Powered by Blogger.
  • Home
  • About
  • Opini
    • Pendidikan
    • Perempuan
    • Knowledge
    • Intermeso
  • Thoughts
  • Podcast
  • Daily Life
instagram twitter LinkedIn YouTube Spotify Email

Notes of Little Sister




Cewek Matre: Realistis atau Materialistis?

Beberapa hari lalu sebuah pertanyaan di akun base Twitter lagi-lagi kembali menggelitik gue. Kira-kira begini pertanyaannya:

Cewek Matre: Realistis atau Materialistis?
Pertama-tama, gue sengaja menghindari untuk menulis judul dengan kata kunci "cewek matre", karena sebetulnya fenomena matre atau materialistis ini bisa terjadi kepada siapa saja, terlepas dari gender-nya perempuan atau laki-laki. Hanya saja sebagai makhluk sosial yang kelak diharapkan menjadi seorang istri, wanita lebih sering diposisikan atau memposisikan dirinya sendiri sebagai sosok yang perlu selalu dibiayai dan ditunjang kebutuhannya oleh laki-laki—meski pada kenyataannya belum menikah sekalipun.

Jadi, perlu ditekankan bahwa narasi yang gue angkat disini bukan semata-mata menunjukan kebencian terhadap sesama perempuan atau melanggengkan budaya misoginis, tetapi menyoroti sebuah perilaku atau fenomena sosial yang selama ini divalidasi sebagai tindakan realistis berdasarkan kacamata gue.

Gue sering mendengar jawaban yang sangat umum dari beberapa orang ketika dirinya ditanya, "kenapa sih cewek itu matre?", dengan dalih bahwa mereka tidak matre, melainkan realistis. Seolah mengiyakan stereotip yang berlaku di kalangan perempuan sebagai makhluk yang berorientasi pada uang dan barang-barang mahal nan branded. Padahal, entah dirinya memang hidup pas-pasan atau minimalis sehingga apa yang dibeli murni adalah kebutuhan, atau memang berusaha melarikan diri dari kenyataan bahwa barang-barang yang dibelanjakan selama ini bukan keluar dari kantong pribadinya.

Banyak juga narasi yang gue dengar seperti ini, "sebagai cewek jangan mau keluar uang. Masa dari sekarang aja cowok lu nggak mau bayarin? Gimana nanti jadi suami?". Dan serangkaian opini yang mengatasnamakan komitmen serta tanggungjawab laki-laki sebagai pencari nafkah.

Realistis dan materialistis (matre) sebetulnya adalah dua hal yang berbeda dan nggak bisa dipaksakan beriringan. Realistis memiliki arti bahwa seseorang tidak selalu memikirkan sesuatu terlalu tinggi, melainkan semampunya. Ia berorientasi pada hal-hal yang bisa ia lakukan tanpa harus merugikan orang lain. Sementara materialistis adalah perilaku dimana seseorang secara sadar atau tidak, terlalu fokus dan bahkan bisa terobsesi terhadap uang dan kebendaan—yang digantungkan kepada orang lain. Rajeev Kamineni dalam jurnalnya mengatakan bahwa, "materialism is the ‘devotion to material needs and desires, to the neglect of spiritual matters; a way of life, opinion or tendency based entirely upon material interests’". 

Jika merujuk pada pengertian di atas, materialistis jauh dari kata lawannya, realistis, sebab perilaku ini mengabaikan nilai-nilai spiritual yang mana merupakan salah satu fondasi menjadi realis; yakni menjalani hidup apa adanya, sewajarnya dan semampunya.

Meski begitu, di sisi lain nggak semua orang yang money-oriented dapat digolongkan sebagai manusia matre, karena bergantung pada perspektif dan kondisi tertentu. Jika seseorang tidak mampu membiayai kehidupannya sendiri karena satu dan lain hal—katakanlah tidak memiliki pekerjaan yang stabil dan kesulitan dalam hal ekonomi, dimana situasi tersebut membuatnya membutuhkan bantuan orang lain yang dia percayai, tindakan ini masih bisa dikatakan realistis, selama ada consent dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Tetapi kalau memang seseorang menggantungkan seluruh hidupnya pada manusia lain hanya untuk memuaskan keinginan akan hal-hal yang berada di luar kuasanya, maka jangan mengelak juga kalau hubungannya berlandaskan materialisme, bukan rasa cinta.

Memang, hidup tanpa uang rasanya bakal hampa dan morat-marit bikin pusing kepala. Bahkan dalam menjalin hubungan, kita nggak bisa cuma mengandalkan cinta. Untuk apa ada komitmen dan rumah tangga kalau semua bisa diselesaikan hanya dengan "cinta". Tapi konsep ini nggak bisa dijadikan alasan untuk kita hambur-hamburkan uang hanya untuk memenuhi keinginan pribadi, apalagi menjadikan individu lain tambang materi saat keadaan kita sendiri sebetulnya mengharuskan kita untuk hidup lebih cukup.

"Men always have to pay the bills, though!"

"Yaa nggak selamanya harus, dong. Apalagi kalau baru nge-date doang😅. Katanya hubungan itu kerjasama, bareng-bareng. Kalau masih bisa berbagi, kenapa nggak?"

I know how hard and suck life is. Terkadang ada juga gue temukan perempuan-perempuan kuat yang mandiri dan menjadi tulang punggung keluarga, plus menjadi ibu dari anaknya, tapi masih dianggap sosok matre hanya karena dia terlihat berusaha menyenangkan dirinya sendiri sesekali dengan barang yang dia suka. Ini juga menjadi masalah, menurut gue. Tentang bagaimana kondisi matre atau tidaknya seseorang tidak sesuai dengan konteks yang sebenarnya, seperti para lelaki yang sering melabeli perempuan dengan kata matre secara asal. 

Karena itu, gue sedih setiap kali mendengar narasi-narasi yang mengkerdilkan kaum perempuan sendiri hanya karena konstruksi sosial yang mengatur bahwa memang sudah seharusnya perempuan apa-apa dibayarin, apa-apa nggak bisa membiayai keperluannya sendiri meski belum menikah dengan pasangannya ini diiyakan begitu saja—yang sejak tadi membawa pada satu kesimpulan: cewek itu matre! 

Hanya karena perempuan ujung-ujungnya di rumah, ngurus anak dan di dapur, begitu? Hanya karena kebutuhan perempuan lebih banyak, begitu? Dan menurut gue inipun sebetulnya nggak bisa dijadikan tolak ukur. Namanya materialistis bisa hidup dalam diri siapapun, dan jangan salah, keinginan dan kebutuhan laki-laki pun bisa sama banyaknya, lho, kalau ditimbang-timbang. Hanya saja jenis dan bentuknya bisa beda-beda. Lagi-lagi ini masalah perspektif dan bagaimana tindakan sosial mempengaruhi pandangan seseorang akan suatu kelompok atau komunitas (dalam hal ini perspektif gender). 

Menjadi realistis bukan artinya semua keinginan harus jadi butuh, tapi bisa menempatkan yang mana kebutuhan dan mana keinginan, serta yang mana prioritas dan mana yang perlu dikesampingkan, kemudian bertanggungjawab atas pilihan diri sendiri.

Menurut gue, ini bukan soal cewek nggak boleh kalah dari cowok, bukan soal cewek harus jadi leader pada setiap kesempatan, bukan soal cewek harus jadi kepala rumah tangga melawan kodrat, bukan soal cewek harus mandiri dan hidup selamanya sendiri tanpa perlu bantuan lawan jenis, sebab sudah sepantasnya masing-masing dari kita menjadi pribadi yang mandiri dan tangguh menghadapi berbagai situasi dan kondisi. Akan tetapi lebih kepada menghargai diri sendiri sebagai individu yang nilainya lebih besar dan berharga dari sekadar prinsip materi yang membutakan.



Artikel terkait:
Kamu Cewek Matre atau Cewek Realistis?
Share
Tweet
Pin
Share
36 komentar

marah-marah virtual kegiatan ospek di tengah pandemi
Photo by Life Matters from Pexels 

Pertama-tama, sebetulnya gue nggak punya kapasitas yang cukup untuk berkomentar soal ini—ospek virtual adegan marah-marah yang baru-baru ini viral. Namun berhubung gue pernah punya pengalaman di sana, sebisa mungkin gue akan mencoba untuk melihat dari dua sisi. Sebetulnya penulisan tentang inipun tergerak setelah gue baca artikel "Merdeka Belajar" Gaya Menteri Nadiem: Apanya Yang Merdeka? yang ditulis oleh Ben Laksana pada Indo Progress. Meski terlihat seperti nggak berkaitan, terdapat tali yang sebetulnya saling berkesinambungan kalau menilik pada konsep dan garis besar pemahaman. Apabila tulisan ini dirasa lebay atau bias bagi beberapa teman mahasiswa, silahkan, bebas untuk menginterpretasikan, kok. Semua yang gue tulis disini murni pendapat gue dan berangkat dari pengalaman serta riset kecil-kecilan di media sosial dan beberapa artikel kependidikan. Jadi, sebisa mungkin gue sudah menjauh dari bias tersebut.

Kedua, sepengetahuan gue, ospek sendiri bisa terbagi menjadi beberapa bagian, di antaranya ospek universitas, ospek fakultas, dan ospek jurusan. Ospek universitas dan ospek fakultas biasanya disatukan dalam rangkaian ospek di awal semester secara umum yang mana tujuannya memang untuk mengenalkan mahasiswa pada kampus, sebagaimana kepanjangan ospek; Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus, meski lagi, hal ini juga tidak bisa disamaratakan karena setiap instansi pasti berbeda kebijakannya, pun dalam hal penamaan. Berdasarkan pengalaman pribadi, keseluruhan ospek di kampus gue sebetulnya termasuk ospek yang sangat menyenangkan, walaupun beberapa aturan semacam harus berangkat pagi buta—bahkan sebelum adzan shubuh—masih dirasa cukup merepotkan. Selebihnya, aksi marah-marah senior dari divisi terkait memang sekadar untuk menertibkan.

Namun masa-masa "dididik" oleh kakak senior yang galak ini berlaku saat ospek jurusan dimulai, yang rata-rata salah satu tujuan diadakannya hal ini bermaksud menyaring anggota baru untuk kepengurusan selanjutnya. Pada bagian ospek jurusan inipun bisa berbeda-beda nama kegiatannya, sebab memang sudah memisahkan diri dari acara ospek universitas. Kegiatan di dalam ospek jurusan tersebut lah yang terbilang cukup keras, setidaknya begitu menurut kesaksian beberapa kerabat dari jurusan dan universitas yang berbeda.

Permasalahan tentang "senioritas", perpeloncoan, dan pembodohan mahasiswa baru dalam setiap kegiatan ospek sebetulnya akan selalu jadi pembicaraan, baik di dalam institusi terkait, maupun pembahasan secara nasional—seperti sekarang—kalau belum juga ada pembaharuan yang dirasa cukup solutif dan adaptif untuk bisa diimplementasikan. Sebagai contoh, di jurusan gue, menjelang penerimaan mahasiswa baru, nggak jarang panitia dari himpunan kami harus gontok-gontokan dengan dosen untuk meyakinkan mereka bahwa acara dalam ospek jurusan ini (re: adanya komdis) bertujuan baik dan segala tindakannya diatur dalam peraturan yang sah secara organisatoris—tentunya peraturan ini berbeda setiap departemen atau instansi. 

Adegan marah-marah yang sering disalahpahami inipun sering menjadi fokus utamanya.

"Mahasiswa kok gak kreatif! Masih zaman woy bentak-bentakan?"
"Kita bukan lagi sekolah militer."
"Mental itu gak dibentuk dalam waktu singkat cuma karena bentakan."

Gue sangat setuju, meski gue tahu, tindakan tersebut nggak semata-mata memarahi maba. Sederhananya, mereka ini ingin agar mahasiswa baru tersebut dapat lebih kritis dan punya mental "nggak mau diinjak-injak" supaya si komdis ini bisa dilawan.

Lho, bagaimana bisa?

Iya, memang begitu tujuannya (setidaknya yang gue tahu ya, mungkin treatment setiap kating di univ lain akan beda), karena itu gue bisa bilang ini klise. Kenapa klise? Karena pola seperti ini terlalu sering digunakan sehingga membuat tujuan atau makna asli dari hal tersebut pada kenyataannya memudar seiring berjalannya waktu. Sebetulnya konsep pemikiran inipun tergantung pada masing-masing si kakak senior, apakah dia murni ingin "membuat mental dan cara berpikir maba tersebut kritis" atau memang hanya ingin melampiaskan kekesalan mereka saat dibodoh-bodohi senior dulu—kebanyakan sih yang kedua ini kayaknya. It depends.

Namun secara keseluruhan, gue nggak bisa membenarkan bahwa adegan marah-marah yang selama ini melekat dalam kegiatan ospek di tiap universitas di Indonesia adalah sesuatu yang benar dan relevan. Gue melihat rata-rata dari pelaku dan dalang di balik itu terjebak dalam konstruksi berpikir "ospek" yang telah ada sejak puluhan tahun lalu, baik era Soeharto maupun sejak awal era reformasi, yang bahkan memang telah diwariskan sejak zaman kolonialisme dulu. Mereka masih belum tahu apa solusi yang tepat untuk membuat suatu kegiatan ospek dengan tujuan dan misi yang sama, namun berbeda metode. Jadi, pada praktiknya yang dilakukan ya gaya ospek yang seperti itu lagi, itu lagi. Marah lagi, marah lagi. Oleh karena itu, meski beberapa modifikasi perpeloncoan dan "senioritas" telah dihapuskan sepenuhnya di beberapa perguruan tinggi, nyatanya beberapa mahasiswa banyak yang masih terjebak dalam skema "marah-marah dan bentakan" yang dianggap harus ada dalam setiap acara penerimaan mahasiswa baru.

Melihat dari serangkaian kasus yang viral beberapa tahun kebelakang ini, dimana contohnya ada beberapa mahasiswa baru dari U** dan beberapa univ lain yang meninggal dan celaka saat ospek, dan ada pula kegiatan dimana maba disuruh merangkak melewati selangkangan seniornya lalu ramai-ramai minum air bercampur ludah, lalu video siswa disuruh makan makanan yang sudah dicampur dalam satu ember secara ramai-ramai (gue lupa liat video ini dimana), sampai ke persoalan marah-marah virtual kemarin, menurut gue ini sudah keterlaluan. Apa bedanya kita sama para diktator dan pemerintah yang sering didemo oleh mahasiswa itu sendiri jika konsep meng-ospek seperti ini masih dipertahankan?
Supaya mahasiswa baru ini tahu rasanya diinjak-injak dan memberontak? Supaya mahasiswa yang menjadi agen perubahan ini mampu berpikiran maju dan mendobrak sistem yang bobrok? Begitu?

Konsep seperti ini justru kontraproduktif dengan teori yang telah dikenalkan sejak tahun 1900-an oleh Thomas Lickona bahwa pendidikan karakter mencakup tiga unsur pokok, di antaranya mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good) dan melakukan kebaikan (doing the good). Mencoba "membentuk" karakter seseorang dengan cara yang keras untuk menghasilkan reaksi yang bertentangan dengan maksud melahirkan pemikiran yang baik, kritis, dan bijak bukanlah suatu cara yang benar. Bisa saja benar dan berhasil, jika reaksi tersebut mampu dihasilkan oleh maba-maba yang kritis dan "berani" tersebut, bagaimana jika tidak? Bagaimana jika aksi tersebut hanya melahirkan ketakutan-ketakutan baru akan hilangnya kebebasan berpendapat dan malah membentuk generasi yang manut-manut saja, sebab "kebenaran" tersebut telah diakuisisi maknanya?

Jika cara ini dianggap efisien untuk melahirkan "pemberontak-pemberontak" atas sistem yang bobrok, coba kita lihat sejenak. Mereka yang berdiri di kursi pemerintahan sana juga berangkat dari seorang mahasiswa yang kritis dan aktif, dilatih dengan ospek yang katanya lebih keras, tapi apakah hal tersebut menjamin bisa membentuk karakter "pemimpin-pemimpin" ini menjadi lebih progresif dan sadar diri rasanya di bawah? Tidak juga. Bahkan posisinya saat ini kontradiktif, mereka yang dulunya di bawah dan diinjak, berbalik menginjak. Apakah hal ini karena dipengaruhi oleh gaya ospek yang kejam? Tidak juga. Menurut gue, tindakan semacam ini pada akhirnya tidak terlalu mempengaruhi seseorang untuk bertindak sebagai seorang intelek, atau bahkan sebagai bagian dari masyarakat nantinya di dalam kehidupan sehari-hari, karena esensi yang diterima oleh masing-masing anak tentu berbeda.

Dimarah-marahi senior tidak lantas membuat mental kita seperti baja, tidak lantas membuat cara berpikir kita bisa kritis pula, sebab kedua hal ini sifatnya sustainable, yakni terus berkelanjutan selama individu tersebut masih memiliki peran di dalam lingkungannya, dan tentu ada proses panjang yang menggiring kita untuk bisa sampai di tahap tersebut. Bahkan jika seseorang sudah kritis pun, hal tersebut harus selalu diimbangi dengan latihan yang intens. Bagaimana contohnya? Membaca, banyak berdiskusi dan mendengarkan. Latih otak kita untuk berpikir.

Baca juga: Kenapa Perlu Berpikir Kritis?

Mahasiswa-mahasiswa tersebut kemudian seolah hanya menyontek dan menerapkan tindakan tradisional dalam teori tindakan sosial Max Weber, yakni mengamalkan tradisi atau kebiasaan di dalam lingkungan tersebut tanpa perencanaan dan dilakukan secara repetitif, tidak benar-benar mengelaborasi konsep keseluruhan tindakan sosial yang berorientasi nilai, rasional dan afektif.

Manusia pada dasarnya adalah makhluk individu yang memiliki kebebasan untuk berpikir dan menentukan mana hal yang menurut mereka baik atau tidak, pun jika hal tersebut bertentangan dengan norma, kegiatan ospek yang bergaya militer dan keras (baik secara verbal dan non-verbal) tidak termasuk ke dalam norma-norma yang berlaku dalam kehidupan sosial. Disinilah kita kemudian perlu membedakan senioritas dan perpeloncoan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan para ahli bahasa, senioritas menggambarkan situasi yang sifatnya perihal junior dan senior (bukan hanya merujuk pada perguruan tinggi) dimana terdapat keadaan seseorang lebih tinggi pangkat, pengalaman, dan usianya; serta prioritas status atau tingkatan seseorang yang diperoleh dari umur atau lamanya bekerja. Sementara perpeloncoan adalah praktik ritual dan aktivitas lain yang melibatkan pelecehan, penyiksaan, atau penghinaan saat proses penyambutan seseorang ke dalam suatu kelompok. Berdasarkan KBBI, aktivitas ini menjadikan seseorang tabah dan terlatih serta mengenal dan menghayati situasi di lingkungan baru dengan penggemblengan, yang jika ditelaah pada kasus-kasus ospek tersebut seringkali dibenarkan dengan dalih senioritas dan adaptasi. Padahal perlakuan dalam ospek yang terbilang keras tersebut tidak selamanya menggambarkan lingkungan baru secara utuh yang perlu diadaptasi oleh mahasiswa baru, dan senioritas itu sendiri kini bergeser maknanya. Sebab tindakan menghargai seseorang atau lawan bicara yang lebih tua dan lebih tinggi secara pangkat, jabatan, pengalaman dan usia tersebut bagian dari norma dan tata krama yang memang sudah semestinya kita terapkan. Sayangnya marah-marah pada ospek ini seringkali hanya dibungkus dengan istilah senioritas.

Mengutip pada artikel dari indoprogress tersebut di atas, nilai-nilai seperti "hierarki, keteraturan, struktur, formalitas, paternalisme dan patriarki" merupakan nilai-nilai kunci dalam upaya rezim Presiden Soeharto yang sebagaimana disebutkan Bourchier dalam bukunya, Illiberal Democracy in Indonesia: The Ideology of the Family State (2015), terus dilegitimasi oleh negara sampai hari ini, bahkan hingga lingkup universitas sebagai alat ideologi pada ranah pendidikan. Bisa dibilang pola melatih dalam ospek yang terus dinormalisasi seperti ini sama saja dengan mengiyakan tatanan kehidupan yang regresif dan terlalu "kolot".

Hierarki ini digambarkan sebagai senior yang terlalu memposisikan dirinya dan junior sebagai di atas, di bawah, atau mengkategorikannya "pada tingkat yang sama" dengan kategori lain. Keteraturan dan struktur, yang mengarah pada pola didik yang keras yang dapat tergambarkan melalui paternalisme; sistem kepemimpinan yang berdasarkan hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin, seperti hubungan ayah dan anak, yang mengungkapkan perilaku superioritas jelas termasuk di dalamnya. Sementara formalitas dapat ditunjukan dengan tujuan klise yang kini menyimpang yang gue sebut pada paragraf sebelumnya, serta patriarki seringkali digambarkan melalui tindakan meremehkan dan menganggap mahasiswi lebih lemah daripada mahasiswa, harus selalu dilindungi dan diayomi seolah perempuan tidak bisa memiliki kendali atas dirinya sendiri. Padahal, tidak sedikit juga perempuan yang justru lebih berani untuk bersuara saat "dimarahi" tersebut.

Perlu diingat, bahwa gue tidak sedang menyoroti kegiatan pada ospek-ospek tertentu secara spesifik, apalagi bermaksud menyinggung. Gue melihat ini secara lebih general yang memang berlaku dalam lingkungan kampus, seperti yang baru-baru ini kembali meruak lewat ospek online di beberapa universitas.

Kekerasan pada ospek ini yang kemudian sama saja membentuk warga negara atau civitas akademika agar tunduk, serta secara sukarela dan secara aktif merangkul nilai-nilai yang telah dibentuk oleh negara—active consent of manufactured consent (Gramsci, 1971; Herman & Chomsky, 2008; Wright, 2010). Strategi atau pola pembentukan karakter ini termasuk menjustifikasi tindakan-tindakan opresif yang dilakukan negara (sebagai aktualisasi nilai-nilai negara) dan melihat hal tersebut sebagai sebuah kewajaran atau "akal sehat" (common sense) dalam keseharian kita. Semua dilakukan demi terwujudnya "kemajuan dan keteraturan" negara di mana definisinya pun telah dimonopoli oleh negara (dalam hal ini kata negara merujuk pada sistem dan pola tindakan kekerasan fisik dan non-fisik yang diberlakukan dalam kegiatan ospek).

Pola asuh otoriter yang diterapkan dalam ospek selama bertahun-tahun sebagai wujud dari hierarki, keteraturan, struktur, formalitas, paternalisme dan patriarki tersebut pada akhirnya hanya akan melahirkan komitmen dan pola pikir yang juga otoriter, sebab sifatnya memaksa untuk tunduk pada aturan-aturan yang telah dinormalisasi, terlepas dari tujuannya baik atau tidak. Lebih dari itu, memaksakan tradisi tanpa inovasi sama saja dengan mengamalkan ideologi Orde Baru yang selama ini dikemas dalam reformasi. Pendidikan bukan lagi bersifat emansipatoris, hanya menurunkan nilai-nilai yang tunduk dan patuh pada sistem negara dan kapitalis. 

Gue pikir Revolusi Industri 4.0 yang selama ini dielu-elukan, serta transisi digitalisasi di era pandemi ini bisa membuat perspektif kebanyakan pemuda menjadi lebih progresif dan kreatif, ternyata nggak. Pandemi ini hanya membuat beberapa kelompok terjebak di dalamnya, dan mendaur ulang konsep-konsep yang telah ada sebelum pandemi dengan gaya lebih "kekinian", yakni secara virtual.

Share
Tweet
Pin
Share
14 komentar


Belum lama ini gue menemukan beberapa topik menarik di media sosial terkait relationship, salah satunya tentang silent treatment. Biasanya dalam sebuah hubungan bahasa semacam ini terdengar nggak asing, karena langsung dialami oleh beberapa pasangan. Even though i'm not married yet, gue pernah tau rasanya bagaimana didiamkan saat ada suatu masalah alih-alih ngobrol atau diskusi. 

Dulu, gue melihat ini sebagai sesuatu yang mungkin wajar dan normal dalam suatu hubungan—and let me clear this, gak mesti spesifik dalam hubungan antara lawan jenis lho, ya. Silent treatment bisa aja terjadi dalam relasi pertemanan, hubungan kerja, atau bahkan lingkungan keluarga yang memang cara mendidiknya terbiasa seperti itu; mendiamkan seseorang dengan dalih agar mereka bisa merenung dan mencaritahu alasannya sendiri, lalu menemukan jalan keluarnya sendiri, dan kalau memang mereka yang salah (atau disalahkan), mereka akan diminta untuk menyelesaikannya sendiri. Yaa mungkin ujung-ujungnya meminta maaf dan berjanji tidak mengulang kesalahan.

Melansir dari Life Hack dalam tirto.id, "silent treatment" ini bisa dikatakan sebagai metode untuk memberi hukuman secara psikologis dengan mengabaikan orang lain, baik dalam hubungan pacaran, keluarga, maupun pertemanan, yang seolah memperlihatkan sikap tidak peduli pada seseorang dan bahkan hal yang lebih buruk dari itu. Some people who believe they have high self-control might use the silent treatment as a way of “taking the high road” or what they see as not succumbing to the level of communication happening with the other person. Others see it as a rational reaction to a problem or conversation, rather than an emotional one.

Menurut gue, nggak seharusnya silent treatment ini dibiasakan. Menjalin relasi dengan seseorang atau anggota keluarga, berarti membangun komunikasi dua arah yang mana segala halnya harus didiskusikan, terlebih mengenai suatu permasalahan yang terjadi. Not necessarily true harus semua hal apa-apa diobrolin, sih. Kalau menurut lo ada beberapa hal yang sifatnya privasi dan baiknya disimpan ya gak apa-apa juga, it's very okay. 

But the thing is, kalau sudah menyangkut masalah yang menjadi persoalan berdua, sudah seharusnya diselesaikan berdua. Even ketika masalah tersebut menjadi kesalahan yang dibuat salah satu pihak, gak semata-mata silent treatment menjadi solusinya. Apalagi kalau sampai berminggu-minggu gak ada kabar, dan ketika diminta kepastian malah balik menyalahkan, "aku kan begini karena kamu", "coba kamu pikir sendiri", "menurutmu kenapa aku kayak gini?". Duh nggak deh, kayaknya udah nggak sehat relasi teman-teman kalau seperti ini terus. Malah counter argumen seperti itu menandakan kalau dia memang menjadikan kesalahan kamu sebagai alasan agar dia bisa menghilang sementara. Such a shallow thoughts. 

Silent treatment is truly a silent killer. Perbuatan ini manipulatif, play victim, bentuk dari psychological abuse bahkan emotional abuse, dan gaslighting pasangan dengan melampiaskan perasaan tidak nyamannya, serta hanya mengutamakan diri sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain. Jangan percaya kalau si dia bilang "ini untuk kebaikan kamu"! Sebab namanya kebaikan ya dilakukan dengan baik-baik dan membuat perasaan nyaman, bukan malah menyudutkan salah satu pihak.

Silent treatment nggak hanya berpengaruh buruk terhadap kesehatan hubungan, tetapi juga bisa berdampak negatif terhadap kesehatan mental kita, atau bahkan kesehatan fisik. Jika mental kita terganggu dan merasa tidak nyaman, tentu akan berpengaruh terhadap fisik kita. Walaupun kondisi silent treatment ini tidak dilakukan secara sengaja, melainkan karena salah satu pihak tidak tahu bagaimana mengkomunikasikan permasalahan dan kekesalannya, hal ini tetap saja bisa memicu aura yang negatif dalam hubungan tersebut. Sebab sebaik-baiknya tindakan yang solutif adalah mengkomunikasikan hal tersebut, bukan dengan mendiamkan diri terlalu lama. Nggak baik juga untuk kesehatan psikis kita.

Tindakan ini bisa dianggap kekerasan emosional, yaitu ketika:

  • Salah satu pihak bermaksud melukai orang lain dengan cara mendiamkannya
  • Keheningan berlangsung untuk waktu yang lama
  • Keheningan hanya berakhir ketika mereka memutuskan itu
  • Mereka berbicara dengan orang lain tetapi tidak dengan pasangan mereka
  • Mereka mencari dukungan dari orang lain atas perbuatan yang dilakukan
  • Mereka menggunakan keheningan untuk menyalahkan pasangan mereka dan membuat mereka merasa bersalah
  • Mereka menggunakan keheningan untuk memanipulasi atau berusaha mengubah perilaku orang lain

Jika kamu mengalami hal ini baik dari pasangan, teman, relasi kerja atau keluarga, dan kamu bingung bagaimana harus bertindak, sebaiknya kamu ceritakan masalahmu kepada orang terdekat yang memang bisa dipercaya, entah itu meminta saran atau meminta bantuan untuk lepas dari kondisi tersebut. Jika cara ini juga dianggap tidak efektif, mungkin kamu bisa konsultasikan dengan psikolog di rumah sakit terdekat. Sebab permasalahan semacam ini seringkali sangat mempengaruhi mental kita dan kegiatan kita secara tidak langsung.

Sebuah hubungan kekerabatan atau romansa yang dewasa seharusnya sama-sama memperjuangkan dan menyadari bahwa masing-masing adalah individu yang biar bagaimanapun nggak luput dari kesalahan dan kekhilafan, kalau salah satu salah ya diingatkan. Marah, kecewa, sah-sah aja as long as masih bisa terkontrol. Namun yang jelas, mendiamkan sampai berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, dengan harapan orang lain akan bisa berubah itu bukan jalan keluarnya, cuz people don't change only in a few days or weeks. Toh perubahan seseorang itu sifatnya abstrak, nggak bisa terlihat, ngga bisa dengan mudah dilakukan hanya karena ada masalah dalam sebuah hubungan. 

Though kalau memang seseorang berubah, mungkin bukan karena kamu juga pemicunya. Sad indeed, but this is how the reality works and playing trick on us. Dikhawatirkan silent treatment ini justru bisa menjadi bom waktu nantinya, sebab banyak hal yang dipendam dan nggak diutarakan secara langsung. Bukankah lebih baik kalau segala sesuatunya dibicarakan baik-baik agar bisa melepas rasa kesal, daripada menyimpan marah dan dendam berlarut-larut?


Referensi:

Good Therapy. Diakses pada 2018. Psychpedia: Silent Treatment 

Halodoc. Diakses pada 2020. Mengenal Silent Treatment dan Efeknya Pada Sebuah Hubungan

Tirto.id. Diakses pada 2019. Mengenal Silent Treatment, Perilaku Mengabaikan yang Menyakitkan

Share
Tweet
Pin
Share
16 komentar
Disclaimer: Tulisan ini hanya berisi misuh-misuh yang dilandasi kegerahan seorang rakyat akan berbagai hal yang terjadi di sekitarnya, maka dari itu mungkin isinya tidak cukup informatif dan bahkan tidak didukung oleh riset. Segala riset yang berkaitan dengan isi tulisan telah tersimpan sepenuhnya di memori hingga membentuk opini penulis. Karenanya mohon maaf kalau kurang berkenan di hati. Tadinya post ini ingin gue publish tepat di tanggal 17 Agustus, tapi karena fokus terbagi-bagi jadi tulisan gak rampung hari itu. Anyway, selamat membaca!

o-o

"Ketika merdeka berakhir hanya sebuah seremoni.."

Bukan Salah Indonesia

Tumbuh dan besar di sebuah kota kecil di Jawa Barat membuat gue banyak belajar tentang kehidupan. Benar-benar "kehidupan". Bertemu dengan orang-orangnya yang punya beragam kesulitan, mulai dari gaya hidup, keuangan, pendidikan, hubungan sosial, sampai persoalan berpikir. Gue merasakan betul berbagai ketimpangan antara mereka yang tinggal di pedesaan dan di perkotaan (specifically wilayah tempat gue tumbuh). Terkadang lucu membayangkan, orang-orang elite dan berpendidikan di perkotaan sana yang—mari kita garis bawahi—lupa dimana mereka berpijak, sibuk berkoar-koar bahwa "kita harus menstabilkan perekonomian bangsa!", "tidak boleh ada kesenjangan antara rakyat ekonomi ke bawah dengan menengah ke atas!", padahal mereka yang hidupnya serba terbatas mana peduli sama pidato-pidato kosong mereka? Yang orang-orang kecil tahu, mereka hanya harus cari uang setiap hari supaya bisa makan. Yang mereka pikir, mereka hanya harus berjuang untuk dirinya sendiri karena orang-orang di luar sana pun sibuk ngenyangin perut mereka sendiri, sibuk suap sana sini supaya bisa bekerja di tempat yang mereka mau, supaya bisa ada di tempat yang mereka incar. 

Isu kesetaraan gender pun gak hanya sebatas gaji yang tidak sesuai antara laki-laki dan perempuan meski posisinya sama, juga tidak hanya soal pelecehan seksual, pemerkosaan, catcalling dan serangkaian kekerasan seksual lainnya, tapi lebih luas lagi. Banyak sekali pabrik-pabrik yang mempekerjakan wanita bahkan dengan jam kerja yang melebihi seharusnya, dan menyempitkan lapangan pekerjaan buat laki-laki. Sebagian bekerja atas kemauan sendiri, sebagian bekerja karena ada opresi bahwa dia harus mencukupi kebutuhan rumah tangga, atau kebutuhan keluarga, karena suaminya sebagai kepala keluarga tidak memiliki pekerjaan tetap alias serabutan, atau bahkan lebih parahnya nggak bekerja sama sekali. It really happens, dan gue tahu gak hanya terjadi pada satu atau dua orang. I saw it. I observed it, and i've heard of many.

Bukan hanya itu, persoalan nikah muda karena orangtua yang udah nggak sanggup buat ngasih makan anaknya dengan dilandasi pemikiran bahwa si anak sudah pantas mengurus suami/istri (padahal usianya masih sangat muda) pun menjadi sesuatu yang terlihat normal dan seakan memang diwajarkan secara nggak langsung. Padahal seharusnya pendidikan anak mereka lebih penting daripada sibuk ngurusi pesta pernikahan, ini dan itu, sementara dari segi kesiapan baik mentally and financially belum bisa disanggupi oleh mempelai pria. Lucunya, memiliki pernikahan dengan resepsi yang "ramai" dan "megah" adalah goals-nya, bukan masa depan pernikahannya. Mereka bahkan sepertinya gak sadar bahwa masalah patriarki dan RUU P-KS yang belum juga disahkan itu ada di negara ini. Iya, gue sadar betul bahwa beberapa hal yang gue sebutkan di atas adalah sesuatu yang sifatnya privat, ranah pribadi sebab menyangkut pilihan individu, bukan hak gue melarang siapapun, bahkan tetangga gue tersebut untuk menikahkan anaknya. Pada akhirnya mereka tetap menikah dan punya kehidupan masing-masing, dan gue pun mengerjakan segala urusan gue sendiri. Hanya saja, gue menyayangkan suatu kondisi dimana banyak sekali orang-orang yang bertindak bukan karena mereka telah paham, tapi karena tindakan itu sudah dilakukan oleh orang banyak dan menjadi terlihat normal, seperti perkara menikah muda tadi.

Belum lagi saat melihat banyak sekali berita-berita di ranah pendidikan tentang guru honorer di pedalaman sana, seperti berita seorang ibu di Flores.

Ketika merdeka hanya sebatas seremoni

Beliau hanya digaji kurang lebih sebesar Rp. 200.000 per bulannya, itupun seringkali nunggak, bahkan pernah tertunda sampai delapan bulan. Sekalinya gaji turun, yang dibayarkan hanya tiga bulan pertama. Padahal beban beliau dalam mengemban tugas, apalagi di daerah pedalaman tentu gak ringan, tanggungjawab sama besarnya dengan guru-guru di luar sana, mendidik anak-anak di desanya yang semata-mata untuk memenuhi sebagian Undang-Undang 1945,  yakni mencerdaskan anak bangsa. Apalagi dengan situasi pandemi yang mengharuskan sekolah ditutup, nggak sedikit guru-guru yang terpaksa menyambangi rumah beberapa anak didiknya untuk mengajar sebab murid mereka tak punya fasilitas yang dibutuhkan untuk belajar daring. 

ketika merdeka hanya sebuah seremoni

ketika merdeka hanya sebuah seremoni

Baca Juga: Terlalu Besar Untuk Gagal

See, ini hanya sekian persen dari kenyataan yang terjadi. Berapa banyak berita semacam ini yang harus gue temui selama pandemi—yang seperti baru menguap tampak di permukaan?

"Gak ada gunanya kamu berkoar-koar disini."

"Kalau mau mengkritik pemerintah bukan disini tempatnya."

Gue menulis ini memang bukan untuk tujuan politis, apalagi ingin agar pemerintah melirik tulisan ini (hmm mana sempat mereka baca blog abal-abal, iyaa mana sempat), oleh sebab itu mungkin memang gak ada gunanya. I just want to share my thoughts. Toh gue percaya selama ini sudah banyak sekali media, aksi, tulisan dari asosiasi atau instansi tertentu yang bergerak di bidang sosial yang menyuarakan dan mewakili masyarakat, namun pada kenyataannya pun gak banyak didengar, kan? Sekarang mengkritik pemerintah  bukan dimana-mana tempatnya sebab pemerintahan kita sendiri sudah anti-kritik. Ada influencer sindir aparat negara soal kasus penyiraman air keras Novel Baswedan langsung diserang buzzer, dituduh narkoba. Ada juga wartawan yang aktif dengan kritik tajamnya di media sosial malah diserang hacker, difitnah atas masalah pencemaran nama baik sampai diancam kena UU ITE. Apa itu bukan mengarah fasis namanya?

Belum beberapa lama ini gue juga dibuat jengkel dengan berita Gilang pelaku pelecehan seksual fetish kain jarik yang kemungkinan hanya dikenai ancaman pelanggaran UU ITE pasal 27 ayat 4 dan pasal 29 tentang pengancaman atas tindakannya, sementara yang merujuk pada KUHP sendiri hanya pada pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan. Perbuatan tidak menyenangkan lho ya, yang mana tidak sesuai dengan laporan korban yang sejak awal sudah menekankan bahwa kasus ini adalah pelecehan seksual, yang jika bisa diusut dengan UU Penghapusan Kekerasan Seksual seharusnya dapat lebih lugas, plus dapat lebih adil dalam mengayomi korban baik memberi perlindungan secara psikis atau fisik. Pihak kepolisian bilang bukti-bukti yang diberikan kurang kuat untuk bisa menjebloskan tersangka dengan pasal-pasal asusila yang ada di KUHP, sebab banyak ambiguitas di dalamnya. Huft. Bahkan mereka sendiri sebagai aparatur negara berharap agar pemerintah segera mendiskusikan kelanjutan nasib RUU P-KS agar ada payung hukum jelas mengenai isu ini. 

Karena hal itu pula, gue semakin jengkel dengan kenyataan bahwa RUU P-KS tampaknya masih dianggap main-main oleh segelintir penguasa. Beberapa dari beliau-beliau ini sering berkomentar bahwa isi dari RUU P-KS terkesan ambigu dan cenderung mengarahkan hukum menjadi lebih liberal dengan konsep LGBT atau legalisasi prostitusi dan aborsi yang secara implisit tertulis. Iya iya, gue mengerti. Tapi mbok ya kalau memang ambigu kan didiskusikan gitu lho harusnya ya? Bukan cuma diperdebatkan ambigu atau nggaknya, bahkan dilempar sana sini. Seharusnya perlu ada pembahasan lebih lanjut yang substansial untuk mencari solusi dari permasalahan yang ada, bukan cuma ribut memperebutkan siapa yang mengusulkan ini dan itu (seriously, beberapa fraksi awalnya rebutan mau jadi pengusung RUU ini, mungkin kalau nanti goal biar nama partainya bisa ikut naik kali yaa auk ah).

Seringkali gue sedih dan gak jarang bisa langsung sakit kepala hanya dengan melihat segala macam kerumitan yang ada di negara ini, bahkan jika hanya lewat berita sekalipun. Lebih parah lagi, kalau dalam sehari ada lebih dari enam berita yang gue baca, gue bisa menangis saking sedihnya. Gak jarang merasa menyesal juga, "kenapa sih gue harus dilahirkan di negara yang budayanya santuy, malas dan korup?" Kenapa gue harus tinggal di negara yang sama sekali nggak pro-rakyat? Kenapa gue harus tinggal dengan pemandangan berita-berita bodoh para penguasa? Kenapa gue harus menyaksikan betapa terinjak-injaknya mereka yang ada di bawah? Kenapa gue merasa iri dengan negara lain yang bisa mensejahterakan rakyatnya? Kenapa gue harus merasa aneh dengan negara sendiri sebab orang yang warasnya nggak kelihatan? Kenapa gue harus ditampakan wajah-wajah lugu calon generasi di masa depan yang harus hidup di jalanan dan mengais untuk makan? Kenapa juga gue harus tinggal di negara yang mana orang-orangnya bebal dan egois, dan terlihat seperti saat pandemi? Kenapa gue harus hidup di tengah-tengah pengguna media sosial yang bahkan gak tau caranya menginform diri mereka dengan segala pengetahuan yang seharusnya mereka lahap sebelum berbicara? Kenapa gue harus bertemu dengan orang-orang yang bahkan gak tau caranya berperilaku dengan baik dan tau caranya memanusiakan manusia? Kenapa gue harus mendengar ada wakil rakyat yang sibuk berkoar menjunjung pancasila tapi bahkan kelima sila-nya aja nggak mereka penuhi? Kenapa gue harus tinggal di Indonesia? Kenapa?

Berbagai hal yang gue temui dari sejak kecil sampai saat ini telah membentuk diri gue yang sekarang, yang sedikit-sedikit merasa gerah tinggal di Indonesia, dan yang sedikit-sedikit mempertanyakan kenapa sih orang-orang bebal itu nggak bisa hidup selayaknya manusia normal? Sehingga nggak jarang gue menyalahkan Indonesia karena menjadi negara yang nggak cukup nyaman untuk gue tinggali, terkhusus secara mental. Ditambah adanya segala pressure yang membuat timpang salah satu gender. Iya, dengan segala kerumitan ini, hidup menjadi perempuan bukan sesuatu yang mudah sebab masyarakat kita masih begitu kental budaya patriarkinya.

Lalu bertemu dengan nepotisme lah, korup dimana-mana lah, hukum yang patut dipertanyakan lah, suara-suara rakyat yang nggak didengar lah, pemerintah yang selalu sibuk membuat RUU baru dengan dalih memberi solusi padahal sebagian isi Undang-Undangnya menekan rakyat menengah ke bawah lah. Jujur gue jadi kasihan sama pejabat-pejabat pemerintah yang masih punya hati namun tergeser tempatnya sama mereka yang punya kepentingan pribadi untuk bertengger di kursi tinggi sana. Gue malah melihat sekarang rakyat semakin nggak punya pegangan dan tempat yang bisa dituju untuk menyuarakan apa yang menjadi keresahan kami. Wong wakil rakyat aja nggak punya, mau mengadu ke siapa lagi kalau bukan Yang Di Atas? 

Beberapa bulan gue pun melepas diri dari media sosial yang selama ini cenderung menjadi penyumbang nomor satu atas kesedihan dan kegelisahan gue. Paling sesekali gue buka twitter untuk cari tahu isu apa yang lagi hangat. Kayaknya tiap hari tuh ada aja kasus aneh yang trending, dan lagi-lagi membuat gue geleng-geleng kepala. Akhirnya berbaur dengan alam menjadi salah satu obat untuk gue beristirahat sejenak. 

Sebetulnya, gue bersyukur sekali bisa hidup di sebuah negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Apalagi gue sendiri memang tinggal di sebuah kota yang bisa dibilang masih asri dibandingkan ibukota. Dalam proses perenungan ini, gue juga prihatin melihat alam kita yang semakin kesini semakin tidak asri, semakin kotor dan sepertinya jauh sekali dibandingkan saat dulu sebelum banyak infrastruktur berdiri. Sampah dimana-mana, banyak pohon yang ditebang untuk kebutuhan komoditas dan lahan-lahannya yang dibangun untuk perhotelan, gedung-gedung tinggi, dll.

Setelah gue pikir-pikir, ternyata semua ini bukan salah Indonesia. Bukan salah Indonesia kalau negara ini isinya hanya orang-orang yang bebal, santuy dan korup. Bukan salah Indonesia kalau rakyatnya nggak bisa sejahtera dan terbelenggu dalam kemiskinan struktural bahkan kultural. Bukan salah Indonesia kalau hukum yang berlaku di negara ini tajam ke bawah. Bukan salah Indonesia kalau berita yang muncul selalu tentang kebodohan para penguasa. Bukan salah Indonesia kalau nepotisme ada dimana-mana. Bukan salah Indonesia kalau alamnya menjadi rusak dan hewan-hewan langka semakin punah, bahkan yang nggak langka pun menjadi langka sebab banyak perburuan liar. Bukan salah Indonesia kalau rakyatnya gak tau cara menginform diri dengan benar meski dimudahkan dengan gadget dan internet. Bukan salah Indonesia kalau keadilan sosial yang bahkan ada dalam pancasila gak berlaku di negara ini. Bukan salah Indonesia kalau masih banyak anak-anak yang terlantar meninggalkan bangku sekolah. Bukan salah Indonesia kalau orang yang waras nggak kelihatan, simply karena orang yang waras nggak akan mau membuang waktu dan tenaganya dengan berkomentar buruk dan melakukan tindakan yang gak ada gunanya juga, also simply karena mereka terlalu sibuk untuk bergulat memenuhi tanggungjawab. Bukan salah Indonesia kalau negara ini masih patriarkis dan belum cukup aman untuk ditinggali. Ini semua bukan salah Indonesia. Indonesia, ibu pertiwi ini hanya korban dari bobroknya perlakuan manusia-manusia yang berkacak pinggang di atas kepentingan mereka.

Salah siapa kalau negara ini tidak cukup mensejahterakan rakyatnya? Salah mereka yang dibutakan mata dan hatinya untuk bisa berlaku sebaik-baiknya manusia. Salah mereka yang hidupnya dimakan oleh egoisme sendiri. Salah mereka yang nggak berusaha mengisi otak dengan segala pengetahuan dan haus akan banyak hal. Salah mereka yang nggak pakai hati di balik isi kepala yang dianggapnya sudah banyak itu. Salah mereka yang lupa bahwa diri mereka adalah seorang hamba, yang tak ubahnya hanyalah penghuni di dunia yang fana, yang diberi mandat oleh Tuhan untuk berbuat sebaik-baiknya ciptaan. 

Share
Tweet
Pin
Share
23 komentar

Ketika normalisasi sekadar egoisme semata


Akhir-akhir ini gue sering menemukan kata normalisasi dilontarkan oleh orang-orang di linimasa twitter—lagi-lagi twitter. Entahlah, platform yang satu ini kayaknya sering banget memunculkan banyak diskusi-diskusi yang gak jarang menimbulkan “war” antar sesama pengguna. Sebagian karena merasa pendapatnya benar, sebagian karena merasa tidak ingin terlihat bodoh dan kalah. Contoh dari bahasan soal normalisasi ini adalah, pernikahan tanpa resepsi, normalisasi menikah saat sudah siap atau di luar dari usia yang selama ini dijadikan standard oleh masyarakat, normalisasi pakaian wanita bukan sebagai simbol sex supaya bisa meng-counter narasi yang menyalahkan pakaian sebagai sebab pemerkosaan, normalisasi mengejar karir di usia 25, sampai dukungan untuk menormalisasi pernikahan sesama jenis.

Dalam KBBI, normalisasi sendiri berarti tindakan menjadikan normal (biasa) kembali; tindakan mengembalikan pada keadaan, hubungan dan sebagainya yang biasa atau yang normal. Well, technically, normalisasi adalah kegiatan menormalkan sesuatu yang sebelumnya sudah normal, namun karena berbagai alasan, menjadi rusak dan harus dikembalikan kondisinya.

Sementara normal sendiri memiliki arti: menurut aturan atau menurut pola yang umum; sesuai dan tidak menyimpang dari suatu norma atau kaidah; sesuai dengan keadaan yang biasa; tanpa cacat; tidak ada kelainan: bayi itu lahir dalam keadaan normal.

Gue tahu, pada praktiknya normal hanyalah sebuah kata yang dibangun oleh masyarakat itu sendiri berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku, yang beberapa bisa saja tidak sesuai dengan norma dan aturan. Normal adalah sesuatu yang hanya bisa dibuat jika terlihat di permukaan. Gue pribadi pun setuju dengan beberapa narasi yang digaungkan, since we live in toxic society that is always trying to control our lives which shouldn’t be their concern whatsoever. Tetapi yang membuat ini tampak lucu adalah, gak sedikit orang-orang yang ikut-ikutan mendukung berbagai normalisasi hanya karena merasa segala apapun yang berlaku di masyarakat sekarang ini adalah sucks. Sehingga tagar-tagar yang berseliweran itu kebanyakan didukung oleh opini yang kurang jelas dan argumentasi yang hanya mengandalkan arogansi, serta egoisme yang dilindungi dengan ketidaktahuan, karena orang-orang tampaknya tidak terlalu paham apa saja aturan-aturan atau stereotip yang tanpa alasan dinormalisasi oleh masyarakat sejak lampau, dan mana saja yang memang sudah normalnya begitu, namun dipaksakan untuk normal agar sejalan dengan egoisme.

Normalisasi independensi untuk memilih kehidupan sendiri

Cuitan tentang beberapa contoh normalisasi di atas adalah sesuatu yang sangat gue dukung, karena sepertinya segala macam pressure bahwa kita harus menikah di usia sekian, sukses sebelum berusia 40 tahun, harus punya anak saat sudah menikah, perempuan gak boleh bekerja saat sudah menikah, adalah aturan-aturan yang memang dibuat sendiri oleh masyarakat karena orang-orang terbiasa untuk melakukannya. Padahal persoalan semacam ini gak bisa kita generalisasikan. Di negara-negara maju, Jepang contohnya, nggak ada tuh sekarang para orangtua yang memaksa anak mereka untuk menikah sebelum usianya mencapai 30 tahun (mungkin ada, tapi kasusnya sangat jarang), bahkan pasangan yang memiliki anak pun persentasenya sangat sedikit dibandingkan mereka yang tetap mengejar karir dan hidup berdua saja. It means, normal yang satu ini memang diberlakukan tergantung dari kebiasaan si masyarakatnya, tidak terpaku pada aturan atau norma tertentu. Tapi memang gak menutup kemungkinan banyak juga orang-orang yang bersikap demikian karena adanya anjuran bahwa anak perempuan harus berdiam diri di rumah demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di luar sana. Walaupun begitu, anjuran ini seharusnya gak menjadi pengekang untuk seseorang berkarir dan melakukan pekerjaan di luar rumah, karena toh ada juga ayat lain yang menjelaskan untuk kita mengejar pendidikan setinggi-tingginya, baik laki-laki maupun perempuan.

Namun yang menjadi concern gue soal normalisasi ini adalah, gerakan mendukung pernikahan sesama jenis, which in my honest opinion, di Indonesia sendiri memang bukan sesuatu yang bisa dikatakan normal, baik secara norma sosial, agama, dan hukum negara mengenai Undang-Undang Perkawinan.

Tadi katanya normal itu hanya sebuah kata dan kondisi yang dibuat-buat oleh masyarakat umum, aturan-aturan yang berlaku dalam hukum mestinya bisa diubah dong? 

Terlalu kolot, konservatif.

Yaa nggak begitu juga. Gak semua hal yang sudah dibuat dari beberapa puluh tahun lalu, bahkan ratusan tahun lalu, bisa kita ubah mentah-mentah hanya karena mengikuti zaman. Memangnya kita mau mengikuti arus zaman yang jelas-jelas makin keras dan menyimpang? Apa orang-orang zaman dulu sebodoh itu sampai apa-apa yang diciptakan dari dulu disebut kolot dan gak sejalan? Bagaimana tentang agama yang memang sudah ada dari zaman dulu kala? Gak bisa dipakai juga untuk kehidupan sekarang?

Undang-undang, norma sosial, agama, regulasi, pokoknya segala aturan yang dibuat perihal perkawinan ini tidak bisa disamakan dengan stereotip yang beredar tentang karir, pilihan untuk memiliki anak atau tidak, dll, karena dibuat dengan proses yang matang dan gak main-main. Sementara aturan bahwa kita harus menikah muda, harus lulus kuliah umur sekian sekian, dan sebagainya, adalah sesuatu yang memang berasal dari stereotip masyarakat, yang lama-lama dijadikan normal.

So, lo accusing penyintas LGBTQ sebagai orang yang nggak normal, begitu?

Merujuk pada pengertian di atas, dan melihat kondisi di Indonesia yang sebagian besar heterogen, gue bisa bilang begitu. Dari sisi biologis pun, baik manusia maupun binatang, alamiahnya dipasangkan sebagai laki-laki dan perempuan, betina dan jantan, yang dapat menghasilkan keturunan dan generasi baru. Meski pada akhirnya ada berbagai dinamika yang terjadi dalam proses evolusi, seperti yang kita lihat sekarang. Oleh karena itu ditemukanlah orang-orang yang—baik secara alami atau tidak—memiliki orientasi seksual berbeda dengan identitas gendernya, yang kemudian dikelompokan menjadi heteroseksual, homoseksual, biseksual, dan aseksual. Beberapa asosiasi ilmuwan, seperti American Academy of Pediatrics (AAP) dan American Psychological Association (APA) pun berpendapat, bahwa orientasi seksual merupakan kombinasi kompleks yang melibatkan banyak faktor. Beberapa di antaranya adalah faktor biologis, psikologis, dan lingkungan. 

Baca juga: How I See Feminist as a Muslim

BUT, gue nggak semata-mata menjadi homophobic dengan bilang seperti itu. Setiap orang tentu punya pendapatnya sendiri tentang hal ini. Terserah mau mengambil kesimpulan dari mana, logika, agama, atau science. Gue sendiri berusaha untuk berpikir lebih bijak dan mencampurkan ketiganya, bahwa kita juga perlu yang namanya batasan. Tapi dari batasan-batasan itu bisa kita pilih yang mana yang memang berdasar dan yang mana yang tidak. Gue hanya khawatir kalau kita sembarangan menggunakan kata normalisasi, hingga kemudian orang-orang benar menormalkan sesuatu hanya karena ramai diperbincangkan, nilai-nilai moral, budaya dan agama pun akan luntur secara perlahan. 

Gimana sama masa depan cucu dan cicit-cicit kita jika hal yang dinormalisasi adalah semacam ini? Ngeri gak sih ngebayangin kalau nanti ada banyak anak yang lahir tanpa tahu siapa ayah dan ibu kandungnya karena dia diadopsi oleh pasangan-pasangan non-hetero, kemudian terbiasa dengan kondisi seperti itu dan membenarkan apa yang dia lihat. Yaah, walaupun kenyataannya banyak juga anak-anak dari pasangan berbeda jenis yang menderita dan tidak tumbuh dengan baik karena treatment dan didikan yang salah dalam keluarga. I just can't imagine what's worse than all of this.

Again, it's all just my opinion. Gak semua orang harus sependapat dengan gue, toh seperti yang gue bilang di postingan ini, gue sama sekali nggak bermaksud mendiskriminasi orang-orang di komunitas LGBTQ, masalah perbedaan konsep dan sudut pandang adalah sesuatu yang natural sebagai manusia. I know this may be very difficult for them to be different from the people they used to be, and they may have been struggling a lot to be accepted in their circle. Sepertinya gue gak akan bosan untuk mengatakan ini, we can disagree their concept to be the way they are and to live the life they want, but it doesn't mean we can't respect each other to be the better version of ourselves. 

Sejujurnya gue sangat menyayangkan orang-orang di media sosial yang menuduh seseorang homophobic hanya karena berseberangan dengan perspektif mereka soal ini. Dalam kasus berpakaian pun, ada juga cerita menarik yang gue temuin di twitter kemarin. Jadi, ada seorang cewek yang diperkosa di salah satu hotel setelah diajak minum-minum sama dua laki-laki—salah satunya si pelaku, yang sebetulnya gue gak tau motif mereka minum-minum di hotel itu apa. Kemudian orang-orang meributkan soal laki-lakinya yang gak bisa menahan diri dan menjaga pandangan, terus membela si perempuan yang jelas menjadi korban pemerkosaan. Ada juga yang menyalahkan si korban karena dia yang udah mabok dan mau aja diajak ke hotel sama cowok—walaupun cuma ngobrol dan gak pesen room misalnya. Dari perdebatan itu juga muncul narasi untuk jangan menyalahkan pakaian korban pemerkosaan, kalau memang cowonya yang nafsu ya dia yang salah. 

Honestly, gue melihat dua-duanya gak ada yang benar, sih. Kalau gue pribadi, minum sama cowok di restoran hotel dan ceweknya cuma gue sendiri aja udah kelihatan gak beres. But yash, gak lantas gue juga membela si cowok lah. Rapist gak pernah bisa dibenarkan apapun alasannya, tapi kita sebagai warga negara khususnya masyarakat beragama pun tahu bahwa alkohol bukan sesuatu yang diperbolehkan. Apalagi berurusan sama hotel-hotelan, serem sih gue ngebayanginnya. Yah, gak ada habisnya memang kalau ngomongin soal kelakuan-kelakuan pengguna medsos zaman sekarang yang meng-counter argumen orang lain untuk jangan bawa-bawa agama, dll. Padahal negara dan agama itu dua variabel yang terkait, karena kita tinggal di sebuah negara yang berpancasila, punya batasan dan bukan liberal—seharusnya.

Intinya, semua orang berhak melakukan apa yang dia suka, apa yang dia mau dengan responsibility yang dipegang masing-masing. Tapi, please jangan memaksakan sesuatu yang berada di luar batas daripada yang kita yakini selama ini. Kalau lo merasa nggak nyaman dengan suatu aturan dan berharap society menerima hal yang menurut lo nyaman, jalannya gak serta merta harus dinormalisasi. Ada proses yang panjang di dalamnya. Kita juga perlu memikirkan dampak jangka panjang, apakah yang kita suarakan itu memberi pengaruh positif untuk keberlangsungan masa depan, atau justru meninggalkan kesan buruk.

Mending lo menormalisasi got atau gorong-gorong yang banyak sampah dan kotor lah misalnya, menjadi saluran irigasi yang diisi banyak ikan koi dan ramah lingkungan kayak di Jepang. That would be great! Kira-kira ada ide-ide lain?

 

Share
Tweet
Pin
Share
31 komentar
This article belongs to the author, Risalatin Nisa, for academic purpose.
---

KKN Daring di masa pandemi covid-19


KKN Daring di masa pandemi


Sebagai mahasiswa di UPI Bandung semester 5 atau 6, pastinya sudah tidak asing dengan program KKN dari kampus bumi siliwangi sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat. Namun, saat pandemi melanda segala macam kegiatan akademik atau non akademik dibuat menjadi online. 

Loh, ternyata KKN tetap dilaksanakan via daring/online juga?? Dikira akan diundur atau ditiadakan karena sedang dalam masa pandemi covid-19. Apa bisa dilaksanakan dengan baik? Berbagai polemik pro dan kontra antara teman-teman mahasiswa pada saat akan dilaksanakan program KKN ini di bulan Mei lalu.

Pada tahun 2020 ini, UPI tetap melaksanakan program KKN seperti tahun-tahun sebelumnya, hanya saja ada yang berbeda pada tahun ajaran 2020 sekarang, tentu saja adanya wabah penyakit covid-19 yang telah menyebar luas di berbagai negara khususnya Indonesia. 

Berlatar belakang masa pandemi covid-19 saat ini, sebagai perguruan tinggi tentu harus ikut andil dalam percepatan penanganan dan pencegahan covid-19, bukan? Maka UPI berkontribusi dengan upaya sebagai tombak penanganan covid-19 di masyarakat melalui KKN. Lantas, apa sih KKN itu?

Singkatnya, Kuliah Kerja Nyata (KKN)  Tematik  merupakan  salah  satu  bentuk  pengabdian  kepada  masyarakat secara interdisipliner, institusional, dan kemitraan yang dilakukan oleh mahasiswa sebagai salah  satu  wujud  dari  tridharma  perguruan  tinggi. Sebagai perguruan tinggi yang ada di provinsi Jawa  Barat,  maka  UPI berkontribusi  dalam  pencegahan  dan penanganan  Covid-19  yang  sedang  mewabah di masyarakat.

Program tersebut dirumuskan oleh pihak LPPM di lingkungan UPI. Oleh karena itu, KKN ini dinamakan KKN Tematik Pencegahan Covid-19 untuk Mewujudkan Merdeka Belajar (KKN Tematik Covid-19 MMB). Untuk pelaksanaanya sendiri dilakukan selama 30 hari dalam waktu minimal 4 jam/hari, menjalankan 1 program wajib dan 2 program pilihan. 

KKN Tematik Covid-19 memiliki tema Edukasi Pencegahan Covid-19. Oleh karena itu, tidak heran jika program-program yang dilaksanakan berhubungan dengan edukasi kepada berbagai kalangan di masyarakat. 

Berikut daftar program KKN, yaitu: Pendataan masyarakat, Edukasi pencegahan Covid-19 bagi anak sekolah, Edukasi pencegahan Covid-19 bagi masyarakat, Program dengan kondisi lingkungan mahasiswa berada yang terkait dengan penanganan dan pencegahan Covid-19, dan Program-program  yang terkait dengan kebutuhan pencegahan Covid-19 Pemkot Bandung dan Pemkab Bandung.

Setelah mengetahui berbagai macam program KKN, melakukan pendaftaran, dan mengikuti pembukaan via zoom, akhirnya sebanyak 1.667 mahasiswa dari berbagai fakultas ikut turut andil dalam mengikuti program KKN Tematik Covid-19 pada tanggal 13 Mei 2020.

Alhamdulillah yaa setelah dilaksanakan kegiatan tersebut, melahirkan efek yang positif selain untuk masyarakat, tentunya juga untuk diri sendiri.

1. Menjadi lebih akrab dengan warga sekitar rumah

Ketika menjalankan program butuh dong interaksi dengan pihak RT sampai warganya. Sadar gak sih? Kalau selama ini karena terlalu sering beraktivitas di luar atau di rumah menjadi jarang berinteraksi dengan orang-orang di sekitar rumah.
 
Khususnya para generasi muda yang lebih senang bersosialisasi di media sosial dibanding real life, sehingga banyak yang mengalami “susah untuk berinteraksi” untuk ngobrol santai dengan tetangga atau bertegur sapa menjadi hal yang jarang dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat.
Padahal menjadi akrab dan saling mengenal satu sama lain adalah hal yang lumrah terjadi dan tentunya meningkatkan rasa saling tolong menolong.. contoh amit-amitnya saat ada kesusahan ya kan?
Tapi jangan lupa, jaga jarak selalu ok.

2. Kegiatan menjadi lebih tertata

Mengikuti KKN dan membuat laporan ini dan itu, harus membagi waktu dengan baik,j tidak tentu akan sangat berantakan segala macam tugas-tugas atau kegiatan yang lain, seperti kegiatan rumah dan kegiatan perkuliahan. 

Mulai membuat daftar pengingat, membuat jadwal harian, dan mengatur waktu seefektif mungkin, bisa membantu diri sendiri dalam memanajemen kegiatan yang lebih baik dalam sehari-hari. Hal ini juga mendukung agar pikiran tetap positif dan semangat untuk produktif di masa pandemi.

3. Menggunakan sosial media dengan baik

Tidak bisa dipungkiri terkadang berselancar di sosial media, membuat lupa segalanya. Melihat-lihat story sampe jadi iri, membuat status dari yang  sedang merasa senang tulus hingga katakan putus, atau stalking sampe leher miring. Apalagi kalor buka aplikasi instagram lalu merambat ke aplikasi belanja online, duh! Bisa-bisa konsumtif nih.. Kurang baik bukan?

Nah, salah satu program di KKN membuat informasi seputar pandemi saat ini  lalu berbagi di sosial media yang sedang digunakan tentunya diambil dari sumber tepercaya. Toh, secara tidak langsung sudah memberikan contoh menggunakan sosial media dengan baik loh! Contohnya membuat poster seperti ini: 


4. Meningkatkan kemampuan diri

Tuntunan KKN online. Membuat mahasiswa untuk aktif dan kreatif dalam berkarya. Masa gak memanfaatkan teknologi sih ditambah lagi pandemi gini, semua rata-rata serba online!

Rata-rata dari teman mahasiswa mengakui setelah mengikuti program KKN yang dilaksanakan secara daring menjadi lebih kreatif dan menambah ilmu tentang membuat poster, gambar edukasi, sampai membuat hand sanitizer juga loh!

5. Terhubung dengan orang-orang baru

Mengikuti KKN juga bisa menambah lingkar pertemanan dan terhubung dengan orang-orang baru karena bukan hanya dari satu jurusan atau fakultas saja  dalam satu kelompok, melainkan dari berbagai macam jurusan atau fakultas. Tentunya mereka juga pasti memiliki kemampuan yang berbeda, jadi bisa saling tukar informasi yang bermanfaat.

Setelah menjalani dan merasakan manfaat KKN online, ternyata selain membantu masyarakat ada juga untuk diri sendiri menjadi lebih baik. Berawal dari seperti membawa beban yang mungkin akan sulit diselesaikan menjadi hal yang menyenangkan. Jadi teringat kata-kata bijak dari Nelson Mandela, “It always seems impossible until it’s done”.  

Semoga kegiatan KKN dan berbagai macam program yang sudah dilaksanakan dengan baik dapat memberikan edukasi yang luas kepada semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali dan untuk wabah pandemi covid-19, segera berangsur-angsur pulih dan lekas membaik menjadi kehidupan normal seperti dahulu, Aamiin.

Share
Tweet
Pin
Share
10 komentar
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Terlalu Besar Untuk Gagal
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Just Listen
  • Di Balik Angkasa
  • Bukan Salah Indonesia

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

Have new posts emailed to you!

My Podcast

Popular Posts This Week

  • Kenang Untuk Nanti
  • Rasanya Jadi Tuhan
  • Bukan Salah Indonesia
  • My Top 3 Favorite Bloggers
  • Cuma Cerita #3
  • Silent Treatment: Diam Yang Menyiksa
  • Refleksi Dua Dekade
  • Bad For Good
  • Matre: Realistis atau Materialistis?
  • Blog Story

Blog Archive

  • ▼  2021 (14)
    • ▼  April 2021 (2)
      • Rasanya Jadi Tuhan
      • Cuma Cerita #3
    • ►  March 2021 (5)
    • ►  February 2021 (1)
    • ►  January 2021 (6)
  • ►  2020 (46)
    • ►  December 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  October 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  August 2020 (10)
    • ►  July 2020 (8)
    • ►  June 2020 (4)
    • ►  May 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  March 2020 (2)
    • ►  February 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  December 2019 (3)
    • ►  October 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  August 2019 (1)
    • ►  March 2019 (1)
    • ►  February 2019 (2)
    • ►  January 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  December 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  August 2018 (1)
    • ►  June 2018 (1)
    • ►  May 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  February 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Followers

Categories and Tags

Feminist Intermeso Knowledge Minimalism Opini pendidikan Perempuan Podcast Poetry slice of life Thoughts

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.