Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
  • Portfolio
instagram twitter LinkedIn YouTube Spotify Email

Notes of Little Sister



Body Positivity Bukan Validasi


Teman-teman, ada yang masih ingat? Lebih dari setahun yang lalu, jagat maya kita sempat dihebohkan oleh pernyataan salah satu influencer yang sempat keblinger freedom of speech, karena mengata-ngatai tubuh seseorang di tempat gym dengan sebutan "polusi visual". 

Kemudian setelahnya, muncul lagi pernyataan kontroversial dari MH, seorang model alias "Menteri Kecantikan" yang mengeluh di media sosial pribadinya dikarenakan standard kecantikan Victoria Secret's Angels dan tayangan Gossip Girl favoritnya kini telah bergeser dari yang ia yakini selama ini. Seolah tak kuasa menahan kekesalan, dengan lantang ia melabeli "buriq" seorang perempuan berkepala pelontos dan berkulit gelap yang diketahui sebagai pemeran baru seri Gossip Girl.

Ujaran tidak mengenakan terhadap perempuan yang dianggap tidak memiliki tubuh seperti standard masyarakat juga pernah dialami oleh Nurul, seorang atlet angkat besi sepulang dari Olimpiade Tokyo di Bandara Soekarno-Hatta pada pertengahan Agustus tahun lalu. 

Sikap ini seakan-akan semakin melanggengkan eksklusivitas standard kecantikan yang tidak merangkul semua kalangan dan jenis tubuh. Karena itu, gerakan women support women pun tampaknya hanya berlaku untuk lingkaran tertentu.

Pergelutan di media sosial terhadap self-acceptance semacam ini lagi-lagi menunjukan adanya miskonsepsi perihal body positivity. Bagi orang-orang bertubuh "privilege" yang bisa sesuai dengan standard Victoria Secret, gerakan body positivity tampaknya hanyalah bentuk validasi rasa malas bagi orang-orang yang tidak bisa memiliki badan seperti bihun—kurus, langsing, dan berkulit terang. Seakan-akan perjuangan mayoritas perempuan selama berpuluh-puluh tahun tak ada artinya bagi mereka. Padahal body positivity, atau gerakan mencintai dan menerima diri tanpa harus sesuai dengan standard yang berlaku di masyarakat ini sudah diperjuangkan sejak tahun 1960-an di Amerika Serikat.


Asal Usul Kampanye Body Positivity

Kampanye ini berawal dari adanya tindakan diskriminatif terhadap orang-orang yang berbadan gemuk.  Fat Acceptance dan Fat Liberation diusung oleh kelompok NAAFA (National Association for Advancement of Fat Acceptance) dan juga feminisme yang aktif di California. Mereka lalu menerbitkan manifesto yang inovatif, dimana isinya ialah menuntut kesetaraan bagi para pemilik tubuh gemuk atau penyandang obesitas dalam seluruh aspek kehidupan. Mereka bahkan menyinggung perihal industri-industri tertentu yang berperan dalam mendukung standard kecantikan dan budaya diet, hingga menyatakan industri ini sebagai musuh.

Gerakan perjuangan inipun terus berkembang pesat. Pada tahun 1980-an, antusiasme terhadap pembebasan orang gemuk dari diskriminasi mulai terus tersebar ke penjuru dunia. London Fat Women’s Group menyusul terbentuk pada pertengahan 80-an dan aktif selama bertahun-tahun. 

Orang-orang memang tidak menggunakan istilah Body Positivity pada masa itu, tapi para aktivis yang berperan dalam menyuarakan anti-diskriminasi pada penyandang obesitas ini dapat dengan mudah dijumpai di berbagai acara talk show dan media lainnya. Lalu pada era 90-an, aktivis-aktivis tersebut berdemonstrasi di depan White House, menggelar protes di depan pusat kebugaran yang memajang iklan bernada fatphobic, dan menari-nari bersama rombongan kendaraan pawai pada parade San Francisco’s Pride.

Topik yang kemudian mencuat tentang dorongan mencintai tubuh sendiri ada yang membingungkan beberapa pendengar, namun di saat yang sama juga ada banyak orang yang merasa terinspirasi. Mungkin karena pada saat itu istilah self-love, self-acceptance, dan body positive tidak lazim seperti sekarang. Tampaknya orang-orang ini berpikir bahwa, jika seseorang yang terlihat seperti mereka (dianggap tidak sesuai standard kecantikan) saja bisa belajar untuk mencintai diri sendiri, siapapun tentu bisa. 

Baca juga:  Childfree yang Diperdebatkan

Hingga memasuki awal 2000-an, internet akhirnya menjadi salah satu platform dimana berbagai bentuk penghinaan terhadap tubuh orang lain dan kampanye tentang mencintai tubuh sendiri mulai banyak tersebar. Meski kondisi tersebut dibarengi dengan munculnya anonimitas (orang-orang yang tidak menunjukan identitas diri di media sosial) dan menyebabkan perundungan, namun kondisi ini tidak dapat terelakan juga menunjukan bentuk ekspresi diri.

Ketika beragam papan pesan dan ruang obrolan tahun 90-an digantikan dengan media sosial, para aktivis ini terus membangun aksinya secara digital. Mereka berpindah dari grup AOL dan forum online NAAFA ke Tumblr dan Instagram. Adanya tagar dan grup-grup Facebook pun membantu banyak orang untuk terhubung dengan cara yang baru. Generasi yang baru ini kemudian menyebarkan aura positif yang dikenal sebagai Body Positivity. 


Menerapkan Body Positivity, Tak Mesti Jadi Toxic Positivity

Bagi orang-orang yang memiliki badan lebih kecil dan minim mendapat ejekan seputar kondisi tubuh, mungkin merasa bahwa gerakan body positivity hanyalah bentuk validasi atas rasa malas mereka yang bertubuh gemuk untuk memiliki gaya hidup lebih sehat. Nyatanya, tujuan awal kampanye ini adalah untuk meyakinkan orang-orang bahwa siapapun harus diperlakukan dengan baik, tidak peduli bagaimana bentuk badan mereka, warna kulit mereka, hingga cantik atau tidak rupanya. Toh, segala standard cantik yang berlaku di masyarakat tidak bisa menentukan bagaimana value diri seseorang, dan bagaimana ia berperilaku di lingkungan sekitarnya.

"Lantas, bagaimana kalau para penyandang obesitas atau pemilik tubuh gemuk itu sendiri yang menjadikan ini validasi?"

It's not the campaign that is wrong. It's on them and their mindset. Karena biar bagaimanapun, gue percaya tubuh yang sehat adalah kunci untuk hidup yang juga lebih sehat. Dan gue rasa, mereka sendiri sadar bahwa tubuhnya adalah aset berharga yang mesti dijaga, dirawat dan diberi asupan gizi dengan baik agar bisa bugar hingga tua nanti. Percayalah, gue yang memiliki tubuh kurus pun masih berjuang untuk bisa memiliki hidup yang lebih sehat, dengan pola makan yang teratur dan bergizi. Lagipula, kenapa sih, badan kurus dan langsing harus diasosikan dengan tubuh yang indah dan molek? Apa semua hal yang berkaitan dengan tubuh juga harus dipandang sebagai estetika?

Perlu diingat, bahwa kita bukan patung yang tubuhnya bisa sama rampingnya, bisa dibentuk molek sedemikian rupa, tidak tampak kekurangan sama sekali, tanpa gelambir dan stretchmark disana sini. We have different shapes, sizes, and bone structures. 

Tidak semua orang yang kurus hidupnya sehat atau penyakitan, begitupun dengan orang-orang yang memiliki tubuh gemuk. Bisa jadi mereka memang memiliki struktur tulang yang lebih padat dari orang kebanyakan, and that's okay, as long as mereka merawat tubuhnya dengan baik dan sadar akan kesehatan diri sendiri.

Hal ini berkaitan dengan sub-judul yang gue sematkan di atas. Yap, meski body positivity adalah gerakan yang bagus untuk menyadarkan siapapun bahwa setiap orang berhak memiliki citra tubuh yang positif, namun tidak semata-mata kita jadi bisa merayakan obesitas begitu saja tanpa mau mengubah diri sendiri ke arah yang lebih positif. Bukankah sejatinya itu yang dimaksudkan body positivity? 

Tidak merawat tubuh kita sebagaimana mestinya dengan mengonsumsi makanan secara sembarangan dan berlebihan dengan dalih body positivity justru akan berdampak buruk bagi diri kita. Inilah yang disebut dengan toxic positivity.

"Duh, ribet banget yaa jaman sekarang terlalu banyak istilah."

Indeed. Tapi menurut gue istilah seperti ini cukup penting untuk diketahui, agar kita bisa lebih mengenal diri sendiri dan tahu kapan waktunya untuk ngerem saat kita sudah terlalu memaksakan prinsip "body positivity" ini. 

Dilansir dari Alodokter, toxic positivity adalah kondisi ketika seseorang menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir dan bersikap positif serta menolak emosi negatif. 

Melihat suatu hal dengan positif memang baik, tapi tidak jika malah mendiskreditkan emosi negatif tersebut, seolah-olah perasaan yang tidak positif adalah sesuatu yang tidak valid untuk kita terima. Karena hal ini bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental, seperti yang dikutip dari City Nomads di bawah.
Radiating positivity 24/7 is a tough feat for anyone. The pressure to be positive can become toxic quickly. This toxic positivity may not exactly improve one's self or body-image. In fact, may even be counterproductive, because it can manifest as mental health conditions like depression and body dysmorphia, eating disorders and more in the long run.
So, kalau kamu sedang merasa tidak puas dengan kondisi tubuhmu karena berbagai hal, it's okay to feel that way sometimes. Siapa tahu perasaan itu malah mendorong kamu untuk bisa memiliki gaya hidup yang lebih sehat dan teratur. Tapi juga jangan merasa buruk sampai berlarut-larut, karena sesungguhnya setiap orang punya kekurangan dan kelebihannya masing-masing.

Believe me, segala standard yang dibangun oleh masyarakat selama ini adalah buah dari kapitalisme. That's why you shouldn't feel guilty about your own body that doesn't fit the beauty standard. Tidak salah juga sebetulnya kalau menteri kecantikan yang gue mention di atas merasa sebal ketika tipe model favoritnya di Victoria's Secret berubah secara inklusif, karena dia hanyalah "korban" dari citra kecantikan yang berusaha dibangun oleh orang-orang di balik Victoria's Secret--the capitalistic marketing itself. 

Instead of spending time in front of the mirror criticizing our shortcomings, why don't we use the time we have to examine our strengths and upgrade skills for the sake of our future and our own happiness? Furthermore, we can stop using our bodies to define ourselves and our worth at all. Because our lives isn't only about body and appearance. It's broader than that.


Reference:

BBC: The History of the Body Positivity Movement
Mengenal Lebih Jauh Tentang Toxic Positivity
Citynomads.com: Why Body Positivity Isn't All that Positive


Share
Tweet
Pin
Share
9 komentar
 
Seksisme: Basi Lo!

Pernah nggak sih, kamu ngalamin dilecehkan secara nggak langsung di ruang publik atau ketika menggunakan transportasi umum? Dilirik, dilihatin dari atas sampai bawah dengan tatapan sensual sama laki-laki—yang terlihat jelas dari tatapannya bukan seseorang yang bisa memuliakan perempuan. Lalu digangguin saat lagi jalan, disiulin, dipriwitin kayak pemain bola, ditanya-tanya sesuatu yang sifatnya personal as if kamu sengaja lagi mejeng untuk menarik perhatian mereka?

Gue pernah, bahkan sering sekali dalam beberapa bulan terakhir ini. Saking seringnya, gue sampai muak dan enggan keluar rumah kalau urusannya nggak penting-penting amat. Males juga harus bolak balik pakai angkutan umum, males meladeni sebagian sopirnya yang nggak tau bagaimana caranya beretika terhadap stranger yang kebetulan perempuan ini. Udah pakai masker, kerudung, ditambah jaket yang disleting hingga leher, dan tertutup sedemikian rupa nyatanya nggak bikin manusia-manusia mata keranjang ini berhenti menggoda cewek yang lewat dan muncul di hadapannya. Seperti yang gue bilang tadi, seakan-akan kehadiran kita disitu adalah 'hadiah' atas dahaga nafsunya yang belum tersalurkan. 


Dipaksa Menguasai Pertahanan Diri


Gue termasuk cukup beruntung karena memiliki wajah jutek yang bisa gue manfaatkan dalam situasi-situasi semacam ini. Tapi lama-lama lelah juga kalau harus auto jalan ngangkang kayak ibu hamil setiap jalan melewati kerumunan bapak-bapak atau anak muda seperti mereka hanya agar gue nggak terlihat feminim di depan mereka. Dan gue rasa, gue bukan satu-satunya yang mengalami mekanisme pertahanan diri seperti ini.

Tumbuh di lingkungan yang patriarkis dengan segala stereotip gendernya terhadap perempuan, mau nggak mau membuat gue terbiasa menjalani hidup dengan penuh ketakutan. Terutama bagaimana kami seakan-akan hanya dipandang sebagai makhluk "visual", makhluk pemuas nafsu, makhluk yang dianggap seperti barang karena segala lekuk tubuhnya adalah tontonan. Meskipun, ya, gue nggak sepolos itu untuk nggak menyadari ada dari kaum perempuan sendiri yang berprofesi demikian. 

Namun masalahnya, nggak semua orang demen dicat-callingin, nggak semua perempuan suka cari perhatian, nggak semua perempuan mau dideketin dan dilecehkan hanya karena dianggap menarik, nggak semua perempuan berprofesi seperti apa yang laki-laki ini pikirkan. Bahkan kalau ada orang-orang yang memang ingin terlihat menarik untuk lawan jenis, bukan berarti mereka nggak bisa dihargai. Gue rasa pelaku-pelaku pelecehan seksual dari skala kecil sampai besar ini perlu direhabilitasi dan mendapatkan pendidikan khusus tentang bagaimana seharusnya dia bersikap dan memposisikan perempuan nggak lebih dari sosok manusia yang memang faktanya punya banyak perbedaan. Dan perbedaan ini bukan untuk dimanfaatkan, tapi untuk dihormati. 

Gue sangat amat lelah dengan ini semua. Bahkan jikalau gue diberikan satu saja kesempatan—yang sangat nggak mungkin—untuk mengubah dunia, mungkin gue lebih memilih untuk menghapuskan segala perasaan dan syahwat antara laki-laki dan perempuan. Biar bisa sama-sama saling jaga tuh mata dan hati.

"Auto jadi malaikat kali!"

Ya jangan dipikirin sampe jauh juga, namanya lagi nge-rant dan berandai-andai sesuatu yang mustahil bagi manusia. Kalau dilawan sama nalar memang nggak masuk, jangan, yang ada malah makin pusing. 

Baca juga: How I See Feminist As A Muslim

Belum lagi serangkaian berita kekerasan seksual yang wara wiri belakangan di media secara nggak langsung semakin menambah kewaspadaan gue sebagai perempuan—dan pastinya teman-teman di luar sana. Gue jadi khawatir, dimana tempat yang aman bagi kami kalau predator-predator seksual seperti itu berkeliaran di sekitar kita? Dan bukan hanya predator itu sendiri, kita juga harus dihadapkan dengan berbagai konstruksi sosial dan stigma yang mengikat masyarakat. Bahkan banyak instansi pemerintah dan tokoh masyarakat, sampai-sampai segelintir tenaga kesehatan yang ikut mengiyakan stigmasisasi dan seksisme macam ini.

Nggak terhitung berapa banyak masyarakat—khususnya perempuan—di media sosial yang sering mengeluh mendapatkan perlakuan kurang nyaman ketika mereka harus memeriksakan diri ke dokter obgyn, ketika masalah yang dialami bukan soal kehamilan, melainkan cuma soal sembelit, menstruasi yang nggak teratur, dan serangkaian konsultasi lain terkait organ reproduksinya. Ditambah lagi kelakuan lucu polisi-polisi kita yang sangat sering bertindak nggak adil dalam mengurus kasus pelecehan, kasus pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lain.

Sebagai instansi yang seharusnya mengayomi dan melindungi rakyat, kebanyakan dari mereka malah ikut menghakimi korban, menutup-nutupi kasus, menyepelekan pengalaman korban seakan-akan mengusut kasus hanya akan membuang waktu mereka. Karena jawabannya apa?

"Kamu yakin? Nanti kamu sendiri lho yang menanggung malu."
"Kita nikahkan saja ya, dengan pelaku."
"Saya sih mau bantu, tapi nanti Anda siap tidak dengan segala konsekuensinya? Semisal dituduh balik dengan pasal pencemaran nama baik?" 

Lha, apa ini? Gaslighting? Bukannya bantu kuatkan dan support, kok malah nambah-nambah beban pikiran korban. Seakan-akan menikahkan korban dengan rapist adalah jawaban terbaik, seakan-akan asas kekeluargaan bisa menyelesaikan semua masalah begitu saja. Memangnya lagi main koperasi-koperasian?

Coba kita rewind sejenak berita yang selama ini mencuat, ada berapa banyak kasus-kasus pelecehan atau kekerasan seksual yang diabaikan oleh aparat, sampai harus menunggu viral dulu untuk bisa diusut? Dalam catatan gue, setidaknya ada enam kasus pelecehan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir—yang mana terus bertambah sejak terakhir kali gue cek linimasa Twitter sore tadi. Bahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pun mencatat kira-kira ada 8.800 kasus kekerasan seksual yang terjadi dari bulan Januari sampai November tahun lalu. Itu yang tercatat di laporan, belum termasuk kasus-kasus lain yang terhambat di persoalan internal keluarga, dan lain-lain.

Beberapa yang sempat ramai di media nasional, di antaranya ada kasus pemerkosaan seorang anak penyandang disabilitas rungu-wicara yang dilakukan secara beramai-ramai (gang rape) di Makassar pada awal tahun 2021, kasus pelecehan seksual di lingkungan kerja pemprov DKI Jakarta yang dilakukan oleh mantan Kepala Badan Pelayanan Pengadaan Barang dan Jasa (BPPBJ), kasus kekerasan seksual 14 anak remaja yang dilakukan oleh pemilik sebuah sekolah, hingga serangkaian kasus pelecehan seksual di perguruan tinggi yang sempat ramai beberapa bulan lalu. 

Baca juga: Kenapa Kita Misoginis?

Let's Break the Bias


Pandangan seksis yang menganggap satu gender lebih superior daripada gender lainnya juga menimbulkan berbagai polemik lain seperti bias gender yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Misalnya, perempuan dianggap nggak terlalu penting untuk bersekolah tinggi-tinggi, karena toh nantinya akan berurusan di dapur, mengelola rumah tangga, dan sebagainya—yang secara nggak langsung juga merendahkan pekerjaan ibu rumah tangga (internalized misogyny). Selain itu, perempuan nggak boleh menjadi pemimpin dalam sebuah organisasi jika masih ada anggota laki-laki di dalamnya, nggak peduli sekompeten apa perempuan ini.

Berbagai batasan-batasan yang stereotypical ini pada akhirnya hanya akan mematikan mimpi-mimpi ribuan anak perempuan yang ingin memiliki kehidupan lebih layak dengan meng-upgrade diri mereka sendiri. Sadar nggak, sih? Lingkungan masyarakat kita sudah sering mengingatkan agar anak-anak dan pemuda pemudinya bisa memiliki taraf kehidupan yang lebih baik, bisa sukses dan menjadi orang yang berguna, tapi sekali saja anak mereka melangkahkan kaki untuk mendobrak stigma-stigma, mereka juga yang menghentikan langkahnya. Langkah-langkah kecil yang berharap bisa sampai di suatu perubahan.

Oleh karena itu, International Women's Day yang diperingati pada tanggal 8 Maret lalu mengusung tema #BreakTheBias, seolah menjadi penggerak sekaligus pengingat bagi siapapun bahwa berbagai bias gender yang dilanggengkan terhadap kaum perempuan selama ini sebetulnya telah memberi pengaruh yang begitu besar tentang bagaimana pandangan-pandangan masyarakat selama ini terbentuk. 

We want to remind everyone that it's not about wanting to be the first or to be the most powerful  over men, but simply wanting the justice we deserve, not just as women, but as human beings—in the name of humanity. Setara bukan berarti melawan kodrat dan memaksa untuk sama, despite segala perbedaan biologis yang dimiliki laki-laki dan perempuan. In my humble opinion, setara berarti seimbang. Nggak ada lagi bias, nggak ada lagi superioritas tanpa batas, nggak ada lagi interseksionalitas terhadap perempuan, nggak ada lagi sistem patriarkis yang menempatkan perempuan sebagai sosok manusia yang nggak punya pilihan, nggak ada lagi kesenjangan dan ketidakadilan sosial terhadap perempuan (atau bahkan kelompok marjinal) di tempat kerja, dan nggak ada lagi pandangan seksis terhadap siapapun. 

To those who think sexism is normal and should be considered as something understandable, basi lo! Let's break the bias, as much as we want changes.



References:

HitsSuara.com: Nakes Dianggap Judgmental ke Pasien KB
CNN Indonesia: Marak Kekerasan Seksual Sepanjang 2021
Share
Tweet
Pin
Share
11 komentar
Saipul Jamil dan Cancel Culture

Postingan ini dibuat pada tanggal 7 September 2021 dan gue muat juga dalam Kompasiana update "Balada Glorifikasi Saipul Jamil dan Sisi Positif Cancel Culture", karenanya isi berita tidak mengikuti perkembangan terkini perihal kasus terkait (mungkin akan gue tulis pada postingan berikutnya). 
o-o

Lima tahun yang lalu, artis Saipul Jamil ditangkap karena kasus pelecehan yang ia lakukan terhadap dua anak di bawah usia 18 tahun. Meski kedua korban tersebut sudah memasuki usia pubertas, tindakan seperti ini tergolong ephebophilia dan tidak bisa dianggap sepele. Kemudian baru-baru ini, berita keluarnya ia dari penjara justru menimbulkan beragam komentar di media sosial. Mengapa? Ini nih kelucuan negara kita yang bikin geleng-geleng kepala.

Setelah masa hukumannya itu habis, rupanya ia mendadak tenar lagi dan dipastikan kembali ke ranah entertainment setelah mengantongi beberapa kontrak kerjasama dari stasiun TV yang menunggu kepulangannya. Bahkan yang lebih ngadi-ngadi lagi, dia disambut bak pahlawan olahraga yang baru pulang dari Olimpiade Tokyo kemarin. Dikalungi bunga, diarak, dan dipertontonkan di frekuensi publik kita. Sungguh miris.

Perlakuan istimewa yang didapatkan Saipul Jamil selepas dari penjara seakan mengingatkan kita bahwa Indonesia benar-benar masih menganggap remeh kasus kejahatan seksual. Tampaknya kita memang belum siap mengalami kemajuan berpikir karena orang-orangnya mudah sekali memaafkan para pelaku kejahatan, terkhusus bagi selebriti tanah air. Mungkin mereka pikir, yang penting hukumannya sudah dijalankan, dan semua permasalahan sudah diselesaikan 'secara kekeluargaan'.

Lho, memangnya iya keluarga korban sudah betul-betul memaafkan? Pun kalau sudah dimaafkan, apakah dia pantas wara wiri di siaran publik yang mana mungkin saja akan memancing trigger korban? Lalu kita sebagai masyarakat, apakah benar kita yang punya hak untuk memaafkan pelaku dan membiarkannya "menebus" dosa dengan memperkaya diri di program-program televisi?

Perlu diketahui, dampak psikologis yang dialami korban kejahatan seksual itu bukan sesuatu yang bisa kita pinggirkan hanya demi rating dan engagement. Para pelaku industri hiburan harus menyadari tanggungjawabnya sebagai media massa, bukan semata-mata untuk melindungi psikis korban, namun juga untuk mengedukasi masyarakat bahwa tindakan pelecehan seksual ini menunjukan adanya sebab-akibat.

Terlepas dari apakah pelaku sudah menjalankan hukumannya atau belum, sudah dimaafkan atau belum, kita juga perlu bersimpati kepada korban kalau-kalau ia mengalami gangguan mental yang parah sebagai akibat dari tindakan cabul Saipul Jamil. Terlebih ketika mengetahui bahwa pelaku bisa menjalani produktivitasnya dengan bebas, dan bahkan mendapatkan simpati dari masyarakat, dapat membuat para korban kekerasan seksual (tidak hanya korban Saipul Jamil) merasa dikucilkan sebab tidak ada yang memihak dirinya.

Dikutip dari Ade Iva Wicaksono, seorang dosen bidang psikologi sosial UI lewat laman Twitter-nya menyatakan bahwa pemaafan pelaku pelecehan seksual hanya bisa dilakukan oleh keluarga korban, bukan masyarakat. Selain itu, pemaafan dan penerimaan pelaku berdasarkan kelompok sosial atau masyarakat (bukan korban) justru menunjukan adanya jaminan untuk menekan korban agar tetap diam dan memunculkan gangguan terhadap kesejahteraan korban.

Sayangnya, dalam merespon berita ini, KPI selaku lembaga yang menaungi dan bertanggungjawab dalam hak siar program-program televisi malah bersikap acuh tak acuh. Ketika ditanya kenapa mantan narapidana ini tak juga dicekal, Komisioner KPI hanya menjawab, "Saipul tidak menginspirasi orang melakukan tindakan asusila saat tampil di TV."

Lah, lalu tindakan seperti apa yang bisa memunculkan tindakan asusila? Apakah hanya tontonan yang mengandung adegan pornografi yang bisa menginspirasi tindak asusila? Itupun tidak mungkin lolos sensor, mengingat di negara kita "payudara" Sandy dalam kartun Spongebob dan tayangan yang ada sapi perahnya saja diblur seburam mungkin sampai tokohnya tidak kelihatan sama sekali—kecuali wajah dan kakinya.

Lagipula, munculnya komentar ini sekali lagi malah menunjukan ketidakberpihakan publik terhadap korban pelecehan, mengabaikan akibat dari perbuatan pelaku selama ini. Eits, tapi tunggu, pantas saja sepertinya KPI masa bodoh, wong pegawainya sendiri mengalami perundungan dan kekerasan seksual oleh sesama rekan kerja selama 10 tahun saja dibiarkan, kok.

Untungnya, menyusul sentimen publik yang terus meningkat tajam atas tayangan Saipul Jamil ini, terhitung pada tanggal 6 September lalu KPI telah melayangkan 18 surat kepada Lembaga Penyiaran dan meminta agar seluruh lembaga ini tidak terkesan merayakan atau mengglorifikasi eksistensi Saipul Jamil pasca menjalani hukuman yang dapat berupaya membuka kembali trauma korban di masa lalu. Kita tunggu saja kelanjutannya.

Namun, kalau ternyata Saipul Jamil masih tampil wara wiri di saluran YouTube meski sudah tidak muncul di televisi, saya rasa memang ada yang salah dengan pola kerja media di Indonesia, bahkan influencer yang sesungguhnya punya privilese dalam mempengaruhi khalayak umum.

Kalau dipikir-pikir, sejujurnya dalam hal ini gue agak iri dengan Korea Selatan. Mengapa? Karena negara ini dikenal menjadi salah satu negara yang tidak ramah terhadap pelaku-pelaku kejahatan atau kriminalitas. Bukan hanya dari kebijakan institusi terkait, namun netizen negeri ginseng sendiri memang dikenal sebagai yang cukup sadis dalam meng-cancel artis-artisnya ketika tersandung masalah hukum.

Misalnya saja kasus Burning Sun dua tahun lalu yang sempat geger karena mengungkap kasus penyerangan, kekerasan seksual, peredaran narkoba, dan prostitusi. Tidak hanya menguak sejumlah nama artis seperti Seungri BigBang sebagai pemilik Burning Sun, Jung Joon Young, dan Choi Jong Hoon, kabarnya banyak pula chaebol (konglomerat), politisi, hingga aparat penegak hukum yang ikut berperan aktif dalam pembungkaman kasus ini.

Hasil dari terungkapnya kasus tersebut membuat Seungri mengundurkan diri dari grup BigBang dan industri hiburan secara menyeluruh pada 11 Maret 2019. Jangan tanya soal Jung Joon Young dan Choi Jong Hoon yang divonis tujuh tahun penjara. Mereka tentu mendapat kecaman publik yang begitu besar hingga diboikot dari berbagai program televisi (begitu juga yang terjadi dengan tersangka-tersangka sebelumnya yang datang dari kalangan artis).

Cancel culture atau budaya pengenyahan ini sudah ada dari zaman Yunani dan diterapkan pada sistem demokrasi Athena. Istilah yang digunakan untuk itu adalah ostrakisme, dimana seseorang dipaksa untuk keluar dari lingkaran sosial atau professional—baik secara daring melalui media sosial, ataupun secara langsung.

Entah apakah ini bisa dikatakan sebagai hal yang positif atau tidak? Namun yang jelas bagi masyarakat luas dan korban kasus kejahatan seksual, tindakan ini bisa menjadi bentuk preventif dan bukti perlindungan, bahwa negara melalui lembaga-lembaganya paham betul akan sensitivitas dan etika publik. Mereka menyadari bahwa kejahatan apapun tidak bisa ditoleransi, meski dilakukan oleh akademisi, politisi, hingga figur publik sekalipun. Sesuatu yang masih belum disadari secara penuh oleh negara kita, terutama pelaku-pelaku media yang berorientasi pada bisnis dan sistem kapitalis.

Kalau saja orang Indonesia mampu memisahkan antara bersikap rendah hati dan tegas, kemudian bijak menilai kasus seperti apa yang bisa ditolerir dan tidak, isu ini sepertinya tidak akan terjadi. Jika dalam lingkup sosial, tak ada salahnya memang memberikan kesempatan bagi pelaku untuk berkegiatan dengan normal dan bebas sebagaimana mantan napi yang lain.

Namun memberi ruang untuknya berdiri di hadapan publik dengan baju tahanan diiringi gurauan-gurauan tak berkelas khas acara varietas Indonesia adalah sama saja dengan menormalisasi pelaku pelecehan seksual. Sikap seperti ini juga berarti semakin melemahkan kesadaran masyarakat dan perjuangan aktivisme yang tak berhenti menyuarakan perlindungan dan pendampingan untuk para korban kejahatan seksual.
Share
Tweet
Pin
Share
16 komentar
 
Bahagia Perlu Uang

When i think about happiness, it's true that it comes from the smallest thing in our lives. But is it always true? Apakah konsep ini berlaku sepanjang kita hidup? Mungkin ya, mungkin saja tidak. Biasanya nih, anak muda zaman sekarang paling sering mengglorifikasi soal "rules of life" (even if this kind of thing exists), semacam; apakah kita bisa hidup bahagia tanpa uang?; atau apakah sebetulnya uang bisa memberi kita impian yang konyol dan kehidupan tanpa penderitaan? Lalu sering khawatir bahkan sebelum memulai garis start pertamanya. 

Before we move on, i need to clarify something. Gue nggak sedang membahas tentang kebahagiaan secara general. Membicarakan soal kaitan uang dengan kebahagiaan nggak berarti gue nge-dismissing fakta bahwa rasa bahagia itu besar sekali maknanya, bahkan tanpa harus diselubungi dengan hal-hal berupa materi. Also, gue rasa kita perlu meluruskan beberapa hal di awal, bahwa frasa "money can't buy happiness" yang akan gue mention di postingan ini, nggak pernah gue maksudkan secara literal. Ini hanya konotasi, after all.  If you disagree about what i writes on this topic, it's very okay. Your opinion could be different than mine, and this might sounds contradictory to my previous post which tells about finding your own happiness through the silly dreams that you might have had since you were kids, but let me explain further.

Sebagai manusia normal, rasanya kita tidak bisa mengelak bahwa hampir setiap waktu, kita perlu uang untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman dan nyaman dalam berkehidupan. Tidak hanya kebutuhan primer, sekunder, namun juga tersier yang seringkali perlu untuk disokong. Kita memerlukan uang untuk bayar tagihan, belanja kebutuhan seperti pangan, sandang (bahkan ketika seseorang memiliki gaya hidup minimalis), lalu untuk bayar air, bayar token listrik, kuota internet, hingga sekadar beli bensin untuk kendaraan yang digunakan sehari-hari. Semua aspek dalam hidup kita seakan-akan tidak bisa digerakan tanpa kehadiran uang, dan banyak sekali permasalahan hidup yang bisa diselesaikan dengan uang. Bahkan dalam kondisi pandemi seperti ini, perekonomian negara tidak bisa dihentikan sementara hanya untuk lockdown, karena efek jangka panjang yang ditimbulkan mungkin akan lebih buruk dari yang bisa kita kira. Mengapa? Alasan paling dasarnya semata-mata karena kita membutuhkan uang untuk hidup, terlebih dalam situasi sulit seperti saat ini. Most people do.

Kenyataan ini didukung oleh data yang dikumpulkan peneliti Universitas Princeton pada tahun 2010, bahwa rata-rata dari 450.000 orang dewasa di Amerika Serikat memiliki perasaan sedikit lebih bahagia ketika dikaitkan dengan uang atau pemasukan. Dapat dikatakan bahwa orang yang memiliki pendapatan sekitar $70.000 per tahun cenderung lebih bahagia daripada mereka yang menghasilkan sekitar $40.000 per tahun. Perbedaan yang tidak besar, namun signifikan secara statisik. Kualitas emosional ini dinilai dengan pertanyaan yang meminta mereka untuk memikirkan tentang kondisi di hari-hari sebelumnya dan menilai seberapa banyak kebahagiaan dan kenikmatan yang dialami, hingga seberapa banyak mereka tersenyum dan tertawa.

Selain itu, peneliti juga mengatakan bahwa manusia sulit untuk benar-benar bahagia jika hidup dalam kemiskinan. Jika kita selalu merasa lapar, kedinginan, dan tinggal di lingkungan yang tidak aman atau selalu berutang uang kepada seseorang, rasanya kebahagiaan bisa sulit dipahami. Contoh lain adalah ketika kita memiliki masalah kesehatan sementara tidak memiliki cukup uang untuk pergi ke dokter (tidak semua orang punya BPJS), kemungkinan besar ada dua kekhawatiran yang mesti dihadapi—kesehatan dan uang. 

Di bawah tingkat pendapatan tertentu, orang miskin sebenarnya kurang bahagia dan kurang puas dengan kehidupan mereka daripada kebanyakan orang. Terlebih ketika mereka tidak menemukan adanya quantum leaps atau penghasilan yang meningkat signifikan setiap harinya, bahagia seakan hanya jadi ilusi. Mungkin, dalam kondisi seperti inilah bahagia datang dari hal yang sederhana. Tapi, apakah pada akhirnya itu cukup untuk mengenyangkan perut kita? Apakah hal itu cukup untuk membayar tagihan yang menumpuk? Tidak juga.

Baca juga: Matre: Realistis atau Materialistis?

Uang Bikin Bimbang

Yah, kita bicara fakta saat ini. Memang, manusia sudah sepatutnya banyak bersyukur dan tabah dalam menghadapi cobaan hidup yang datang silih berganti, karena pada kenyataannya tidak semua hal bisa dinilai dengan materi. Namun, sebagaimana manusia yang selalu butuh validasi, adakalanya kita selalu berusaha untuk mencari pembenaran atas hal-hal yang kita lakukan ketika belum berusaha sepenuhnya. Misalnya, seseorang yang sering mengeluh karena mendapatkan gaji kecil dan pas-pasan, sementara apa yang didapatnya itu tak lain karena usaha yang kurang maksimal. Lantas untuk meyakinkan diri bahwa ia sudah hidup lebih baik, seseorang ini hanya berlindung di balik kata "syukur" tanpa benar-benar memaknainya. Sebab ada orang yang pandai bersyukur, kemudian bekerja lebih keras di hari esok, begitu seterusnya. Namun ada juga orang yang bersyukur, tapi tidak diiringi dengan usaha yang lebih keras karena tidak tahu caranya memberi limit terhadap diri sendiri.

Terlebih untuk yang usianya masih muda dan prima, rasanya memalukan berpikir tentang "cukup" ketika kita bisa melakukan sesuatu yang lebih lagi untuk kebaikan diri sendiri maupun lingkungan sekitar, sebagai bekal di masa depan nantinya. Iya, sebagai generasi digital, gue tahu banyak anak muda yang sedang mengalami dilema semacam ini. Go for it, or give it up. Sama halnya dengan perkara menentukan passion atau main job, dan idealisme dengan realita.

Bukan Soal Privilege

Selain bisa mengurangi kegelisahan dalam hal financial, dengan uang kita juga bisa "membeli" banyak pengalaman yang tidak terlupakan. Contohnya, traveling ke berbagai daerah atau negara, menonton pertandingan bola, menyaksikan drama musikal di suatu tempat atau bahkan di Broadway, atau kalau dikerucutkan lagi, sesederhana menikmati suasana yang menenangkan di pinggir danau seberang kota. Do we only need a cent of money? Obviously, we don't. Meskipun kita tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk membeli pengalaman tertentu, paling tidak sejumlah uang yang lebih besar bisa membantu kita menikmati pengalaman dengan perasaan nyaman.

Uang juga memungkinkan kita untuk dapat memberikan kebahagiaan dalam bentuk lain terhadap orang-orang yang lebih membutuhkan. Jadi, tidak semata-mata selalu untuk memenuhi ego manusia akan pemenuhan kebutuhannya. Serta kita juga bisa memiliki akses dalam mempelajari hal-hal baru dengan fasilitas yang lebih mendukung. Siapa disini yang senang menggambar dan tergiur ingin membeli alat berupa procreate agar hasil gambarnya dapat lebih maksimal? Atau, adakah yang ingin bisa memiliki alat rekam khusus dengan kualitas mumpuni bagi yang sedang mengolah kemampuan suara? *Ehm, itu.. keinginan gue, sih😅.

Kebanyakan orang juga menemukan kebahagiaannya tersendiri ketika bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan membahagiakan orang-orang yang disayang secara materiil dengan jerih payahnya. At the end of the day, it's about money, isn't it?

So, apakah sebetulnya uang bisa "membeli" kebahagiaan? Yap, kalau kita bisa memanfaatkan dan mengelolanya dengan cara yang benar. Namun apakah kita harus menjadi kaya untuk bisa bahagia? Ini dia yang harus gue luruskan. Kenyataannya, kebahagiaan memang bukan bersumber dari uang. Apalagi jika semakin banyak uang di dalam tabungan kita, maka semakin banyak kita berinvestasi, dan semakin besar kerugian, serta rasa stress yang mungkin akan kita dapatkan. Mungkin ini sebabnya Jeff Bezzos tidak lagi merasa antusias ketika perusahannya mendapatkan keuntungan jutaan dollar yang berkali lipat. Walaupun hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa orang yang memiliki gaji 400 juta per tahun tidak lebih menderita daripada orang yang hanya mampu menghasilkan uang sebesar 70 juta per tahun, begitupun seterusnya. Toh, banyak millioner yang ujung-ujungnya memilih "sengsara" dalam kekayaan daripada sengsara dalam kemiskinan.

Beberapa di bawah ini gue kutip sedikit potongan diskusi dari postingan Instagram influencer favorit gue, Fellexandro Ruby, yang kebetulan membahas topik serupa beberapa waktu lalu, agar postingan ini tidak terasa begitu saklek dan satu arah. Well, sharing is caring!

Bahagia Perlu Uang

Bahagia Perlu Uang
Of course, we wouldn't! Seperti yang baru saja gue bilang, in fact uang memang bukan sumber kebahagiaan. Toh, manusia hidup lebih lama daripada uang itu sendiri, kan? Begitupun perasaan bahagia, it lasts longer than the money itself. Money and happiness are two different things, but this post tries to elaborate them.

Bahagia Perlu Uang
Yes, it is the phase of our life that helps us see things clearly and takes us to the next (financial) journey.

Bahagia Perlu Uang

Bahagia Perlu Uang
I suddenly remembered what my friend once said, we don't really want stuff, we just want feelings. Like, we thought we want money, but deep down we only want the feeling of ease and comfort which we thought money could bring.

Baca juga: Menjadi Manusia

Pada intinya, ini bukan menyinggung tentang privilege atau tidak mensyukuri rezeki yang didapat, melainkan lebih kepada menyadari realita bahwa kita bisa menikmati hal-hal yang orang ber-uang miliki tanpa harus kaya dan punya privilege, dan kita juga harus yakin untuk bisa memperoleh rezeki yang lebih jika kita tidak hanya bersyukur dan berserah, tapi berusaha sebaik-baiknya kemampuan diri.

Namun dari diskusi singkat di atas, kita juga perlu mengingatkan diri sendiri untuk tidak memetakan kebahagiaan hanya pada materi. Seperti yin dan yang, alangkah lebih baik jika semuanya dilakukan dengan seimbang, tidak berlebihan. Gapapa bekerja keras selagi kuat, but just don't push yourself so hard that you can't even enjoy your hard-earned money and the time you have. Karena gue yakin mindset kita terhadap uang juga perlu untuk direm sesekali agar tidak gelap mata.

Bahagia Perlu Uang


Tulisan ini gue buat bukan untuk mengajak teman-teman menjadi money-oriented atau materialistis, gue hanya ingin mengingatkan diri sendiri dan mungkin teman-teman sebaya yang sedang mengalami quarter life crisis (atau masalah pelik soal keuangan), bahwa underprivileged bukan alasan untuk kita bertahan dalam victim mentality dan berlindung di balik kalimat "money can't buy happiness". Uang bisa "membelikan" kita beberapa hal yang membawa rasa kebahagiaan kok, ketika dilakukan dengan cara yang tepat sesuai takaran kita. Oleh sebab itu, jangan berhenti menyerah within your limit, and don't mind about other people's life—being salty about privilege, etc. 

Berhenti membandingkan diri dengan orang lain, tinggalkan medsosmu untuk sementara waktu jika perlu, dan.. jangan sampai memberi afirmasi terhadap diri sendiri dengan cara yang salah yang malah bisa mengendurkan limit yang kita punya.
Share
Tweet
Pin
Share
21 komentar

Cewek Matre: Realistis atau Materialistis?

Beberapa hari lalu sebuah pertanyaan di akun base Twitter lagi-lagi kembali menggelitik gue. Kira-kira begini pertanyaannya:

Cewek Matre: Realistis atau Materialistis?
Pertama-tama, gue sengaja menghindari untuk menulis judul dengan kata kunci "cewek matre", karena sebetulnya fenomena matre atau materialistis ini bisa terjadi kepada siapa saja, terlepas dari gender-nya perempuan atau laki-laki. Hanya saja sebagai makhluk sosial yang kelak diharapkan menjadi seorang istri, wanita lebih sering diposisikan atau memposisikan dirinya sendiri sebagai sosok yang perlu selalu dibiayai dan ditunjang kebutuhannya oleh laki-laki—meski pada kenyataannya belum menikah sekalipun.

Jadi, perlu ditekankan bahwa narasi yang gue angkat disini bukan semata-mata menunjukan kebencian terhadap sesama perempuan atau melanggengkan budaya misoginis, tetapi menyoroti sebuah perilaku atau fenomena sosial yang selama ini divalidasi sebagai tindakan realistis berdasarkan kacamata gue.

Gue sering mendengar jawaban yang sangat umum dari beberapa orang ketika dirinya ditanya, "kenapa sih cewek itu matre?", dengan dalih bahwa mereka tidak matre, melainkan realistis. Seolah mengiyakan stereotip yang berlaku di kalangan perempuan sebagai makhluk yang berorientasi pada uang dan barang-barang mahal nan branded. Padahal, entah dirinya memang hidup pas-pasan atau minimalis sehingga apa yang dibeli murni adalah kebutuhan, atau memang berusaha melarikan diri dari kenyataan bahwa barang-barang yang dibelanjakan selama ini bukan keluar dari kantong pribadinya.

Banyak juga narasi yang gue dengar seperti ini, "sebagai cewek jangan mau keluar uang. Masa dari sekarang aja cowok lu nggak mau bayarin? Gimana nanti jadi suami?". Dan serangkaian opini yang mengatasnamakan komitmen serta tanggungjawab laki-laki sebagai pencari nafkah.

Realistis dan materialistis (matre) sebetulnya adalah dua hal yang berbeda dan nggak bisa dipaksakan beriringan. Realistis memiliki arti bahwa seseorang tidak selalu memikirkan sesuatu terlalu tinggi, melainkan semampunya. Ia berorientasi pada hal-hal yang bisa ia lakukan tanpa harus merugikan orang lain. Sementara materialistis adalah perilaku dimana seseorang secara sadar atau tidak, terlalu fokus dan bahkan bisa terobsesi terhadap uang dan kebendaan—yang digantungkan kepada orang lain. Rajeev Kamineni dalam jurnalnya mengatakan bahwa, "materialism is the ‘devotion to material needs and desires, to the neglect of spiritual matters; a way of life, opinion or tendency based entirely upon material interests’". 

Jika merujuk pada pengertian di atas, materialistis jauh dari kata lawannya, realistis, sebab perilaku ini mengabaikan nilai-nilai spiritual yang mana merupakan salah satu fondasi menjadi realis; yakni menjalani hidup apa adanya, sewajarnya dan semampunya.

Meski begitu, di sisi lain nggak semua orang yang money-oriented dapat digolongkan sebagai manusia matre, karena bergantung pada perspektif dan kondisi tertentu. Jika seseorang tidak mampu membiayai kehidupannya sendiri karena satu dan lain hal—katakanlah tidak memiliki pekerjaan yang stabil dan kesulitan dalam hal ekonomi, dimana situasi tersebut membuatnya membutuhkan bantuan orang lain yang dia percayai, tindakan ini masih bisa dikatakan realistis, selama ada consent dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Tetapi kalau memang seseorang menggantungkan seluruh hidupnya pada manusia lain hanya untuk memuaskan keinginan akan hal-hal yang berada di luar kuasanya, maka jangan mengelak juga kalau hubungannya berlandaskan materialisme, bukan rasa cinta.

Memang, hidup tanpa uang rasanya bakal hampa dan morat-marit bikin pusing kepala. Bahkan dalam menjalin hubungan, kita nggak bisa cuma mengandalkan cinta. Untuk apa ada komitmen dan rumah tangga kalau semua bisa diselesaikan hanya dengan "cinta". Tapi konsep ini nggak bisa dijadikan alasan untuk kita hambur-hamburkan uang hanya untuk memenuhi keinginan pribadi, apalagi menjadikan individu lain tambang materi saat keadaan kita sendiri sebetulnya mengharuskan kita untuk hidup lebih cukup.

"Men always have to pay the bills, though!"

"Yaa nggak selamanya harus, dong. Apalagi kalau baru nge-date doang😅. Katanya hubungan itu kerjasama, bareng-bareng. Kalau masih bisa berbagi, kenapa nggak?"

I know how hard and suck life is. Terkadang ada juga gue temukan perempuan-perempuan kuat yang mandiri dan menjadi tulang punggung keluarga, plus menjadi ibu dari anaknya, tapi masih dianggap sosok matre hanya karena dia terlihat berusaha menyenangkan dirinya sendiri sesekali dengan barang yang dia suka. Ini juga menjadi masalah, menurut gue. Tentang bagaimana kondisi matre atau tidaknya seseorang tidak sesuai dengan konteks yang sebenarnya, seperti para lelaki yang sering melabeli perempuan dengan kata matre secara asal. 

Karena itu, gue sedih setiap kali mendengar narasi-narasi yang mengkerdilkan kaum perempuan sendiri hanya karena konstruksi sosial yang mengatur bahwa memang sudah seharusnya perempuan apa-apa dibayarin, apa-apa nggak bisa membiayai keperluannya sendiri meski belum menikah dengan pasangannya ini diiyakan begitu saja—yang sejak tadi membawa pada satu kesimpulan: cewek itu matre! 

Hanya karena perempuan ujung-ujungnya di rumah, ngurus anak dan di dapur, begitu? Hanya karena kebutuhan perempuan lebih banyak, begitu? Dan menurut gue inipun sebetulnya nggak bisa dijadikan tolak ukur. Namanya materialistis bisa hidup dalam diri siapapun, dan jangan salah, keinginan dan kebutuhan laki-laki pun bisa sama banyaknya, lho, kalau ditimbang-timbang. Hanya saja jenis dan bentuknya bisa beda-beda. Lagi-lagi ini masalah perspektif dan bagaimana tindakan sosial mempengaruhi pandangan seseorang akan suatu kelompok atau komunitas (dalam hal ini perspektif gender). 

Menjadi realistis bukan artinya semua keinginan harus jadi butuh, tapi bisa menempatkan yang mana kebutuhan dan mana keinginan, serta yang mana prioritas dan mana yang perlu dikesampingkan, kemudian bertanggungjawab atas pilihan diri sendiri.

Menurut gue, ini bukan soal cewek nggak boleh kalah dari cowok, bukan soal cewek harus jadi leader pada setiap kesempatan, bukan soal cewek harus jadi kepala rumah tangga melawan kodrat, bukan soal cewek harus mandiri dan hidup selamanya sendiri tanpa perlu bantuan lawan jenis, sebab sudah sepantasnya masing-masing dari kita menjadi pribadi yang mandiri dan tangguh menghadapi berbagai situasi dan kondisi. Akan tetapi lebih kepada menghargai diri sendiri sebagai individu yang nilainya lebih besar dan berharga dari sekadar prinsip materi yang membutakan.



Artikel terkait:
Kamu Cewek Matre atau Cewek Realistis?
Share
Tweet
Pin
Share
36 komentar
Belajar Kesetaraan

Dalam satu bulan ini ada banyak banget sampah-sampah pikiran yang nggak bisa sepenuhnya langsung gue utarakan di blog seperti sebelumnya. Apalagi setelah ngikutin perkembangan berita yang trending di media sosial, pasti adaaaa aja yang bikin sakit kepala. Akhirnya hari ini gue memutuskan untuk menyalurkan salah satu dari sekian "sampah" tersebut yang erat kaitannya dengan kesetaraan dan femininitas. 

Selama lebih (sedikit) dari 20 tahun gue hidup, sejujurnya gue nggak pernah merasa kerdil hanya karena gender, hanya karena gue perempuan, terlebih dalam hal pendidikan. Gue selalu melihat porsi antara laki-laki dan perempuan itu sama. Makanya ketika gue menemukan sebuah narasi seperti ini, "mengapa kita harus merasa kemampuan kita lebih rendah hanya karena kita perempuan?", gue tidak lantas merasa empowered sebab gue sudah menemukan itu jauh sebelum orang-orang menyadari bahwa permasalahan akademik laki-laki dan perempuan bisa seimbang, nggak ada yang mendominasi salah satu—meski patriarki dalam beberapa aspek, khususnya di dunia kerja, masih sangat terasa kentalnya.

Mungkin karena gue besar dalam keluarga broken home dan waktu sehari-hari lebih banyak dihabiskan bersama eyang, tante, dan adik-adik—karena gue tinggal dengan eyang dan tante gue supaya lebih dekat ke sekolah, role model gue pun gak hanya terbatas pada sosok orangtua; ayah dan ibu. Dari kecil jelas gue sudah bisa menyaksikan sendiri perjuangan ayah gue untuk menafkahi kami, anak-anaknya, memenuhi kebutuhan kami. Di sisi lain, gue juga menemukan itu pada sosok eyang putri gue yang mati-matian membiayai anak bungsunya dengan caranya sendiri, sampai tante gue bisa lulus sekolah dan akhirnya terpaksa gap year untuk bekerja dan membiayai kuliahnya sendiri. Pokoknya apapun yang bisa dia lakukan pasti dilakukan. Ditambah sekarang ini gue juga melihat sosok ibu gue yang bekerja tanpa henti untuk membiayai keluarga dan mengirimi uang untuk kami, anak-anaknya setiap bulan. Ayah gue yang selalu mendukung apapun keputusan gue untuk menjadi seseorang yang gue inginkan, dan untuk memilih jalan yang gue mau pun selama ini telah banyak mempengaruhi diri gue untuk melihat segala sesuatu dengan lebih luas, nggak sebatas hitam dan putih, nggak sebatas biru dan pink which somehow it's such a huge privilege for me.

Perspektif gue terhadap kesetaraan antara laki-laki dan perempuan pun semakin terbentuk ketika gue menginjak bangku sekolah. Dari SD-SMA (bahkan sampai di perkuliahan), gue nggak pernah melihat juara kelas selalu didominasi oleh murid laki-laki. Semuanya seimbang, sama. Mau itu peringkat kelas kek, juara lomba-lomba atau kompetisi tertentu kek, juara Olimpiade kek, semuanya lengkap. Malah waktu SMA, di kelas gue dulu yang selalu mendominasi peringkat 3 besar perbandingan antara laki-laki dan perempuannya pasti 1:2. Iya, murid-murid perempuannya lebih ambis daripada murid laki-laki (nggak tau ya kalau di sekolah lain😂). Gue justru merasa insecure kalau melihat perempuan lain yang bisa sukses akademik dan kariernya, atau bahkan siapapun yang semangat dalam meniti kariernya tinggi, terlepas dari dia laki-laki atau perempuan.

Namun beberapa cuitan seperti yang gue temukan di bawah ini ternyata masih membatasi gerak beberapa kaum perempuan di luar sana.

Setara Belajar, Belajar Setara


Belajar Kesetaraan
Source: Twitter

Sampai sekarang, sejujurnya  gue masih nggak mengerti apa korelasinya menikah dan mengejar pendidikan bagi perempuan. Bukankah keduanya sama-sama pilihan? Toh jika menikah menjadi sebuah kewajiban, bukankah menuntut ilmu, mengisi kepala kita dengan berbagai pengetahuan pun bisa disebut sebagai kewajiban? Gue lebih tidak mengerti lagi bahwa orang-orang yang melarang seorang laki-laki untuk menikah dengan perempuan yang memiliki pendidikan lebih tinggi darinya, dan orang-orang yang melarang perempuan tersebut untuk mengejar pendidikan hanya untuk memenuhi tanggungjawab sosial atas stigma tersebut nyatanya adalah orangtua mereka sendiri, keluarga sendiri. Maksud gue, bagaimana bisa konstruksi sosial yang membatasi gerak dan kebebasan sang anak untuk menentukan value diri terlebih dalam ranah pendidikan tersebut diiyakan saja oleh para orangtua? Okelah, kalau masalahnya karena ekonomi yang sulit, dan orangtua yang tak sanggup kalau harus kembali menyekolahkan anaknya sementara banyak kebutuhan yang harus dipenuhi.

Namun ini lain soal, bung. Beberapa orangtua melarang anak perempuan mereka untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya, atau tidak sama sekali menikahi perempuan yang berpendidikan lebih tinggi daripada laki-laki disebabkan oleh stigma yang mengakar di masyarakat itu sendiri.

"Nanti kamu diinjak-injak sama istrimu!"
"Jadi perempuan itu ujung-ujungnya di rumah, nggak perlu lah sekolah tinggi tinggi."
"Aduh, gimana ini, masa suami kalah gelarnya sama istri. Gajinya gedean istri dong."

Kasarnya, kalau gue mau jadi orang cerdas, kenapa gue harus capek-capek "memikirkan" seseorang yang nanti akan jadi suami gue? Memikirkan bagaimana hidupnya kalau pendidikan gue lebih baik/lebih tinggi dari dia? Memikirkan bagaimana perasaannya kalau gaji gue lebih besar dari dia saat menikah nanti, dan serangkaian pencapaian lain, padahal tu jodoh nongol aja belum. Kalau seperti ini, seolah-olah tugas "memantaskan" itu hanya dilimpahkan untuk perempuan. Sementara laki-laki, mau bagaimanapun dia, pantas saja selama perempuan yang akan dinikahinya tidak lebih tinggi derajatnya daripada dia. 

Lho, bukankah saling memantaskan itu adalah tugas setiap pasangan? Setiap individu? Kalau memang lelaki tersebut khawatir perannya terinjak-injak hanya karena sang istri adalah wanita karier yang sukses dan pendidikannya tinggi, berarti lelaki tersebut lah yang tidak bisa memantaskan dirinya sendiri. Jahat, kan? Iya, memang jahat. Doktrin tersebut lah yang sebetulnya jahat sehingga menjebak dan merepresi pola pikir masyarakat dengan dalih mengamalkan adat istiadat serta nilai moral. Lebih lanjut lagi, jahat sebab telah membatasi setiap individu untuk bisa mengamalkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi sebagai makhluk sosial. Tapi, kan, bukan begitu konsep menikah, membersamai dan memantaskan diri. Paling nggak, begitulah menurut gue yang masih anak bau kencur ini.

Kenapa sih kita harus terjebak dalam realitas sosial yang pada dasarnya, dalam hal ini, dibentuk oleh asumsi, pemikiran, serta sudut pandang masyarakat—yang sayangnya diiyakan begitu saja oleh masyarakat itu sendiri. Konsep inipun banyaknya telah dipengaruhi oleh stereotip gender, yang memberi batas bahwa perempuan nggak boleh begini, laki-laki harus begitu. Laki-laki nggak boleh kalah dari perempuan, dan perempuan harus nerimo aja "kodratnya" untuk diam di rumah. Bahkan, ketika seseorang mau sekolah dan berilmu aja harus dikekang oleh stereotip semacam ini?

*Ini nih sebabnya banyak laki-laki yang juga terjebak dalam toxic masculinity.

Sepertinya kita harus pelan-pelan membedakan antara kodrat dan tanggung jawab atau peran. Kalau bicara kodrat, berarti sesuatu yang sifatnya absolut, mutlak, nggak bisa diubah begitu saja. Misalnya perempuan punya payudara untuk menyusui, sementara laki-laki tidak. Perempuan bisa melahirkan dan menstruasi, laki-laki tidak. Akan tetapi laki-laki punya tenaga yang lebih kuat dibandingkan perempuan, karena sifatnya dia lebih banyak melakukan pekerjaan yang keras dan lebih berat. Kenapa? Karena kodrat perempuan ini secara nggak langsung mengurangi tingkat produktivitas perempuan untuk bekerja di luar rumah. Inilah kenapa kewajiban suami dalam rumah tangga adalah menafkahi, karena hak-hak produktif itu ia yang ambil alih seluruhnya, yang mana kalau sudah punya anak, istri pasti lebih punya andil dalam mengurus anak di rumah. Dan menurut gue, ini bukan sebuah opresi (seperti yang selama ini dinyinyirin feminazi), tapi adalah pilihan dan bentuk kesepakatan. 

Lalu, apakah nanti sang ibu boleh bekerja lagi? Ya boleh-boleh saja selama ada consent dan tanggung jawab itu nggak dilupakan, baik dari sisi istri maupun suami. Pernah dengar nggak, sih, bahwa ada usia tertentu baiknya orangtua mendidik sekaligus mengiringi perkembangan anak? Katanya seorang anak balita usia 0-7 tahun baiknya dirawat dan dididik sepenuhnya oleh sang ibu, kemudian anak usia 7-14 tahun oleh sang ayah, dan selanjutnya terus oleh kedua orangtua. Berarti, sesungguhnya kehidupan rumah tangga itu harus diiringi dengan kerjasama, kesepakatan, supaya sakinah, mawaddah, wa rohmah. 

Lagipula, jodoh itu cerminan, dijemput. Jangan takut anaknya nggak akan ketemu jodoh hanya karena sekolah tinggi-tinggi. Bahkan sama common sense aja nggak bisa diterima, sih. Mungkin ini penyebabnya kalau dalam memandang suatu hal kita terlalu ke kiri dan terlalu ke kanan, susah buat menetralisir otak dan menilai dari sisi tengah untuk mengambil kesimpulan yang bijaksana. Kalau seandainya jodoh si anak itu bertemu dengan lelaki yang dianggap "setara" dengannya saat tengah melanjutkan pendidikan itu, gimana? Bukankah lebih bagus?🤔

Menurut gue, dengan kita pakeukeuh-keukeuh (sama-sama bersikeras) menuruti realitas yang ada, kita malah jadi lupa caranya hidup sebagai manusia normal. Apa-apa harus "melayani" social construct yang menjerumuskan hak-hak dan martabat manusia sendiri. Kalau agama saja memperbolehkan siapapun untuk menuntut ilmu atau pendidikan setinggi-tingginya, kenapa kita manusianya malah terjebak dalam hukum yang dibuat atas nafsu patriarki?

Jangan, jangan terlalu mengkotak-kotakan manusia hanya berdasarkan gender, apalagi merepresi pola pikir anak cucu kita sendiri. Hidup sesuai dengan syari'at dan nggak melupakan kodrat kita sebagaimana mestinya memang perlu, tapi beragama pun perlu diseimbangi dengan akal. Nalar itu privilege-nya manusia lho, kenapa kita berakal? Ya karena kita berpikir. Kalau cuma mengandalkan stereotip dan hidup sekadar gengsi, bagaimana kita bisa jadi manusia seutuhnya? Wong yang dituju hanya penilaian manusia, bukan Tuhan.

Share
Tweet
Pin
Share
17 komentar
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Terlalu Besar Untuk Gagal
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Just Listen
  • Di Balik Angkasa
  • Bukan Salah Indonesia

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • Just Listen
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Cuma Cerita #2
  • Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
  • Bad For Good
  • Bukan Salah Indonesia
  • Body Positivity Bukan Validasi
  • Silent Treatment: Diam Yang Menyiksa
  • 36 Questions Movie Tag
  • Cuma Cerita

Blog Archive

  • ▼  2022 (5)
    • ▼  Mei 2022 (1)
      • Tips Membuat Konten yang Kreatif: Berawal Dari Keg...
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (31)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

Intermeso lifestyle Opini Perempuan Podcast Poetry Review slice of life Thoughts

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.