Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram twitter LinkedIn YouTube Spotify Email

Notes of Little Sister



 
Tips Memulai Karir sebagai Career Shifter di Digital Marketing



Sudah satu tahun kebelakang ini gue memutuskan untuk beralih karir dari jurusan Bahasa Jepang ke Digital Marketing, sesuatu yang menarik perhatian gue dalam dua tahun terakhir. Sejujurnya gue udah sering banget curhat tentang struggle dalam menempuh perkuliahan disana. Bagi yang ngikutin blog dari lama, mungkin udah bosan kali ya dengerin celotehan gue soal kehidupan kuliah. Dalam waktu yang terbilang singkat ini, ada berbagai lika liku yang mesti gue lalui dalam menjadi seorang career shifter.

Alasan gue menulis ini sebetulnya karena ada satu pertanyaan yang muncul di aplikasi NGL gue. Kira-kira begini pertanyaannya.

Tips Memulai Karir sebagai Career Shifter di Digital Marketing

Berhubung gue belum sempat menjawab pertanyaan ini secara langsung di Instagram, jadi gue memutuskan untuk menyimpannya di blog andai kata ada teman-teman yang ingin baca lagi, atau mungkin ingin share ke temannya yang lain. 

Jadi, selama ini apa sih struggle yang mesti gue hadapi ketika mencari kerja yang nggak selinear dengan jurusan kuliah?


1. Nggak Punya Sosok Mentor


Proses mencari kerja memang nggak ada yang mudah. Selain karena kenyataannya seperti itu, fakta lain adalah bahwa gue nggak hanya bersaing dengan teman-teman satu angkatan, tapi juga lulusan bahasa Jepang dari univ lain, eks karyawan atau alumni top university di Jepang, kakak tingkat, adek-adek tingkat gue yang lulus di tahun yang sama, bahkan orang-orang dari jurusan lain yang udah punya sertifikat JLPT.

Gue bingung, putus asa, kecewa, bertanya-tanya. Gue pingin dapat pekerjaan yang sesuai dengan jurusan, tapi gue menyadari kemampuan gue saat itu belum siap untuk dibawa ke dunia kerja. Ada sekat yang tipis antara insecure, dan memang belum mampu. Sementara, gue nggak ingin menganggur lama-lama. Ditambah segala perasaan traumatis ketika bersinggungan dengan Jepang yang masih menghantui.

Maka jalan satu-satunya yang terlintas di kepala gue adalah berpindah haluan. Tapi karena gue hanya sendiri, dan senior serta kerabat yang gue kenal rata-rata adalah mereka yang kerjaannya linear, gue jadi nggak punya gambaran soal career shifting dan gak ada yang bisa gue tanyai secara spesifik tentang itu. So, I was like alone wolf.  Mau nggak mau, gue harus mencari berbagai macam referensi dan informasi soal karir, kursus online endeblabla seorang diri.


2. Harus Bisa Catch Up Skill


Tantangan lain yang mesti gue hadapi sebagai career shifter adalah harus bisa terus catch up dengan kemampuan yang didalami, ritme kerja yang cepat, hingga istilah-istilah yang kurang familiar yang berada di luar scope kita selama ini.

Well, gue yakin yang satu ini sebetulnya nggak hanya tertuju untuk orang-orang yang switch career. Siapapun pasti punya tekanannya tersendiri untuk bisa catch up dengan pekerjaan. Karena kalau sudah masuk ke ranah kerja, kita pasti dituntut untuk belajar juga hal-hal baru.

Hanya saja dalam kasus gue, karena gue belajar digital marketing dari nol, gue merasa bahwa gue harus berusaha dua kali lipat lebih keras dari mereka yang udah punya basic dan pengalaman mendalam soal digital marketing. Karena kalau gue lengah sedikit aja, gue akan tertinggal jauh sekali di belakang. Dan itu juga lah yang gue rasakan saat ini.


3. Nggak Punya Sesuatu yang Menjual di CV


Realita pahit ketika melamar kerja di bidang non-linear adalah nggak punya sesuatu yang bisa dijual selain pengalaman organisasi atau volunteer di CV. Ada kalanya di beberapa waktu, gue jadi ngasal melamar ke bidang ini itu tanpa memikirkan strategi. Nyoba ngelamar jadi Script Editor, Production Assistant (hanya karena gue senang dunia broadcasting), Audio Editor, Personal Assistant, Public Relation, sampai Staff Admin.

Karena gue nggak punya background yang jelas yang representatif dengan bidang tertentu, gue jadi merasa bebas melamar ke posisi apapun sesuka hati. Padahal nggak semudah itu. Gue lupa bahwa saingan gue di loker yang sama adalah mereka yang kemungkinan besar datang dari background yang sesuai. Dengan adanya fakta ini, otomatis gue udah tersingkir duluan sebelum rekruter melihat lebih dalam CV gue.

Lalu, gimana caranya biar kita bisa melamar di bidang tertentu meski nggak punya background yang sesuai dengan profesi impian? 

Nah, gue akan kasih jawaban dan sedikit tipsnya berdasarkan pengalaman gue di bawah ini.


1. Know Your Interest


First and foremost, yang menurut gue perlu kita pikirkan sebelum memutuskan untuk bekerja di bidang yang nggak linear dengan jurusan atau pengalaman sebelumnya adalah know what we want to do. 

Dulu, saat gue masih menganggur dan kebingungan soal karir, hidup gue nggak semata-mata kosong begitu aja. Gue punya blog yang bisa dijadiin sampingan untuk menyalurkan hobi. Alhamdulillah-nya, dari situlah ide tentang digital marketing muncul. Pun kalau gue nggak kepikiran soal digital marketing, gue yakin apa yang mau ditempuh nggak akan jauh-jauh dari industri kreatif—karena itulah bidang yang gue suka dan ingin gue lakukan. 

Maka dari itu, penting untuk kita menyelami diri sendiri sebelum memulai. Coba perbanyak refleksi dan tanya diri sendiri, apa sih yang disuka? Apa yang ingin dilakukan dalam beberapa tahun kedepan? Apa ada suatu bidang yang ingin dipelajari?

Kalau kita udah tau apa yang mau kita lakukan dan pelajari, insya Allah kedepannya akan lebih ringan untuk dijalani. Because we're certainly going somewhere, even though we don't know exactly how it's going and end. At least, kita punya pegangan. Nggak mengambang gitu aja tanpa tujuan.

Tapi jangan lupa, hobi kita nggak selamanya bisa menyenangkan ketika beralih menjadi sebuah pekerjaan. Jadi, saran gue, kamu juga harus siap jika suatu waktu akan mengalami yang namanya jenuh dan drained ketika menjadikan hobi sebuah pekerjaan. Make sure you find your interest and passion to improve your skill in that field.


2. Gabung di Komunitas atau Bootcamp yang Bisa Menunjang Skill


Ketika sudah menemukan bidang apa yang ingin dipelajari, maka langkah selanjutnya adalah menemukan tempat yang tepat supaya keinginan kamu ini bisa tersalurkan, dan minat serta bakatmu bisa terasah.

In my case, di masa gue bebenah LinkedIn, tanpa sengaja gue terhubung dengan beberapa alumni Revo-U yang baru aja lulus dari bootcamp ini dan postingannya sering banget muncul di timeline. Gue yang penasaran dan memang tertarik dengan DM pun akhirnya mencoba daftar program gratisnya Revo-U Mini Course selama satu minggu (sekarang dua minggu).

Perjalanan gue mengikuti bootcamp berlangsung kira-kira selama dua bulan sebelum gue mendapatkan pekerjaan. Dari Revo-U Mini Course, Rakamin Academy, sampai SangSang University. Bahkan gue sempat mencoba gabung di bootcamp Digital Marketing MySkill selama satu bulan untuk membantu meng-upgrade skill gue di tempat kerja. 

Alasan lain kenapa gue menyarankan untuk ikut bootcamp online atau program sejenis adalah, agar kita punya portfolio dan background yang sejalan dengan bidang tersebut pada saat melamar kerja. Ini dia kaitannya dengan pengalaman gue yang ngasal lamar kerja di posisi yang berbeda-beda. 

Nggak mungkin kan, gue melamar untuk posisi UI/UX Designer kalau gue hanya mengandalkan ijazah Bahasa Jepang tanpa pernah praktik atau belajar sama sekali tentang UI/UX. Itu sih cari mati namanya. Karena itu, menurut gue mencari kerja nggak bisa asal-asalan, mesti well-prepared😉.

Mostly, para recruiter nggak akan melihat setinggi apa nilai akademis kamu di perkuliahan, hingga seberapa beken organisasi yang diikuti. Untuk pekerjaan yang cenderung teknikal, portfolio dan keingintahuan kita yang besar untuk belajar justru lebih menarik dan dibutuhkan di dunia kerja. But, pastikan kita betul-betul belajar di setiap bootcamp tersebut dan mampu merepresentasikan diri kita dengan baik pada saat proses interview. Agar recruiter nggak menilai kita sebagai pemburu sertifikat aja (karena banyak lho yang kayak gini).


3. Bangun Career Network dan Temukan Mentor


Masih berkaitan dengan poin pertama tentang struggle gue soal betapa pentingnya punya mentor. Dengan menambah relasi dan network di bidang yang ingin kita tuju, maka besar kemungkinan juga wawasan kita terhadap bidang tersebut akan semakin bertambah. Setidaknya, meski kita nggak pernah bekerja secara langsung disana, tapi kita memiliki gambaran dari orang-orang yang berpengalaman. 

Memiliki mentor juga bisa membantu kita memahami kelebihan dan kekurangan kita, dimana kita bisa fit in, bagaimana sikap yang baik pada saat melalui proses rekrutmen, hingga besaran gaji yang sesuai dengan posisi kita.

Terkadang ada banyak fresh graduates yang merasa belum berhak untuk memahami soal penghasilan, hak-hak karyawan, rata-rata gaji di bidang profesinya, dll. Padahal menurut gue hal kayak gini tuh mendasar banget dan penting untuk diketahui, paling tidak untuk menghindari perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan orang lain dengan seenaknya. Dari sini, kita perlahan juga bisa mengukur value diri kita.

Karena itu, kalau sudah punya mentor, jangan malu untuk bertanya. Take as many notes as possible, mintai tips dan trik dari mereka yang bisa membantu kita dalam mendalami pekerjaan yang kita minati, dan untuk mencapai career goals.

Gue akan kasih sedikit informasi di bawah ini, tentang platform apa aja yang menjadi acuan gue selama proses mencari kerja.

Mestara

Akun ini sering banget ngasih insight dan motivasi soal karir, keuangan, perkuliahan, pengembangan skill, bahkan tentang realita hidup and the bitter truth about living as an adult. Sesi sharing dan pendekatan yang mereka lakuin ke audiens bikin gue merasa punya mentor, meskipun nggak pernah ngobrol secara langsung. Sampai sekarang gue masih engaged dengan akun ini karena saking relatable-nya. 

Karirfess

Kalau ini bukan mentor sih, lebih tepatnya referensi buat gue bisa tahu sedikit gambaran tentang pengalaman orang lain soal dunia kerja, entah itu sesama fresh graduate, orang yang baru dapat pekerjaan, atau mereka yang curhat soal kerjaan. Selalu ada sender yang minta pendapat tentang berbagai hal, dan seru aja baca tanggapan-tanggapan orang lain di kolom reply. Gue bisa dapat banyak insight soal tips wawancara, tips mengatur pengeluaran dan menabung, sampe cara menghadapi bos yang nggak kenal waktu.


4. Optimasi Akun LinkedIn


Masih satu cakupan dengan poin ketiga, but in more specific way. Ini salah satu platform yang nggak boleh dilupain sama siapapun, mau yang udah dapet kerja atau belum sekalipun. Jujur, gue dapet pekerjaan yang sekarang dan sebelumnya itu malah dari LinkedIn. So, gue yakin dengan mengoptimasikan akun LinkedIn, kita bisa mendapatkan impact yang positif untuk keberlangsungan karir kedepannya, dan tentu untuk personal branding juga.

Aktif disini maksudnya ialah bisa dimulai dengan membenah profile, mengisi semua section yang sesuai dan dapat menggambarkan diri kita, serta bisa juga terhubung dengan orang lain yang sefrekuensi. Tentunya disarankan untuk terhubung yang betul-betul menjalin komunikasi, kalau bisa sih sharing juga di DM. Nggak sekadar nambah-nambah koneksi biar kelihatan banyak.


5. Jangan Cepat Puas, Keep Up the Good Work


Selalu ada langit di atas langit. Sounds cliché, but that's the truth. Selalu ada yang lebih dari kita. Selalu ada celah yang bisa kita pelajari. Apabila diibaratkan dengan gelas, untuk memenuhi gelas yang kosong atau baru terisi setengahnya, kita nggak bisa diem aja nunggu gelasnya terisi tiba-tiba, kan? Kita bukan lagi di restoran mevvah yang bisa dengan mudah menunggu pelayan nuangin air di meja kita. We're currently fighting our own battle, that's why we learn. Mau nggak mau, suka nggak suka, meski kadang lelah, harus kita yang mengisi gelasnya sendiri. 

Lalu, ketika gelasnya udah penuh, jangan cepat puas dulu. Sekali airnya kita minum (ilmu yang udah diserap kita pakai), pasti akan berkurang dan butuh untuk diisi lagi supaya kita nggak kehausan (wondering what's next?). Disinilah menurut gue kita perlu aware untuk terus belajar. Karena pasti masih ada hal-hal yang menuntut untuk dipelajari, bahkan di saat kita udah ahli sekalipun.


6. Aktif Berbahasa Inggris atau Bahasa Asing Lainnya


Di era yang sangat kompetitif ini, mempraktikan kemampuan berbahasa Inggris seolah menjadi satu modal yang penting dalam melamar kerja. Gue memang kurang jago dalam bahasa Jepang, tapi gue nggak mau berkelut dengan satu bahasa itu aja. Apabila gue masih bisa berkembang di bidang yang lain, maka gue harus bisa memaksimalkan kemampuan gue disana.

Meskipun nggak semua pekerjaan membutuhkan keahlian bahasa Inggris, tapi kita nggak tau, rekrutmen mana aja yang nantinya meloloskan kita. Apakah yang mensyaratkan keterampilan bahasa Inggris, atau bukan? Dengan mempersiapkan diri seperti ini, kita juga dapat lebih siap dan nggak kaget jika tiba-tiba diwawancara oleh perusahaan yang mengutamakan keterampilan berbahasa asing.

Intinya, kita nggak tau dari pintu mana aja CV kita bisa lolos. Selagi ada peluang, manfaatkan peluang yang ada tersebut dengan mengasah skill kita. 


7. Be Patient


Last but not least adalah sabar. Karena kita kasarnya adalah orang awam yang sedang belajar hal baru, maka perasaan bingung dan merasa tertinggal itu akan sangat wajar dirasakan. Nggak bisa satu tahun dua tahun kerja langsung expert, pasti ada proses panjang yang harus dilalui. Sejujurnya ini pengingat juga sih buat gue yang baru bekerja di industri ini. Jadi, let's enjoy the process. Karena dari proses itulah kita bisa terus bertumbuh menjadi versi diri kita yang lebih baik.


Sebelum gue tutup postingan ini, gue juga ingin mengingatkan. Bahwa sebelum memutuskan bidang mana yang ingin digeluti, kita juga perlu untuk mempertimbangkan seberapa ingin kita keluar dari jalur tersebut dan mempelajari hal baru? Supaya keputusan kita nantinya nggak diintervensi oleh adanya kemungkinan menjadikan pekerjaan yang baru sebagai "pelarian". Karena percayalah, nggak ada satu passion yang mutlak harus kita punya. Apapun bisa berubah-ubah, sebagaimana hati manusia yang mudah terbolak-balik. 

Selain itu, buat gue sendiri, gue memikirkan ini masak-masak karena ingin mencoba membiasakan ke diri sendiri untuk selalu tau apa alasan gue melakukan sesuatu. It sucks when you do something without really knowing the reason of it. Always start with WHY is one of the key. 

Walau di beberapa kesempatan, ada kalanya hidup manusia mengalir aja seperti air, tapi di situasi tertentu nggak ada salahnya untuk memikirkan kenapa kita ingin melakukan hal-hal tersebut. Once we have the reason, kita juga akan makin mantap dalam mempelajari hal baru tersebut. Begitu pun dalam menentukan bidang yang ingin dipelajari. 

Semangat yaa buat teman-teman yang sedang mengalami hal serupa dengan gue! Semoga kita diberikan kekuatan dan berhasil dalam mencapai apa yang dicita-citakan selama ini. Semua yang gue tulis adalah murni dari pengalaman gue yang masih seumur jagung ini. 

Semoga postingan ini bisa menjawab keresahan teman-teman dan bermanfaat dalam proses mencari jati dirinya, terkhusus untuk anonim yang udah bertanya di NGL gue (semoga baca ya😄). Apabila ada di antara teman-teman yang mau menambahkan, feel free to give comments ya!😉

Kira-kira, apa disini ada yang career shifting juga kayak gue? Sharing, yuk!



Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar

 
Rekomendasi Bootcamp UI/UX Design Harisenin

Mendukung era teknologi yang semakin gencar, beragam platform pendidikan berbasis online di Indonesia berlomba-lomba menyediakan program belajar yang mudah diakses dimanapun dan kapanpun bagi siapa saja yang ingin beralih karir, atau memulai karir di bidang tertentu, contohnya bootcamp UI/UX Design yang memberi dampak besar dalam perkembangan industri digital. 

Meningkatnya jumlah bootcamp online tentunya nggak terlepas dari minat masyarakat dan peluang kerja yang terus bertambah terhadap industri ini. Pada bidang profesi UI/UX Designer, kebutuhan semakin meningkat seiring dengan tuntutan pasar yang mulai merambah ke penggunaan aplikasi. Sehingga hal ini membuat para pelaku industri giat mengembangkan dan menciptakan produk mereka sebagus mungkin agar dapat bersaing dengan kompetitor.

Tunggu, deh. Memangnya seberapa penting sih UI/UX Design itu?🤔

Mengenal lebih dalam tentang UI dan UX

Dalam suatu pembuatan aplikasi, UI/UX Designer memiliki peranan penting dalam pengembangan produk digital, untuk dapat memberikan tampilan dan pengalaman yang nyaman bagi pengguna saat mengakses aplikasi mereka.
UI/UX sendiri merupakan singkatan dari User Interface dan User Experience. Secara spesifik, user interface design atau desain antarmuka pengguna yakni mencakup apa saja yang akan dilihat pengguna di layar aplikasi, misalnya teks, penggunaan warna, background, ikon, atau animasi dan elemen-elemen bergerak lainnya. Seseorang yang berkecimpung di bidang desain grafis, biasanya akan mendalami UI Design pula, atau sebaliknya. 
Sementara itu, UX Design berfokus pada pengalaman pengguna, seperti merancang alur interaksi dan pengalaman yang akan dimiliki mereka ketika menggunakan aplikasi. UX Designer memastikan bahwa produk yang dikembangkan dapat digunakan dengan nyaman, menyenangkan, serta mudah diakses oleh pengguna. 
Saat ini terdapat banyak bootcamp UI/UX Design di Indonesia yang dapat kita jumpai dengan mudah di internet. Namun, mungkin hanya beberapa yang bisa menawarkan fasilitas yang lengkap, dan berhasil menyalurkan ribuan alumni hebat di berbagai top company. Salah satu bootcamp yang punya nilai plus ini dan mau gue rekomendasikan kepada teman-teman adalah program bootcamp UI/UX Design dari Harisenin.com.
Harisenin.com sudah banyak menciptakan program belajar online yang relevan di dunia kerja dan sangat suportif dalam membantu para career shifter mengejar impian mereka, dari mulai bootcamp Digital Marketing, Auditor & Financial Analyst, Full-stack Website Development, Human Resources, hingga bootcamp UI/UX Design & Product Management.

Apa sih yang akan didapat dari bootcamp Harisenin.com?

1. Kurikulum

Peserta bootcamp UI/UX Design nantinya akan belajar sebanyak 24 sesi dengan tutor-tutor yang telah berpengalaman. Tak hanya soal UI/UX, mereka juga akan mempelajari secara spesifik tentang Product Management. Beberapa sesi di antaranya meliputi Product Development, UI Principles and Fundamental, Prototyping, dan masih banyak lagi!

2. Harga Terjangkau

Rekomendasi Bootcamp UI/UX Design Harisenin


Program UI/UX Design Harisenin.com berlangsung selama 4-5 bulan. Seperti yang bisa dilihat, dengan kisaran harga yang sudah terjangkau—yakni mulai 2 juta rupiah saja, periode selama itu menurut gue sudah sangat intens dibandingkan bootcamp lain yang hanya berlangsung selama satu atau dua bulan. Bahkan masih terbilang lebih worth it jika dikomparasi dengan bootcamp yang berlangsung lebih lama, tetapi biaya 4 kali lipat di atasnya.

Udah harganya terjangkau, pembayaran pun bisa dicicil sebanyak lima kali. Jadi, untuk teman-teman yang masih kuliah dan nggak bisa membayar full, boleh banget pakai metode pembayaran ini😊.

3. Job Connect

Harisenin juga menyediakan fasilitas yang sangat lengkap dalam mendorong karir mentee, seperti job connect dan career coaching. Kedua hal ini sangat diperlukan untuk membantu menjawab berbagai keresahan peserta seputar karir, khususnya bagi fresh graduates yang masih belum tahu soal tips interview, atau alur rekrutmen di sebuah perusahaan.

Yuk, simak cerita lengkap salah satu alumni UI/UX Design harisenin yang sempat galau dengan quarter life crisis, dan saat ini sudah bekerja di salah satu perusahaan😉.

4. Job Guarantee

Satu hal lagi yang sangat gue kagumi dari Harisenin.com ialah adanya job guarantee, atau jaminan kerja. Melalui jaminan ini, apabila kamu belum mendapatkan pekerjaan dalam kurun waktu 365 hari setelah lulus dari bootcamp yang diikuti, kamu berhak mendapatkan dana pengembalian hingga di atas 110%. Itu semua dilakukan karena Harisenin.com peduli terhadap karir setiap alumninya dan ingin agar mereka berhasil menyalurkan minat dan pengetahuan yang telah didapatkan selama proses belajar di bootcamp Harisenin.

5. Final Project

Selain keempat benefit di atas, ada juga final project dimana peserta dapat mempraktikan secara langsung apa yang telah mereka pelajari selama di kelas. Fasilitas ini dapat memberi kesempatan besar kepada peserta untuk berlatih secara professional dengan didampingi oleh team buddy yang handal di bidangnya, sebelum nantinya terjun di lapangan kerja.

Rekomendasi Bootcamp UI/UX Design Harisenin.com
Redesign App Superindo, Hasil Final Project Group 8 Bootcamp UI/UX Design Harisenin

Inilah salah satu gambaran dari hasil final project yang para alumni sudah kerjakan. Masing-masing dari mereka dibagi ke dalam beberapa grup, agar proses pengerjaan proyek dapat dilakukan dengan intens dan lebih terarah. Selain slide lengkap di atas, kamu juga bisa melihat prototype mereka disini! Super keren dan kreatif, bukan?🤩👏

Bukan bootcamp yang cuma jual sertifikat dan janji

Sebagai mantan anak bootcamp, gue bisa bilang bahwa kelima benefit di atas adalah hal yang paling fundamental dari sebuah program bootcamp. Memberikan fasilitas job connect, career coaching dan real project adalah tindakan yang nyata untuk menunjang keberlangsungan karir peserta. Umumnya, orang-orang mendaftar bootcamp untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang diimpikan, bukan? Maka nggak cuma sebatas belajar dari tutor dan dapat sertifikat, tetapi ada timbal balik yang bisa mentee dapatkan dengan belajar di Harisenin.com.

Sebelum bergabung dengan bootcamp selama 4-5 bulan, kamu juga bisa ikut free trial class-nya terlebih dahulu. Bagi yang masih ragu-ragu ingin mengikuti bootcamp atau nggak, sangat dianjurkan untuk mendaftar free trial-class ini. Jadi, nggak ada deh kata menyesal karena merasa kecemplung di bootcamp yang hanya menawaran "mimpi". Gue sih bisa jamin habis trial class-nya beres, banyak yang berbondong-bondong langsung daftar bootcamp😆.

Selain itu, untuk memastikan bahwa alumni mereka mendapatkan pekerjaan yang relevan, Harisenin.com telah bekerjasama dengan lebih dari 200 perusahaan di berbagai bidang. Setelah lulus dari program, nantinya para alumni akan dihubungkan ke perusahaan-perusahaan tersebut dengan bantuan dari Hiring Partner. So, dengan adanya garansi up to 110% dan program Hiring Partner, peserta bootcamp Harisenin nggak perlu khawatir akan lulus tanpa mendapatkan apa-apa. Karena Harisenin.com selalu berusaha untuk memberikan hasil yang terbaik bagi alumninya😌😉.

Kira-kira, apakah kamu tertarik untuk ikut bootcamp UI/UX Design di Harisenin.com? atau mau coba program bootcamp yang lain? Please, let me know di kolom komentar, ya!😍😁
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Body Positivity Bukan Validasi


Teman-teman, ada yang masih ingat? Lebih dari setahun yang lalu, jagat maya kita sempat dihebohkan oleh pernyataan salah satu influencer yang sempat keblinger freedom of speech, karena mengata-ngatai tubuh seseorang di tempat gym dengan sebutan "polusi visual". 

Kemudian setelahnya, muncul lagi pernyataan kontroversial dari MH, seorang model alias "Menteri Kecantikan" yang mengeluh di media sosial pribadinya dikarenakan standard kecantikan Victoria Secret's Angels dan tayangan Gossip Girl favoritnya kini telah bergeser dari yang ia yakini selama ini. Seolah tak kuasa menahan kekesalan, dengan lantang ia melabeli "buriq" seorang perempuan berkepala pelontos dan berkulit gelap yang diketahui sebagai pemeran baru seri Gossip Girl.

Ujaran tidak mengenakan terhadap perempuan yang dianggap tidak memiliki tubuh seperti standard masyarakat juga pernah dialami oleh Nurul, seorang atlet angkat besi sepulang dari Olimpiade Tokyo di Bandara Soekarno-Hatta pada pertengahan Agustus tahun lalu. 

Sikap ini seakan-akan semakin melanggengkan eksklusivitas standard kecantikan yang tidak merangkul semua kalangan dan jenis tubuh. Karena itu, gerakan women support women pun tampaknya hanya berlaku untuk lingkaran tertentu.

Pergelutan di media sosial terhadap self-acceptance semacam ini lagi-lagi menunjukan adanya miskonsepsi perihal body positivity. Bagi orang-orang bertubuh "privilege" yang bisa sesuai dengan standard Victoria Secret, gerakan body positivity tampaknya hanyalah bentuk validasi rasa malas bagi orang-orang yang tidak bisa memiliki badan seperti bihun—kurus, langsing, dan berkulit terang. Seakan-akan perjuangan mayoritas perempuan selama berpuluh-puluh tahun tak ada artinya bagi mereka. Padahal body positivity, atau gerakan mencintai dan menerima diri tanpa harus sesuai dengan standard yang berlaku di masyarakat ini sudah diperjuangkan sejak tahun 1960-an di Amerika Serikat.


Asal Usul Kampanye Body Positivity

Kampanye ini berawal dari adanya tindakan diskriminatif terhadap orang-orang yang berbadan gemuk.  Fat Acceptance dan Fat Liberation diusung oleh kelompok NAAFA (National Association for Advancement of Fat Acceptance) dan juga feminisme yang aktif di California. Mereka lalu menerbitkan manifesto yang inovatif, dimana isinya ialah menuntut kesetaraan bagi para pemilik tubuh gemuk atau penyandang obesitas dalam seluruh aspek kehidupan. Mereka bahkan menyinggung perihal industri-industri tertentu yang berperan dalam mendukung standard kecantikan dan budaya diet, hingga menyatakan industri ini sebagai musuh.

Gerakan perjuangan inipun terus berkembang pesat. Pada tahun 1980-an, antusiasme terhadap pembebasan orang gemuk dari diskriminasi mulai terus tersebar ke penjuru dunia. London Fat Women’s Group menyusul terbentuk pada pertengahan 80-an dan aktif selama bertahun-tahun. 

Orang-orang memang tidak menggunakan istilah Body Positivity pada masa itu, tapi para aktivis yang berperan dalam menyuarakan anti-diskriminasi pada penyandang obesitas ini dapat dengan mudah dijumpai di berbagai acara talk show dan media lainnya. Lalu pada era 90-an, aktivis-aktivis tersebut berdemonstrasi di depan White House, menggelar protes di depan pusat kebugaran yang memajang iklan bernada fatphobic, dan menari-nari bersama rombongan kendaraan pawai pada parade San Francisco’s Pride.

Topik yang kemudian mencuat tentang dorongan mencintai tubuh sendiri ada yang membingungkan beberapa pendengar, namun di saat yang sama juga ada banyak orang yang merasa terinspirasi. Mungkin karena pada saat itu istilah self-love, self-acceptance, dan body positive tidak lazim seperti sekarang. Tampaknya orang-orang ini berpikir bahwa, jika seseorang yang terlihat seperti mereka (dianggap tidak sesuai standard kecantikan) saja bisa belajar untuk mencintai diri sendiri, siapapun tentu bisa. 

Baca juga:  Childfree yang Diperdebatkan

Hingga memasuki awal 2000-an, internet akhirnya menjadi salah satu platform dimana berbagai bentuk penghinaan terhadap tubuh orang lain dan kampanye tentang mencintai tubuh sendiri mulai banyak tersebar. Meski kondisi tersebut dibarengi dengan munculnya anonimitas (orang-orang yang tidak menunjukan identitas diri di media sosial) dan menyebabkan perundungan, namun kondisi ini tidak dapat terelakan juga menunjukan bentuk ekspresi diri.

Ketika beragam papan pesan dan ruang obrolan tahun 90-an digantikan dengan media sosial, para aktivis ini terus membangun aksinya secara digital. Mereka berpindah dari grup AOL dan forum online NAAFA ke Tumblr dan Instagram. Adanya tagar dan grup-grup Facebook pun membantu banyak orang untuk terhubung dengan cara yang baru. Generasi yang baru ini kemudian menyebarkan aura positif yang dikenal sebagai Body Positivity. 


Menerapkan Body Positivity, Tak Mesti Jadi Toxic Positivity

Bagi orang-orang yang memiliki badan lebih kecil dan minim mendapat ejekan seputar kondisi tubuh, mungkin merasa bahwa gerakan body positivity hanyalah bentuk validasi atas rasa malas mereka yang bertubuh gemuk untuk memiliki gaya hidup lebih sehat. Nyatanya, tujuan awal kampanye ini adalah untuk meyakinkan orang-orang bahwa siapapun harus diperlakukan dengan baik, tidak peduli bagaimana bentuk badan mereka, warna kulit mereka, hingga cantik atau tidak rupanya. Toh, segala standard cantik yang berlaku di masyarakat tidak bisa menentukan bagaimana value diri seseorang, dan bagaimana ia berperilaku di lingkungan sekitarnya.

"Lantas, bagaimana kalau para penyandang obesitas atau pemilik tubuh gemuk itu sendiri yang menjadikan ini validasi?"

It's not the campaign that is wrong. It's on them and their mindset. Karena biar bagaimanapun, gue percaya tubuh yang sehat adalah kunci untuk hidup yang juga lebih sehat. Dan gue rasa, mereka sendiri sadar bahwa tubuhnya adalah aset berharga yang mesti dijaga, dirawat dan diberi asupan gizi dengan baik agar bisa bugar hingga tua nanti. Percayalah, gue yang memiliki tubuh kurus pun masih berjuang untuk bisa memiliki hidup yang lebih sehat, dengan pola makan yang teratur dan bergizi. Lagipula, kenapa sih, badan kurus dan langsing harus diasosikan dengan tubuh yang indah dan molek? Apa semua hal yang berkaitan dengan tubuh juga harus dipandang sebagai estetika?

Perlu diingat, bahwa kita bukan patung yang tubuhnya bisa sama rampingnya, bisa dibentuk molek sedemikian rupa, tidak tampak kekurangan sama sekali, tanpa gelambir dan stretchmark disana sini. We have different shapes, sizes, and bone structures. 

Tidak semua orang yang kurus hidupnya sehat atau penyakitan, begitupun dengan orang-orang yang memiliki tubuh gemuk. Bisa jadi mereka memang memiliki struktur tulang yang lebih padat dari orang kebanyakan, and that's okay, as long as mereka merawat tubuhnya dengan baik dan sadar akan kesehatan diri sendiri.

Hal ini berkaitan dengan sub-judul yang gue sematkan di atas. Yap, meski body positivity adalah gerakan yang bagus untuk menyadarkan siapapun bahwa setiap orang berhak memiliki citra tubuh yang positif, namun tidak semata-mata kita jadi bisa merayakan obesitas begitu saja tanpa mau mengubah diri sendiri ke arah yang lebih positif. Bukankah sejatinya itu yang dimaksudkan body positivity? 

Tidak merawat tubuh kita sebagaimana mestinya dengan mengonsumsi makanan secara sembarangan dan berlebihan dengan dalih body positivity justru akan berdampak buruk bagi diri kita. Inilah yang disebut dengan toxic positivity.

"Duh, ribet banget yaa jaman sekarang terlalu banyak istilah."

Indeed. Tapi menurut gue istilah seperti ini cukup penting untuk diketahui, agar kita bisa lebih mengenal diri sendiri dan tahu kapan waktunya untuk ngerem saat kita sudah terlalu memaksakan prinsip "body positivity" ini. 

Dilansir dari Alodokter, toxic positivity adalah kondisi ketika seseorang menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir dan bersikap positif serta menolak emosi negatif. 

Melihat suatu hal dengan positif memang baik, tapi tidak jika malah mendiskreditkan emosi negatif tersebut, seolah-olah perasaan yang tidak positif adalah sesuatu yang tidak valid untuk kita terima. Karena hal ini bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental, seperti yang dikutip dari City Nomads di bawah.
Radiating positivity 24/7 is a tough feat for anyone. The pressure to be positive can become toxic quickly. This toxic positivity may not exactly improve one's self or body-image. In fact, may even be counterproductive, because it can manifest as mental health conditions like depression and body dysmorphia, eating disorders and more in the long run.
So, kalau kamu sedang merasa tidak puas dengan kondisi tubuhmu karena berbagai hal, it's okay to feel that way sometimes. Siapa tahu perasaan itu malah mendorong kamu untuk bisa memiliki gaya hidup yang lebih sehat dan teratur. Tapi juga jangan merasa buruk sampai berlarut-larut, karena sesungguhnya setiap orang punya kekurangan dan kelebihannya masing-masing.

Believe me, segala standard yang dibangun oleh masyarakat selama ini adalah buah dari kapitalisme. That's why you shouldn't feel guilty about your own body that doesn't fit the beauty standard. Tidak salah juga sebetulnya kalau menteri kecantikan yang gue mention di atas merasa sebal ketika tipe model favoritnya di Victoria's Secret berubah secara inklusif, karena dia hanyalah "korban" dari citra kecantikan yang berusaha dibangun oleh orang-orang di balik Victoria's Secret--the capitalistic marketing itself. 

Instead of spending time in front of the mirror criticizing our shortcomings, why don't we use the time we have to examine our strengths and upgrade skills for the sake of our future and our own happiness? Furthermore, we can stop using our bodies to define ourselves and our worth at all. Because our lives isn't only about body and appearance. It's broader than that.


Reference:

BBC: The History of the Body Positivity Movement
Mengenal Lebih Jauh Tentang Toxic Positivity
Citynomads.com: Why Body Positivity Isn't All that Positive


Share
Tweet
Pin
Share
9 komentar

Siapa disini yang suka banget sama coklat? atau ada yang punya usaha kuliner dengan bahan dasar coklat? Pas banget nih, gue punya informasi lengkap seputar harga coklat batangan Colatta yang bisa kalian beli kiloan dengan harga yang terjangkau!😍


Coklat Dengan Segudang Manfaat


Sejak kecil, bisa dibilang gue suka banget dengan makanan apapun yang berbahan dasar coklat, entah kue, cookies, biskuit, hingga minuman. Kalau disuruh memilih antara susu vanilla, strawberry, atau coklat, gue nggak akan segan-segan, pasti langsung memilih coklat. Karena selain rasanya yang enak, coklat juga nggak kalah banyak manfaatnya dengan buah-buahan lain. Yapp! 

Makanan ini setidaknya punya lima manfaat untuk tubuh kita. Ia bisa mengontrol kadar gula darah, menjaga kesehatan jantung dan pembuluh darah, menurunkan kadar kolesterol, mengendalikan nafsu makan, dan meningkatkan mood.

Itulah kenapa, coklat sering dijadikan opsi bagi orang-orang yang ingin diet, dan selalu laris pada saat valentine. Mungkin untuk menaikan mood para pasangannya yang lagi BT😆. 

Ketika mempunyai usaha kuliner pun, coklat tentu menjadi salah satu bahan yang sering dibutuhkan. Bahan sejuta umat ini hampir selalu sukses membuat siapapun nggak bisa menolak untuk nggak memakannya. 

Ada banyak coklat yang tersedia di pasaran dan bisa dipilih sesuai kebutuhan dan makanan, ataupun minuman yang akan dibuat. Mulai dari coklat batangan, cokelat bubuk, coklat chip, coklat meses, hingga coklat lapis. Dan dari sekian jenis coklat, ada salah satu merk coklat batangan yang terkenal di Surabaya, namanya Coklat Colatta. 

Daftar Harga Lengkap Coklat Colatta Kiloan

Berbagai jenis coklat tersebut bisa teman-teman dapatkan dengan mudah dan lengkap di Tokowahab.com yang menawarkan banyak pilihan kategori coklat😋. Selain dari jenisnya, Tokowahab juga menyediakan coklat dari berbagai merk yang tersedia, lho. Yaa salah satunya Coklat Colatta😍. 


Daftar Harga Coklat Colatta Kiloan

Ada pilihan coklat Colatta, coklat Tulip, coklat Nutella, coklat Holland, coklat Hagel, coklat Bensdorp, dan coklat Bendico. Keunggulan lain dari toko ini juga menyediakan dengan harga yang lebih terjangkau!😍 

Selain itu, teman-teman bisa mengajukan nego dan mendapatkan pengiriman gratis dengan ketentuan dan syarat yang berlaku.

TokoWahab menyediakan produk coklat Colatta kiloan yang bisa dibeli. Sehingga produk tersebut bisa menjadi pilihan bagi usaha yang membutuhkan coklat dengan harga lebih miring. 

Di bawah ini berbagai pilihan coklat merk Colatta kiloan yang bisa teman-teman beli di TokoWahab:

  1. Colatta chip 5 kg = 241 ribuan
  2. Colatta chip mini 5 kg = 251 ribuan
  3. Colatta dark coating 4x2 kg = 365 ribuan
  4. Colatta dark compound 12x1 kg = 612 ribuan
  5. Colatta dark compound 4x5 kg = 924 ribuan
  6. Colatta drinking chocolate 6x1 kg = 527 ribuan
  7. Colatta white compound 4x5 kg = 1,1 jutaan
  8. Colatta white compound 12x1 kg = 629 ribuan

Selain pilihan di atas juga masih ada banyak produk coklat bubuk, coklat batangan, dan coklat chip dari merk Colatta yang bisa didapatkan di TokoWahab😉

So, bagi moms atau kakak-kakak blogger yang memiliki usaha kue dan membutuhkan coklat kiloan dari merk Colatta dan merk lainnya, bisa langsung membelinya secara online di toko bahan kue ini, yang menawarkan gratis ongkos kirim untuk pengiriman di Jabodetabek dengan minimal order 10 juta rupiah!

Huwaa, jadi pingin makan coklat sekarang juga🤤 Anyways, kalau teman-teman suka makan coklat jenis apa, nih? Kasih tau gue dong di kolom komentar😍. 

Share
Tweet
Pin
Share
10 komentar
 
Bahagia Perlu Uang

When i think about happiness, it's true that it comes from the smallest thing in our lives. But is it always true? Apakah konsep ini berlaku sepanjang kita hidup? Mungkin ya, mungkin saja tidak. Biasanya nih, anak muda zaman sekarang paling sering mengglorifikasi soal "rules of life" (even if this kind of thing exists), semacam; apakah kita bisa hidup bahagia tanpa uang?; atau apakah sebetulnya uang bisa memberi kita impian yang konyol dan kehidupan tanpa penderitaan? Lalu sering khawatir bahkan sebelum memulai garis start pertamanya. 

Before we move on, i need to clarify something. Gue nggak sedang membahas tentang kebahagiaan secara general. Membicarakan soal kaitan uang dengan kebahagiaan nggak berarti gue nge-dismissing fakta bahwa rasa bahagia itu besar sekali maknanya, bahkan tanpa harus diselubungi dengan hal-hal berupa materi. Also, gue rasa kita perlu meluruskan beberapa hal di awal, bahwa frasa "money can't buy happiness" yang akan gue mention di postingan ini, nggak pernah gue maksudkan secara literal. Ini hanya konotasi, after all.  If you disagree about what i writes on this topic, it's very okay. Your opinion could be different than mine, and this might sounds contradictory to my previous post which tells about finding your own happiness through the silly dreams that you might have had since you were kids, but let me explain further.

Sebagai manusia normal, rasanya kita tidak bisa mengelak bahwa hampir setiap waktu, kita perlu uang untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman dan nyaman dalam berkehidupan. Tidak hanya kebutuhan primer, sekunder, namun juga tersier yang seringkali perlu untuk disokong. Kita memerlukan uang untuk bayar tagihan, belanja kebutuhan seperti pangan, sandang (bahkan ketika seseorang memiliki gaya hidup minimalis), lalu untuk bayar air, bayar token listrik, kuota internet, hingga sekadar beli bensin untuk kendaraan yang digunakan sehari-hari. Semua aspek dalam hidup kita seakan-akan tidak bisa digerakan tanpa kehadiran uang, dan banyak sekali permasalahan hidup yang bisa diselesaikan dengan uang. Bahkan dalam kondisi pandemi seperti ini, perekonomian negara tidak bisa dihentikan sementara hanya untuk lockdown, karena efek jangka panjang yang ditimbulkan mungkin akan lebih buruk dari yang bisa kita kira. Mengapa? Alasan paling dasarnya semata-mata karena kita membutuhkan uang untuk hidup, terlebih dalam situasi sulit seperti saat ini. Most people do.

Kenyataan ini didukung oleh data yang dikumpulkan peneliti Universitas Princeton pada tahun 2010, bahwa rata-rata dari 450.000 orang dewasa di Amerika Serikat memiliki perasaan sedikit lebih bahagia ketika dikaitkan dengan uang atau pemasukan. Dapat dikatakan bahwa orang yang memiliki pendapatan sekitar $70.000 per tahun cenderung lebih bahagia daripada mereka yang menghasilkan sekitar $40.000 per tahun. Perbedaan yang tidak besar, namun signifikan secara statisik. Kualitas emosional ini dinilai dengan pertanyaan yang meminta mereka untuk memikirkan tentang kondisi di hari-hari sebelumnya dan menilai seberapa banyak kebahagiaan dan kenikmatan yang dialami, hingga seberapa banyak mereka tersenyum dan tertawa.

Selain itu, peneliti juga mengatakan bahwa manusia sulit untuk benar-benar bahagia jika hidup dalam kemiskinan. Jika kita selalu merasa lapar, kedinginan, dan tinggal di lingkungan yang tidak aman atau selalu berutang uang kepada seseorang, rasanya kebahagiaan bisa sulit dipahami. Contoh lain adalah ketika kita memiliki masalah kesehatan sementara tidak memiliki cukup uang untuk pergi ke dokter (tidak semua orang punya BPJS), kemungkinan besar ada dua kekhawatiran yang mesti dihadapi—kesehatan dan uang. 

Di bawah tingkat pendapatan tertentu, orang miskin sebenarnya kurang bahagia dan kurang puas dengan kehidupan mereka daripada kebanyakan orang. Terlebih ketika mereka tidak menemukan adanya quantum leaps atau penghasilan yang meningkat signifikan setiap harinya, bahagia seakan hanya jadi ilusi. Mungkin, dalam kondisi seperti inilah bahagia datang dari hal yang sederhana. Tapi, apakah pada akhirnya itu cukup untuk mengenyangkan perut kita? Apakah hal itu cukup untuk membayar tagihan yang menumpuk? Tidak juga.

Baca juga: Matre: Realistis atau Materialistis?

Uang Bikin Bimbang

Yah, kita bicara fakta saat ini. Memang, manusia sudah sepatutnya banyak bersyukur dan tabah dalam menghadapi cobaan hidup yang datang silih berganti, karena pada kenyataannya tidak semua hal bisa dinilai dengan materi. Namun, sebagaimana manusia yang selalu butuh validasi, adakalanya kita selalu berusaha untuk mencari pembenaran atas hal-hal yang kita lakukan ketika belum berusaha sepenuhnya. Misalnya, seseorang yang sering mengeluh karena mendapatkan gaji kecil dan pas-pasan, sementara apa yang didapatnya itu tak lain karena usaha yang kurang maksimal. Lantas untuk meyakinkan diri bahwa ia sudah hidup lebih baik, seseorang ini hanya berlindung di balik kata "syukur" tanpa benar-benar memaknainya. Sebab ada orang yang pandai bersyukur, kemudian bekerja lebih keras di hari esok, begitu seterusnya. Namun ada juga orang yang bersyukur, tapi tidak diiringi dengan usaha yang lebih keras karena tidak tahu caranya memberi limit terhadap diri sendiri.

Terlebih untuk yang usianya masih muda dan prima, rasanya memalukan berpikir tentang "cukup" ketika kita bisa melakukan sesuatu yang lebih lagi untuk kebaikan diri sendiri maupun lingkungan sekitar, sebagai bekal di masa depan nantinya. Iya, sebagai generasi digital, gue tahu banyak anak muda yang sedang mengalami dilema semacam ini. Go for it, or give it up. Sama halnya dengan perkara menentukan passion atau main job, dan idealisme dengan realita.

Bukan Soal Privilege

Selain bisa mengurangi kegelisahan dalam hal financial, dengan uang kita juga bisa "membeli" banyak pengalaman yang tidak terlupakan. Contohnya, traveling ke berbagai daerah atau negara, menonton pertandingan bola, menyaksikan drama musikal di suatu tempat atau bahkan di Broadway, atau kalau dikerucutkan lagi, sesederhana menikmati suasana yang menenangkan di pinggir danau seberang kota. Do we only need a cent of money? Obviously, we don't. Meskipun kita tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk membeli pengalaman tertentu, paling tidak sejumlah uang yang lebih besar bisa membantu kita menikmati pengalaman dengan perasaan nyaman.

Uang juga memungkinkan kita untuk dapat memberikan kebahagiaan dalam bentuk lain terhadap orang-orang yang lebih membutuhkan. Jadi, tidak semata-mata selalu untuk memenuhi ego manusia akan pemenuhan kebutuhannya. Serta kita juga bisa memiliki akses dalam mempelajari hal-hal baru dengan fasilitas yang lebih mendukung. Siapa disini yang senang menggambar dan tergiur ingin membeli alat berupa procreate agar hasil gambarnya dapat lebih maksimal? Atau, adakah yang ingin bisa memiliki alat rekam khusus dengan kualitas mumpuni bagi yang sedang mengolah kemampuan suara? *Ehm, itu.. keinginan gue, sih😅.

Kebanyakan orang juga menemukan kebahagiaannya tersendiri ketika bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan membahagiakan orang-orang yang disayang secara materiil dengan jerih payahnya. At the end of the day, it's about money, isn't it?

So, apakah sebetulnya uang bisa "membeli" kebahagiaan? Yap, kalau kita bisa memanfaatkan dan mengelolanya dengan cara yang benar. Namun apakah kita harus menjadi kaya untuk bisa bahagia? Ini dia yang harus gue luruskan. Kenyataannya, kebahagiaan memang bukan bersumber dari uang. Apalagi jika semakin banyak uang di dalam tabungan kita, maka semakin banyak kita berinvestasi, dan semakin besar kerugian, serta rasa stress yang mungkin akan kita dapatkan. Mungkin ini sebabnya Jeff Bezzos tidak lagi merasa antusias ketika perusahannya mendapatkan keuntungan jutaan dollar yang berkali lipat. Walaupun hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa orang yang memiliki gaji 400 juta per tahun tidak lebih menderita daripada orang yang hanya mampu menghasilkan uang sebesar 70 juta per tahun, begitupun seterusnya. Toh, banyak millioner yang ujung-ujungnya memilih "sengsara" dalam kekayaan daripada sengsara dalam kemiskinan.

Beberapa di bawah ini gue kutip sedikit potongan diskusi dari postingan Instagram influencer favorit gue, Fellexandro Ruby, yang kebetulan membahas topik serupa beberapa waktu lalu, agar postingan ini tidak terasa begitu saklek dan satu arah. Well, sharing is caring!

Bahagia Perlu Uang

Bahagia Perlu Uang
Of course, we wouldn't! Seperti yang baru saja gue bilang, in fact uang memang bukan sumber kebahagiaan. Toh, manusia hidup lebih lama daripada uang itu sendiri, kan? Begitupun perasaan bahagia, it lasts longer than the money itself. Money and happiness are two different things, but this post tries to elaborate them.

Bahagia Perlu Uang
Yes, it is the phase of our life that helps us see things clearly and takes us to the next (financial) journey.

Bahagia Perlu Uang

Bahagia Perlu Uang
I suddenly remembered what my friend once said, we don't really want stuff, we just want feelings. Like, we thought we want money, but deep down we only want the feeling of ease and comfort which we thought money could bring.

Baca juga: Menjadi Manusia

Pada intinya, ini bukan menyinggung tentang privilege atau tidak mensyukuri rezeki yang didapat, melainkan lebih kepada menyadari realita bahwa kita bisa menikmati hal-hal yang orang ber-uang miliki tanpa harus kaya dan punya privilege, dan kita juga harus yakin untuk bisa memperoleh rezeki yang lebih jika kita tidak hanya bersyukur dan berserah, tapi berusaha sebaik-baiknya kemampuan diri.

Namun dari diskusi singkat di atas, kita juga perlu mengingatkan diri sendiri untuk tidak memetakan kebahagiaan hanya pada materi. Seperti yin dan yang, alangkah lebih baik jika semuanya dilakukan dengan seimbang, tidak berlebihan. Gapapa bekerja keras selagi kuat, but just don't push yourself so hard that you can't even enjoy your hard-earned money and the time you have. Karena gue yakin mindset kita terhadap uang juga perlu untuk direm sesekali agar tidak gelap mata.

Bahagia Perlu Uang


Tulisan ini gue buat bukan untuk mengajak teman-teman menjadi money-oriented atau materialistis, gue hanya ingin mengingatkan diri sendiri dan mungkin teman-teman sebaya yang sedang mengalami quarter life crisis (atau masalah pelik soal keuangan), bahwa underprivileged bukan alasan untuk kita bertahan dalam victim mentality dan berlindung di balik kalimat "money can't buy happiness". Uang bisa "membelikan" kita beberapa hal yang membawa rasa kebahagiaan kok, ketika dilakukan dengan cara yang tepat sesuai takaran kita. Oleh sebab itu, jangan berhenti menyerah within your limit, and don't mind about other people's life—being salty about privilege, etc. 

Berhenti membandingkan diri dengan orang lain, tinggalkan medsosmu untuk sementara waktu jika perlu, dan.. jangan sampai memberi afirmasi terhadap diri sendiri dengan cara yang salah yang malah bisa mengendurkan limit yang kita punya.
Share
Tweet
Pin
Share
21 komentar

Cewek Matre: Realistis atau Materialistis?

Beberapa hari lalu sebuah pertanyaan di akun base Twitter lagi-lagi kembali menggelitik gue. Kira-kira begini pertanyaannya:

Cewek Matre: Realistis atau Materialistis?
Pertama-tama, gue sengaja menghindari untuk menulis judul dengan kata kunci "cewek matre", karena sebetulnya fenomena matre atau materialistis ini bisa terjadi kepada siapa saja, terlepas dari gender-nya perempuan atau laki-laki. Hanya saja sebagai makhluk sosial yang kelak diharapkan menjadi seorang istri, wanita lebih sering diposisikan atau memposisikan dirinya sendiri sebagai sosok yang perlu selalu dibiayai dan ditunjang kebutuhannya oleh laki-laki—meski pada kenyataannya belum menikah sekalipun.

Jadi, perlu ditekankan bahwa narasi yang gue angkat disini bukan semata-mata menunjukan kebencian terhadap sesama perempuan atau melanggengkan budaya misoginis, tetapi menyoroti sebuah perilaku atau fenomena sosial yang selama ini divalidasi sebagai tindakan realistis berdasarkan kacamata gue.

Gue sering mendengar jawaban yang sangat umum dari beberapa orang ketika dirinya ditanya, "kenapa sih cewek itu matre?", dengan dalih bahwa mereka tidak matre, melainkan realistis. Seolah mengiyakan stereotip yang berlaku di kalangan perempuan sebagai makhluk yang berorientasi pada uang dan barang-barang mahal nan branded. Padahal, entah dirinya memang hidup pas-pasan atau minimalis sehingga apa yang dibeli murni adalah kebutuhan, atau memang berusaha melarikan diri dari kenyataan bahwa barang-barang yang dibelanjakan selama ini bukan keluar dari kantong pribadinya.

Banyak juga narasi yang gue dengar seperti ini, "sebagai cewek jangan mau keluar uang. Masa dari sekarang aja cowok lu nggak mau bayarin? Gimana nanti jadi suami?". Dan serangkaian opini yang mengatasnamakan komitmen serta tanggungjawab laki-laki sebagai pencari nafkah.

Realistis dan materialistis (matre) sebetulnya adalah dua hal yang berbeda dan nggak bisa dipaksakan beriringan. Realistis memiliki arti bahwa seseorang tidak selalu memikirkan sesuatu terlalu tinggi, melainkan semampunya. Ia berorientasi pada hal-hal yang bisa ia lakukan tanpa harus merugikan orang lain. Sementara materialistis adalah perilaku dimana seseorang secara sadar atau tidak, terlalu fokus dan bahkan bisa terobsesi terhadap uang dan kebendaan—yang digantungkan kepada orang lain. Rajeev Kamineni dalam jurnalnya mengatakan bahwa, "materialism is the ‘devotion to material needs and desires, to the neglect of spiritual matters; a way of life, opinion or tendency based entirely upon material interests’". 

Jika merujuk pada pengertian di atas, materialistis jauh dari kata lawannya, realistis, sebab perilaku ini mengabaikan nilai-nilai spiritual yang mana merupakan salah satu fondasi menjadi realis; yakni menjalani hidup apa adanya, sewajarnya dan semampunya.

Meski begitu, di sisi lain nggak semua orang yang money-oriented dapat digolongkan sebagai manusia matre, karena bergantung pada perspektif dan kondisi tertentu. Jika seseorang tidak mampu membiayai kehidupannya sendiri karena satu dan lain hal—katakanlah tidak memiliki pekerjaan yang stabil dan kesulitan dalam hal ekonomi, dimana situasi tersebut membuatnya membutuhkan bantuan orang lain yang dia percayai, tindakan ini masih bisa dikatakan realistis, selama ada consent dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Tetapi kalau memang seseorang menggantungkan seluruh hidupnya pada manusia lain hanya untuk memuaskan keinginan akan hal-hal yang berada di luar kuasanya, maka jangan mengelak juga kalau hubungannya berlandaskan materialisme, bukan rasa cinta.

Memang, hidup tanpa uang rasanya bakal hampa dan morat-marit bikin pusing kepala. Bahkan dalam menjalin hubungan, kita nggak bisa cuma mengandalkan cinta. Untuk apa ada komitmen dan rumah tangga kalau semua bisa diselesaikan hanya dengan "cinta". Tapi konsep ini nggak bisa dijadikan alasan untuk kita hambur-hamburkan uang hanya untuk memenuhi keinginan pribadi, apalagi menjadikan individu lain tambang materi saat keadaan kita sendiri sebetulnya mengharuskan kita untuk hidup lebih cukup.

"Men always have to pay the bills, though!"

"Yaa nggak selamanya harus, dong. Apalagi kalau baru nge-date doang😅. Katanya hubungan itu kerjasama, bareng-bareng. Kalau masih bisa berbagi, kenapa nggak?"

I know how hard and suck life is. Terkadang ada juga gue temukan perempuan-perempuan kuat yang mandiri dan menjadi tulang punggung keluarga, plus menjadi ibu dari anaknya, tapi masih dianggap sosok matre hanya karena dia terlihat berusaha menyenangkan dirinya sendiri sesekali dengan barang yang dia suka. Ini juga menjadi masalah, menurut gue. Tentang bagaimana kondisi matre atau tidaknya seseorang tidak sesuai dengan konteks yang sebenarnya, seperti para lelaki yang sering melabeli perempuan dengan kata matre secara asal. 

Karena itu, gue sedih setiap kali mendengar narasi-narasi yang mengkerdilkan kaum perempuan sendiri hanya karena konstruksi sosial yang mengatur bahwa memang sudah seharusnya perempuan apa-apa dibayarin, apa-apa nggak bisa membiayai keperluannya sendiri meski belum menikah dengan pasangannya ini diiyakan begitu saja—yang sejak tadi membawa pada satu kesimpulan: cewek itu matre! 

Hanya karena perempuan ujung-ujungnya di rumah, ngurus anak dan di dapur, begitu? Hanya karena kebutuhan perempuan lebih banyak, begitu? Dan menurut gue inipun sebetulnya nggak bisa dijadikan tolak ukur. Namanya materialistis bisa hidup dalam diri siapapun, dan jangan salah, keinginan dan kebutuhan laki-laki pun bisa sama banyaknya, lho, kalau ditimbang-timbang. Hanya saja jenis dan bentuknya bisa beda-beda. Lagi-lagi ini masalah perspektif dan bagaimana tindakan sosial mempengaruhi pandangan seseorang akan suatu kelompok atau komunitas (dalam hal ini perspektif gender). 

Menjadi realistis bukan artinya semua keinginan harus jadi butuh, tapi bisa menempatkan yang mana kebutuhan dan mana keinginan, serta yang mana prioritas dan mana yang perlu dikesampingkan, kemudian bertanggungjawab atas pilihan diri sendiri.

Menurut gue, ini bukan soal cewek nggak boleh kalah dari cowok, bukan soal cewek harus jadi leader pada setiap kesempatan, bukan soal cewek harus jadi kepala rumah tangga melawan kodrat, bukan soal cewek harus mandiri dan hidup selamanya sendiri tanpa perlu bantuan lawan jenis, sebab sudah sepantasnya masing-masing dari kita menjadi pribadi yang mandiri dan tangguh menghadapi berbagai situasi dan kondisi. Akan tetapi lebih kepada menghargai diri sendiri sebagai individu yang nilainya lebih besar dan berharga dari sekadar prinsip materi yang membutakan.



Artikel terkait:
Kamu Cewek Matre atau Cewek Realistis?
Share
Tweet
Pin
Share
37 komentar
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Terlalu Besar Untuk Gagal
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Just Listen
  • Bukan Salah Indonesia

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • The Phantom of the Opera: Di Balik Danau
  • Cuma Cerita
  • Priority Chat
  • Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Cuma Cerita #2
  • Kiamat Sudah Dekat
  • Spoonerism, Alasan di Balik Keselip Lidah
  • Bad For Good
  • 36 Questions Movie Tag

Blog Archive

  • ▼  2023 (1)
    • ▼  Februari 2023 (1)
      • Kejar Passion itu Omong Kosong
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (31)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

digital marketing Intermeso karir Krisis 1/4 Abad lifestyle Opini Perempuan Podcast Poetry Review slice of life Thoughts

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.