Sudah satu tahun kebelakang ini gue memutuskan untuk beralih karir dari jurusan Bahasa Jepang ke Digital Marketing, sesuatu yang menarik perhatian gue dalam dua tahun terakhir. Sejujurnya gue udah sering banget curhat tentang struggle dalam menempuh perkuliahan disana. Bagi yang ngikutin blog dari lama, mungkin udah bosan kali ya dengerin celotehan gue soal kehidupan kuliah. Dalam waktu yang terbilang singkat ini, ada berbagai lika liku yang mesti gue lalui dalam menjadi seorang career shifter.
Alasan gue menulis ini sebetulnya karena ada satu pertanyaan yang muncul di aplikasi NGL gue. Kira-kira begini pertanyaannya.
Berhubung gue belum sempat menjawab pertanyaan ini secara langsung di Instagram, jadi gue memutuskan untuk menyimpannya di blog andai kata ada teman-teman yang ingin baca lagi, atau mungkin ingin share ke temannya yang lain.
Jadi, selama ini apa sih struggle yang mesti gue hadapi ketika mencari kerja yang nggak selinear dengan jurusan kuliah?
1. Nggak Punya Sosok Mentor
Proses mencari kerja memang nggak ada yang mudah. Selain karena kenyataannya seperti itu, fakta lain adalah bahwa gue nggak hanya bersaing dengan teman-teman satu angkatan, tapi juga lulusan bahasa Jepang dari univ lain, eks karyawan atau alumni top university di Jepang, kakak tingkat, adek-adek tingkat gue yang lulus di tahun yang sama, bahkan orang-orang dari jurusan lain yang udah punya sertifikat JLPT.
Gue bingung, putus asa, kecewa, bertanya-tanya. Gue pingin dapat pekerjaan yang sesuai dengan jurusan, tapi gue menyadari kemampuan gue saat itu belum siap untuk dibawa ke dunia kerja. Ada sekat yang tipis antara insecure, dan memang belum mampu. Sementara, gue nggak ingin menganggur lama-lama. Ditambah segala perasaan traumatis ketika bersinggungan dengan Jepang yang masih menghantui.
Maka jalan satu-satunya yang terlintas di kepala gue adalah berpindah haluan. Tapi karena gue hanya sendiri, dan senior serta kerabat yang gue kenal rata-rata adalah mereka yang kerjaannya linear, gue jadi nggak punya gambaran soal career shifting dan gak ada yang bisa gue tanyai secara spesifik tentang itu. So, I was like alone wolf. Mau nggak mau, gue harus mencari berbagai macam referensi dan informasi soal karir, kursus online endeblabla seorang diri.
2. Harus Bisa Catch Up Skill
Tantangan lain yang mesti gue hadapi sebagai career shifter adalah harus bisa terus catch up dengan kemampuan yang didalami, ritme kerja yang cepat, hingga istilah-istilah yang kurang familiar yang berada di luar scope kita selama ini.
Well, gue yakin yang satu ini sebetulnya nggak hanya tertuju untuk orang-orang yang switch career. Siapapun pasti punya tekanannya tersendiri untuk bisa catch up dengan pekerjaan. Karena kalau sudah masuk ke ranah kerja, kita pasti dituntut untuk belajar juga hal-hal baru.
Hanya saja dalam kasus gue, karena gue belajar digital marketing dari nol, gue merasa bahwa gue harus berusaha dua kali lipat lebih keras dari mereka yang udah punya basic dan pengalaman mendalam soal digital marketing. Karena kalau gue lengah sedikit aja, gue akan tertinggal jauh sekali di belakang. Dan itu juga lah yang gue rasakan saat ini.
3. Nggak Punya Sesuatu yang Menjual di CV
Realita pahit ketika melamar kerja di bidang non-linear adalah nggak punya sesuatu yang bisa dijual selain pengalaman organisasi atau volunteer di CV. Ada kalanya di beberapa waktu, gue jadi ngasal melamar ke bidang ini itu tanpa memikirkan strategi. Nyoba ngelamar jadi Script Editor, Production Assistant (hanya karena gue senang dunia broadcasting), Audio Editor, Personal Assistant, Public Relation, sampai Staff Admin.
Karena gue nggak punya background yang jelas yang representatif dengan bidang tertentu, gue jadi merasa bebas melamar ke posisi apapun sesuka hati. Padahal nggak semudah itu. Gue lupa bahwa saingan gue di loker yang sama adalah mereka yang kemungkinan besar datang dari background yang sesuai. Dengan adanya fakta ini, otomatis gue udah tersingkir duluan sebelum rekruter melihat lebih dalam CV gue.
Lalu, gimana caranya biar kita bisa melamar di bidang tertentu meski nggak punya background yang sesuai dengan profesi impian?
Nah, gue akan kasih jawaban dan sedikit tipsnya berdasarkan pengalaman gue di bawah ini.
1. Know Your Interest
First and foremost, yang menurut gue perlu kita pikirkan sebelum memutuskan untuk bekerja di bidang yang nggak linear dengan jurusan atau pengalaman sebelumnya adalah know what we want to do.
Dulu, saat gue masih menganggur dan kebingungan soal karir, hidup gue nggak semata-mata kosong begitu aja. Gue punya blog yang bisa dijadiin sampingan untuk menyalurkan hobi. Alhamdulillah-nya, dari situlah ide tentang digital marketing muncul. Pun kalau gue nggak kepikiran soal digital marketing, gue yakin apa yang mau ditempuh nggak akan jauh-jauh dari industri kreatif—karena itulah bidang yang gue suka dan ingin gue lakukan.
Maka dari itu, penting untuk kita menyelami diri sendiri sebelum memulai. Coba perbanyak refleksi dan tanya diri sendiri, apa sih yang disuka? Apa yang ingin dilakukan dalam beberapa tahun kedepan? Apa ada suatu bidang yang ingin dipelajari?
Kalau kita udah tau apa yang mau kita lakukan dan pelajari, insya Allah kedepannya akan lebih ringan untuk dijalani. Because we're certainly going somewhere, even though we don't know exactly how it's going and end. At least, kita punya pegangan. Nggak mengambang gitu aja tanpa tujuan.
Tapi jangan lupa, hobi kita nggak selamanya bisa menyenangkan ketika beralih menjadi sebuah pekerjaan. Jadi, saran gue, kamu juga harus siap jika suatu waktu akan mengalami yang namanya jenuh dan drained ketika menjadikan hobi sebuah pekerjaan. Make sure you find your interest and passion to improve your skill in that field.
2. Gabung di Komunitas atau Bootcamp yang Bisa Menunjang Skill
Ketika sudah menemukan bidang apa yang ingin dipelajari, maka langkah selanjutnya adalah menemukan tempat yang tepat supaya keinginan kamu ini bisa tersalurkan, dan minat serta bakatmu bisa terasah.
In my case, di masa gue bebenah LinkedIn, tanpa sengaja gue terhubung dengan beberapa alumni Revo-U yang baru aja lulus dari bootcamp ini dan postingannya sering banget muncul di timeline. Gue yang penasaran dan memang tertarik dengan DM pun akhirnya mencoba daftar program gratisnya Revo-U Mini Course selama satu minggu (sekarang dua minggu).
Perjalanan gue mengikuti bootcamp berlangsung kira-kira selama dua bulan sebelum gue mendapatkan pekerjaan. Dari Revo-U Mini Course, Rakamin Academy, sampai SangSang University. Bahkan gue sempat mencoba gabung di bootcamp Digital Marketing MySkill selama satu bulan untuk membantu meng-upgrade skill gue di tempat kerja.
Alasan lain kenapa gue menyarankan untuk ikut bootcamp online atau program sejenis adalah, agar kita punya portfolio dan background yang sejalan dengan bidang tersebut pada saat melamar kerja. Ini dia kaitannya dengan pengalaman gue yang ngasal lamar kerja di posisi yang berbeda-beda.
Nggak mungkin kan, gue melamar untuk posisi UI/UX Designer kalau gue hanya mengandalkan ijazah Bahasa Jepang tanpa pernah praktik atau belajar sama sekali tentang UI/UX. Itu sih cari mati namanya. Karena itu, menurut gue mencari kerja nggak bisa asal-asalan, mesti well-prepared😉.
Mostly, para recruiter nggak akan melihat setinggi apa nilai akademis kamu di perkuliahan, hingga seberapa beken organisasi yang diikuti. Untuk pekerjaan yang cenderung teknikal, portfolio dan keingintahuan kita yang besar untuk belajar justru lebih menarik dan dibutuhkan di dunia kerja. But, pastikan kita betul-betul belajar di setiap bootcamp tersebut dan mampu merepresentasikan diri kita dengan baik pada saat proses interview. Agar recruiter nggak menilai kita sebagai pemburu sertifikat aja (karena banyak lho yang kayak gini).
3. Bangun Career Network dan Temukan Mentor
Masih berkaitan dengan poin pertama tentang struggle gue soal betapa pentingnya punya mentor. Dengan menambah relasi dan network di bidang yang ingin kita tuju, maka besar kemungkinan juga wawasan kita terhadap bidang tersebut akan semakin bertambah. Setidaknya, meski kita nggak pernah bekerja secara langsung disana, tapi kita memiliki gambaran dari orang-orang yang berpengalaman.
Memiliki mentor juga bisa membantu kita memahami kelebihan dan kekurangan kita, dimana kita bisa fit in, bagaimana sikap yang baik pada saat melalui proses rekrutmen, hingga besaran gaji yang sesuai dengan posisi kita.
Terkadang ada banyak fresh graduates yang merasa belum berhak untuk memahami soal penghasilan, hak-hak karyawan, rata-rata gaji di bidang profesinya, dll. Padahal menurut gue hal kayak gini tuh mendasar banget dan penting untuk diketahui, paling tidak untuk menghindari perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan orang lain dengan seenaknya. Dari sini, kita perlahan juga bisa mengukur value diri kita.
Karena itu, kalau sudah punya mentor, jangan malu untuk bertanya. Take as many notes as possible, mintai tips dan trik dari mereka yang bisa membantu kita dalam mendalami pekerjaan yang kita minati, dan untuk mencapai career goals.
Gue akan kasih sedikit informasi di bawah ini, tentang platform apa aja yang menjadi acuan gue selama proses mencari kerja.
Akun ini sering banget ngasih insight dan motivasi soal karir, keuangan, perkuliahan, pengembangan skill, bahkan tentang realita hidup and the bitter truth about living as an adult. Sesi sharing dan pendekatan yang mereka lakuin ke audiens bikin gue merasa punya mentor, meskipun nggak pernah ngobrol secara langsung. Sampai sekarang gue masih engaged dengan akun ini karena saking relatable-nya.
Karirfess
Kalau ini bukan mentor sih, lebih tepatnya referensi buat gue bisa tahu sedikit gambaran tentang pengalaman orang lain soal dunia kerja, entah itu sesama fresh graduate, orang yang baru dapat pekerjaan, atau mereka yang curhat soal kerjaan. Selalu ada sender yang minta pendapat tentang berbagai hal, dan seru aja baca tanggapan-tanggapan orang lain di kolom reply. Gue bisa dapat banyak insight soal tips wawancara, tips mengatur pengeluaran dan menabung, sampe cara menghadapi bos yang nggak kenal waktu.
4. Optimasi Akun LinkedIn
Masih satu cakupan dengan poin ketiga, but in more specific way. Ini salah satu platform yang nggak boleh dilupain sama siapapun, mau yang udah dapet kerja atau belum sekalipun. Jujur, gue dapet pekerjaan yang sekarang dan sebelumnya itu malah dari LinkedIn. So, gue yakin dengan mengoptimasikan akun LinkedIn, kita bisa mendapatkan impact yang positif untuk keberlangsungan karir kedepannya, dan tentu untuk personal branding juga.
Aktif disini maksudnya ialah bisa dimulai dengan membenah profile, mengisi semua section yang sesuai dan dapat menggambarkan diri kita, serta bisa juga terhubung dengan orang lain yang sefrekuensi. Tentunya disarankan untuk terhubung yang betul-betul menjalin komunikasi, kalau bisa sih sharing juga di DM. Nggak sekadar nambah-nambah koneksi biar kelihatan banyak.
5. Jangan Cepat Puas, Keep Up the Good Work
Selalu ada langit di atas langit. Sounds cliché, but that's the truth. Selalu ada yang lebih dari kita. Selalu ada celah yang bisa kita pelajari. Apabila diibaratkan dengan gelas, untuk memenuhi gelas yang kosong atau baru terisi setengahnya, kita nggak bisa diem aja nunggu gelasnya terisi tiba-tiba, kan? Kita bukan lagi di restoran mevvah yang bisa dengan mudah menunggu pelayan nuangin air di meja kita. We're currently fighting our own battle, that's why we learn. Mau nggak mau, suka nggak suka, meski kadang lelah, harus kita yang mengisi gelasnya sendiri.
Lalu, ketika gelasnya udah penuh, jangan cepat puas dulu. Sekali airnya kita minum (ilmu yang udah diserap kita pakai), pasti akan berkurang dan butuh untuk diisi lagi supaya kita nggak kehausan (wondering what's next?). Disinilah menurut gue kita perlu aware untuk terus belajar. Karena pasti masih ada hal-hal yang menuntut untuk dipelajari, bahkan di saat kita udah ahli sekalipun.
6. Aktif Berbahasa Inggris atau Bahasa Asing Lainnya
Di era yang sangat kompetitif ini, mempraktikan kemampuan berbahasa Inggris seolah menjadi satu modal yang penting dalam melamar kerja. Gue memang kurang jago dalam bahasa Jepang, tapi gue nggak mau berkelut dengan satu bahasa itu aja. Apabila gue masih bisa berkembang di bidang yang lain, maka gue harus bisa memaksimalkan kemampuan gue disana.
Meskipun nggak semua pekerjaan membutuhkan keahlian bahasa Inggris, tapi kita nggak tau, rekrutmen mana aja yang nantinya meloloskan kita. Apakah yang mensyaratkan keterampilan bahasa Inggris, atau bukan? Dengan mempersiapkan diri seperti ini, kita juga dapat lebih siap dan nggak kaget jika tiba-tiba diwawancara oleh perusahaan yang mengutamakan keterampilan berbahasa asing.
Intinya, kita nggak tau dari pintu mana aja CV kita bisa lolos. Selagi ada peluang, manfaatkan peluang yang ada tersebut dengan mengasah skill kita.
7. Be Patient
Last but not least adalah sabar. Karena kita kasarnya adalah orang awam yang sedang belajar hal baru, maka perasaan bingung dan merasa tertinggal itu akan sangat wajar dirasakan. Nggak bisa satu tahun dua tahun kerja langsung expert, pasti ada proses panjang yang harus dilalui. Sejujurnya ini pengingat juga sih buat gue yang baru bekerja di industri ini. Jadi, let's enjoy the process. Karena dari proses itulah kita bisa terus bertumbuh menjadi versi diri kita yang lebih baik.
Sebelum gue tutup postingan ini, gue juga ingin mengingatkan. Bahwa sebelum memutuskan bidang mana yang ingin digeluti, kita juga perlu untuk mempertimbangkan seberapa ingin kita keluar dari jalur tersebut dan mempelajari hal baru? Supaya keputusan kita nantinya nggak diintervensi oleh adanya kemungkinan menjadikan pekerjaan yang baru sebagai "pelarian". Karena percayalah, nggak ada satu passion yang mutlak harus kita punya. Apapun bisa berubah-ubah, sebagaimana hati manusia yang mudah terbolak-balik.
Selain itu, buat gue sendiri, gue memikirkan ini masak-masak karena ingin mencoba membiasakan ke diri sendiri untuk selalu tau apa alasan gue melakukan sesuatu. It sucks when you do something without really knowing the reason of it. Always start with WHY is one of the key.
Walau di beberapa kesempatan, ada kalanya hidup manusia mengalir aja seperti air, tapi di situasi tertentu nggak ada salahnya untuk memikirkan kenapa kita ingin melakukan hal-hal tersebut. Once we have the reason, kita juga akan makin mantap dalam mempelajari hal baru tersebut. Begitu pun dalam menentukan bidang yang ingin dipelajari.
Semangat yaa buat teman-teman yang sedang mengalami hal serupa dengan gue! Semoga kita diberikan kekuatan dan berhasil dalam mencapai apa yang dicita-citakan selama ini. Semua yang gue tulis adalah murni dari pengalaman gue yang masih seumur jagung ini.
Semoga postingan ini bisa menjawab keresahan teman-teman dan bermanfaat dalam proses mencari jati dirinya, terkhusus untuk anonim yang udah bertanya di NGL gue (semoga baca ya😄). Apabila ada di antara teman-teman yang mau menambahkan, feel free to give comments ya!😉
Kira-kira, apa disini ada yang career shifting juga kayak gue? Sharing, yuk!