Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram twitter LinkedIn YouTube Spotify Email

Notes of Little Sister



How i see feminist as a muslim


Berawal dari kemunculan gerakan feminis yang menyuarakan aspirasinya untuk mendukung hak perempuan, kemudian merembet ke isu-isu seputar kasus pelecehan yang ternyata semakin meningkat setiap tahunnya. Masyarakat kita seakan baru sadar bahwa masalah perempuan ternyata nggak sesepele kelihatannya. Stereotip gender, KDRT, kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual fisik dan non-fisik adalah beberapa dari segelintir kasus yang sering menghantui kaum perempuan. Kasus yang sering dianggap "apaan sih" sama sebagian orang di luar sana, karena manusia-manusia yang hobi bercanda. Yeah. Tapi bukan tentang kasus-kasus itu yang mau gue bahas disini,  karena seperti yang kalian sudah tahu, hampir  di setiap negara di belahan dunia manapun, perempuan selalu menjadi sosok yang tertindas, dianggap lemah, dan nggak bisa apa-apa.

Jujur, pertama kali denger di Indonesia mulai aktif ada gerakan ini, gue sangat menyambut dengan senang hati, karena menurut gue belakangan ini emansipasi di negara kita mulai kembali dipertanyakan. Meski keadaan perempuan jaman sekarang gak sesulit dan semengekang dulu, kenyatannya di luar sana masih ada aja orang yang terbelenggu sistem patriarki dan bahkan sengaja memanfaatkannya untuk menyudutkan kaum perempuan. Akun-akun anti feminis, contohnya, yang selama ini menurut gue terkesan selalu mencari kesalahan dari poin-poin yang diperjuangkan feminis, dan bahkan mengaitkan semuanya dengan agama, bahwa feminis tidak sejalan dengan napas Islam dan Islam nggak butuh feminis karena ia sudah sangat sempurna dalam memuliakan kaum perempuan. I see.

Yep, Islam memang sudah sempurna mengajarkan kita betapa istimewanya kaum perempuan, karena itu laki-laki memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan dan menafkahi perempuan/istrinya. Oleh karena itu pula, saking sempurnanya Islam menjelaskan dan mengatur posisi laki-laki dan perempuan lengkap beserta teknisnya, seharusnya sudah jelas bahwa Islam juga fleksibel di setiap zaman. Sebelum ada feminis, Islam sudah lebih dulu progresif mengatur keadilan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan kodratnya, dan menjunjung tinggi keadilan untuk semua umat, siapapun dan bagaimanapun mereka. Sebagai muslim, gue tentu mengikuti apa yang agama gue ajarkan. Tapi sebagai warga negara Indonesia, gue juga mendukung feminis.

"lah, berarti lo liberal dong? kurang baca, labil, jangan2 pro-LGBT!"


Friends, let me tell you. Kita ini tinggal di negara yang beragama dan sekaligus berpancasila. Ada lima agama yang diakui secara legal oleh negara. It means everyone comes with different culture and backgrounds of point of view about women, equality, and feminism itself. Sebagai warga negara, menurut gue pemikiran itu sah-sah aja untuk diaplikasikan mengingat gak semua orang mengerti dan paham akan agama Islam. Siapa tau juga kan agama lain menjelaskan kemuliaan perempuan di dalamnya? Oleh karena ketidaktahuan itu, salah satu cara agar kita bisa satu suara dan bersama-sama menuntut keadilan atas hak-hak yang direnggut in terms of humanity, adalah dengan mendukung gerakan ini. Bukankah semua agama mengajarkan akan pentingnya kemanusiaan?

Seperti tulisan yang gue kutip dari tirto.id, menurut penulis Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan (2005), kelompok penentang feminisme tak menangkap bahwa sebenarnya Islam sudah siap untuk memperkenalkan esensi kemanusiaan seperti yang dilakukan oleh para feminis.

Gue tau para ekstrimis di luar sana banyak yang memberi judgment dan seakan sudah anti-pati duluan bahwa feminisme itu erat kaitannya dengan melegalkan LGBT, melegalkan zina dan aborsi, kemudian menutup mata begitu aja. Mungkin kalian benar, di negara-negara Eropa sana fungsi dan paham feminisme menjadi sebesar itu—karena aliran feminisme sendiri terbagi ke dalam beberapa jenis, tapi selama yang gue tahu, ketika kita menyebut diri kita sebagai feminis, it doesn't mean we supported every single thing of what really feminism is.

Cause basicly, you decide what feminism is for you.


Sampai  saat ini dan seterusnya, gue termasuk orang yang percaya bahwa feminis nggak selalu berarti mendukung LGBTQ, melegalkan zina dan menyetujui prostitusi akibat tulisan "my body is mine". Siapapun bisa mengartikan sendiri apa itu gender buat mereka, apa itu definisi "my body is mine" bagi mereka. Toh bagi gue, gender ya cuma dua, laki-laki dan perempuan. Walaupun begitu, gak lantas gue mendiskriminasi mereka yang jalan hidupnya itu berbeda dari kebanyakan orang, gak lantas gue menjadi homophobic dan menghardik mereka, apalagi sampe membakar hidup-hidup transpuan seperti yang terjadi di Jakarta beberapa waktu lalu—Astaghfirullah. Jangankan soal itu, bahkan di dalam feminisme sendiri sebenarnya gak ada lho misi-misi berujar kebencian terhadap laki-laki, karena menjunjung kesetaraan bukan berarti melemahkan gender yang lainnya. Perihal kemanusiaan, gak ada kata diskriminasi, semua manusia berhak untuk hidup dan memperoleh keadilan. Who are we to judge? Sebagai muslim, kita pasti paham betul ada zat yang Maha yang punya kewenangan menghakimi dan menghukum hamba-Nya.  We can disagree their point of views but it doesn't mean we can't respect them to be what they want to be. Equality doesn't only live on gender issues but on all aspects that fight for the right of all people's lives. 

Di samping itu, soal "my body is mine", tubuh kita dan semua hal di dunia ini pun memang benar milik Tuhan, yang ada dalam kontrol kita. Gak salah kalau ada hashtag yang menyuarakan soal #tubuhkuotoritasku, karena pada kenyataannya memang tubuh kita ada dalam tanggungjawab kita dan gak bisa semena mena diatur orang lain. Adanya kalimat seperti itu pun karena dipicu oleh perlindungan terhadap perempuan yang selama ini dianggap sepele, terbukti dengan banyaknya kasus pelecehan, pemerkosaan, dan kejahatan seksual lainnya.  Oleh karena itu pula, nggak ada yang namanya tubuh kita milik seseorang, milik germo, milik suami, atau apapun itu. Pun jika semuanya milik Allah,  justru kita berkewajiban untuk menjaga diri kita, melindungi tubuh kita sebaik-baiknya, bukan untuk dianggap mainan dan dijadikan ajang pemuas nafsu kaum lelaki. Namun dalam konteks yang lebih luas ini, narasi #tubuhkumilikAllah yang digaungkan @Indonesiatanpafeminis dirasa kurang tepat karena gerakan ini bukan hanya berlaku dalam lingkup Islam, tapi seluruh aspek, menyangkut kemanusiaan. Kita tinggal dalam keberagaman, bukan?

Eits, tapi tunggu, gue gak sedang ngedismiss fakta bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan sangat memuliakan kaum perempuan hanya untuk berusaha sejalan dengan feminisme, apalagi mendesakralisasi nilai Islam. Dalam beberapa aspek, gue tidak menolak bahwa laki-laki posisinya di atas perempuan karena dialah yang memegang penuh tanggung jawab, terkhusus dalam kehidupan berumah tangga. Gue juga yakin kenapa dalam Islam sendiri "seakan" menanamkan budaya patriarkial, karena tujuannya adalah untuk membedakan bahwa bagaimanapun laki-laki dan perempuan secara kodrat berbeda, dan harus dibatasi supaya nggak melampaui kodratnya. Itupun sebenarnya bukan patriarki, karena patriarki sendiri berarti suatu kondisi dimana lelaki memegang kekuasaan penuh di atas perempuan dengan tidak memberi suatu kebebasan apapun, mengekang, mendiskriminasi, dan bisa jadi mengintimidasi.

Can you get my point there?


Menjadi seorang muslim dan warga negara yang baik nggak mesti selalu kaku. Apalagi Islam sendiri agama yang sudah sangat-sangat sesuai di masa apapun kita hidup, jelas karena itu datangnya dari Allah dan menjadi tuntunan hidup di dunia. 

Gue yakin kita semua sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk, serta mana yang bisa diterima dan tidak. Kemudian menyeimbangkan antara keduanya—maksudnya adalah, ketika lo menemukan ada sesuatu yang salah, gak ada yang menyuruh lo untuk menelan paham itu bulat-bulat, kan?

Tentu, gue pun masih harus belajar banyak tentang ini, tapi bicara soal kemanusiaan IMHO seharusnya kita gak perlu membutuhkan teori yang serasional mungkin hanya untuk berperilaku baik terhadap sesama. Bukankah katanya poin penting dari gerakan feminisme adalah memperjuangkan hak-hak perempuan yang tertindas dalam ruang lingkup sosial, politik, masyarakat, dan pendidikan?

Toh, ketika ada sisi positif yang bisa kita ambil dari feminis untuk kemaslahatan bersama, kenapa nggak? Ketika keduanya bisa berjalan bersamaan, kenapa nggak? Selama kita nggak lupa akan apa yang agama kita ajarkan, dan selama kita nggak terbawa arus feminisme yang radikal, liberal dan ekstrim, kenapa nggak, kan? Bisa jadi, paham itupun datangnya dari Allah supaya kita bisa belajar lebih banyak tentang agama-Nya dan lebih bijak dalam melihat dua sisi. Bahwa inti dari semuanya adalah menginginkan kesejahteraan bagi sesama umat manusia.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
I'm not like the other girls


Entah kenapa pikiran gue malam ini random sekali. Something about misogynist has just popped up into my head for no reason—since it's become a real thing now. Bagi yang masih kurang familiar dengan kata ini, secara umum misogini didefinisikan sebagai kebencian atau rasa tidak suka terhadap perempuan, dan dapat diwujudkan dalam berbagai cara; diskriminasi seksual, fitnah perempuan, kekerasan terhadap perempuan, dan objektifikasi seksual. Sederhananya, misogini ini semacam tindakan menyepelekan dan merendahkan kaum perempuan, seperti yang kalian sering dengar bersamaan dengan budaya patriarki.

Mungkin kita lebih sering dengar kasus-kasus diskriminatif terhadap perempuan dan tindakan-tindakan mengobjektifikasi lainnya yang dilakukan oleh laki-laki. Tapi tahukah kita? Bahwa misoginis itu gak selamanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Gue, kita, khususnya perempuan, justru berkemungkinan besar untuk melakukan hal yang sama terhadap sesama perempuan. Ini yang dinamakan misoginis terinternalisasi, atau bahasa kerennya internalized misogyny.

According to Cultural Bridges to Justice, internalized misogyny or sexism is defined as the involuntary belief by girls and women that the lies, stereotypes and myths about girls and women that are delivered to everyone in a sexist society ARE TRUE.

Seseorang dianggap mengidap internalized misogyny ketika dia secara nggak sadar sudah membenarkan stereotip, mitos dan kebohongan yang berkembang di society bahwa perempuan itu inferior, lemah, nggak bisa apa-apa, pantas diobjektifikasi, sudah kodratnya buat ngelayanin cowok, being the one to be blamed when she is literally a victim, terus berakhir di dapur—mau setinggi apapun pendidikannya, dan maaasih banyak lagi.

Apa kalian salah satu di antaranya?

Kalau iya, lebih baik refleksi diri, deh. Ingat-ingat lagi, coba sadari, apa kita sering merasa spesial dengan menjadi berbeda dari yang lain? But wait, we're not gonna end this topic here. There are sooo many interesting things to talk about. Tapi sebelum itu, here are some memes that you might have seen on social media:

i'm not like the other girls





That's quite ironic, isn't it?

Gue jadi teringat dulu sering banget self-proclaimed bahwa gue berbeda, gue nggak sama dengan orang-orang, hanya karena gue nggak suka warna pink seperti halnya kebanyakan perempuan. Gue memandang perempuan lain sebagai inferior sebab gue lebih bangga menjadi tomboy, karena itu artinya gue nggak sama dengan cewek-cewek stereotipikal yang hobinya dandan dan belanja. Gue juga cenderung julid saat ngeliat cewek lain yang gampang nangis hanya karena masalah sepele, hanya karena luka kecil. Gue merasa kuat  sebagai cewek hanya karena gue gak pernah pingsan dan terkapar di UKS. Terkadang gue prefer temenan sama cowok karena ngumpul bareng ciwi-ciwi somehow rempong dan banyaknya ngeghibahin orang (walaupun kadang cowok ghibahnya bisa lebih parah sih kyknya). Gue suka lebih percaya diri dengan make-up natural karena kalau make-up nya tebel-tebel, gue akan dicap centil dan dianggap "attention seeker". Gue merasa superior to other women karena gue nggak suka nontonin yucub yang isinya beauty vlogger dan beauty enthusiast,  walaupun pada akhirnya gue menikmati juga kok beberapa channel kecantikan. Dan serangkaian narasi "i'm not like other girls" lainnya.

Pada saat yang sama, ketika gue mulai suka beli skincare, suka beli barang-barang which i think it's too girly to buy or to wear before, gue jadi merendahkan diri sendiri. Gue malah mempertanyakan diri sendiri, "do u really wanna buy this women's product?". When actually i, myself, is naturally a woman. 

What's so damn wrong with being an average woman, tho? Why am i worrying those stereotypes too much? Gue pun seakan perlahan menjauh dari "menjadi perempuan" yang gue mau, padahal nggak ada yang melarang dan mendoktrin gue untuk secara konstan melakukan itu. Semua itu akibat internal misoginis gue yang nggak mau disamakan dengan perempuan manapun.

Pandangan seksis macem gini udah lama banget bertengger dalam diri gue, tanpa gue sadari, dan mungkin begitu juga kalian. Gue bisa aja bilang kalau cowok tuh nggak boleh begini begitu sama perempuan, nggak boleh mengobjektifikasi sesuka hati dengan ngomongin hal-hal yang berbau seksual, tapi gue lupa bahwa gue juga terkadang belittling mereka yang secara teknis ada dalam komunitas yang sama dengan gue. As a woman.

Maka dari itu, gue pun mencari tahu apa sih yang bikin kita-kita ini dengan mudahnya membenci dan merendahkan perempuan? Either laki-laki atau sesama perempuan sekalipun. Beberapa artikel bilang bahwa, dalam buku seorang pakar psikologi dari Universitas Cornell, yaitu Professor Kate Manne, lelaki yang misoginis bukannya membenci wanita. Mereka hanya tidak suka jika dominasi mereka sebagai lelaki terancam sehingga mereka menghukum, menyakiti, dan membenci wanita yang cenderung mendominasi dalam sebuah hubungan. Alasan yang pertama bisa jadi karena mereka punya trauma masa lalu atau masalah dengan ibunya. Kedua, para lelaki ini merasa frustrasi dengan definisi maskulinitas dan feminisme yang ada di masa sekarang. Ketiga, banyak mendapat penolakan romantis dari perempuan, sehingga perlakuan misoginisnya bisa berarti ajang balas dendam, etc. Ngeri banget, sih. Terakhir, mereka nggak mengerti tentang perempuan-perempuan yang selalu membawa paham feminisme dan bermain sebagai korban dalam aspek apapun, karena again, budaya patriarkial yang kuat yang masih mereka pegang.

Sementara untuk internalized misogyny sendiri, berdasarkan artikel yang gue baca, women are educated from infancy both explicitly and implicitly on “appropriate” ways to act, think, and feel. These cultural conceptions of womanhood are so deeply ingrained that they dictate performances of femininity, even behind closed doors.

Dari sejak kecil kita memang sudah dicekokin dengan berbagai perbedaan yang jelas antara laki-laki dan perempuan. Contoh kecilnya dari warna pakaian. Baju-baju anak perempuan identik dengan warna pink, sementara anak laki-laki adalah biru. Treatment yang berlaku di lingkungan sekitar pun memberi batasan apa yang harusnya dilakukan oleh anak laki-laki, dan mana yang harusnya dilakukan oleh anak perempuan. Mungkin untuk beberapa alasan, perlakuan itu penting dalam membatasi gerak si anak agar orientasi seksualnya nggak menyimpang. Tetapi, negatifnya, budaya itu jadi bikin kita nggak bisa lepas dari pandangan seksis yang ada. Sehingga ketika ada golongan perempuan yang merasa beda dengan perempuan kebanyakan, they will say that "i'm different!". "Nggak kayak lo pada yang suka pake rok mini dan liptint warna terang."

Salah satu contoh yang kentara banget di saat kita sudah beranjak dewasa, yaitu adanya oppresion yang menghubung-hubungkan harga diri dengan penampilan. Sebagai cewek, kalau mau gampang cari kerja dan gampang dapet relasi, penampilan itu nomor satu. Good looking itu suatu keharusan. Apalagi kalo cantik, beuuhh. Intinya sesuatu yang berkaitan dengan kecantikan, it all belongs to woman. Dan kalau penampilan lo dianggap buruk, kemungkinan harga diri lo akan dipandang rendah karena lo tidak cukup baik untuk menjadi seorang wanita. Akibatnya, sudut pandang itu jadi mengakar pada diri kita bahwa perempuan harus cantik, dan kalau nggak cantik-cantik amat ya berarti beda dari yang lain.

But then, it doesn't surprise me at all. Karena memang kenyataannya kebohongan, mitos dan stereotip itu sendirilah yang bikin internal misogini muncul, seperti yang sudah gue mention sebelumnya. Gue kemudian mencari-cari akar dari semua ini. Apa, sih? Apa yang menyebabkan pola pikir kita menjadi sebegitu dangkalnya mengekspresikan perbedaan?

Ternyata jawabannya cuma satu. Dan ini berlaku untuk semua orang. Gak cuma perempuan, tapi juga laki-laki. Can y'all guess it?

Ya, jawabannya ego. Manusia punya sifat natural yang ada dalam dirinya, yang gak mau dibandingkan ketika ada orang yang lebih baik dari dirinya—paling tidak menurut pandangannya. Ketika dia menemukan sesuatu yang terlihat biasa, dia akan menertawakan hal itu, meremehkan dan menganggap dirinya superior. Sesederhana itu jawabannya. Satu kata bisa mengubah jutaan mindset orang-orang terhadap femininity dan masculinity. I know this is super ironic!

Menjadi berbeda memang selalu terdengar mengesankan, karena itu berarti lo gak sama dengan orang lain.

"Lo unik!"
"Gak semua orang kayak lo."

Tetapi ketahuilah bahwa semua kata-kata itu menipu. Kita cenderung nggak menjadi diri kita yang sebenarnya, karena satu pujian itu bikin kita puas terhadap diri sendiri dan menyangkal keberagaman.

Di saat yang bersamaan, orang-orang yang merasa beda ini ketika dipuji cantik, mereka nggak bisa bohong kalau dari lubuk hati yang terdalam juga seneng ngedengernya (yah, namanya juga perempuan. Ujiannya itu ada di telinga, paling seneng kalo udah dipuji). Padahal itu artinya mereka sama dengan perempuan-perempuan di luar sana yang cantik, yang punya karakter dan keunikan tersendiri, and who's come with different shapes and sizes.

Jadi, masih gak mau disamain sama perempuan lain?

Pada awalnya mungkin sulit melepaskan diri dari internal misoginis yang selalu datang di pikiran kita tanpa diprediksi. Tapi kalau bukan diri sendiri yang berubah, siapa lagi?

Gue juga terkadang masih sekelebat menganggap orang lain inferior karena beberapa alasan. Tapi lantas gue tahu ini gak bisa selalu dibiarkan begitu aja. Karena dengan menyadari bahwa internalized misogyny adalah sesuatu yang harus dihindari, itu mengartikan bahwa kita menghargai setiap orang apapun dan bagaimanapun dirinya.

Gue pun sekarang bisa beli apa aja yang sebelumnya gue anggap 'terlalu cewek', karena pada akhirnya gue sadar, memiliki sesuatu yang 'terlalu cewek' tidak merusak citra diri gue sama sekali sebagai perempuan. Ketika merasa jadi cewek yang kuat pun, gue sadar mungkin itu suatu petunjuk bahwa gue harus bisa merangkul mereka-mereka yang tidak sekuat gue. Dengan menyadari semua itu, sekarang apapun terasa lebih jelas dan terang. Because basicly women are women. Gak ada spesialisasi perempuan yang begini dan begitu. Kalaupun beda, apa yang beda? Lo mau bilang, "apa cuma gue yang blablabla?"

Oh, no no no. Gak cuma lo yang beda, gak cuma gue yang beda. Kita semua pernah ada di posisi mempertanyakan itu kepada diri sendiri. Dan jawabannya nggak, bukan cuma lo yang beda karena lo nggak sendiri.

Anyway, kalau ada di antara kalian laki-laki yang pernah merasa demikian terhadap teman sesama lelaki, mungkin kalian juga mengidap internalized misandrist atau misandry. Dorongan maskulinitas yang berkembang dalam society sama halnya dengan femininitas yang berasal dari stereotip gender bahwa cewek itu biasanya begini, cowok biasanya begitu, dan tanpa disadari mungkin menimbulkan insecurity terhadap diri sendiri. I don't know how this happens to men tapi intinya sama, siapapun kamu di luar sana yang merasa minder atau merasa superior karena berbeda, laki-laki atau perempuan, sebaiknya ubah mindset kalian selayaknya dunia yang nggak sempit ini. Planet kita luas. Ada miliyaran orang di muka bumi ini dan kita bukan satu-satunya orang yang diciptakan berbeda.
Share
Tweet
Pin
Share
9 komentar
the importance of minimalism in our lives


Disclaimer: Tulisan ini dibuat dalam bahasa Jepang sebagai naskah untuk kontes pidato bahasa Jepang dalam Pekan Bahasa dan Budaya Jepang ke-45 & Lomba Pidato Bahasa Jepang Regional Jawa Barat 2019 (第45回バンドン日本語日本文化祭弁論大会) yang diselenggarakan oleh Japan Foundation. Namun gue menyertakan juga terjemahannya dalam bahasa Inggris di bagian bawah. Tulisan ini berisi tentang kaitan perilaku konsumtif di media sosial dengan gaya hidup minimalisme yang mana sangat menjadi concern gue. Selamat membaca dan jangan lupa sertakan komentarmu tentang artikel ini!❤️


「さようなら無駄遣い、ようこそミニマリズム」
アイナ・アウリヤ
皆さんは、普段インスタグラムやフェイスブック、ツイッターなどのSNSをよく使いますか?一日でも、SNSをチェックしていないと、落ち着かない人も少なくないですよね。
先月、たまたまユーチューブで、ある外国人のビデオログを見て驚きました。彼は昨年からSNSをやめた理由について話しました。本来、人と人のつながりを便利にさせるSNSが、最近は色々な商売の宣伝であふれて、そんなに必要ないのに、どんどん出てきた商品を買ってしまったそうです。たくさんの無駄遣いを辞めたいから、SNSを辞めるようになったと述べました。彼の話を聞いてから、私が普段、SNSにどれくらい時間を使っているのか、そして日常生活にどんな影響があるのか、について考え始めました。
SNSの影響の一つとして、私の生活に無駄遣いが増えたと感じています。面白いオンライン・ストアや、色々な商品を見るために、インスタグラムなどをよく使います。商品を宣伝しているセレブの投稿や、買った商品を見せている友達の投稿を見た時、私も欲しいと感じ、要らなくてもインターネットで同じ商品を探して買ってしまいます。このことから、SNSに私のお金や時間がたくさん奪われていることが、はっきりとわかります。また、物を買うためにお金を使うだけでなく、SNSを利用するためのインターネット代も忘れてはいけないでしょう。
最近、オンライン・ストアは本当に私たちの消費パターンを変えてしまったと思いませんか。以前は、商品やサービスには、その機能が必要なものだけを選んでいましたが、最近は、他の人にほめられるライフ・スタイルを作る考え方に変わってきています。これによって、悪い影響が出ると私は心配しています。
たとえば、女性は似ている服をいくつも買ってしまったり、男性はかっこいい電化製品を買ってしまったりすることが多いですよね。また、SNSでたくさん「いいね」などをもらうために、人気な物を買って投稿する人もいます。それによって、ライフ・スタイルはより不規則になり、商品を真剣に選ぶことも減り、しばしば買った後に騙されたと感じます。これを解決するためには、ほしいと思ったらすぐ買うのではなく、必要かどうかを考えて商品を買う、という生活パターンに戻す必要があります。
そのために、ライフ・スタイルにミニマリズムを取り入れるべきです。ミニマリズムとは、「無駄に多いものを捨て、本当に自分に必要なものだけを選ぶ努力」のことです。
最近、近藤まりえという日本人の名前をよく耳にしませんか。
彼女は、ミニマリズムのライフ・スタイルを取り入れているコンサルタントとして、人気を集めている日本人です。彼女の考え方は、コンマリ法と呼ばれ、「不要なものを捨てる」「落ち着いて幸せになれるものを大切にする」「人生で重要なことに集中する時間を自分に与える」という考え方です。私は、このミニマリズムのコンセプトで無駄な買い物を防げる、と思います。
考えてみれば、確かに商品は他人に見せてほめてもらうためではなく、使うために買うのです。私は、コンマリ法を使ってミニマリズムの生活を始め、無駄の多い生活を避けることが、良い第一歩だと思います。そのため、自分の持っているものに対してもっと感謝し、それらをもっと必要とする人々に与えることができます。このようにして、私たちは自分を幸せにするだけでなく、他の人を幸せにすることもできるのです。
それでは、SNSはどうでしょうか。
SNS自体が変わることは難しいです。変わることができるのは、自分だけです。SNSを使い、ミニマリズムのライフ・スタイルを広めるキャンペーンなど、前向きなもののために利用できます。そのため、これからSNSでやるべきことは、ミニマリズムを行う人々の写真を投稿し、コンマリ法の利点を共有し、そして、それらからどのような結果が得られるかについて、他の人に伝えることです。私自身も、これからオンライン・ショッピングを減らし、コンマリ法を実施してみたいと思います。

Eng-Trans:

Do you often use SNS such as Instagram, Facebook, and Twitter? Most of the time, there's a lot of people who don't feel comfortable when they don't check social media in a day, do they?

My curiosity about this issue led me to one of the shocking videos on youtube about someone's experience when he was using social media. He talked about why he stopped for being active on SNS since last year. Social media which initially made people's connection more convenient has recently been flooded with various commercial advertisements, which seem to make its users buy more and more unnecessary products. He said that he came to quit SNS/social media because he wanted to free of wasteful life. After watched his video, I started thinking about how much time I usually spend on social media and how it affects my life.

One of the effects that i feel of using SNS intensively is wasteful lifestyle that has increased in my life. I often use Instagram to see interesting online stores and various products. When I see a post from a celebrity promoting a product or a friend showing me what he or she's bought, I feel that I want it, and even if I don't need it, I search for the same product on the Internet and buy it. This clearly shows that my money and my time are being taken away by SNS. In addition to spending money to buy things, you should also not forget the internet bill or quota to use SNS.

Don't you think online stores have really changed our consumption patterns? In the past, only products and services that required their functions were selected. But lately, the concept has turned into a lifestyle that always wants to impress others. If this impulsive behavior continues, I'm worried that this will have a negative impact not only for ourselves, but also to our environment. For example, women often buy several similar clothes, and men often buy cool appliances without thinking whether they're really need those or not. Some people buy and post popular items to get lots of likes on SNS. As a result, lifestyles become more irregular, less serious selection of goods, and often feels deceived after buying. In order to solve this problem, it is necessary to return to the lifestyle pattern of buying a product based on whether it is necessary, rather than buying it only for showing off to people.

One thing we can do to overcome this is to incorporate minimalism into our lifestyle. Minimalism itself is "an effort to throw away useless things and choose only what is really needed."

Have you guys heard about Marie Kondo?

She is a Japanese who is gaining popularity as a consultant who practicing a lifestyle of minimalism. Her idea is called the 'Conmari Method', which is "throw away unnecessary things", "value things that calm down and make you happy", and "give yourself time to concentrate on important things in life". I think that this minimalism concept can prevent unnecessary shopping that we always do.

If you think about it, you certainly buy products for use, not to impress people, right? I think it can be good first step to start a minimalism life using the Conmari Method and avoid a wasteful life. So you can be more thankful for what you have and give them to those who need it more. In this way, we cannot only make ourselves happy, but also make others feel the same way.

So, what about SNS?

SNS itself is difficult to change. Only you who can change. It can be used for positive things such as a campaign to spread the lifestyle of minimalism using SNS. So one of the things you need to do on SNS is to post photos of people doing minimalism, share the benefits of the "Conmari Method", and tell others what the results will be. I myself would like to reduce online shopping and implement this great concept of Marie Kondo! How about you?



Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Fenomena ghibah dan menjadi individu


Sejak kecil gue termasuk anak yang super pemalu, gak mau kenal orang dan sangat pilih-pilih mana kiranya orang yang cocok sama gue dan bisa dijadiin temen. Beranjak remaja, karena merasa pertemanan gue kurang luas dan gitu-gitu aja, gue akhirnya decided untuk aktif di organisasi. Semua aspek dalam kepribadian gue yang kuper gue ubah abis-abisan waktu SMA, yang tadinya mungkin gue cuma jago ngomong di depan kelas pas pelajaran, gue coba beraniin diri untuk ngomong di depan orang-orang yang literally baru gue kenal dan bukan temen sekelas gue. Alhasil meluaslah lingkar pertemanan gue saat itu. Gue punya cukup banyak temen hampir dari semua kelas. Dari anak IPA sampe IPS, dan sejak saat itu gue yakin sama diri sendiri bahwa gue senang bersosialisasi. Menurut gue, seru aja gitu rasanya bisa kenal orang dan nambah temen dari latar yang berbeda-beda. Gue pikir semua orang menyenangkan kalau kita bisa kenal dan deket sama mereka. Tapi untuk beberapa alasan, semua perspektif itu agaknya terpatahkan ketika gue beranjak dewasa. Ketika gue meninggalkan keluguan anak SMA yang mungkin emang udah hobinya memperbanyak teman.

Semakin kesini gue semakin kembali ke wujud asli gue. Awl yang males basa basi sama orang, males dengan keramaian, males dengerin celotehan orang lain yang nyeritain temennya sendiri, dan Awl yang berakhir di kamar, nyaman dengan dunianya sendiri. Gue pikir orang-orang akan selalu menyenangkan, tapi ternyata nggak when it comes to discuss people, when it comes to interfere their problems, when it comes to prevent them to be what they wanna be. 

Gue pernah bilang sebelumnya di postingan yang satu ini, bahwa alasan kenapa hidup kita seperti dituntut untuk sama seperti kacamata orang lain adalah, karena udah menjadi tabiat manusia untuk punya indera ketujuh dengan mengkotak-kotakan tindakan manusia lain yang gak sejalan dengan pandangannya. It really is.

Gue beberapa kali punya pengalaman gak asik ketika lagi kumpul atau diem di suatu tempat, dimana ada aja sekumpulan orang yang ngomongin kejelekan orang lain, padahal objek yang diomongin adalah temennya sendiri. Layaknya udah jadi kegiatan wajib, si bahan obrolan ini seenaknya aja dicap sesuai dengan apa yang mereka lihat, entah doi anaknya pemalas, gasuka gawe, suka ngerokok, banyak gaya, dsb. Seakan-akan orang yang diomongin itu bener-bener salah dan gak patut untuk ditemenin. Hal ini membuktikan bahwa orang bisa dengan mudahnya memberi penilaian kepada orang lain yang menurut mereka tidak sesuai dengan norma dan nilai-nilai bagi mereka—without knowing who actually the person is.

Entah apa yang mendasari manusia-manusia ini untuk pingin tau urusan orang lain dan bahkan menjustifikasi mereka sesuka hati. Okay, mungkin mereka gak benar-benar nge-judge. Gak benar-benar mau tau. They're just being kepo. Mungkin keren aja kayaknya bagi orang Indonesia ketika isi kepalanya penuh dengan informasi seputar hidup orang lain, si A begini, si B begitu. Karena dengan begitu, dia akan dapat dengan mudah diterima oleh society. Lihat aja acara gosip di televisi, contohnya. Instead of nonton acara yang lebih bermutu dan berisi, kita kadang lebih milih nonton acara gosip saking pingin tau gimana perkembangan artis kesukaan kita atau apa yang happening di Indonesia. Tampaknya kebiasaan itupun berlaku dan berkembang di lingkungan sosial. Gak semua orang memang, tapi sebagian besar begitu.

Saking udah malesnya menghadapi situasi memilukan kayak gitu, kadang gue memilih untuk misahin diri, fokus sama apa yang mau gue kerjain. Walau nyatanya yang ada gue dicap tidak setia kawan, apatis, kurang kumpul dan ujung-ujungnya gue juga yang jadi bahan empuk buat diomongin. Pernah suatu ketika gue nimbrung nimpalin ghibahan mereka. Emang dasar yang namanya dosa, kadang bikin asik dan lupa diri kali ya, gue seakan terbawa dengan obrolan itu dan ikut bahagia menghakimi orang yang dimaksud dengan sesuka hati. Namun lantas gue tau ini gak bener. 

Dari sisi agama pun, udah jelas yang namanya ghibah sangat dilarang. Selain kita membicarakan sesuatu yang belum tentu benar adanya, ghibah itu sama sekali gak ada manfaatnya. Informasi yang didapat gak bikin kita pinter, yang ada bikin kita terus berpikiran negatif sama orang lain. Kita jadi seperti disihir untuk gak nemenin orang yang udah diomongin, gak boleh deket sama mereka, dan memandang mereka sesuai dengan apa yang terlihat dan apa kata rumor yang beredar. Kemudian jadi gak sehat lah cara berpikir kita, karena kita hanya fokus untuk mengurusi orang lain dari ujung kepala hingga kaki. Kita jadi takut untuk berteman karena khawatir teman baru nanti akan sama dengan orang-orang yang kita pandang buruk, atau takut kita juga akan jadi bahan omongan di kelompok yang baru nantinya. Akibatnya, kita pun jadi terbiasa bermuka dua.

To be honest, i don't feel i have the urge to interfere someone's life, like commenting her or his photos (for example) on social media just to shaming them—yeah, give such a bad comment even means interfering their lives IMO, apalagi lebih dari itu. I believe everyone has their own lives, has their own privacies dimana kita gak punya hak untuk mencoba masuk ke dalamnya. As long as they would take any responsibility of what they did to the community, it doesn't matter. Dan selama mereka punya komitmen yang bisa dipertanggungjawabkan untuk kemaslahatan society, harusnya gak masalah.

Lagipula, apa hak kita untuk mengomentari dan mencampuri urusan orang lain? Gue sih jujur gak mau segala macam kepentingan gue dicampuri atau bahkan dikomen sama orang yang notabenenya gak tau seluk beluk hidup gue. Itulah kenapa gue pun selalu berusaha untuk gak bersikap demikian kepada orang lain, karena sangat gak enak rasanya ketika ada orang yang berusaha mencampuri urusan pribadi gue seakan mereka sudah sangat mengenal siapa diri gue sebenarnya, like dude, you kno' nothing about me but you're act like you kno' everything? Yah, meski pada akhirnya, still, people has their own shit to invade other people's privacy.

Budaya ini secara gak sadar bikin kita jadi sulit untuk menerima kepribadian orang lain. Menerima keputusan orang lain. Ketika ada orang yang memilih jalan berbeda di dalam suatu kelompok, akan dianggap berbeda dan kurang piknik sama mereka yang merasa dirinya baik-baik aja. Padahal setiap orang punya hak untuk memilih jalannya sendiri. Bukan berarti kurang akrab, bukan juga kurang solid. Mungkin dia memang kurang cocok ada di kelompok itu, atau ada sesuatu yang lebih penting yang harus dikerjain.

Kadang gue suka iri sama orang-orang yang tinggal di luar negeri. Masyarakat disana tergolong individualis. Hidup masing-masing, dan lebih mengutamakan kepentingan pribadi serta mandiri. Silaturahminya gak seerat orang-orang Indonesia, memang. Bagi gue pribadi yang cenderung sangat menghargai privasi dan urusan orang lain, itu jelas jadi keuntungan. Gue gak perlu ribet sama orang yang suka misuh-misuh akibat tindakan orang lain yang berseberangan. Gue juga gak perlu takut dijulidin atau dinyinyirin karena budaya itu mungkin gak akan berlaku keras seperti halnya di negara gue.

Untuk di Indonesia sendiri, mungkin karena memang budaya gotong royong atau kekeluargaannya yang begitu melekat, kita jadi merasa punya tanggung jawab untuk ngebantu setiap orang yang mungkin sedang ada masalah. Kita seperti punya tekanan sendiri untuk selalu ada buat siapapun yang membutuhkan teman. Ini gak salah. I totally agree, tapi sayangnya budaya itu harus merambah juga pada hal yang negatif dimana kita seakan gak memberi ruang untuk orang-orang yang membutuhkan privasi, karena semua hal dengan mudahnya bisa dicampuri.

Gue tau, kita mungkin merasa punya keluarga kedua, atau ketiga di beberapa tempat. Hal kayak gini sering banget gue temuin di organisasi-organisasi atau komunitas di kampus dan atau luar kampus. Namun jangan lupa juga bahwa kita masing-masing adalah individu. Ada banyak hal yang gak mesti semua orang tau, bahkan orangtua kita sendiri. Ada beberapa hal yang cukup jadi rahasia antara diri kita dan Tuhan. Menjadi individualis pun bukan selamanya mementingkan diri sendiri.

Bagi gue, memisahkan diri dengan melihat diri sendiri sebagai individu adalah tindakan menghargai individu lain yang punya privasi dan problema berbeda dengan gue. Punya kepentingan yang berbeda dari gue, dan punya kepribadiannya sendiri. Bukan hak gue untuk selalu mengomentari tindak tanduk dan pandangan individu yang berseberangan dengan gue, karena manusia hakikatnya memang berbeda satu sama lain. Kita yang harus menerima. Kita yang harus mendengarkan. Bukan kita yang asik nyinyir di belakang.

Satu hal yang mesti gue lurusin, gue gak sedang mengajak kalian untuk hidup menjadi apatis dan egois, nggak. Gue pun banyak belajar dari pengalaman, dimana gue pernah menjadi keduanya. Jadi orang yang egois, dan orang yang sosialis. Gue cuma pingin kalian tau bahwa peduli itu ada batasannya. Gak semua hal bisa kita peduliin, gak semua hal harus kita usik, karena masing-masing udah ada porsinya. Mana yang bisa di-handle sendiri dan mana hal yang bisa dilakukan bersama-sama. Peduli, berarti mau melibatkan diri dan bertindak proaktif dalam suatu persoalan. Peduli, berarti menjadi individu yang gak menutup mata dari kondisi apapun. Peduli, bukan menjadi individu yang senang ngurusin hidup orang lain dan sibuk memberi komentar atas apa yang begitu saja terlihat.

Basically we are all the same human beings with the same potential to be a good human being or a bad human being. The important thing is to realize the positive side and try to increase that; realize the negative side and try to reduce. That's the way.

Share
Tweet
Pin
Share
5 komentar

Pulang, selalu menjadi hujan di tengah kemarau 45 hari yang tak kunjung basah
Pulang, selalu menjadi penghangat di kala dingin tak berkesudahan
Pulang, selalu menjadi pengingat jitu untuk kembali menyetir di jalur yang benar
Pulang, selalu menjadi alarm yang tak bisa digubris untuk bangun memperjuangkan mimpi
Pulang, selalu menjadi penawar untuk hati yang kosong
Pulang, selalu menjadi obat untuk jiwa yang sedang mabuk
Pulang, selalu menjadi tanda bahwa jauh bisa memberi ragam cerita untuk manusia

Sedih, kalut, bahagia, rindu.. bahkan lebih dari ini.

Aku tak tahu mengapa tentang rumah selalu begitu hangat untuk dirindukan. Mungkin Tuhan ingin agar kita selalu ingat bahwa hidup ini adalah penantian..
dan pengantrian menuju rumah yang kekal.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Terlalu Besar Untuk Gagal
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Just Listen
  • Bukan Salah Indonesia

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • The Phantom of the Opera: Di Balik Danau
  • Cuma Cerita
  • Priority Chat
  • Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Cuma Cerita #2
  • Kiamat Sudah Dekat
  • Spoonerism, Alasan di Balik Keselip Lidah
  • Bad For Good
  • 36 Questions Movie Tag

Blog Archive

  • ▼  2023 (1)
    • ▼  Februari 2023 (1)
      • Kejar Passion itu Omong Kosong
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (31)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

digital marketing Intermeso karir Krisis 1/4 Abad lifestyle Opini Perempuan Podcast Poetry Review slice of life Thoughts

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.