Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram twitter LinkedIn YouTube Spotify Email

Notes of Little Sister



Ketika normalisasi sekadar egoisme semata


Akhir-akhir ini gue sering menemukan kata normalisasi dilontarkan oleh orang-orang di linimasa twitter—lagi-lagi twitter. Entahlah, platform yang satu ini kayaknya sering banget memunculkan banyak diskusi-diskusi yang gak jarang menimbulkan “war” antar sesama pengguna. Sebagian karena merasa pendapatnya benar, sebagian karena merasa tidak ingin terlihat bodoh dan kalah. Contoh dari bahasan soal normalisasi ini adalah, pernikahan tanpa resepsi, normalisasi menikah saat sudah siap atau di luar dari usia yang selama ini dijadikan standard oleh masyarakat, normalisasi pakaian wanita bukan sebagai simbol sex supaya bisa meng-counter narasi yang menyalahkan pakaian sebagai sebab pemerkosaan, normalisasi mengejar karir di usia 25, sampai dukungan untuk menormalisasi pernikahan sesama jenis.

Dalam KBBI, normalisasi sendiri berarti tindakan menjadikan normal (biasa) kembali; tindakan mengembalikan pada keadaan, hubungan dan sebagainya yang biasa atau yang normal. Well, technically, normalisasi adalah kegiatan menormalkan sesuatu yang sebelumnya sudah normal, namun karena berbagai alasan, menjadi rusak dan harus dikembalikan kondisinya.

Sementara normal sendiri memiliki arti: menurut aturan atau menurut pola yang umum; sesuai dan tidak menyimpang dari suatu norma atau kaidah; sesuai dengan keadaan yang biasa; tanpa cacat; tidak ada kelainan: bayi itu lahir dalam keadaan normal.

Gue tahu, pada praktiknya normal hanyalah sebuah kata yang dibangun oleh masyarakat itu sendiri berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku, yang beberapa bisa saja tidak sesuai dengan norma dan aturan. Normal adalah sesuatu yang hanya bisa dibuat jika terlihat di permukaan. Gue pribadi pun setuju dengan beberapa narasi yang digaungkan, since we live in toxic society that is always trying to control our lives which shouldn’t be their concern whatsoever. Tetapi yang membuat ini tampak lucu adalah, gak sedikit orang-orang yang ikut-ikutan mendukung berbagai normalisasi hanya karena merasa segala apapun yang berlaku di masyarakat sekarang ini adalah sucks. Sehingga tagar-tagar yang berseliweran itu kebanyakan didukung oleh opini yang kurang jelas dan argumentasi yang hanya mengandalkan arogansi, serta egoisme yang dilindungi dengan ketidaktahuan, karena orang-orang tampaknya tidak terlalu paham apa saja aturan-aturan atau stereotip yang tanpa alasan dinormalisasi oleh masyarakat sejak lampau, dan mana saja yang memang sudah normalnya begitu, namun dipaksakan untuk normal agar sejalan dengan egoisme.

Normalisasi independensi untuk memilih kehidupan sendiri

Cuitan tentang beberapa contoh normalisasi di atas adalah sesuatu yang sangat gue dukung, karena sepertinya segala macam pressure bahwa kita harus menikah di usia sekian, sukses sebelum berusia 40 tahun, harus punya anak saat sudah menikah, perempuan gak boleh bekerja saat sudah menikah, adalah aturan-aturan yang memang dibuat sendiri oleh masyarakat karena orang-orang terbiasa untuk melakukannya. Padahal persoalan semacam ini gak bisa kita generalisasikan. Di negara-negara maju, Jepang contohnya, nggak ada tuh sekarang para orangtua yang memaksa anak mereka untuk menikah sebelum usianya mencapai 30 tahun (mungkin ada, tapi kasusnya sangat jarang), bahkan pasangan yang memiliki anak pun persentasenya sangat sedikit dibandingkan mereka yang tetap mengejar karir dan hidup berdua saja. It means, normal yang satu ini memang diberlakukan tergantung dari kebiasaan si masyarakatnya, tidak terpaku pada aturan atau norma tertentu. Tapi memang gak menutup kemungkinan banyak juga orang-orang yang bersikap demikian karena adanya anjuran bahwa anak perempuan harus berdiam diri di rumah demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di luar sana. Walaupun begitu, anjuran ini seharusnya gak menjadi pengekang untuk seseorang berkarir dan melakukan pekerjaan di luar rumah, karena toh ada juga ayat lain yang menjelaskan untuk kita mengejar pendidikan setinggi-tingginya, baik laki-laki maupun perempuan.

Namun yang menjadi concern gue soal normalisasi ini adalah, gerakan mendukung pernikahan sesama jenis, which in my honest opinion, di Indonesia sendiri memang bukan sesuatu yang bisa dikatakan normal, baik secara norma sosial, agama, dan hukum negara mengenai Undang-Undang Perkawinan.

Tadi katanya normal itu hanya sebuah kata dan kondisi yang dibuat-buat oleh masyarakat umum, aturan-aturan yang berlaku dalam hukum mestinya bisa diubah dong? 

Terlalu kolot, konservatif.

Yaa nggak begitu juga. Gak semua hal yang sudah dibuat dari beberapa puluh tahun lalu, bahkan ratusan tahun lalu, bisa kita ubah mentah-mentah hanya karena mengikuti zaman. Memangnya kita mau mengikuti arus zaman yang jelas-jelas makin keras dan menyimpang? Apa orang-orang zaman dulu sebodoh itu sampai apa-apa yang diciptakan dari dulu disebut kolot dan gak sejalan? Bagaimana tentang agama yang memang sudah ada dari zaman dulu kala? Gak bisa dipakai juga untuk kehidupan sekarang?

Undang-undang, norma sosial, agama, regulasi, pokoknya segala aturan yang dibuat perihal perkawinan ini tidak bisa disamakan dengan stereotip yang beredar tentang karir, pilihan untuk memiliki anak atau tidak, dll, karena dibuat dengan proses yang matang dan gak main-main. Sementara aturan bahwa kita harus menikah muda, harus lulus kuliah umur sekian sekian, dan sebagainya, adalah sesuatu yang memang berasal dari stereotip masyarakat, yang lama-lama dijadikan normal.

So, lo accusing penyintas LGBTQ sebagai orang yang nggak normal, begitu?

Merujuk pada pengertian di atas, dan melihat kondisi di Indonesia yang sebagian besar heterogen, gue bisa bilang begitu. Dari sisi biologis pun, baik manusia maupun binatang, alamiahnya dipasangkan sebagai laki-laki dan perempuan, betina dan jantan, yang dapat menghasilkan keturunan dan generasi baru. Meski pada akhirnya ada berbagai dinamika yang terjadi dalam proses evolusi, seperti yang kita lihat sekarang. Oleh karena itu ditemukanlah orang-orang yang—baik secara alami atau tidak—memiliki orientasi seksual berbeda dengan identitas gendernya, yang kemudian dikelompokan menjadi heteroseksual, homoseksual, biseksual, dan aseksual. Beberapa asosiasi ilmuwan, seperti American Academy of Pediatrics (AAP) dan American Psychological Association (APA) pun berpendapat, bahwa orientasi seksual merupakan kombinasi kompleks yang melibatkan banyak faktor. Beberapa di antaranya adalah faktor biologis, psikologis, dan lingkungan. 

Baca juga: How I See Feminist as a Muslim

BUT, gue nggak semata-mata menjadi homophobic dengan bilang seperti itu. Setiap orang tentu punya pendapatnya sendiri tentang hal ini. Terserah mau mengambil kesimpulan dari mana, logika, agama, atau science. Gue sendiri berusaha untuk berpikir lebih bijak dan mencampurkan ketiganya, bahwa kita juga perlu yang namanya batasan. Tapi dari batasan-batasan itu bisa kita pilih yang mana yang memang berdasar dan yang mana yang tidak. Gue hanya khawatir kalau kita sembarangan menggunakan kata normalisasi, hingga kemudian orang-orang benar menormalkan sesuatu hanya karena ramai diperbincangkan, nilai-nilai moral, budaya dan agama pun akan luntur secara perlahan. 

Gimana sama masa depan cucu dan cicit-cicit kita jika hal yang dinormalisasi adalah semacam ini? Ngeri gak sih ngebayangin kalau nanti ada banyak anak yang lahir tanpa tahu siapa ayah dan ibu kandungnya karena dia diadopsi oleh pasangan-pasangan non-hetero, kemudian terbiasa dengan kondisi seperti itu dan membenarkan apa yang dia lihat. Yaah, walaupun kenyataannya banyak juga anak-anak dari pasangan berbeda jenis yang menderita dan tidak tumbuh dengan baik karena treatment dan didikan yang salah dalam keluarga. I just can't imagine what's worse than all of this.

Again, it's all just my opinion. Gak semua orang harus sependapat dengan gue, toh seperti yang gue bilang di postingan ini, gue sama sekali nggak bermaksud mendiskriminasi orang-orang di komunitas LGBTQ, masalah perbedaan konsep dan sudut pandang adalah sesuatu yang natural sebagai manusia. I know this may be very difficult for them to be different from the people they used to be, and they may have been struggling a lot to be accepted in their circle. Sepertinya gue gak akan bosan untuk mengatakan ini, we can disagree their concept to be the way they are and to live the life they want, but it doesn't mean we can't respect each other to be the better version of ourselves. 

Sejujurnya gue sangat menyayangkan orang-orang di media sosial yang menuduh seseorang homophobic hanya karena berseberangan dengan perspektif mereka soal ini. Dalam kasus berpakaian pun, ada juga cerita menarik yang gue temuin di twitter kemarin. Jadi, ada seorang cewek yang diperkosa di salah satu hotel setelah diajak minum-minum sama dua laki-laki—salah satunya si pelaku, yang sebetulnya gue gak tau motif mereka minum-minum di hotel itu apa. Kemudian orang-orang meributkan soal laki-lakinya yang gak bisa menahan diri dan menjaga pandangan, terus membela si perempuan yang jelas menjadi korban pemerkosaan. Ada juga yang menyalahkan si korban karena dia yang udah mabok dan mau aja diajak ke hotel sama cowok—walaupun cuma ngobrol dan gak pesen room misalnya. Dari perdebatan itu juga muncul narasi untuk jangan menyalahkan pakaian korban pemerkosaan, kalau memang cowonya yang nafsu ya dia yang salah. 

Honestly, gue melihat dua-duanya gak ada yang benar, sih. Kalau gue pribadi, minum sama cowok di restoran hotel dan ceweknya cuma gue sendiri aja udah kelihatan gak beres. But yash, gak lantas gue juga membela si cowok lah. Rapist gak pernah bisa dibenarkan apapun alasannya, tapi kita sebagai warga negara khususnya masyarakat beragama pun tahu bahwa alkohol bukan sesuatu yang diperbolehkan. Apalagi berurusan sama hotel-hotelan, serem sih gue ngebayanginnya. Yah, gak ada habisnya memang kalau ngomongin soal kelakuan-kelakuan pengguna medsos zaman sekarang yang meng-counter argumen orang lain untuk jangan bawa-bawa agama, dll. Padahal negara dan agama itu dua variabel yang terkait, karena kita tinggal di sebuah negara yang berpancasila, punya batasan dan bukan liberal—seharusnya.

Intinya, semua orang berhak melakukan apa yang dia suka, apa yang dia mau dengan responsibility yang dipegang masing-masing. Tapi, please jangan memaksakan sesuatu yang berada di luar batas daripada yang kita yakini selama ini. Kalau lo merasa nggak nyaman dengan suatu aturan dan berharap society menerima hal yang menurut lo nyaman, jalannya gak serta merta harus dinormalisasi. Ada proses yang panjang di dalamnya. Kita juga perlu memikirkan dampak jangka panjang, apakah yang kita suarakan itu memberi pengaruh positif untuk keberlangsungan masa depan, atau justru meninggalkan kesan buruk.

Mending lo menormalisasi got atau gorong-gorong yang banyak sampah dan kotor lah misalnya, menjadi saluran irigasi yang diisi banyak ikan koi dan ramah lingkungan kayak di Jepang. That would be great! Kira-kira ada ide-ide lain?

 

Share
Tweet
Pin
Share
31 komentar

Berpuisi tentang makna

Halo! Semenjak mulai rajin nyicil nulis sedikit demi sedikit, baru lewat seminggu gak update kok kerasanya lama banget yaa😂. Seminggu ini kayaknya bisa kehitung jari kapan aja gue blogwalking, jadi sedih karena belum bisa menyambangi blog teman-teman dan kakak-kakak sekalian, karena dari kemarin sibuk kejar setoran untuk postingan di blog. Penyebabnya adalah beberapa minggu kedepan gue mau fokus dulu selesain tugas-tugas yang utama, jadi gue sebisa mungkin menyiapkan beberapa postingan yang siap update biar gak kosong amat blog ini:')

By the way, semoga nggak bosan yaa dengan puisi2an, karena gue bawa sesuatu yang baru! HEHEHE. Jadi, gue baru inget pernah buat podcast ala-ala yang namanya sama kayak judul blog ini, alias Notes of Little Sister beberapa bulan lalu. Podcast itu isinya semacam puisi atau kumpulan kata-kata puitis gitu (yang sebenernya curhat sih😝), yang diilhami sama akun instagram ala-ala pula, dan baru gue isi dua postingan. Podcast yang episode 2 nya berjudul Pertemuan, bisa didengarkan di bawah ini. 



Untuk kedepannya mungkin gue bakalan masukin juga puisi-puisi di blog ini ke dalam podcast supaya podcastnya tetap hidup, dimulai dari postingan yang ini gue jadiin episode 3. Yaah, semoga ini bukan sekadar wacana. Oh iya, kalau suara gue terdengar annoying, skip aja ya, willing untuk baca tulisannya aja udah cukup banget kok! Ini cuma selingan aja biar gak bosan dan kosong kerasanya, dan sejujurnya gue pun gak mendalami soal sastra, jadi jangan harap akan sewow itu pembawaannya😁. Okelah kalau begitu, kita langsung saja! 

Share
Tweet
Pin
Share
32 komentar

Hari minggu waktunya berpuisi! Kategori ini belum pernah gue bikin sih sebelumnya, tiba-tiba kepikiran aja tentang puisi saat lagi ngubek-ngubek notes buat mencari sisa-sisa draft yang belum dilanjut dan bertemu lah dengan sepucuk kegelisahan beberapa waktu lalu. Kebetulan gue memang suka juga nulis-nulis puisi alakadarnya, seringnya cuma puisi satu bait yang biasa di-upload di instagram Notes of Little Sister . Untuk versi yang panjang-panjangnya, gue berencana buat posting di blog. Akhir kata, anggap lah puisi menyedihkan di bawah ini sebagai pembuka, ya! Sorry if it's too dark to read, i promise will write something nice and happy next time!😁 xoxo

*I wrote this three months ago, when everything seems blurry since coronavirus invaded my country.
Share
Tweet
Pin
Share
24 komentar

review film little women

Baca dulu postingan ini sebelum mengenal cewek-cewek tangguh di Massachusetts:

Keliling Paris dan Concord Dalam Dua Hari

o-o

Setelah jalan-jalan ke Perancis, gue istirahat sebentar dan beralih ke Massachusetts, masih di abad ke-19, yakni tahun 1868, setelah berakhirnya perang saudara Amerika. Beberapa tahun perjalanan setelah Revolusi Perancis yang dipimpin Eddie Radmayne dan Aaron Tveit. 

Sebelum itu gue mau ngingetin nih, postingan yang ini dan sebelumnya cuma sebatas review abal-abal, selebihnya cerita plus pendapat gue soal film keduanya, bukan konten khusus review yang terstruktur dan jelas karena sejujurnya gue nggak sebakat itu untuk review sesuatu😂 Terakhir kali gue nge-review film itu waktu ada tugas Sakubun atau karangan sekitar dua tahun lalu *hmm lumayan lama. Jadi, yeah, intinya gue cuma pingin sharing soal tontonan gue beberapa hari ini. Yuuk mari kita lanjoott!
Share
Tweet
Pin
Share
18 komentar

Review Film Les Miserables
Pertama-tama, mari do'akan gue supaya beneran bisa keliling Eropa dan Amerika suatu hari nanti😂

Baiklah, kita mulai aja✈️! Beberapa hari yang lalu gue jalan-jalan ke Toulon dan Paris sama ke Concord, Massachusetts, lewat film Les Misérables dan Little Women. Film berlatar abad 19 kebawah selalu menarik buat gue karena kita seperti benar-benar diajak untuk menikmati suasana di masa perang dulu, atau kalau bukan masa perang ya suasana di negara-negara Barat atau Eropa jaman dulu. Sejujurnya gue udah tau kedua film ini dari lama, apalagi Les Misérables yang tayang di tahun 2012. Untuk film Little Women sendiri gue udah tau sejak Emma Watson mulai gencar promosi film ini di instagramnya, tapi gue baru punya keinginan untuk binge watching akhir-akhir ini. Yep, i'm the type of person who will watch something because i want to, not only because i know it.

Okay langsung sajaa!

Review Film Les Miserables

Les Misérables bercerita tentang perjuangan mantan seorang narapidana, Jean Valjean yang menjalani hukuman selama 19 tahun lamanya di atas kapal kerja paksa hanya karena mencuri sebongkah roti, yang saat itu terpaksa ia lakukan untuk memberi makan anak dari saudarinya yang kelaparan. Saat bebas dari masa tahanannya, hidup Jean Valjean tidak lantas benar-benar bebas. Jelas karena statusnya sebagai mantan napi, tidak mudah bagi Jean Valjean untuk bisa hidup normal dan mencari pekerjaan seperti orang tanpa dosa. Belum lagi dengan kenyataan dia harus selalu berhadapan dengan Javert, seorang inspektur polisi yang menganggap dirinya bersih dan sangat menjunjung tinggi hukum, yang selalu mengincarnya saat Valjean menghilang dan membuang surat pembebasan bersyaratnya. 

Kisah Les Misérables ini nggak hanya menceritakan tentang Jean Valjean, tapi juga menampilkan kehidupan rakyat kota Paris dan Toulon (mostly di kota ini sih) pada masa itu dan orang-orang di sekitar Jean Valjean, yaitu Fantine, seorang buruh yang pernah bekerja di pabrik milik Monsieur Le Mayor yang sebenarnya adalah Jean Valjean, merelakan hidupnya bekerja di tempat prostitusi agar dapat menghidupi anaknya yang dititipkan pada pasangan Thenardier. Kemudian ada Cosette (anak dari Fantine yang kemudian diangkat Valjean menjadi anaknya), pasangan suami istri Thenardier dan Madame Thenardier yang picik dan penipu, namun juga komikal, aktivis Revolusi Perancis atau Republikan seperti Marius Portmency dan Enjolras, Eponine yang merupakan anak dari pasangan Thenardier dan mencintai Marius, dan masih banyak lagi. Karena latar cerita ini adalah abad 18, 15 tahun setelah dimulainya Revolusi Perancis, genrenya termasuk fiksi sejarah. Les Misérables sendiri jika diterjemahkan berarti orang-orang yang malang, sangat menggambarkan isi cerita secara general.

review film les miserables

First of all, gue nggak bisa sepenuhnya membandingkan film ini, baik dengan novel maupun drama musikalnya karena pertama, gue nggak punya novelnya, dan kedua karena gue belum pernah nonton langsung drama musikalnya, which is ada di Broadway dan West End. Namun dari yang gue tahu, film dengan durasi kurang lebih 2,5 jam ini rasanya gak cukup untuk menceritakan dinamika kisah perjalanan Jean Valjean secara jelas, seperti bagaimana dia melalui hari-hari yang sulit saat meninggalkan sosok "Jean Valjean" dan berganti nama menjadi Monsieur Madeleine yang sukses di kota itu dan dikenal akan kebaikan hatinya, sehingga bisa diangkat menjadi seorang walikota. Kemudian bagaimana dia menjalani hari-harinya setelah mengadopsi Cosette dan terpaksa harus hidup kembali dalam pelarian selama bertahun-tahun setelah mengakui jati dirinya yang asli. Oleh karena itu alur ceritanya akan terasa begitu cepat, sehingga kita seakan ngga diberi jeda untuk bisa bernapas sebentar, sebab gak mungkin novel sebanyak 1900 halaman—yang sekaligus dikenal sebagai novel tertebal—bisa muat untuk diceritakan secara detail dalam sebuah film. Meski begitu, secara keseluruhan ceritanya bisa dinikmati dan tetap masuk akal untuk mewakili garis besar isi novel. Novel Les Misérables sendiri ditulis oleh Victor Hugo, diterbitkan pertama kali pada tahun 1862, dan secara umum dianggap sebagai salah satu novel terbesar pada abad kesembilan belas. 

Selanjutnya gue bisa sedikit membedakan antara film ini dengan drama musikalnya dari segi vokal. Of course, gue nggak berekspektasi bahwa feel musikalnya akan sekental di Broadway maupun West End, karena pemainnya memang bukan aktor dan aktris musikal. Mungkin cuma Hugh Jackman, Samantha Barks sama Aaron Tveit yang berpengalaman sebagai aktor musikal, sisanya aktor-aktor yang biasa kita temuin di hollywood yang memang punya bakat nyanyi. However, akting mereka udah pasti gak bisa diragukan and the way they sing the numbers wasn't that bad kok. *Iyalah, orang Anne Hathaway aja sampe dapet Piala Oscar dan Golden Globe Award, begitu juga Hugh Jackman yang menang Best Actor di Golden Globe. Gue hanya terbiasa dengerin versi teater musikalnya. Btw, dari film ini gue jadi tau kalau Eddie Radmayne bisa nyanyi dan suaranya oke punya! Doi meranin Marius, aktivis yang pura-pura miskin padahal cucu dari bangsawan, dan jatuh cinta sama Cosette. Ketauan kan dari sini ada benih-benih cinta segitiganya:)

review film les miserables

Overall, film ini sangat menyentuh dan bikin gue pengen mewek di beberapa part. Apalagi di scene terakhir dimana Valjean berhalusinasi ketemu Fantine saat ajal menjemputnya, lalu saat Cosette mendatanginya, ada rasa sedih dan sesak yang tertahan saat ngeliat hubungan ayah dan anak angkat harus berpisah tepat setelah Cosette menikah dengan Marius. Ditambah scene saat Valjean berjalan menuju "peristirahatan" terakhirnya ditemani sang Uskup yang menjadi sosok di balik perubahan hidup Jean Valjean di awal cerita, dan Marius jadi satu-satunya orang yang masih hidup yang mendengar lagu tentang revolusi alias lagu Do You Hear the People Sing di akhir bikin sedih gak ketulungan. Iya, dia jadi satu-satunya aktivis yang selamat pada pemberontakan itu. Sedih banget😭 

Satu lagi yang bikin gue beneran nangis walaupun nonton berkali-kali adalah saat Gavroche, sosok anak kecil yang tergabung dalam barisan aktivis French Revolution mati ditembak di depan barikade. Dia adalah salah satu tokoh favorit gue di film ini, karena bayangin aja anak kecil, punya semangat juang, innocent, dan lucu at the same time, adalah sesuatu yang jarang ditemukan di dalam film peperangan. By the way dari sini gue jadi tahu bahwa pada sekitar abad itu, di Perancis memang banyak sekali anak-anak kecil yang tumbuh di jalan dan berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Gavroche dan beberapa temannya mungkin representasi dari anak-anak yang lahir di era itu.

review film les miserables

Dan ya, lagi-lagi ditambah musical score-nya yang khas dan menggugah bikin gue semangat buat dengerin sampe beres. Karena film ini benar-benar fully musical sampe ke dialog-dialognya, gak kaya beberapa film musikal Disney yang masih ada beberapa dialog antar pemain, jadi buat sebagian orang pasti ada yang gak tahan dikit-dikit nyanyi. Padahal nyanyinya pun  gak yang happy dan lovey dovey gitu, nggak. Semuanya tentang perjuangan dan rasa sakit. Jujur gue pertama tau Les Miz ini dari lagu-lagu/score-nya, since i am a big fan of musical. Jadi gak heran kalau setelah nonton ini, lagu One Day More, I Dreamed a Dream, Suddenly, Do You Hear the People Sing akan terus terngiang-ngiang di telinga gue. Habis ada semacam semangat revolusi yang bisa gue tangkap dari beberapa lagu itu. Oh iya, tadi gue sempet bilang kalau film musikal ini gak sekental musical theater di Broadway dan West End, no doubt karena memang ini film, bukan teater. So yeah, since it's a musical film, semua yang ada dalam film ini bisa dibilang adalah kombinasi yang perfect dan incredible. Dari mulai akting, musikalisasi, kostum, studio, sampai urusan tata rias. Makanya mereka benar-benar pantes buat dapetin penghargaan bergengsi.


Despite dari beberapa kekurangan dalam film ini yang dilayangkan beberapa orang, ada beberapa hal yang
 gak kalah penting buat dibagikan, yakni pesan moralnya. Tema cerita yang begitu kompleks dan luas, membuat film ini sarat akan pesan tentang agama, percintaan, dan kehidupan sosial yang begitu represif di bawah monarki Perancis. Plus bagaimana kaitannya antara cinta, agama dan moralitas dijadikan satu dalam beberapa adegan. Seperti saat Uskup yang baik hati membantu membebaskan Valjean dari polisi setelah dia ketahuan mencuri silverware dari gerejanya, dengan mengatakan bahwa dia memang memberikan barang-barang itu dan Valjean tidak mencurinya, padahal di malam harinya Jean Valjen telah ditolong oleh Uskup tersebut dengan diberi makan dan tempat singgah. 

Perbuatan Uskup itupun telah mendinginkan hati Jean Valjean dari dendam yang dalam untuk kemudian melihat Tuhan dan hidup dengan cinta. Kehidupan rakyat Perancis pada masa itu sepertinya memang masih begitu kental dengan katolik romanya, dibandingkan sekarang yang justru setengah populasi diketahui menjadi atheis / tidak ber-Tuhan, yakni 25.982.320 - 32.628.960 atheis, sekitar 43-54% dari total populasi.

Terakhir nih informasi yang menurut gue penting, Revolusi Perancis yang digaungkan kelompok Republikan yang dipimpin Enjolras dan Marius dalam film ini sebetulnya adalah Pemberontakan Juni yang terjadi pada tahun 1832, bisa baca disini untuk lebih lengkapnya. Ini salah satu yang membuat gue nggak menyesal menghabiskan berjam-jam film musikal ini, ada sejarah yang nyata di balik kisah fiksi seorang pencuri roti di pinggiran kota di Perancis. Karenanya, gue jadi riset kecil-kecilan tentang perjuangan Revolusi Perancis yang nggak ada habisnya pada masa itu. Semoga delapan tahun belum begitu terlambat buat gue menyaksikan masterpiece ini.



Klik postingan selanjutnya di bawah ini untuk film Little Women:

Belajar Berproses Lewat Film Little Women


Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Terlalu Besar Untuk Gagal
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Just Listen
  • Bukan Salah Indonesia

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • The Phantom of the Opera: Di Balik Danau
  • Cuma Cerita
  • Priority Chat
  • Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Cuma Cerita #2
  • Kiamat Sudah Dekat
  • Spoonerism, Alasan di Balik Keselip Lidah
  • Bad For Good
  • 36 Questions Movie Tag

Blog Archive

  • ▼  2023 (1)
    • ▼  Februari 2023 (1)
      • Kejar Passion itu Omong Kosong
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (31)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

digital marketing Intermeso karir Krisis 1/4 Abad lifestyle Opini Perempuan Podcast Poetry Review slice of life Thoughts

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.