Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram twitter LinkedIn YouTube Spotify Email

Notes of Little Sister



Series Review: The Billion Dollar Code, Pelanggaran Paten Terhadap Google Earth?
Sumber: Territory Studio


Sebuah serial Netflix yang tayang pada akhir tahun 2021 ini menceritakan tentang dua pemuda asal Berlin di tahun 90-an bernama Carsten Schlüter dan Juri Müller, yang ambisius dan penuh gagasan dalam menciptakan sebuah inovasi pada dunia teknologi, dimana ‘goal’ mereka adalah ingin membawa “dunia” lebih dekat dengan orang-orang melalui jaringan komputer. Demi mewujudkan itu, mereka bersama kawan-kawannya yang merupakan gabungan dari para seniman dan peretas andal kemudian mendirikan ART+COM, sebuah perusahaan rintisan yang mengolaborasikan antara program komputer dan seni digital. Inovasi ini dinamai TerraVision, yang diluncurkan pada tahun 1994.

TerraVision adalah sebuah representasi virtual jaringan bumi berdasarkan citra satelit, bidikan udara, data ketinggian, dan data arsitektur. Aplikasi 3D yang dikembangkan membuat data terestrial terlihat nyata dan dapat dijelajahi secara interaktif. Siapa pun yang menggunakannya dapat bernavigasi secara bebas dalam waktu yang nyata di dunia maya fotorealistik. Yap, jaringan semacam inilah yang kita lihat pada Google Earth saat ini.

Pada era itu, TerraVision menjadi penemuan yang membanggakan saat dipresentasikan pada ajang Konferensi Serikat Telekomunikasi Internasional di Kyoto. Ketenarannya bahkan sampai di telinga eksekutif Silicon Graphics, Brian Andersson yang perusahaannya merupakan pengembang server Onyx terkuat pada saat itu (yang digunakan oleh ART+COM untuk membuat TerraVision). Namun, tak ada yang menyangka bahwa pertemuan mereka dengan Brian pada akhirnya malah membawa ART+COM pada satu masalah besar di kemudian hari.

Selang satu dekade setelah kesuksesan TerraVision, perusahaan Google lalu memunculkan program komputer yang sangat mirip dengan TerraVision. Berbagai konflik akibat dimunculkannya komponen unggulan Google tersebut kemudian membawa Juri dan Carsten pada persoalan hukum yang pelik saat mereka harus memperjuangkan kasus pelanggaran paten atas algoritma yang dipakai pada Google Earth.

Berdasarkan Kisah Nyata


The Billian Dollar Code sebetulnya diangkat dari kisah nyata dan terinspirasi oleh serial biografi Mark Zuckerberg yang berjudul The Social Network. Pada tahun 2014 lalu, ART+COM selaku perusahaan asal Berlin mengumumkan gugatannya pada Google bahwa mereka telah melanggar produk paten AS No. RE44.550, berjudul 'Metode dan Perangkat untuk Representasi Bergambar dari Data Ruang Angkasa,' terkait dengan teknologi Google Earth-nya.

Jika dalam miniseri ini eksekutif SGI (Silicon Graphics) yang berhubungan langsung dengan Carsten dan Juri hanya diwakili oleh Brian Andersson seorang, maka tidak dengan kisah aslinya. Seorang perwakilan ART+COM menyatakan bahwa pada tahun 1995, dalam proses pengembangan TerraVision, penemu mereka sempat bekerja langsung dengan salah dua petinggi Silicon Graphics yang setelahnya diketahui bekerja sebagai CTO Google Earth dan Kepala Bagian Google Maps. 

Kala itu, SGI bahkan sempat menggunakan TerraVision sebagai demonstrasi komputer Onyx mereka. Hal ini juga yang memicu ART+COM untuk berani menggugat perusahaan raksasa Amerika tersebut—meski gugatan mereka berujung gagal di pengadilan. Selama proses gugatan, Google mengelak dan menyatakan bahwa mereka menggunakan metode yang berbeda untuk menampilkan gambar beresolusi tinggi agar pengguna bisa memperbesar grafik pada titik tertentu secara spesifik.

Pemuda Naif dan Tempat yang Salah


Dalam serial biografi ini, kita diperlihatkan bagaimana kegigihan dan kejeniusan Carsten dan Juri yang membawa salah satu inovasi dalam dunia teknologi ini seakan berujung sia-sia, karena mereka tidak mendapat kesempatan yang sama untuk bersaing dan berkembang layaknya perusahaan-perusahaan Silicon Valley. Idealisme mereka terdengar seperti isapan jempol bagi para Berliner, sebab pada saat itu banyak masyarakat yang masih skeptis dengan perkembangan internet dan kemungkinan kontribusinya di masa depan, sehingga banyak investor yang menertawai ide brilian Carsten dan Juri.

Salah satu adegan yang membuat kita meringis adalah saat mereka berusaha menjelaskan proposal tentang ide membuat monitor kecil di kursi pesawat, namun lantas diremehkan oleh perusahaan yang mereka datangi. Faktanya, monitor LCD saat ini menjadi fitur yang ada di kursi pesawat.

Tampaknya, bagi mereka ART+COM hanya kumpulan anak muda yang naif dan tidak realistis seperti anak kecil yang bercita-cita menjadi astronot. Pada akhirnya, impian ART+COM untuk bisa mengembangkan TerraVision menjadi lebih dari sekadar peta visual, dan mengganti semua perangkat kerja fisik ke internet pun tidak dapat terealisasikan. Mungkin kenyataannya ide gila puluhan tahun lalu ini memang terjadi, tapi tidak melalui sentuhan ART+COM.

Seandainya saja Carsten dan Juri memutuskan untuk berkarir di Silicon Graphics menjadi anak buah Brian saat itu, mungkin mereka tidak perlu merasakan ditolak berkali-kali oleh investor. Namun, jika begitu mungkin saja mereka tak benar-benar mengerti arti dari sebuah perjuangan. Toh, meski mereka tertinggal selangkah dari Brian yang memiliki privilese di bawah Silicon Valley, dan meski perusahaan mereka tidak sebesar Google, TerraVision tetap memiliki nilainya tersendiri dan menjadi satu-satunya karya yang berharga di tangan ART+COM. 

Pada dasarnya, Carsten dan Juri hanyalah anak muda yang penuh dengan ambisi dan inovasi. Sayang cita-cita dan ketulusan mereka untuk mendirikan Silicon Valley versi Berlin tidak disambut baik oleh rekan sebangsanya sendiri.

Jadi, apakah TerraVision benar-benar disabotase? Benarkah Google Earth betul-betul merupakan hasil sabotase TerraVision?
Berdasarkan bukti-bukti yang dimunculkan melalui wawancara karyawan ART+COM dalam tayangan behind the scene, Google Earth dan TerraVision jelas memiliki kemiripan, hanya modifikasi dan rentang usia yang terlihat membedakan. 

Namun, salah seorang mantan karyawan yang pernah bekerja untuk EarthViewer (sebelum Google Earth) mengaku bahwa sebetulnya TerraVision bukan satu-satunya perusahaan yang mengaku sebagai penemu algoritma Google Earth. Bahkan algoritme TerraVision dianggap tidak cukup efisien untuk membuat lompatan ke PC—sesuatu yang justru ia dan tim KeyHole kembangkan saat itu. Meski pertanyaannya berakhir sama, apakah mereka tetap menggunakan algoritma TerraVision dan meningkatkannya agar dapat diterapkan pada PC secara lebih efisien?

Kasus gugatan pelanggaran paten inipun bukan satu-satunya yang pernah terjadi. Beberapa di antaranya ada gugatan dari Authors Guild, sebuah Asosiasi Penerbit Amerika mengenai kasus pelanggaran hak cipta dalam pengembangan database Pencarian Buku Google. Ada juga kasus pengadilan Perfect 10 vs Google dimana Google dituntut untuk berhenti membuat, mendistribusikan gambar Perfect 10, dan menghentikan pengindeksan ke situs yang menghosting gambar tersebut, dan masih banyak lagi kasus pelanggaran yang dilayangkan oleh perusahaan minor lainnya.

Harus kita akui, keaslian menjadi sesuatu yang berharga sekali dalam perkembangan era digital. Tak banyak perusahaan yang bisa menelurkan gagasan-gagasan yang autentik. Pada dasarnya pikiran-pikiran kita dapat terhubung satu sama lain karena dipengaruhi oleh lingkungan dan kemajuan di berbagai sektor. Begitu juga yang terjadi pada Juri dan Carsten dua dekade lalu. Mungkin saja saat itu mereka bukan satu-satunya anak muda yang bermimpi tinggi tentang membuat representasi virtual bumi, karena masuknya teknologi datang pada saat yang bersamaan.

Namun, apakah itu artinya boleh “mencuri” ide orang lain untuk kepentingan diri sendiri? Tidak juga. Bagaimana pun, tak ada yang bisa dibenarkan dari tindakan Brian. Sekalipun dalam etika bisnisnya mengambil ide seseorang untuk kemudian dimodifikasi merupakan sesuatu yang wajar, jelas hal ini tidak dapat dinormalisasi—semestinya.

Sang Agen Perubahan


Dari cerita yang separuhnya telah difiksionalisasi ini, semangat juang dan ambisi Juri dan Carsten muda mengingatkan saya pada slogan “agen perubahan” yang selalu disematkan kepada anak-anak muda. Dulu, saya agak skeptis dengan motto ini. Karena realitanya banyak ide-ide baru yang tidak bisa diimplementasikan secara penuh karena hambatan kapitalisme dan ageisme (diskriminasi usia).

Namun pada akhirnya saya juga tersadar, bahwa kehadiran berbagai platform digital saat ini tidak lepas dari ide-ide jenius para pemuda seperti Mark Zuckerberg, Steve Jobs, Steve Shih Chen, William Tanuwidjaya, Nadiem Makarim, Achmad Zaky, dll. ART+COM mungkin memang bukan salah satu di antara mereka, tapi penemuannya tetap memberi kontribusi yang besar dalam sejarah perkembangan teknologi. Dan tentu saja, perjuangan mereka tidak ada yang sia-sia. Terlebih jika algoritmanya benar telah dicuri, maka kita sudah tahu apa dan siapa yang mendasari lahirnya program Google Earth yang begitu keren saat ini.

Ah iya, omong-omong, judul Billion Dollar itu sendiri mengartikan total keuntungan (sebesar 700 juta dollar) atas algoritma yang selama ini diterapkan pada Google Earth yang mungkin bisa ART+COM dapatkan jika Google mengakui tuduhan pelanggaran paten tersebut. Nilai yang sangat fantastis, bukan?
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Terjebak Nostalgia Dalam Film Spider-Man: No Way Home
Poster Spider-Man: No Way Home|Source: ScreenRant

Rating: ⭐⭐⭐⭐ (9/10) 

Tulisan ini juga diposting di Kompasiana dengan judul: Spider-Man: No Way Home Bukan Film Terbaik Jika Tanpa Sentuhan Nostalgia

Spider-Man: No Way Home besutan Sony dan Marvel yang merupakan lanjutan dari film keduanya, yakni Far From Home akhirnya rilis! Pada film ketiga ini, cerita berpusat pada kehidupan Peter Parker yang menjadi musuh publik pasca ia difitnah dan dibongkar identitasnya oleh Mysterio. Semua orang kemudian meneror Peter dan orang-orang terdekatnya, termasuk tante May, MJ dan Ned yang harus menerima dampaknya. Peter dan kedua sahabatnya itu kesulitan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi karena skandal yang dianggap meresahkan.

Dalam kondisi terdesak ini, Peter Parker yang putus asa lantas meminta bantuan Doctor Strange untuk menghapus ingatan semua orang yang mengenal Peter Parker sebagai Spider-Man. Alih-alih menyelesaikan masalah, kecerobohan Peter justru semakin menyeret dirinya pada satu masalah yang lebih besar daripada fitnah Mysterio.

Mantra yang diucapkan Doctor Strange tak berhasil dan malah mengacaukan realitas dengan meninggalkan lubang-lubang dalam kontinum ruang waktu. Disinilah asal usul mengapa penjahat-penjahat yang muncul dalam film Spider-Man pendahulu seperti Doc Ock, Green Goblin, Sandman, Lizard, dan Electro dapat masuk ke semesta MCU. Berikut ulasan lengkapnya tentang film yang digadang-gadang sebagai film terbaik 2021 ini.


Eksposisi yang Lemah

Terjebak Nostalgia Dalam Film Spider-Man: No Way Home
Peter dan Doctor Strange | Source: Marca

Pada permulaan film, kita diperlihatkan tentang Peter Parker yang harus menjalani proses hukum untuk membuktikan tuduhan-tuduhan yang diberikan kepadanya tidaklah benar. Bagian ini menjadi salah satu yang cukup menarik mengingat ini pertama kalinya kita melihat di dalam film mengenai kehidupan Peter Parker setelah identitasnya terkuak.

Namun sayang sekali ide yang menarik itu tidak sejalan dengan eksekusi yang terkesan begitu terburu-buru dan dipaksakan. Terutama pada bagian dimana kasus Peter terselesaikan, yang dibarengi dengan kemunculan Matt Murdock a.k.a Daredevil sebagai pengacara. Padahal, ia menjadi salah satu cameo yang juga sangat dinanti-nanti selain Tobey Maguire dan Andrew Garfield.

Tampaknya Jon Watts dan tim produksi sendiri tidak sabar mengajak penonton untuk menyaksikan kejutan-kejutan di pertengahan cerita sehingga membiarkan plot pada awal film berlalu begitu saja, seakan-akan premis ini memang dibangun hanya untuk menjadi pengiring ke fase berikutnya.

Belum lagi kenaifan dan kepolosan Peter Parker yang tidak ingin memulangkan para penjahat begitu saja hingga mati-matian menentang Strange, mungkin akan sedikit mengusik logika kita. Seperti yang Doctor Strange katakan, "..mereka semua mati melawan Spider-Man, itu takdir mereka", semestinya fakta ini bisa memberi Peter gambaran sebesar apa kerusakan yang disebabkan oleh para villain, yang mana untuk menyembuhkan mereka terdengar seperti lelucon belaka. 

Namun jika tujuan Chris McKenna dan Erik Sommers selaku penulis ingin menuntun Peter untuk belajar lebih bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri (dengan May yang mendorongnya demikian), maka mereka berhasil. Paling tidak, ada pembelajaran yang bisa dipetik dari konflik yang dialami Peter Parker bahwa semua orang memang berhak mendapatkan kesempatan kedua, termasuk ia sendiri. Dan Peter mampu membuktikan bahwa ketulusannya yang terdengar konyol itu tak berujung sia-sia, meski ia harus kehilangan orang yang paling berarti dalam hidupnya. Seperti kata pepatah, "semua hal terjadi bukan tanpa alasan."


Kejutan yang Menyempurnakan

Terjebak Nostalgia Dalam Film Spider-Man: No Way Home
Kemunculan Green Goblin | Source: IMDb

Terlepas dari kekurangan yang ada, film ini berhasil mengaduk-aduk emosi penonton layaknya roller coaster. Dari mulai kesal, sedih, haru, dan tawa bercampur menjadi satu. Bahkan bagian pertengahan menuju akhir cerita inilah yang tampaknya sukses menyelamatkan film secara keseluruhan. Tentu saja karena akting para aktor yang ciamik yang begitu melekat dengan karakter masing-masing. Begitupun Tom Holland yang semakin menunjukan intensitasnya dalam berakting. Penonton akan menemukan sesuatu yang belum pernah disaksikan dalam kedua film sebelumnya terkait proses pendewasaan Peter Parker.

Salah satu yang membuat skenario film ini juga tampak briliant adalah bagaimana penulis tetap mampu menyambungkan peristiwa dan pengalaman masing-masing villain dari kelima film pendahulunya ke dalam dialog tanpa membuatnya tumpang tindih, seakan mereka semua benar-benar tertarik ke dunia Tom Holland saat itu juga. Meski beberapa karakter penjahat terlihat terlalu menonjol dibanding yang lainnya, namun hal itu tak mengganggu jalan cerita. Setidaknya, kita bisa mengabaikan sedikit plot hole yang bermunculan tentang hubungan antara Spider-Man dan villain, seperti Max yang tiba-tiba mengenal Peter Parker meski sebelumnya ia tidak mengetahui siapa wajah di balik topeng Spidey. 

Beberapa dialog humor dan callback yang disisipkan pun sesekali membuat seisi studio terkikik geli, walaupun beberapa jokes rasanya tidak terlalu penting untuk dimasukan selain dapat memberi efek bosan bagi yang menonton. Pada intinya, penulis seolah ingin mengajak penonton bernostalgia dengan memanfaatkan setiap momen di dalam film. Yah, tentu saja, kapan lagi kita bisa melihat bintang-bintang Spider-Man dari ketiga franchise ini berinteraksi dalam satu frame, bukan?


No Way Home sekadar film nostalgia?

Terjebak Nostalgia Dalam Film Spider-Man: No Way Home
The villains | Source: IMDb 

Lalu, apakah dengan plot dan semua kejutan dalam Spider-Man: No Way Home menjadikan film ini sebagai film Spider-Man terbaik sepanjang masa? Untuk spider-verse live-action ya, namun sebagai film yang berdiri sendiri secara utuh saya rasa film ini masih kalah beberapa poin dari film-film sebelumnya yang lebih kaya akan pesan moral dan pendalaman karakter, pun dalam hal sinematografi.

Menurut saya No Way Home tidak lebih dari sekadar ajang nostalgia dan film perayaan untuk dua puluh tahun perjalanan Spider-Man di industri perfilman, meski hal ini tidak lantas menjadikannya film medioker. Buktinya, sampai minggu pertama penayangan, Spider-Man: No Way Home berhasil menjadi satu-satunya film di tahun 2021 yang mencapai keuntungan sebesar Rp 14 triliun. Angka yang fantastis!

Satu hal yang sangat saya suka dan mengharukan dari ending film ini adalah bagaimana Peter Parker akhirnya berhasil menemukan arti sesungguhnya sebagai Spider-Man, bahwa dengan kekuatan yang besar, kini teriring pula tanggung jawab yang besar di pundaknya seorang diri.

Kevin Feige dan Amy Pascal sukses membuat kita menerka-nerka akan seperti apa kehidupan Peter Parker dalam trilogi berikutnya. Film ketiga ini tentu menjadi titik permulaan yang bagus yang akan membuat penonton dapat lebih terikat dengan aksi Peter Tom Holland kedepannya, yakni Peter Parker versi lebih dewasa yang sepenuhnya terlepas dari bayang-bayang Stark Industry. 

Apakah Spider-Man: No Way Home layak menjadi comfort movie yang wajib ditonton berulang-ulang? Definitely! Pastikan kamu menontonnya di bioskop-bioskop kesayangan, ya!

Rating: 9/10 ⭐⭐⭐⭐

Share
Tweet
Pin
Share
10 komentar
 

Review Serial Netflix Squid Game

Mugunghwa kkochi pieotseumnida..

Apakah kamu sudah nonton serial Netflix terbaru: Squid Game, yang baru-baru ini nangkring di daftar tiga besar serial top Netflix US mengalahkan Money Heist? Atau jangan-jangan ada yang belum tahu? Kita ulik sama-sama, yuk!

Kutipan berbahasa Korea di atas adalah sebuah penggalan dari salah satu permainan tradisional Korea Selatan yang muncul dalam serial netflix Squid Game. Permainan ini terdiri dari penjaga pos dan pemain. Selama kalimat tersebut diucapkan oleh penjaga pos, pemain berusaha mendekatinya sehati-hati mungkin agar tidak ketahuan bergerak saat penjaga pos berhenti mengucapkannya dan menoleh ke belakang. Pada permainan aslinya, semua pemain berlari bila punggung penjaga pos berhasil ditepuk. Sekilas kelihatannya seru dan menyenangkan, ya? Tapi ternyata tidak berlaku demikian, folks, untuk drama Korea Squid Game ini!

Squid Game adalah sebuah serial yang bertemakan survival game alias permainan bertahan hidup yang didesain ulang berdasarkan permainan tradisional anak-anak di Korea dengan genre survival-thriller. Nama Squid Game diangkat dari salah satu jenis permainan yang dimainkan, disebut squid atau cumi-cumi, karena lapangan yang digunakan untuk bermain memiliki bentuk seperti cumi-cumi.

Secara garis besar menceritakan tentang kehidupan Song Gi Hun, seorang single-parent yang kehilangan hak asuh atas putrinya karena tidak punya pekerjaan, terlilit utang ratusan juta won, dan hidup luntang lantung tanpa privilese. Ia senang berjudi pada olahraga pacuan kuda dan hanya menumpang di rumah sang ibu yang justru tengah menderita penyakit diabetes akut dan bekerja sebagai pedagang. 

Dalam keputusasaannya itu, suatu hari dia bertemu dengan salah seorang agen yang menawarkannya untuk ikut bergabung dalam sebuah permainan misterius, dimana permainan ini mempertaruhkan uang sebesar 45,6 milliar won. Tidak perlu kerja keras menghabiskan waktu sekian tahun untuk menabung, cukup memainkan enam permainan selama enam hari, menang (selamat), terus dapat uang, deh.

Song Gi Hun akhirnya penasaran dan tergiur untuk bermain dan bergabung bersama ratusan orang lainnya yang ternyata juga memiliki kesulitan hidup dan sedang dikejar-kejar utang. Disana, ia bertemu dengan teman kecilnya, Cho Sang Woo, yang selama ini mengaku tengah melakukan perjalanan bisnis di Amerika, namun nyatanya terlibat utang dan menjadi incaran polisi karena kegagalan investasinya. Ia juga dipertemukan dengan seorang kakek pengidap tumor otak, gadis asal Korea Utara, Kang Sae Byeok, dan seorang imigran gelap asal Pakistan, Ali. 

Mereka membentuk tim untuk bisa bertahan dan melindungi satu sama lain, meskipun pada akhirnya berbagai pengkhianatan pun tak mampu terelakan di dalam ruang kubus yang besar dan antah berantah itu. Di dalamnya, serial ini juga memperlihatkan tentang seorang polisi muda yang berjuang mencari kakaknya yang ia curigai tengah bergabung dalam Squid Game. Berbagai rencana cerdik ia jalankan yang mana malah membawanya pada satu masalah besar. 

Review Squid Game Serial Netflix
Spoiler alert🚨🤫

Sebagaimana sebuah film dengan genre survival-thriller, berbagai pertumpahan darah seakan menjadi hal yang lazim disini, dari mulai tembak menembak hingga tusuk menusuk. Serial ini mulai terasa menegangkan saat permainan pertama dimulai, yang mana adalah permainan Lampu Merah, Lampu Hijau yang telah dijelaskan sebelumnya. Semua orang tampak terkejut dengan twist yang dihadirkan dalam game tersebut. Mungkin mereka pikir permainan anak-anak yang dipakai hanya sebatas permainan biasa, yaa. 

Squid Game sebetulnya bukan satu-satunya serial atau film yang mengusung konsep survival game. Produksi Netflix sebelumnya, Alice in Borderland, juga menyuguhkan tema cerita demikian. Ada juga beberapa judul dengan jalan cerita yang memiliki genre serupa, seperti The Hunger Games, Escape Room, Ready or Not, The Hunt, Battle Royale, dan film Jepang As the Gods Will, yang bahkan dituduhkan menjadi inspirasi plagiarisme yang dilakukan oleh penulis Squid Game (namun beliau telah mengkonfirmasi bahwa ia sudah menyusun naskah ini sejak tahun 2008, adapun kemiripan dalam permainan ialah karena kedua negara tersebut memang memiliki jenis permainan yang sama).

Bukan Sekadar Survival-Thriller Drama

Namun bukan drama Korea namanya jika tidak bisa mengambil hati penonton dengan segala kompleksitas cerita, plot-twist dan pendalaman karakter yang brilian. Sama seperti film Parasite, Squid Game secara tidak langsung menyorot isu sosial yang mengakar terjadi dalam kehidupan sehari-hari, contoh sederhananya ditunjukan melalui diskriminasi kaum perempuan yang dianggap lemah dan terpinggirkan ketika menyangkut pertarungan, lalu dijadikan alat pemuas hasrat belaka yang mana ketika telah terpenuhi malah dibuang begitu saja.

Kelas sosial juga ditampilkan melalui tugas para staff berseragam merah dan bertopeng yang bekerja dalam pengaturan Squid Game, masing-masing memiliki simbol segitiga, segi empat dan lingkaran pada topengnya. Menurut Hwang Dong Hyuk sang sutradara, simbol lingkaran mewakili para pekerja, mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara atau menjawab ketika tidak dipinta, hanya menjalankan perintah atasan. Lalu segitiga adalah simbol untuk tentara, mereka yang bertugas khusus mengeksekusi pemain. Sementara segi empat untuk manajer, para kaki tangan bagi The Front Man, sang pemimpin yang berhubungan langsung dengan Host, mastermind dari permainan misterius tersebut. 

Tidak hanya peran masing-masing staff bertopeng, adanya Squid Game ini sendiri menyandung isu kapitalisme dan kelas sosial yang lebih besar. Orang kaya yang memiliki terlalu banyak uang kebingungan bagaimana agar bisa menemukan kesenangan. Hausnya kebahagiaan hakiki yang mereka rasakan menjadikan orang-orang kelas bawah—dalam hal ini para pemain yang terlilit utang piutang dan persoalan hidup lainnya—sebagai objek penghibur mereka layaknya kuda di tengah arena.

Cerita ini ditampilkan oleh para VIP yang menonton mereka dari balik kaca saat permainan tengah berlangsung, dan bertaruh untuk sesuatu yang mereka sebut kebahagiaan. Sebuah ironi yang nyata berkebalikan dengan kisah Song Gi Hun, yang bertaruh untuk mendapatkan uang demi mencicil utang dan membelikan hadiah ulangtahun bagi putrinya.

Mengulik lebih jauh tentang kapitalisme, menurut Karl Marx, kapitalisme adalah sistem dimana harga barang dan kebijakan pasar ditentukan oleh pemilik modal supaya mencapai keuntungan yang maksimal. Tentu saja realitanya sistem ini hanya menguntungkan sebagian kalangan selaku pemilik modal, menekan para pekerja atau buruh dan menyeret mereka pada sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekadar sistem perekonomian, sebagaimana yang disebutkan Ebenstein (1990) dan Ir. Soekarno. 

Para VIP, termasuk Host dari penyelenggara Squid Game mengabaikan sikap kemanusiaan karena hegemoni kapitalis dan individualisme yang dianutnya. Mereka tidak percaya dengan manusia, oleh sebab itu tidak ada belas kasih dalam aturan-aturan di setiap permainannya, bahkan termasuk dalam management-nya sendiri. Sekali saja tertangkap melanggar, nyawa adalah taruhannya. Mereka pikir tujuan utamanya adalah uang dan kebahagiaan, yang bisa ditukar macam simbiosis mutualisme.

Tidak Lepas Dari Oknum

Di balik isu kapitalisme dan kesenjangan sosial, jalan cerita yang apik ini semakin kompleks dihadirkan oleh para oknum yang memanfaatkan keadaan manusia lain. Beberapa staff yang memiliki akses terhadap ruang-ruang rahasia disana memanfaatkan momen krusial ini dengan menjadi penyalur organ tubuh para pemain yang telah mati untuk diperjualbelikan. Oknum-oknum ini, yang juga datang dari kalangan pekerja, mencari segala cara untuk kepentingan dirinya sendiri meski mereka tahu risikonya sangatlah besar. Tentunya sikap ini tidak menjadi akhir yang memuaskan bagi mereka, karena secerdik apapun strategi yang dimiliki, pada akhirnya kita tidak bisa melawan para 'pemilik modal' yang berkuasa. 

Dalam realitas sosial, keseharian kita juga tidak lepas dari oknum-oknum yang mengutamakan kepentingan pribadi, baik dari skala kecil hingga besar. Kalau di Indonesia, contoh paling nyata ditampakan lewat korupsi dana bansos yang dilakukan mantan menteri Juliari Batubara untuk bencana Covid-19. Belum lagi calo-calo yang mengambil keuntungan dari vaksinasi di beberapa daerah, serta harga SWAB Test yang diklasifikasikan untuk golongan-golongan tertentu. Meningkatnya pengangguran dan PHK, juga berbanding lurus dengan bertambahnya kekayaan para petinggi di tengah pandemi.

Berbagai konflik yang dibangun dalam Squid Game sesungguhnya benar-benar menampar kita akan realita sosial yang sering terjadi. Mungkin faktor-faktor tersebut lah yang membuat serial ini menjadi sangat terkenal di beberapa negara. Ia bukan hanya berisi tentang perjuangan hidup dan permainan anak-anak yang berubah mengerikan. Lebih jauh dari itu, keseluruhan plotnya membungkus kisah manusia secara umum dengan segala sistem yang mencekik dan menguntungkannya, didukung oleh pendalaman karakter dan pengkhayatan para aktor membuat problema yang dialami masing-masing tokoh menjadi terasa sangat dekat dengan penonton. 

Mungkin saja memang Hwang Dong Hyuk sebagai penulis dan sutradara tidak sedetail itu mengaitkan semuanya ke dalam sistem sosial dan sebagainya, namun dengan tersadarnya kita akan refleksi ini tentu menjadi nilai tambah tersendiri untuk Squid Game, bahwa waktu panjang penulisan naskah rupanya berhasil menampilkan drama kehidupan yang sarat akan makna dan pesan moral.

Squid Game seakan menyadarkan kita, seseorang bisa 'gila' jika terlalu kekurangan dan terlalu kelebihan. Kira-kira setelah menonton ini, apa kamu masih percaya manusia?
Share
Tweet
Pin
Share
34 komentar
Yo waddap, folks!! Cukup lama gue nggak berkelana di dunia blogosphere, mungkin sekitar satu bulan lebih dua minggu? Life is challenging for me this past few months, and i'm still struggling for it. Akhir-akhir ini tuh menulis jadi sesuatu yang penuh pressure buat gue. Bisa dibilang, gue kehilangan sparks-nya dalam merangkai kata-kata. Not only for this blog, but it also happens to my podcast. Seperti yang terlihat, satu bulan kemarin gue sama sekali nggak produce satu episode. Bukannya nggak punya satu pun yang bisa dibagi, but i just thought the topics weren't good enough to be published. Maka dari itu beberapa stok hanya mengendap di draft. Ditambah dua minggu ini gue kembali jatuh sakit, makin susah pula cari waktu dan mood yang pas untuk rekaman. 

Begitu juga dengan blog, sebetulnya gue sempat nulis beberapa draft, bahkan ada yang udah setengah jadi. Salah satunya postingan berbahasa Inggris yang judulnya United by Emotion. Postingan itu gue dedikasikan untuk hari kemerdekaan Indonesia dan para atlet yang bertanding di Olimpiade Tokyo 2020. Namun karena gue kesulitan untuk mengatur fokus di blog, alhasil tulisan-tulisan ini masih juga nangkring disana. 

Nah, di tengah-tengah hilangnya mood ini, gue justru menemukan kembali semangat lewat serial favorit gue di tahun 2005 yang ditayangkan ulang di salah satu saluran TV kabel, yakni Kiamat Sudah Dekat. Ada yang masih ingat??

Sinetron Kiamat Sudah Dekat
Sumber: Citra Sinema
(Buat teman-teman yang mau nonton, selain di YouTube, Kiamat Sudah Dekat dan beberapa seri seperti Lorong Waktu, PPT, bisa ditonton di situs ini, lho. Tinggal klik aja😉) 


Secara garis besar, serial ini bercerita tentang perjuangan seorang anggota band rock, Fandy, yang jatuh cinta dengan putri Haji Romli yang bernama Sarah. Ia pertama kali menjumpai Sarah ketika Saprol, seorang bocah penggila musik rock mencuri sepatu lars miliknya saat Fandy tengah menepi di mushola untuk membasuh wajahnya yang terkena timpukan es krim saat di jalan. Fandy yang memergoki Saprol lantas mengejar Saprol yang terus berlari sampai di rumah Pak Haji dan bertemu dengan Sarah. Sejak pandangan pertama itulah Fandy menyukai Sarah dan memikirkan segala cara agar ia bisa menemui gadis itu, seperti membiarkan sepatunya dicuri lagi oleh Saprol.

Namun latar belakang Fandy yang tumbuh besar di Amerika dengan keluarga yang sama sekali tidak mengenal agama membuat perjuangan Fandy disini begitu berat agar bisa "lulus" sebagai menantu Pak Haji. Ia harus melewati serangkaian tes dari Pak Haji, yakni harus bisa membaca Al-Qur'an, sholat, dan yang paling sulit menguasai ilmu ikhlas. Terlebih ia juga harus bersaing dengan Farid, anak teman Haji Romli yang sudah dijodohkan dengan Sarah dan sedang berkuliah di Kairo. 

Serial yang terdiri dari tiga season ini sempat mewarnai masa kecil gue dan mungkin teman-teman di luar sana, khususnya ketika memasuki bulan Ramadhan. Para tokoh diperankan oleh Deddy Mizwar sebagai Pak Haji, Andre Taulany sebagai Fandy, Dwiki Riza sebagai Saprol, dan Zaskia A. Mecca sebagai Sarah. Namun di balik kesuksesan serial ini, ternyata masih banyak yang belum tahu lho, bahwa sebelum dibuat sinetron, Kiamat Sudah Dekat ini merupakan film yang dirilis pada tahun 2003.

Berkat antusiasme masyarakat dan tanggapan positif atas film tersebut, maka dua tahun kemudian beliau memutuskan untuk membuat versi drama serinya dengan beberapa perubahan dan penambahan pemain, seperti tokoh Sarah yang sebelumnya diperankan oleh Ayu Pratiwi, menjadi Zaskia Adya Mecca yang lebih kita kenal. Begitu pun dengan pergantian peran ibu Fandy, Bu Endang (ibunya Saprol) dan kedua teman bandnya, serta kehadiran Kipli yang sebelumnya tidak muncul di dalam film. Tokoh Kipli yang diperankan oleh Sakurta Ginting untuk menjadi sohib karib Saprol justru malah menambah keseruan dan kelucuan sinetron ini. Membuat alur cerita menjadi nggak bosan ketika melihat kepolosannya yang dibarengi dengan kecerdasan dan kejahilan Saprol. 

Hal ini juga yang menandai perbedaan antara versi film dengan sinetron. Jika film berpusat pada kisah cinta Sarah dan Fandy, maka lain halnya dengan sinetron yang lebih kompleks karena diiringi dengan kisah tokoh-tokoh di sekeliling Pak Haji dan Fandy. Dalam setiap episodenya, terselip banyak sekali pembelajaran hidup yang bisa kita dapat dari keseharian masing-masing karakter. Nggak cuma tentang Pak Haji yang mulai menghadapi kenyataan bahwa putri kesayangannya sudah beranjak dewasa dan gelisah menentukan mana calon suami yang terbaik untuk Sarah, tapi juga kisah sehari-hari tentang Saprol si anak yatim dan ibunya yang bekerja sebagai tukang cuci, Kipli yang nggak punya cita-cita apapun kecuali menjadi anak yatim karena ayahnya seorang pemabuk dan penjudi yang ringan tangan, hingga kisah tentang teman band dan keluarga Fandy, dari yang tadinya buta agama, menjadi seseorang yang sibuk ingin menambah pahala.

Dulu, ketika menonton sinetron ini, gue nggak mengerti apa-apa kecuali Saprol dan Kipli yang lucu, Pak Haji yang tegas tapi penyayang, dan juga tentang Fandy yang belajar agama dan Sarah yang diam-diam suka Fandy. Melihat judulnya, bahkan gue sempat bertanya-tanya, mana kiamatnya? Apa yang tentang kiamat? Wong ceritanya gini-gini aja, kok. 

Sekarang setelah gue rewatch seri ini, gue menyadari ada banyak sekali pesan moral dan makna yang terkandung lewat cerita kehidupan mereka, yang sebenarnya sangat menggambarkan judul secara keseluruhan, bahwa Kiamat Sudah Dekat. Mungkin ini pula yang membuat ceritanya sangat menarik untuk diikuti dan dekat dengan keseharian. Penulis mampu mengemas alur cerita yang sederhana menjadi apik, relatable, penuh pengkhayatan dan terasa menyentuh bagi siapapun yang menonton.

Berbagai dialog dan guyonan yang diucapkan juga terkesan sangat natural, nggak dibuat-buat, layaknya obrolan kita dalam kehidupan sehari-hari. Akting para pemain pun sangat jempolan. Gue selalu suka adegan yang ada Saprol dan Kiplinya. Meski masih anak-anak, mereka mampu mengimbangi akting para seniornya. Ada salah satu adegan favorit gue, yakni ketika Saprol menangis setelah dipukuli ibunya karena mencuri sepatu. Kalau dilihat-lihat, persis banget kayak anak-anak lain yang habis dipukuli. Gue sampe mikir, ini anak beneran dipukul apa nggak?😆 

Lalu disana nggak akan kita temukan tokoh humoris yang berusaha terlihat lucu (meski ini drama komedi religi), nggak ada pula peran si miskin yang terlihat melas banget sampai compang camping, sewajarnya saja. Justru semua itu cukup ditunjukan dengan dialog, penokohan yang pas diperankan, suasana, lingkungan perkampungan yang nyata, hingga properti, make-up dan wardrobe yang niat. Nah, kostum dan make-up yang apik ini salah satunya dimunculkan pada adegan ketika ayah Kipli mendadak memiliki gangguan jiwa. Saat itu ayah Kipli benar-benar terlihat seperti orang gila yang kita jumpai di jalanan. Begitupun tampilan Kipli sendiri yang kurus dengan baju kelonggaran dan baju seragam yang menguning sudah cukup membuat kita tahu bahwa dia adalah anak yang nggak terurus oleh orangtuanya.

Kalau boleh dibandingkan, gue malah lebih senang menonton sinetron jadul yang berkualitas seperti ini daripada sinetron zaman sekarang karena alasan-alasan di atas. Sebab sebagai penikmat film atau serial, nggak cuma alur cerita dan akting para aktor yang jadi perhatian, tapi juga aspek-aspek pendukung (termasuk sinematografi) tersebut lah yang bikin gue bisa mengapresiasi sebuah karya. Dan dari semua hal itu, gue bisa yakin bahwa sinetron ini dibuat dengan sungguh-sungguh oleh tim yang solid.

Satu hal yang juga gue suka dari sinetron ini adalah durasi yang pendek (nggak lebih dari 50 menit) dan jumlah episodenya yang nggak lebay, malah selalu terkesan gantung di setiap episode terakhir, bahkan pada season yang ketiga sekalipun. Gara-garanya, gue dibikin penasaran banget karena banyak adegan yang diharapkan ada, tapi nggak dimunculkan dalam sinetron. Misalnya, pernikahan Pak Haji dan Bu Endang, kehidupan sehari-hari Fandy dan Sarah setelah menikah (diperlihatkan sih, tapi sedikiiiiiit banget, padahal gue nge-ship mereka berdua🥺). 

Pada season satu, jumlah episodenya terdiri dari 50 episode, season dua berisi 20 episode, dan season ketiga hanya 22 episode. Singkat, padat, dan jelas banget, kaan!! Tapi di antara ketiga season itu, gue lebih suka season yang pertama karena sangat membekas di hati. Lagipula, pada season kedua dan ketiga, ceritanya nggak lagi berpusat pada kehidupan Fandy dan Sarah, juga Pak Haji, tapi lebih meluas seiring dengan bertambahnya karakter yang ada di sekitar Saprol dan Kipli. 

Di bawah ini gue cantumin video episode 1-nya buat teman-teman yang juga ingin nostalgia😁 The soundtrack was epic too though! Paling nggak, teman-teman harus nonton bagian opening-nya. Untuk ukuran sebuah sinetron yang tayang di era itu, INI KEREN! 


Nggak cuma hal-hal yang bersifat teknis yang gue kagumi dari serial ini, tapi dari segi kualitas cerita dan pembangunan karakter pun nggak main-main, jelas dan terstruktur, nggak ngalor ngidul kemana-mana. Belum lagi banyak dialog-dialog mengenai agama antar sesama tokoh, termasuk Ustadz Jamal dan keluarganya Fandy yang sangat kritis dan mengutamakan logika, membuat gue secara nggak langsung mempertanyakan keislaman sendiri. Seperti halnya papa Fandy, beliau sering sekali mempertanyakan tentang negara kita yang dikenal religius karena memiliki lima agama namun banyak korupsi dimana-mana, juga dirinya yang dikenal dermawan, sering bersedekah dan sukses meskipun tidak memiliki agama. Bagaimana bisa dia memerlukan agama kalau hidup dengan baik saja ternyata cukup? Pikirnya. 

Lalu gambaran karakter antara Fandy dan Farid yang berseberangan semacam jadi refleksi sekaligus "sindiran" untuk penonton. Fandy, yang dianggap buta agama, anak band, dan hanya lulusan SMA meski besar di Amrik, namun bersikap rendah hati, humble, dan selalu membantu sesama. Ia selalu sadar akan kekurangan diri dan merunduk di hadapan orang lain yang ia rasa memiliki ilmu jauh di atas dirinya. Sementara Farid, karena ia merasa memiliki ilmu yang tinggi dengan belajar di Kairo, secara nggak sadar membuat dirinya menjadi congkak dan kelewat PD bahwa Haji Romli pasti akan memilihnya sebagai menantu. Berbanding terbalik dengan Fandy, yang perlahan-lahan mulai mendalami agama, dan belajar mengikhlaskan Sarah ketika tahu bahwa ilmunya nggak lebih baik daripada Farid yang saat itu sudah berusaha mendekati Sarah. 

Nah, ini dia salah dua adegan favorit gue (banyak banget yak adegan favoritnya LOL) . Saat Sarah menulis surat untuk Fandy yang memberitahu bahwa dia ingin Fandy melakukan sesuatu di saat Fandy sedang ingin menyerah, dan diam-diam mendo'akannya. Nggak terkecuali moment dimana Fandy akhirnya mulai menyerah dan mengikhlaskan Sarah kepada Farid. Dialognya dengan Pak Haji saat di mushola yang menyatakan ucapan terima kasihnya dan keikhlasannya inilah yang bikin Pak Haji luluh hingga tanpa pikir panjang langsung memilih Farid sebagai menantunya. 

Fandy: "Pak Haji, saya sebentar aja ya. Saya mau ngajak Saprol dan Kipli piknik."
Pak Haji: "Nggak, lo mesti ikut denger, ikut tau, atas dasar ape gue ngambil keputusan. Supaya nggak ada prasangka di antara kite."
Fandy: "Saya percaya sama Pak Haji. Sarah saja sudah mengikhlaskan Pak Haji yang memutuskan, apalagi saya. Saya senang Pak Haji sudah menemukan calon buat Sarah. Jadi, saya kira saya langsung aja Pak Haji."
Pak Haji: "Sebentar. Gua kan belom ngambil keputusan, jadi lo mesti ikut denger."
Fandy: "Cukup, Pak Haji. Saya sudah bersyukur bisa mengenal Pak Haji dan Sarah. Itu sudah cukup buat saya, Pak Haji."
Pak Haji: "Maksud lu?"
Fandy: "Pak Haji tahu, sebelum saya mengenal Pak Haji dan juga Sarah, saya dan keluarga saya adalah orang yang tidak mengerti agama, Pak Haji. Sama sekali tidak mengerti. Apa yang saya dan keluarga saya alami, sungguh merupakan karunia yang besar dari Allah. Makasih, Pak Haji, terima kasih. (Nangis sambil cium tangan Pak Haji😭). Dan mengenai Sarah, Farid memang pantas menjadi calon suami Sarah."
Kipli: "Bang Fandy, cepet dong!!"
Fandy: "Buat saya, kebahagiaan Sarah adalah kebahagiaan saya juga. Dan bagi saya, cukuplah karunia Allah buat saya dan keluarga saya, yaitu berupa iman kepada Allah dan Rasul-Nya..."
Saprol: "Jadi kak Sarah diikhlasin begitu aja, Bang?!"
Pak Haji: (Terbengong-bengong😄) "Elo.. elo.. elo yang bakal jadi calon mantu gue. Elo BAKAL JADI CALON MANTU GUE!!"

Gue terharu pas nonton bagian ini. Mungkin kalau lewat tulisan kurang terasa ya, tapi berbeda rasanya saat nonton langsung. Mengingat dulu gue belum mengerti apa-apa saat pertama kali nonton, dan sekarang gue baru sadar akan perjuangan Fandy dan keikhlasannya yang sehebat itu untuk akhirnya bisa meminang Sarah. Pengembangan karakter yang terbangun pun nggak cuma terjadi kepada Fandy, tapi juga dialami oleh ayah Kipli setelah sembuh dari penyakitnya. Ah, teman-teman harus nonton langsung, deh, biar gue ada temennya🤭

Gue harap kualitas sinetron kita saat ini bisa kembali ditingkatkan dan bisa belajar dari sinetron yang telah tayang belasan tahun lalu ini. Bahwa sebelum ada sinetron yang fokusnya mendramatisasi toxic marriages, perselingkuhan, kisah percintaan yang cheezy, drama komedi yang lebay dan semua alur yang mudah ditebak dengan episode yang beribu-ribu dan syuting stripping tiada henti, kita pernah kok punya selera tayangan yang bagus. Percayalah, Kiamat Sudah Dekat bukan satu-satunya sinetron Indonesia yang berkualitas pada masa itu. Kalau dulu sebelum teknologi mentereng saja kita bisa memproduksi tayangan yang berkualitas, kenapa sekarang tidak? 
Share
Tweet
Pin
Share
11 komentar


Hai, semua! Beberapa hari yang lalu jagat maya sempat dihebohkan dengan BTS Meal😆, karena ini gue akhirnya memutuskan untuk menulis sesuatu yang related to Korean thing. Kebetulan, selama beberapa minggu ini hari-hari gue banyak diisi dengan menonton acara ragam Korea Selatan agar bisa mengusir rasa bosan😁 So, without any further do, here's the list of my favorite Korean variety shows!! *prok prok prok*👏🏻👏🏻👏🏻

1. My Little Old Boy


Yash, nomor satu jatuh kepada My Little Old Boy atau Miun Uri Saekki! Program reality ini berfokus pada para ibu dari selebriti Korea Selatan. Berbeda dengan program realitas pada umumnya yang hanya berfokus pada selebriti, My Little Old Boy yang tayang di SBS ini menampilkan komentar dari ibu selebriti saat mereka menonton cuplikan aktivitas sehari-hari putra dan putri mereka, dipandu oleh Shin Dong Yup dan Seo Jang Hoon sebagai host. Sementara putra putri yang membintangi variety show tersebut hingga saat ini ada Lee Sang Min, Kim Jong Kook, Kim Hee Chul dan Lee Tae Sung, dengan special cast Tak Jae Hoon, Im Won Hee, Oh Min Suk, Bae Jung Nam, Jung Suk Yong, Kim Jun Ho, Park Goon, dan Choi Jin Hyuk. 

Nah, para special cast ini nih yang selalu bikin acara makin terasa ramai dan mengocok perut! Apalagi kalau mereka semua piknik bareng-bareng di apartemen salah satu member, wahh udah deh, bisa-bisa saling roasting satu sama lain🤣 wk. Episode favorit gue so far adalah episode 229 dimana para member bertemu dan pergi berkemah di musim dingin (episode ini nggak kalah kocak sih sampe sakit perut🤣), 245 (cuplikan di atas) saat mereka semua bermain olahraga bersama yang dibagi menjadi dua tim, yakni tim penyanyi dan tim aktor. Lalu ada juga episode bertemakan "Return of the Stones" dimana Lee Sang Min, DinDin, dan Kim Jong Kook bergiliran mengembalikan sebongkah unwanted blocks ke apartemen masing-masing sebagai hadiah housewarming. Ngakak abizz!😆

2. Knowing Bros a.k.a Ask Us Anything


Peringkat kedua ialah Knowing Bros atau dalam bahasa Koreanya yakni Aneun Hyeongnim!😍 Variety show ini tayang di saluran kabel JTBC dan diisi oleh Kang Ho Dong, Lee Soo Geun, Kim Young Chul, Seo Jang Hoon, Min Kyung Hoon, daaaan lagi-lagi Kim Hee Chul serta Lee Sang Min LOL. Fix dua orang ini jadi favorit gue kayaknya, apalagi sebagai elf setiaku harus selalu mendukung idolanya dong! *wink Heechul*. Acara ini mengambil setting ruang kelas di mana semua tamu dianggap sebagai murid pindahan dan tuan rumah adalah murid lama. Mereka saling menceritakan rahasia masing-masing guest seperti sesi Q&A dengan guyonan yang khas dan lucu. Terdapat juga segmen dimana mereka memainkan berbagai permainan dan peran dalam sketsa komedi. Dijamin ketika menonton ini, teman-teman akan jadi merasa lebih dekat dengan selebriti di dunia entertainment Korea Selatan😆.

Episode favorit gue adalah episode 18 yang cuplikannya gue cantumkan di atas, dimana guest-nya adalah Eum Ji Won dan Kang Sung Kyung. Bagi penonton setia Knowing Bros pasti setuju kalau episode ini termasuk legend and unbeatable, karena para murid lama dibuat kocar-kacir sama murid pindahan🤣. Kenapa kenapa? Makanyaa, yuk nonton langsung biar bisa saksiin keseruan mereka kayak gimana!😁

3. Master in the House


Sesuai dengan namanya, pada program asal SBS ini, para member menghabiskan dua hari satu malam bersama dengan tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai bidang atau profesi (nggak cuma dari dunia entertainment), yang dikenal sebagai Master (sabu), dan mengenal kehidupan para Master dengan harapan mendapatkan pengetahuan dan pembelajaran hidup dari mereka. Ada juga segmen satu hari di acara itu, yang mana para member akan menghabiskan waktu bersama Master. Original cast pada acara ini yakni Lee Seung Gi, Yang Se Hyung, aktor Lee Sang Yoon dan Yuk Sung Jae—yang mana merupakan formasi kesukaan gue sejak awal. Namun karena Sung Jae harus pergi wajib militer dan Lee Sang Yoon memutuskan untuk fokus di dunia akting, maka pada episode 111 mereka memutuskan untuk berhenti dari acara, dan kemudian segera digantikan oleh Shin Sung Rok dan Cha Eun Woo—yang mana juga memutuskan untuk keluar pada episode 177 baru-baru ini. Saat ini hanya tersisa tiga member, yakni Lee Seung Gi, Yang Se Hyung dan Kim Dong Hyun yang bergabung pada episode 118.

Episode favorit gue yang tak tergantikan kayaknya memang episode pertama, sih😂 Lucu aja melihat empat sekawan yang totally berbeda karakter dan baru dipertemukan dalam satu reality show ini mengikuti gaya hidup dari sang Master rock Jeon In Kwon yang sudah tua dan tinggal selama 63 tahun di atas bukit. Ada scene dimana mereka makan nasi kerak dengan ekspresi yang nggak banget, karena memang seingat gue nggak ada persediaan beras disana, wkwk pokoknya seru deh!😆

4. The Manager a.k.a Omniscient Interfering View


Berbeda dengan beberapa acara varietas di atas, program ini ditayangkan di saluran MBC. Omniscient Interfering View adalah acara hiburan observasional yang menggunakan teknik gaya dokumenter untuk mengamati kehidupan para selebriti dan manajer mereka. Para bintang tamu beserta manajer, dan member (interferer) bersama-sama menonton video di studio sambil mengamati dan mengomentari kehidupan para bintang tamu dan manajer mereka. Adapun member yang aktif sebagai interferer ini adalah Jun Hyun Moon, Lee Young Ja, Song Eun I, Yang Se Hyung, dan Yoo Byung Jae. 

Setiap minggunya kita bisa melihat bagaimana kehidupan para selebriti yang diundang sebagai bintang tamu dan manajer mereka ketika mengurus berbagai hal yang berkaitan dengan jadwal sang selebriti, aktivitas sehari-hari—bahkan ketika mereka sedang senggang, dan tentu dengan selebriti yang berbeda-beda di setiap episodenya. Seru kan ngebayangin gimana sibuknya keseharian para manajer dari artis-artis ternama Korea Selatan? Bahkan nggak perlu ngebayangin, kita bisa tahu gambarannya langsung bagaimana kehidupan showbiz mereka😁. 

Tapi di samping itu, kita malah bisa melihat sisi kocak dari para manajer selebriti ini. Ada yang begitu berdedikasi mengurus artisnya, ada juga yang tiba-tiba jadi rajin dan begitu teratur hanya karena muncul di program ini, padahal biasanya santuy dan slengean😆.

5. Running Man


Yepp, peringkat terakhir menurut gue jatuh kepada variety show Running Man! Meskipun sudah mengudara selama 11 tahun lebih, program ini masih menjadi salah satu acara yang dinantikan dan termasuk dalam acara "Good Sunday"-nya SBS di setiap hari Minggu. Kalau dulu MBC punya Infinite Challenge aka MuDo yang mengudara selama 15 tahun lamanya, maka SBS punya Running Man yang mungkin akan segera menyalip MuDo. By the way, acara Infinite Challenge juga jadi salah satu program televisi favorit gue, sayang sudah bungkus dan entah akan kembali kapan ke layar kaca🤧.

Buat yang belum tahu, Running Man diklasifikasikan sebagai "urban action variety"; genre variety show di lingkungan perkotaan. Para member dan guest harus menyelesaikan misi di sebuah landmark untuk memenangkan perlombaan. Namun dalam beberapa tahun terakhir, acara tersebut telah bergeser ke konsep reality-variety show yang lebih akrab dan berfokus pada permainan. Mungkin karena membernya juga sudah terlalu lelah dan sempat mengalami cidera, sehingga permainannya nggak sesulit dan seekstrim dulu😅. Acara ini dipewarai oleh Yoo Jae Suk, Ji Suk Jin, Kim Jong Kook, HaHa, Song Ji Hyo, Yang Se Chan, Jeon So Min, dan Lee Kwang Soo yang baru saja meninggalkan program ini pada episode minggu lalu karena alasan kesehatan🤧.

Well, siapa disini yang banjir air mata waktu Lee Kwang Soo pergi dari acara Running Man?😫 Walaupun gue sudah nggak menonton RM sesering dulu, rasanya tetap sedih dan terharu karena Lee Kwang Soo adalah salah satu bintangnya Running Man sejak mengudara tahun 2010 lalu, dan menurut gue menjadi salah satu koentji keberhasilan Running Man dalam menghibur pemirsanya🤧. Meskipun begitu, stay healthy Kwang-soo oppa! Seperti kata PD-nim, you can stop running and walk now🚶🏻‍♂️.

o-o

Nah, itu dia lima acara varietas Korea favorit gue! Apakah ada salah satunya yang jadi favorit teman-teman? Ataukah ada yang baru kepingin nonton variety shows KorSel? Semoga rekomendasi tulisan gue bermanfaat yaa😆 Hitung-hitung nambah formula di kala gabut dan suntuk, wk. Cheerio!
Share
Tweet
Pin
Share
30 komentar
The Phantom of The Opera: Sosok Di Balik Danau

Hi folks! Minggu kemarin adalah minggu yang super duper menyenangkan karena musikal favorit kecintaan gue, The Phantom of the Opera (kisah sosok misterius di balik danau) kembali ditayangkan sama salah satu channel YouTube (yeaaaaayy!!!!🎉). 

Channel yang menayangkan musikal tersebut adalah The Shows Must Go On, yang bekerjasama dengan The Actors Fund dalam pengumpulan dana untuk membantu men-support para pekerja seni yang terdampak Covid-19, khususnya di bidang seni pertunjukan, berhubung hampir seluruh pertunjukan teater dihentikan produksinya sejak bulan Maret.

Btw, ada yang pernah dengar tentang karya masterpiece satu ini?

Drama musikal The Phantom of the Opera yang diusung Andrew Lloyd Webber ini sebetulnya diangkat berdasarkan novel karya Gaston Leroux, seorang penulis asal Perancis sekaligus mantan jurnalis yang diterbitkan pada tahun 1910 dengan judul sama—dalam bahasa Perancis; Le Fantôme de l'Opéra. 

Berlatarkan Perancis pada abad ke-19, tepatnya di Garnier Opera House, Phantom of the Opera bercerita tentang seorang lelaki terpelajar yang sebetulnya sangat berbakat, hanya saja karena ia terlahir dengan wajah cacat, Sang Phantom yang—di dalam buku—bernama asli Erik ini dikucilkan oleh masyarakat, bahkan dia tidak diterima oleh ibu kandungnya sendiri sejak lahir. Oleh sebab itu, dia sama sekali tidak pernah merasakan kasih sayang dari siapapun.

Erik juga adalah seorang arsitek, komposer atau musisi, dan pesulap. Oleh karena dirinya yang tidak mendapat perlakuan baik, Erik melarikan diri ke sebuah Opera House dan membangun sendiri sarangnya di bawah tanah, dekat dengan danau kecil yang terletak di dasar bangunan opera itu. Disana, Phantom menciptakan opera, musik-musik klasik, dan melakukan beberapa penemuan (berdasarkan konstruksi bangunan yang telah dia pelajari pada gedung itu), salah satunya jalan rahasia di balik kaca yang menjadi penghubung antara dirinya dan Christine, dan sebuah labirin kaca (yang ini tidak ditampilkan pada drama musikal). 

Sementara Christine Daeé, adalah gadis ballet di Opera House tersebut, seorang yatim piatu dari violinist ternama pada masa itu yang dicintai Erik. Christine yang ternyata memang memiliki bakat menyanyi dilatih secara tidak langsung oleh Phantom di dalam kamarnya yang mana terdapat jalan rahasia tersebut, agar Christine suatu hari bisa menjadi soprano dalam opera yang ditampilkan disana. Jadi, Phantom pada awalnya melihat Christine sebagai anak didik musiknya—sebelum akhirnya dia jatuh cinta dengan Christine, karena itu Erik menyalurkan passion-nya akan musik untuk mengajari Christine semua yang dia ketahui. Christine pun tertarik padanya karena ia melihat Phantom sebagai Malaikat Musiknya (sosok yang ayahnya sering sebut untuk menggantikan posisinya jika suatu waktu sang ayah telah tiada dan benar atau tidak, hal ini terus dipercaya oleh Christine), and she eventually pities Erik's existence of loneliness and darkness.

Seperti halnya drama romantis lain, di cerita ini juga dimunculkan sosok orang ketiga, Raoul Vicomte de Chagny, teman masa kecil Christine yang juga menaruh hati terhadap Christine Daeé saat kembali dipertemukan di Opera House. Bersama dengan Christine, mereka dan tokoh-tokoh di dalam Opera House itu harus menerima berbagai teror dari Phantom yang akhirnya terobsesi dengan Christine dan menghalalkan segala cara semata-mata untuk mendukung agar Christine dapat menjadi soprano utama di Opèra Garnier, bahkan dia tidak akan segan-segan untuk membunuh orang lain yang menghalangi rencananya di Opera House tersebut (tapi doi emang cinta banget sama si Christine, cuma caranya salah😭). 

Untuk plot summary-nya, gue akan cantumkan di sudut paling bawah in case teman-teman ingin tahu cerita lebih detailnya😁, karena akan sangat panjang untuk diceritakan disini. Selain ketiga karakter ini, ada tokoh-tokoh yang juga nggak kalah penting, yakni Madame Giry, Meg Giry (sahabat Christine), Gilles Andrè, Richard Firmin, Carlotta Giudicelli, dan Ubaldo Piangi.

Secara garis besar, apa yang ditampilkan dalam drama musikal dengan apa yang ada di buku tentu cukup berbeda. Banyak bagian di dalam buku yang tidak ditampilkan di drama musikal, contohnya beberapa tokoh kunci, seperti seorang Persia, satu-satunya relasi Erik, yang di musikal perannya digantikan oleh Madame Giry. Petunjuk mengenai keterkaitan Phantom dengan Persia ini sebetulnya ditampilkan melalui kera berbaju bak seorang Persia yang memegang simbal di music box milik Phantom. Selain itu, dalam drama musikal cerita dipusatkan pada kisah romansa cinta segitiga antara Phantom, Christine, dan Raoul. Meski dibalut dengan berbagai teror yang cukup mencekam, rasanya tidak akan semencekam seperti cerita di dalam novel, karena novelnya sendiri lebih berunsur misteri dibandingkan percintaan. Konon, Sang Phantom memang sudah sering meneror orang-orang yang bekerja di Opèra Garnier sebelumnya.

Tapi, kok bisa sih, si Phantom ini tinggal di bawah tanah Opera House, gimana caranya?

Dalam bagian terakhir / epilog buku, terungkap potongan-potongan kehidupan Erik, bahwa ia adalah putra seorang pemilik bisnis konstruksi, yang cacat sejak lahir. Dia kemudian melarikan diri dari Normandia, tempat asalnya untuk bekerja di beberapa pameran dan bergabung dengan karavans (kelompok petualang), mempelajari seni sirkus di seluruh Eropa dan Asia, hingga akhirnya membangun berbagai trik atau semacam jalan rahasia dan tempat-tempat khusus di beberapa bangunan resmi di Persia dan Turki. Kemudian dia kembali ke Perancis dan memulai bisnis konstruksinya sendiri. Setelah diberi mandat untuk mengerjakan fondasi Opèra Garnier, Erik diam-diam membangun sarang sendiri untuk menghilang, lengkap dengan lorong tersembunyi dan trik lain yang memungkinkannya untuk memata-matai para manajer di Opera House tersebut.

Baca juga: Keliling Paris Bersama Film Les Misérables

Pertama kali gue nonton musikal ini sebetulnya tanggal 19 April lalu di channel yang sama. FYI, channel The Shows Must Go On ini dibuat pada tanggal 17 Maret 2020 di masa awal pandemi yang memang tujuannya untuk menemani masa karantina semua orang di belahan dunia. This channel bringing us showtunes, backstage access and full performances from some of the best loved musicals in history.

The Phantom of The Opera: Sosok Di Balik Danau

Minggu awal Oktober ini, The Phantom of the Opera 25th Anniversary Concert kembali ditayangkan dalam rangka merayakan ulang tahunnya yang ke-34 sejak hari pertama dirilis di Her Majesty's Theater, London, pada 9 Oktober 1986 silam, yang menjadikan ini sebagai salah satu the longest musical in history, both in Broadway and West End. Sayang karena pandemi ini production-nya ditutup sampai batas waktu yang nggak ditentukan😫.

Sejujurnya, bisa dibilang gue agak egois, sih😂. Kenapa? Karena sejauh ini satu-satunya versi The Phantom of the Opera yang gue sukai dan nikmati ya yang versi 25th Anniversary at the Royal Albert Hall ini😁. Since gue nggak pernah nonton versi original-nya (karena memang nggak ada versi DVD), dan karena dari pengamatan gue lewat potongan-potongan adegan di yucub yang dilakoni oleh aktor-aktor lain, banyak sekali yang nggak membuat gue tertarik karena emosinya kurang sampai dan kurang erghh gimana gitu. Mungkin ada, tapi terasa kurang nyatu satu sama lainnya. Misal aktor yang memerankan Phantom menurut gue keren, tapi Christine nya kurang nenduangg, atau begitu sebaliknya. 

So, versi konser ke-25 tahun ini yang betul-betul emosional dan melekat banget di hati gue (sampe nangis gue nonton ini, kurang keren apa lagi akting mereka😭). Thumbs up buat Ramin Karimloo as Phantom, and Sierra Boggess as Christine Daeé. Bahkan komposernya sendiri, Lloyd Webber mengakui kehebatan mereka dan nggak menyesal memilih keduanya untuk tampil di konser ulang tahun pada 2011 lalu. Chemistry mereka gak ada yang bisa ngalahin, sih, serius. Apalagi sebelumnya memang pernah berpasangan juga di sequel Phantom of the Opera (masih karya Andrew Lloyd Webber), yakni Love Never Dies.

Speaking of Love Never Dies, dibandingkan sequel-nya tersebut, Phantom of the Opera tentu berada jauh di peringkat atas dalam menarik hati penggemar. Walaupun score di dalamnya sama-sama menyayat hati dan indah, but still, nggak bisa mengalahkan scores di dalam prequel-nya seperti main score; The Phantom of the Opera, Music of the Night, All I Ask of You, Think of Me, Masquarade, Angel of Music, Wishing You Were Somehow Here Again (semuanya aja disebut😕), dan maaaasih banyak lagi yang menurut gue pribadi sangat memorable🤧. 

Salah satu adegan favorit gue sendiri adalah I Remember/Stranger Than You Dreamt It, score yang dinyanyikan saat Christine—yang telah diajak oleh Phantom ke tempat persembunyiannya—terbangun oleh music box kesayangan Phantom lalu dengan penasaran membuka topengnya tanpa izin. Menurut gue adegan ini jadi perkenalan yang terasa dalam dan menyentuh dari Erik lewat penggalan lirik berikut: 
Stranger than you dreamt it
Can you even dare to look
Or bear to think of me?
This loathsome gargoyle, who burns in hell
But secretly yearns for heaven
Secretly... secretly
But Christine

Fear can turn to love—you'll learn to see
To find the man behind the monster
This repulsive carcass, who seems a beast
But secretly dreams of beauty
Secretly... secretly
Oh, Christine

The Phantom of The Opera: Sosok Di Balik Danau

The Phantom of The Opera: Sosok Di Balik Danau
Sedih banget gak, sih😭 Segitu cuma di satu score, masih banyak score lain yang
bikin mewek🤧
 
Kalau dilihat-lihat mungkin keseluruhan cerita dari drama ini terkesan klisé. Mirip-mirip dengan Beauty and the Beast tentang Beast yang sangar tapi mendambakan sosok Belle, atau bahkan mirip dengan cerita Joker, a good man who turns into evil karena berbagai perlakuan buruk yang didapatnya dan dendam akan trauma masa lalu. However, karena ini drama musikal, gue bisa jamin feel-nya akan terasa beda dari kedua film tersebut. Sebab, memang disitulah poin plus dari drama musikal ini. Selain akting, apa lagi kan kalau bukan scores yang syahdu dan bernilai musikal tingkat tinggi? Drama musikal inipun nggak seserius seperti kelihatannya kok, karena di dalamnya juga disisipi beberapa jokes yang—walaupun entah lucu apa nggak—bisa sedikit mencairkan suasana yang dark, biar gak ngebosenin.

Adegan favorit gue yang lain adalah Masquarade/Why So Silent, karena gue suka banget sama suasana dan kostum yang meriah, plus gue suka banget dengan adegan di Final Lair, saat Phantom menyadari bahwa ia harus melepaskan Christine karena mengingat dosa-dosanya selama ini, meski dia sudah tahu bahwa Christine juga mencintainya—dengan rasa iba akan kesepian dan kelamnya hidup Phantom.

The Phantom of The Opera: Sosok Di Balik Danau

Salah satu alasan lain yang membuat gue suka versi musikal ini karena pemeran Christine bener-bener put so much effort untuk menunjukan bahwa dia sangat peduli dengan Erik dan merasa bersalah ketika harus meninggalkan dia (dan dari sepengamatan gue di dalam buku sih memang seharusnya begitu)🤧. Rata-rata dari potongan adegan yang gue lihat di internet, Christine lain lebih memilih langsung pergi ninggalin Phantom gitu aja soalnya, hiks.

Okay, karena menurut gue postingan ini udah kepanjangan, sebelum mengakhiri ulasan kali ini, gue pingin berbagi beberapa video gue saat nge-cover scores dari musikal Phantom of the Opera ini, dan salah satunya score Music of the Night dari channel terkait, hitung-hitung ikut merayakan ulangtahun Phantom yang ke-34, yuhuuu!




Anyway, adakah di antara teman-teman yang juga suka drama musikal? Entah itu Disney Princesses atau drama musikal lainnya, let me know ya!



Referensi:

The Phantom of The Opera (Book)

Phantom of The Opera: Misteri Cerita Cinta Yang Tak Pernah Mati

Share
Tweet
Pin
Share
21 komentar
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Terlalu Besar Untuk Gagal
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Just Listen
  • Bukan Salah Indonesia

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • The Phantom of the Opera: Di Balik Danau
  • Cuma Cerita
  • Priority Chat
  • Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Cuma Cerita #2
  • Kiamat Sudah Dekat
  • Spoonerism, Alasan di Balik Keselip Lidah
  • Bad For Good
  • 36 Questions Movie Tag

Blog Archive

  • ▼  2023 (1)
    • ▼  Februari 2023 (1)
      • Kejar Passion itu Omong Kosong
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (31)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

digital marketing Intermeso karir Krisis 1/4 Abad lifestyle Opini Perempuan Podcast Poetry Review slice of life Thoughts

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.