu fokus dan bahkan bisa terobsesi terhadap uang dan kebendaan—yang digantungkan kepada orang lain. Rajeev Kamineni dalam jurnalnya mengatakan bahwa, "materialism is the ‘devotion to material needs and desires, to the neglect of spiritual matters; a way of life, opinion or tendency based entirely upon material interests’". 

Jika merujuk pada pengertian di atas, materialistis jauh dari kata lawannya, realistis, sebab perilaku ini mengabaikan nilai-nilai spiritual yang mana merupakan salah satu fondasi menjadi realis; yakni menjalani hidup apa adanya, sewajarnya dan semampunya.

Meski begitu, di sisi lain nggak semua orang yang money-oriented dapat digolongkan sebagai manusia matre, karena bergantung pada perspektif dan kondisi tertentu. Jika seseorang tidak mampu membiayai kehidupannya sendiri karena satu dan lain hal—katakanlah tidak memiliki pekerjaan yang stabil dan kesulitan dalam hal ekonomi, dimana situasi tersebut membuatnya membutuhkan bantuan orang lain yang dia percayai, tindakan ini masih bisa dikatakan realistis, selama ada consent dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Tetapi kalau memang seseorang menggantungkan seluruh hidupnya pada manusia lain hanya untuk memuaskan keinginan akan hal-hal yang berada di luar kuasanya, maka jangan mengelak juga kalau hubungannya berlandaskan materialisme, bukan rasa cinta.

Memang, hidup tanpa uang rasanya bakal hampa dan morat-marit bikin pusing kepala. Bahkan dalam menjalin hubungan, kita nggak bisa cuma mengandalkan cinta. Untuk apa ada komitmen dan rumah tangga kalau semua bisa diselesaikan hanya dengan "cinta". Tapi konsep ini nggak bisa dijadikan alasan untuk kita hambur-hamburkan uang hanya untuk memenuhi keinginan pribadi, apalagi menjadikan individu lain tambang materi saat keadaan kita sendiri sebetulnya mengharuskan kita untuk hidup lebih cukup.

"Men always have to pay the bills, though!"

"Yaa nggak selamanya harus, dong. Apalagi kalau baru nge-date doang😅. Katanya hubungan itu kerjasama, bareng-bareng. Kalau masih bisa berbagi, kenapa nggak?"

I know how hard and suck life is. Terkadang ada juga gue temukan perempuan-perempuan kuat yang mandiri dan menjadi tulang punggung keluarga, plus menjadi ibu dari anaknya, tapi masih dianggap sosok matre hanya karena dia terlihat berusaha menyenangkan dirinya sendiri sesekali dengan barang yang dia suka. Ini juga menjadi masalah, menurut gue. Tentang bagaimana kondisi matre atau tidaknya seseorang tidak sesuai dengan konteks yang sebenarnya, seperti para lelaki yang sering melabeli perempuan dengan kata matre secara asal. 

Karena itu, gue sedih setiap kali mendengar narasi-narasi yang mengkerdilkan kaum perempuan sendiri hanya karena konstruksi sosial yang mengatur bahwa memang sudah seharusnya perempuan apa-apa dibayarin, apa-apa nggak bisa membiayai keperluannya sendiri meski belum menikah dengan pasangannya ini diiyakan begitu saja—yang sejak tadi membawa pada satu kesimpulan: cewek itu matre! 

Hanya karena perempuan ujung-ujungnya di rumah, ngurus anak dan di dapur, begitu? Hanya karena kebutuhan perempuan lebih banyak, begitu? Dan menurut gue inipun sebetulnya nggak bisa dijadikan tolak ukur. Namanya materialistis bisa hidup dalam diri siapapun, dan jangan salah, keinginan dan kebutuhan laki-laki pun bisa sama banyaknya, lho, kalau ditimbang-timbang. Hanya saja jenis dan bentuknya bisa beda-beda. Lagi-lagi ini masalah perspektif dan bagaimana tindakan sosial mempengaruhi pandangan seseorang akan suatu kelompok atau komunitas (dalam hal ini perspektif gender). 

Menjadi realistis bukan artinya semua keinginan harus jadi butuh, tapi bisa menempatkan yang mana kebutuhan dan mana keinginan, serta yang mana prioritas dan mana yang perlu dikesampingkan, kemudian bertanggungjawab atas pilihan diri sendiri.

Menurut gue, ini bukan soal cewek nggak boleh kalah dari cowok, bukan soal cewek harus jadi leader pada setiap kesempatan, bukan soal cewek harus jadi kepala rumah tangga melawan kodrat, bukan soal cewek harus mandiri dan hidup selamanya sendiri tanpa perlu bantuan lawan jenis, sebab sudah sepantasnya masing-masing dari kita menjadi pribadi yang mandiri dan tangguh menghadapi berbagai situasi dan kondisi. Akan tetapi lebih kepada menghargai diri sendiri sebagai individu yang nilainya lebih besar dan berharga dari sekadar prinsip materi yang membutakan.



Artikel terkait:
Kamu Cewek Matre atau Cewek Realistis?
Share
Tweet
Pin
Share
36 komentar

Di masa pandemi ini internet seakan benar-benar jadi kebutuhan yang utama—paling nggak bagi gue yang nggak pernah melewatkan satu hari pun tanpa kuota internet. Mau kerja, pakai internet. Mau terhubung sama kerabat dan keluarga, pakai internet. Mau belajar pun pakai internet. Ibaratnya udah nggak zaman lagi, deh, kalau ponsel kita cuma dipakai untuk SMS-an. Karena itu, sebagai non-pengguna WiFi, gue sangat membutuhkan adanya provider yang bisa memberi keuntungan dan keleluasaan dalam memilih berbagai paket internet. Beruntung sekitar bulan Februari awal tahun lalu, gue kenal dengan aplikasi by.U, sebuah operator telekomunikasi serba digital pertama di Indonesia lewat salah satu akun di media sosial.

Murahnya by.U Meriah banget

Salah satu paket internet favorit gue adalah paket 10 GB/bulan seharga Rp50.000,00 aja! Kebayang, kan, gimana bahagianya gue saat menemukan by.U setelah beribu-ribu purnama uang lima puluh ribu itu gue habiskan hanya untuk paket internet sebesar 2,5 GB. Belum lagi paket-paket internet lain yang nggak kalah menggiurkan. Sebab selain kuota data utama, by.U juga menawarkan fitur topping yang memberi kita pilihan kuota untuk platform tertentu, seperti YouTube, Instagram, Twitter, Line, TikTok, Spotify, dan sebagainya dengan harga yang terjangkau mulai dari Rp2.000,00! Udah paketnya murah meriah, registrasi dan cara pesan kartunya pun mudah banget! Karena gue nggak perlu capek-capek keluar, tinggal tunggu paket tiba di rumah.

Solusi #SemuanyaSemaunya

Gue pikir kemudahan yang ditawarkan cukup sampai disitu, karena bagi gue pribadi paket-paket internet tersebut sudah sangat membantu gue dalam menghemat pengeluaran. Ternyata by.U terus menawarkan banyak kemudahan-kemudahan lain yang membuat gue semakin betah untuk nggak pindah-pindah provider, yakni fitur Build Your Own Plan (BYOP), Paket 1,5 Mbps, dan Paket 1 Mbps.

Dengan paket 1 Mbps, kita bisa internetan dengan kecepatan maksimal 1 Mbps lewat pilihan masa aktif selama 1 jam, 3 jam, 6 jam, dan 1 hari mulai dari harga seribu sampai sepuluh ribu rupiah!

Sementara untuk paket 1,5 Mbps, kita diberi pilihan masa berlaku selama 7 hari dan 30 hari internetan dengan kecepatan maksimal 1,5 Mbps, tentunya dengan harga yang juga sangat terjangkau untuk internet unlimited.

Nah, yang terakhir ini juga jadi salah satu paket internet favorit gue sekarang, yakni paket Build Your Own Plan (BYOP) yang membebaskan kita untuk mengatur besaran kuota dan masa aktif #SemuanyaSemaunya kita! Sama dengan paket 1 Mbps, fitur #SemuanyaSemaunya ini juga dimulai dari harga seribu-an aja! Teman-teman bisa cek situs by.U untuk informasi lebih lanjut.

Untuk anak kost-an kayak gue dan teman-teman di luar sana yang biaya internetnya sangat terbatas nih, by.U betul-betul bisa jadi solusi untuk kita berinternet ria tanpa takut boros. Apalagi memasuki masa resesi seperti sekarang, selain kebutuhan primer, pasti secara nggak langsung kita dituntut untuk bisa menghemat pengeluaran lain dimana salah satunya adalah biaya internet.

Sepanjang gue hidup, ini pertama kalinya gue pakai operator seluler yang benar-benar mengerti kebutuhan dan keinginan penggunanya. Selain murah meriah #SemuanyaSemaunya, masalah jangkauan sinyal pun gue nggak perlu khawatir karena selalu pol dan jarang banget lambat pas dipakai.

Rasanya gue nggak akan bosan, deh, rekomendasiin by.U ke teman-teman dan keluarga gue!
Share
Tweet
Pin
Share
11 komentar
Kenapa kita wajib punya sneakers putih?

Firstly, white shoes and sneakers are so hot because of the fashion trends. Designers of big fashion brands like Balenciaga and Louis Vuitton take this trend to the show stage. Young people are always ready to embrace the fashion trends, and soon people found it everywhere. 

Terhitung sudah tiga tahun ini gue senang pake sepatu putih tiap pergi kemana-mana. Pertama kali decided untuk pakai sneakers putih itu karena gue udah bosen sama sneakers yang warnanya hitam atau abu-abu. Gue kalau beli sepatu memang gak jauh-jauh dari warna itu, entah kenapa lebih suka warna yang netral dan cari aman aja buat outfit sehari-hari, inipun berlaku untuk kerudung, kemeja dan jenis pakaian yang lain. Apalagi itu adalah barang-barang yang memang dipakai untuk jangka panjang kan, jadi harus benar-benar bisa bikin kita nyaman karena gak salah pilih. I prefer to wear earth tone or classic colors to make it look simple as possible. Dan dari sejak saat itu gue selalu setia sama sepatu putih. Saking setianya, kalau ganti sepatu pasti warna putih lagi putih lagi. Padahal udah berapa kali dibikin repot pas nyuci karena susah banget bookk buat bener-bener bisa kinclong seratus persen hiks.😖

Why is the white sneakers trend never fade?

  • Kind of neutral color

Bukan karena trend, tapi karena warnanya yang netral! As i mentioned before, warna-warna seperti putih, hitam, cokelat tua dan abu-abu adalah tipe warna utama yang netral dan bisa banget dipadupadankan dengan warna lain untuk urusan pakaian. Mau warna atasan dan bawahannya gak matching pun, sneakers putih bakalan tetep masuk di outfit kalian. Pokoknya, black and white are always in! Ngomong-ngomong soal netral, band Netral sekarang apa kabar ya🤔

  • ‌Easy matching alias cocok dengan segala jenis outfit!

Saat pakai sneakers berwarna putih, kita gak perlu sibuk kebingungan nentuin mau pakai pakaian kasual atau formal sekalipun! Karena secara teknis sepatu putih bakalan cocok dengan gaya berpakaian kalian. Mungkin satu-satunya yang perlu kita pertimbangkan dengan serius hanyalah occasion-nya. Untuk acara apa nih si outfit itu dikenakan? Pantes gak ya kalau gue pakai ini di kegiatan itu? Semacam itulah.

Kalau gue pribadi, setiap ngampus dulu pasti owowtidi-nya antara pakai kemeja sama celana bahan, kadang kulot, atau kemeja sama celana jeans, dan semuanya sama-sama cocok buat sneakers putih IMO. Malahan gue seringnya pake celana bahan atau chino pants gitu buat keluar, atasannya terserah, kadang pakai kemeja, kadang sweater atau hoodie, kadang cuma kaos stripe kebanggaan aja, and again, it does indeed go with everything mixed, either white sneakers or any kind of white shoes (i've never tried this one tho, but as what google said it looks good too). 

Kok gue demen banget yak sama celana hitam😅

Pernah beberapa kali waktu magang/PPL di sekolah beberapa bulan lalu, gue pakai sneakers putih walaupun atasan dan bawahannya pakai kemeja dan juga celana bahan yang memang biasa dipakai untuk ngajar. Terus waktu itu gue bandingin sama pas pake pantofel, hasilnya berasa langsung ke-switch total gitu🤣 Kalau sebelumnya bener-bener muncul vibe guru, eh setelah ganti sepatu vibe gurunya jadi ilang.

  • ‌Simple

Percayalah, pakai sepatu putih bakalan bikin looks kita terlihat lebih simple. Karena sepatu-sepatu ini gak banyak diberi tambahan warna dan hiasan seperti halnya sepatu-sepatu lain yang terkadang selalu dikombinasikan dengan warna lain, membuat sepatu putih menjadi lebih sederhana. Kalau lo males kemana-mana nih dan bingung mau pakai baju apa, tinggal ganti celana jeans, pakai hoodie atau kaos, udah deh cukup!

5 Alasan Kenapa Wajib Punya Sneakers Putih

Lho, kan banyak tuh sepatu warna lain yang juga simple dan desainnya gak macem-macem?

Iya sih, tapi coba lihat gambar di atas. Walaupun sepatu dengan warna lain yang design-nya nggak ribet juga banyak di pasaran, gue masih ragu kita bisa dengan mudah mencocokan outfit sehari-hari dengan sepatu tersebut, dan sebetulnya spektrum warna yang ada ini memberi kesan lebih ramai dan penuh. Sementara warna putih cenderung lebih natural dan soft, ibaratnya kalau cat tembok yang paling dasar dan pale itu pasti putih. So, it's very simple to wear!

Baca juga: Goodbye Wasteful Life, Welcome Minimalism

  • ‌Bikin kita tampil lebih muda dan energetic

Since white shoes are the common shoes that some people wear in school, most of them feel like they wanna go back to school, dan karena sepatu jenis ini simple dan bikin kita tampil lebih ceria, otomatis kita akan lebih terlihat muda dan segar, apalagi kalau sepatunya masih baru atau udah dicuci, image yang ditampilkan menjadi "bersih". Tampilan yang sporty dari sepatu kets juga akan membuat kita tampak lebih energetic.

  • ‌Timeless

Abadi, yap! Karena alasan-alasan yang ada di atas, menjadikan sepatu ini nggak pernah ketinggalan zaman sekalipun sepatu yang lagi nge-trend sekarang sepatu kuda, misalnya. Orang-orang gak akan lantas mengatai kalian cupu hanya karena pakai sepatu putih, as long as kita sendiri gak berlebihan dalam berpakaian. Meski sudah ada dari beberapa dekade, gayanya gak akan pernah pudar dan tetap bagus mengikuti zaman. Terbukti kan sekarang beberapa brand sepatu ternama masih ada yang produksi white shoes or sneakers, apalagi brand olahraga, rasanya gampang banget ditemukan sepatu berwarna putih.

Of course, trend sepatu putih yang gak juga hilang ditelan zaman ini nggak menjadikan sepatu warna lain inferior. Selama kita pandai mix and match atau memadukan outfit kita sehari-hari dengan sepatu kesayangan, it makes us pretty and incredible even more!

Jadi, gimana nih? Ada yang suka pakai sepatu putih juga? Yuk sharing!😄



Share
Tweet
Pin
Share
30 komentar
the importance of minimalism in our lives


Disclaimer: Tulisan ini dibuat dalam bahasa Jepang sebagai naskah untuk kontes pidato bahasa Jepang dalam Pekan Bahasa dan Budaya Jepang ke-45 & Lomba Pidato Bahasa Jepang Regional Jawa Barat 2019 (第45回バンドン日本語日本文化祭弁論大会) yang diselenggarakan oleh Japan Foundation. Namun gue menyertakan juga terjemahannya dalam bahasa Inggris di bagian bawah menggunakan bahasa yang ringan. Tulisan ini berisi tentang kaitan perilaku konsumtif di media sosial dengan gaya hidup minimalisme yang mana sangat menjadi concern gue. Selamat membaca dan jangan lupa sertakan komentarmu tentang artikel ini!❤️


「さようなら無駄遣い、ようこそミニマリズム」
アイナ・アウリヤ
皆さんは、普段インスタグラムやフェイスブック、ツイッターなどのSNSをよく使いますか?一日でも、SNSをチェックしていないと、落ち着かない人も少なくないですよね。
先月、たまたまユーチューブで、ある外国人のビデオログを見て驚きました。彼は昨年からSNSをやめた理由について話しました。本来、人と人のつながりを便利にさせるSNSが、最近は色々な商売の宣伝であふれて、そんなに必要ないのに、どんどん出てきた商品を買ってしまったそうです。たくさんの無駄遣いを辞めたいから、SNSを辞めるようになったと述べました。彼の話を聞いてから、私が普段、SNSにどれくらい時間を使っているのか、そして日常生活にどんな影響があるのか、について考え始めました。
SNSの影響の一つとして、私の生活に無駄遣いが増えたと感じています。面白いオンライン・ストアや、色々な商品を見るために、インスタグラムなどをよく使います。商品を宣伝しているセレブの投稿や、買った商品を見せている友達の投稿を見た時、私も欲しいと感じ、要らなくてもインターネットで同じ商品を探して買ってしまいます。このことから、SNSに私のお金や時間がたくさん奪われていることが、はっきりとわかります。また、物を買うためにお金を使うだけでなく、SNSを利用するためのインターネット代も忘れてはいけないでしょう。
最近、オンライン・ストアは本当に私たちの消費パターンを変えてしまったと思いませんか。以前は、商品やサービスには、その機能が必要なものだけを選んでいましたが、最近は、他の人にほめられるライフ・スタイルを作る考え方に変わってきています。これによって、悪い影響が出ると私は心配しています。
たとえば、女性は似ている服をいくつも買ってしまったり、男性はかっこいい電化製品を買ってしまったりすることが多いですよね。また、SNSでたくさん「いいね」などをもらうために、人気な物を買って投稿する人もいます。それによって、ライフ・スタイルはより不規則になり、商品を真剣に選ぶことも減り、しばしば買った後に騙されたと感じます。これを解決するためには、ほしいと思ったらすぐ買うのではなく、必要かどうかを考えて商品を買う、という生活パターンに戻す必要があります。
そのために、ライフ・スタイルにミニマリズムを取り入れるべきです。ミニマリズムとは、「無駄に多いものを捨て、本当に自分に必要なものだけを選ぶ努力」のことです。
最近、近藤まりえという日本人の名前をよく耳にしませんか。
彼女は、ミニマリズムのライフ・スタイルを取り入れているコンサルタントとして、人気を集めている日本人です。彼女の考え方は、コンマリ法と呼ばれ、「不要なものを捨てる」「落ち着いて幸せになれるものを大切にする」「人生で重要なことに集中する時間を自分に与える」という考え方です。私は、このミニマリズムのコンセプトで無駄な買い物を防げる、と思います。
考えてみれば、確かに商品は他人に見せてほめてもらうためではなく、使うために買うのです。私は、コンマリ法を使ってミニマリズムの生活を始め、無駄の多い生活を避けることが、良い第一歩だと思います。そのため、自分の持っているものに対してもっと感謝し、それらをもっと必要とする人々に与えることができます。このようにして、私たちは自分を幸せにするだけでなく、他の人を幸せにすることもできるのです。
それでは、SNSはどうでしょうか。
SNS自体が変わることは難しいです。変わることができるのは、自分だけです。SNSを使い、ミニマリズムのライフ・スタイルを広めるキャンペーンなど、前向きなもののために利用できます。そのため、これからSNSでやるべきことは、ミニマリズムを行う人々の写真を投稿し、コンマリ法の利点を共有し、そして、それらからどのような結果が得られるかについて、他の人に伝えることです。私自身も、これからオンライン・ショッピングを減らし、コンマリ法を実施してみたいと思います。

Eng-Trans:

Do you often use SNS such as Instagram, Facebook, and Twitter? Even if you don't check SNS in a day, there's a lot of people who don't feel comfortable, isn't it?

Few months ago, I was surprised by a vlog of a foreigner on YouTube. He talked about why he stopped for being active on SNS since last year. Originally, SNS that make people's connections more convenient have been flooded with various commercial advertisements recently, and they seem to have bought more and more products that are not necessary. He said that he came to quit SNS because he wanted to quit of wasteful life. After watched his video, I started thinking about how much time I usually spend on social media and how it affects my life.

One of the effects that i feel of using SNS intensively is wasteful lifestyle that has increased in my life. I often use Instagram to see interesting online stores and various products. When I see a post from a celebrity promoting a product or a friend showing me what he or she's bought, I feel that I want it, and even if I don't need it, I search for the same product on the Internet and buy it. This clearly shows that my money and my time are being taken away by SNS. In addition to spending money to buy things, you should not forget the internet bill or quota to use SNS.

Don't you think online stores have really changed our consumption patterns recently? In the past, only products and services that required their functions were selected. Recently, however, the concept has changed to create lifestyles that are complimented by others. I'm worried that this will have a negative impact. For example, women often buy several similar clothes, and men often buy cool appliances without thinking whether they're really need those or not. Some people buy and post popular items to get lots of likes on SNS. As a result, lifestyles become more irregular, less serious selection of goods, and often feels deceived after buying. In order to solve this problem, it is necessary to return to the lifestyle pattern of buying a product based on whether it is necessary, rather than buying it only for showing off to people.

Therefore, i think minimalism should be incorporated into the lifestyle. Minimalism is "an effort to throw away useless things and choose only what is really needed."

Have you guys heard about Marie Kondo?

She is a Japanese who is gaining popularity as a consultant who applying a lifestyle of minimalism. Her idea is called the 'Conmari Method', which is "throw away unnecessary things", "value things that calm down and make you happy", and "give yourself time to concentrate on important things in life". I think that this minimalism concept can prevent unnecessary shopping that we always do.

If you think about it, you certainly buy products for use, not for compliment others, right? I think, again, it is a good first step to start a minimalism life using the Conmari Method and avoid a wasteful life. So you can be more thankful for what you have and give them to those who need it more. In this way, we cannot only make ourselves happy, but also make others feel the same way.

So, what about SNS?

SNS itself is difficult to change. Only you who can change. It can be used for positive things such as a campaign to spread the lifestyle of minimalism using SNS. So one of the things you need to do on SNS is to post photos of people doing minimalism, share the benefits of the "Conmari Method", and tell others what the results will be. I myself would like to reduce online shopping and implement this great concept of Marie Kondo! How about you?



Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar


Akhir-akhir ini dan bahkan sebelum-sebelumnya, sadar nggak sih kalau Indonesia nggak kehabisan 'akal' untuk membuat sesuatu jadi viral? Bukan Indonesia nya sih, emang. Tapi orang-orangnya. Apa-apa bisa jadi viral. Video curhatan para istri lah, orang gile joget lah, dan masih banyak lg yang lainnya. Pertanyaan gue adalah, apa manfaatnya? Okelah, mungkin itu cuma lucu-lucuan aja. Tapi, parahnya orang Indonesia adalah selalu melebih-lebihkan sesuatu, dan ini yang akhirnya jadi salah satu faktor kenapa banyak banget hal-hal viral yang 'kelewatan viral'.


Semudah itukah membuat sesuatu atau seseorang jadi terkenal? Yah, katakan lah gue sirik. Kenyataannya, mungkin gue memang sirik. Gue nggak senang lihat orang lain bahagia dan bisa mendapat penghasilan dari hasil viral mereka, yang tiba-tiba dikejar ol shop buat endorse, ditelpon crew acara televisi, or etc. Toh gue yakin gak hanya gue yang sirik ketika melihat semua itu. Di saat hampir setiap bulan atau bahkan setiap hari ada aja sesuatu yang dengan mudahnya jadi viral dan bikin tenar yang bersangkutan. Percayalah, di luar sana ada banyak orang yang lebih parah geleng-geleng kepalanya dibanding gue. Karena semuanya bisa jadi viral cuma karena sentuhan jari lo di media sosial.


At least sebenarnya gue gak terlalu mempermasalahkan itu, sih. Dan bukan itu juga inti dari permasalahan disini, karena balik lagi bahwa rezeki setiap orang itu ada yang mengatur, apapun dan bagaimanapun jalannya asalkan positif. Bukan salah yang bersangkutan juga kalau mereka tiba-tiba jadi viral, mendadak dikenal orang dan bahkan ada yang bersyukur banget kalau sampe muncul di TV karena kreativitas mereka yang awalnya cuma iseng-iseng, atau berkat tingkah lucu mereka.


Kadang gue cuma gak habis pikir aja, ada begitu banyak hal yang membanggakan di luar sana tapi justru nggak kita ‘lihat’. Orang-orang terlalu fokus dengan hiburan-hiburan di media sosial dan cenderung seakan lebih bangga dengan hal itu. Hiburan yang menurut gue kebanyakan sama sekali nggak menghibur. Hiburan yang justru cenderung merendahkan orang lain, seperti komedi-komedi di TV zaman now contohnya. Disini gue sama sekali gak bermaksud menyinggung siapapun. Gue justru menghargai mereka yang di dalam viral itu memberi nilai positif, juga akun-akun selebgram di luar sana (karena akhir-akhir ini Instagram yang lebih banyak menghasilkan viral) yang memberikan pesan moral sangat dalam di setiap feedsnya.


Pada intinya, gue cukup kecewa dengan keadaan medsos sekarang. Gak heran kalau orang Indonesia lebih diakui dan dihargai di negeri orang dibanding negeri sendiri, karena orang-orang yang apresiatif lebih sedikit dibanding mereka yang 'sok-sok' apresiasi tapi ujung-ujungnya lebih senang apresiasi hal yang nggak penting. Padahal banyak banget hal-hal di luar sana yang bisa lebih bermanfaat dan membanggakan untuk bisa kita lihat dan tunjukan pada dunia. Please stop making everythings viral just because your fun, because there's so much good things that can make you happy more than just feeling fun or laugh even for 1 minute. :)
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Bukan Salah Indonesia
  • Di Balik Angkasa
  • Indonesia Krisis Moral
  • Just Listen
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Terpaksa Biasa

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

Have new posts emailed to you!

My Spotify

Popular Posts So Far

  • Don't Stop
  • Harry Potter Questions Tag
  • Bahagiaku
  • Letting Go With Smile
  • Blog Story
  • Di Balik Angkasa
  • Matre: Realistis atau Materialistis?
  • Bad For Good
  • Priority Chat
  • Cuma Cerita

Blog Archive

  • ▼  2021 (7)
    • ▼  February 2021 (1)
      • Letting Go With Smile
    • ►  January 2021 (6)
  • ►  2020 (46)
    • ►  December 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  October 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  August 2020 (10)
    • ►  July 2020 (8)
    • ►  June 2020 (4)
    • ►  May 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  March 2020 (2)
    • ►  February 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  December 2019 (3)
    • ►  October 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  August 2019 (1)
    • ►  March 2019 (1)
    • ►  February 2019 (2)
    • ►  January 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  December 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  August 2018 (1)
    • ►  June 2018 (1)
    • ►  May 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  February 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Followers

Categories and Tags

Feminist Intermeso Knowledge lifestyle Minimalism Opini pendidikan Perempuan Podcast Poetry slice of life Thoughts

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.