Silent Treatment: Diam Yang Menyiksa

by - Agustus 26, 2020


Belum lama ini gue menemukan beberapa topik menarik di media sosial terkait relationship, salah satunya tentang silent treatment. Biasanya dalam sebuah hubungan bahasa semacam ini terdengar nggak asing, karena langsung dialami oleh beberapa pasangan. Walaupun belum menikah, tapi gue pernah tau rasanya bagaimana didiamkan saat ada suatu masalah alih-alih ngobrol atau diskusi. 

Dulu, gue melihat ini sebagai sesuatu yang mungkin wajar dan normal dalam suatu hubungan—and let me clear this, nggak mesti spesifik dalam hubungan antara lawan jenis lho, ya. Silent treatment bisa saja terjadi dalam relasi pertemanan, hubungan kerja, atau bahkan lingkungan keluarga yang memang cara mendidiknya terbiasa seperti itu: mendiamkan seseorang dengan dalih agar mereka bisa merenung dan mencaritahu alasannya sendiri, lalu menemukan jalan keluarnya sendiri, dan kalau memang mereka yang salah (atau disalahkan), mereka akan diminta untuk menyelesaikannya sendiri. Yaa mungkin ujung-ujungnya meminta maaf dan berjanji nggak mengulang kesalahan.

Melansir dari Life Hack dalam tirto.id, "silent treatment" ini bisa dikatakan sebagai metode untuk memberi hukuman secara psikologis dengan mengabaikan orang lain, baik dalam hubungan pacaran, keluarga, maupun pertemanan, yang seolah memperlihatkan sikap tidak peduli pada seseorang dan bahkan hal yang lebih buruk dari itu. Beberapa orang yang percaya bahwa mereka memiliki kontrol diri yang tinggi mungkin menggunakan silent treatment sebagai cara untuk "mengambil jalan yang tinggi" atau apa yang mereka lihat tidak menyerah pada tingkat komunikasi yang terjadi dengan orang lain. Orang lain melihatnya sebagai reaksi rasional untuk masalah atau percakapan, bukan suatu emosional.

Menurut gue, nggak seharusnya silent treatment ini dibiasakan. Menjalin relasi dengan seseorang atau anggota keluarga, berarti membangun komunikasi dua arah yang mana segala halnya harus didiskusikan, terlebih mengenai suatu permasalahan yang terjadi. Bukan berarti semua hal harus diobrolin, sih. Kalau menurut lo ada beberapa hal yang sifatnya privasi dan baiknya disimpan, ya nggak apa-apa juga, it's very okay,

Namun kalau sudah menyangkut masalah yang menjadi persoalan berdua, sudah seharusnya diselesaikan berdua, bukan? Bahkan ketika masalah tersebut menjadi kesalahan yang dibuat salah satu pihak, gak semata-mata silent treatment menjadi solusinya. Apalagi kalau sampai berminggu-minggu gak ada kabar, dan ketika diminta kepastian malah balik menyalahkan, "aku kan begini karena kamu", "coba kamu pikir sendiri", "menurutmu kenapa aku kayak gini?". Duh nggak deh, kayaknya udah nggak sehat relasimu kalau seperti ini terus. Malah counter argument seperti itu menandakan bahwa dia memang menjadikan kesalahan kamu sebagai alasan agar dia bisa menghilang sementara.

Silent treatment is truly a silent killer. Perbuatan ini manipulatif, bentuk dari psychological abuse atau bahkan emotional abuse, dimana satu pihak hanya mengutamakan diri sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain. Jangan percaya kalau si dia bilang "ini untuk kebaikan kamu!". Sebab namanya kebaikan ya dilakukan dengan baik-baik dan membuat perasaan nyaman, bukan malah menyudutkan pasangan.

Silent treatment nggak hanya berpengaruh buruk terhadap kesehatan hubungan, tetapi juga bisa berdampak negatif terhadap kesehatan mental kita, atau bahkan kesehatan fisik. Jika mental kita terganggu dan merasa tidak nyaman, tentu akan berpengaruh terhadap fisik kita. Walaupun kondisi silent treatment ini nggak dilakukan secara sengaja, melainkan karena salah satu pihak nggak tahu bagaimana mengkomunikasikan permasalahan dan kekesalannya, hal ini tetap saja bisa memicu aura yang negatif dalam hubungan tersebut. Sebab sebaik-baiknya tindakan yang solutif adalah mengkomunikasikan hal tersebut, bukan dengan mendiamkan diri terlalu lama. Nggak baik juga untuk kesehatan psikis kita.

Tindakan ini bisa dianggap kekerasan emosional, yaitu ketika:

  • Salah satu pihak bermaksud melukai orang lain dengan cara mendiamkannya
  • Keheningan berlangsung untuk waktu yang lama
  • Keheningan hanya berakhir ketika mereka memutuskan itu
  • Mereka berbicara dengan orang lain tetapi tidak dengan pasangan mereka
  • Mereka mencari dukungan dari orang lain atas perbuatan yang dilakukan
  • Mereka menggunakan keheningan untuk menyalahkan pasangan mereka dan membuat mereka merasa bersalah
  • Mereka menggunakan keheningan untuk memanipulasi atau berusaha mengubah perilaku orang lain

Jika kamu mengalami hal ini baik dari pasangan, teman, relasi kerja atau keluarga, dan kamu bingung bagaimana harus bertindak, sebaiknya kamu ceritakan masalahmu kepada orang terdekat yang memang bisa dipercaya, entah itu meminta saran atau meminta bantuan untuk lepas dari kondisi tersebut. Jika cara ini juga dianggap nggak efektif, mungkin kamu bisa konsultasikan dengan psikolog di rumah sakit terdekat. Karena permasalahan semacam ini seringkali sangat mempengaruhi mental kita dan kegiatan kita secara tidak langsung.

Sebuah hubungan kekerabatan atau romansa yang dewasa seharusnya sama-sama memperjuangkan dan menyadari bahwa masing-masing adalah individu yang biar bagaimanapun nggak luput dari kesalahan dan kekhilafan, kalau salah satu salah ya diingatkan. Marah, kecewa, sah-sah aja selama nggak menyakiti orang lain dan masih bisa terkontrol. Namun yang jelas, mendiamkan sampai berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, dengan harapan orang lain akan bisa berubah itu bukan jalan keluarnya, cuz people don't change only in a few days or weeks. Toh perubahan seseorang itu sifatnya abstrak, nggak bisa terlihat, ngga bisa dengan mudah dilakukan hanya karena ada masalah dalam sebuah hubungan. 

Bahkan kalau memang seseorang berubah, mungkin bukan karena kamu juga pemicunya. Sad indeed, but this is how the reality works and playing trick on us. Dikhawatirkan silent treatment ini justru bisa menjadi bom waktu nantinya, sebab banyak hal yang dipendam dan nggak diutarakan secara langsung. Bukankah lebih baik kalau segala sesuatunya dibicarakan baik-baik agar bisa melepas rasa kesal, daripada menyimpan marah dan dendam berlarut-larut?


Referensi:

Good Therapy. Diakses pada 2018. Psychpedia: Silent Treatment 

Halodoc. Diakses pada 2020. Mengenal Silent Treatment dan Efeknya Pada Sebuah Hubungan

Tirto.id. Diakses pada 2019. Mengenal Silent Treatment, Perilaku Mengabaikan yang Menyakitkan

You May Also Like

16 komentar

  1. Betul banget jika akhirnya bisa jadi bom waktu. Memang perlu untuk dibicarakan sampai tuntas biar masing-masing tidak mengalami luka batin.

    Nice Awl, thanks for sharing 🙂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyapp, karena yg dipendem selamanya itu nggak baik ya mbak. Even persoalan diri sendiri, kadang kalau dipendem terus malah ngaruh ke kondisi fisik dan psikis kita, ujung2nya butuh didengarkan dan dicurahkan😊

      Eniwey, kembali kasih mbak Dev!

      Hapus
  2. Awl... nice article banget hehe. Merasa tersindir juga sih, hahaha.

    Tapi saya diamnya kalau udah ngomel-ngomel Awl, misal sama sahabat ketika dia berbuat salah, saya ngomel dulu bilangin kesalahan dia dimana baru habis itu diam, tapi nggak berhari-hari juga palingan nanti baik lagi hahaha. Soalnya saya nggak bisa diajak ngomong pas lagi marah. Takut salah omong, soalnya saya temperament haha. Tetap ya mencari pembenaran wkwk.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Soviiii, instead balas komen ini aku lebih pingin teriak mba Sovi kenapa tutup akuuuun? sedih gak bisa baca lg, padahal tiap nongol di reading list aku gak pernah ketinggalan😭 (cuma memang jarang komen aja) but aku selalu terkesima sama tulisan mbak Sovi. Terakhir nemu tulisan mbak yang A Thank You itu, pas diklik kok ternyata harus diundang jd pembaca dulu😭 please invite aku jd pembaca mbak huwaaaa😫 (kyk becanda ya huhu tp serius lho ini mbak aku kangen baca tulisan mbak yg jedar jedeeer, semoga bisa cepat kembali sharing di blog ya mbak🤧).

      Dan untuk komentar mbak soal silent treatment, kayaknya sih mbak masih aman deh, wkwkwk. Karena silent treatment sendiri lebih kepada perlakuan yg dilakukan tanpa ada kejelasan sama sekali. Akupun prefer diluapin aja baru diem haha, daripada didiemin tanpa kata tanpa alasan, jadi bingung sendiri nantinya😅😂.

      Hapus
  3. Well, baru tahu kalo ada yang namanya silent treatment..

    Sekarang ini, kadang aku sering mempraktekkan ini sih. Karena kalo emosi, nanti malah justeru meluap-luap. Jadilah aku diem wae. Ku memilih untuk membicarakannya nanti kalo emosi sudah reda. Daripada ngomel pun ga didengar, lebih baik teriak2 sambil nyanyi dan bersih2. Yup, bersih2 skrg jadi pilihanku kalo emosiku sedang meluap.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Ghinaa, akupun baru tau hoho. Ini balasnya telat banget yaa haduh, maafkeun ya mbak. Sempet keteteran buat balas komen sama nulis postingan baru, jadi postingan yg ini keburu tenggelam, hikss.

      Memilih diam untuk meredakan emosi dulu justru baik mbak (at least menurutku begitu, hihi). Karena kalau berdasarkan silent treatment itu, kita benar2 didiamkan atau mendiamkan tanpa alasan yg jelas sampai berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu. Well, setiap orang punya caranya masing2 dalam meredakan emosi, tapi nggak baik juga kan kalau nunggu redanya sampe sebulan😂. Dan aku yakin mbak Ghina bukan termasuk yg satu itu, ehehehe.

      Btw pilihan mbak untuk bersih2 saat emosi bagus juga tuh mba, boleh dicontoh wehehe, biar hati ngjelumet yg penting kan rumah jadi bersih ya mbak😁.

      Hapus
  4. Kakak nggak silent treatment rasanya ke pasangan. Tapi kalau diam nggak cerita lumayan sering sebab merasa bukan masalah besar 😂 tapi kalau diam karena mau membuat pasangan bersalah, rasanya nggak, sebab mulut gatal kalau diam 🤣

    Nah, tapi waktu kecil, kakak beberapa kali mengalami silent treatment dari ibu kakak hahahahaahahaha. Beliau kalau sangat amat marah kesal bin bete sama anaknya, akan memilih diam which is membuat kakak jadi serba salah kalau didiamkan. Serius, kakak better dimarahi panjang lebar daripada didiamkan ibu karena rasanya didiamkan itu seperti ibu nggak peduli lagi sama kakak 😂 biasa kalau ibu diam, kakak akan tarik tarik baju ibu memaksa ibu bicara hahahahaha. Baru deh setelah kakak tunjukkan rasa bersalah kakak dari hati terdalam, ibu akan bicara dengan kalimat pembuka, "Makanyaaa... Kalau ibu bilang tuh dengar." 😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huahahaha sama kak Eno, akupun kalau ada masalah sama pasangan mulut gatel nggak bisa diam, jadi ditahan-tahan pun ujung2nya pasti ngomong karena emosi dan rasa kesal gak bisa ditahan😆. Dulu sempat sih apa2 dipendam, tapi semakin kesini mulai terbiasa untuk ngutarain apapun yg dirasa, biar sama-sama tau dan sama-sama cari jalan keluar. Capek juga kalau harus nanggung semuanya sendiri soalnya😂

      Wkwkwkwk kayaknya sebagian besar anak pasti pernah ngerasain didiamkan orangtua ya kak😂. Kalau udah keluar kata-kata, "makanyaaaa.." itu berarti udh bener2 kesel kayaknya, wehehehehe. Tapi thankfully nggak pernah sih kalau sampe didiamkan berminggu-minggu selayaknya pasangan LDR, apalagi kalau sama orgtua kan waktu kecil tinggal di rumah ya😁 semoga kak Eno nggak ngalamin didiamkan sampai berhari-hari lamanya juga ya😂.

      Btw aku ngebayangin cerita kakak, gambaran di kepalaku jadi kayak adegan di drama korea lho kak😆.

      Hapus
  5. Yasss QUEEN!!
    Suka sekali sama postingan relasi kayak gini..
    Aku pingin semua orang tahu bahwa memberi kode dengan bilang "Ya aku tuh emang begini, coba kamu pikirin kenapa?" tidak akan menyelesaikan masalahmu dengan pasangan. Bahkan ini bisa dibilang bisa jadi bibit dari silent treatment.

    Aku sama partner sepakat ketika ada masalah kita harus berdiskusi. Namun sebelum mencapai ranah diskusi ini dan duduk berdua, salah satu pihak patut diberikan dan mengambil waktu (dengan kesepakatan) untuk sendiri sebagai bentuk dari self healing. Dan ya it works for us. Kalau aku pribadi dalam rangka self healing (mau apapun masalahnya, pribadi atau relasi) aku akan melakukan journaling. Membuat beberapa pertanyaan yang sudah aku persiapakan sebelumnya untuk aku jawab sendiri untuk menemukan akar permasalahan. Ini sangat membantuku untuk mengendalikan emosi serta menata bahasa dengan baik saat nanti berdiskusi dengan pasanganku.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hola mbak Pipiiit! Sorry for very late reply😫

      Bibit-bibit silent treatment semacam "ngode" pasangan biar peka tuh memang nggak banget deh, cuz i've been there hoho, dan rasanya hadeuuuuh bikin capek😫 wkwkw. That's why akupun jadi aware dengan isu-isu soal relasi ini, sama seperti mbak.

      Aku salut dengan mbak yg sampe buat jurnal khusus untuk ini😍 karena akupun jujur belum sampai kesana hihi. Mungkin gaya mbak yg selalu berusaha menuliskan di jurnal terkait emosi diri—bahkan sampai ke periode pms yg ada di postingan blog mbak😁—bisa jadi cara yg patut dicoba dengan pasangan, untuk bisa lebih sadar akan emosi diri. Toh journaling itu bagian dari mengaktualisasi diri untuk lebih bisa mencintai diri ya mbak😁 Semoga aku bisa rajin nulis jurnal juga sama kayak mbak Pipit, sebab aku juga pingin cobaaaa, hehehehe. Anw, thx for sharing ya mbak😍

      Hapus
  6. Kalo ngomongin saling bedieman, saya amat menyesal dulu pas sekosan pernah ngelakuin ini. Teman kosan saya ini emang karakternya terbuka gitu, sosok yang aktif, hobi ngomong, ekstrovertlah namanya yah. Sedangkan saya ini orangnya butuh ketenangan, jangan banyak bersuara dan lain-lain.

    Lupa sih dulu karena kesalahan apa sampai saya ngediemin teman saya ini. Duh tempramen banget gitu. Berisik dikit sinis deh. Itu pas di awal-awal kami sekosan. Berlangsung setahun, ada banyak yang bisa saya pelajari dari karakternya dia. Nah untungnya lagi si dia ini, gak mau ikut-ikutan saling diem, jadi dia buka obrolan untuk bercerita. "Kamu kenapa kik? Aku ada salah ya, ngomong dong bla bla..." Emang sih yang paling penting adalah menjalin komunikasi :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe people grow ya, mbak😁. Banyak proses yg kita lewati untuk bisa sampai ke tahap "memahami", dalam hal ini lebih menjalin komunikasi dengan terbuka.

      Untuk seseorang yg males ngomong, apalagi kalau dihadapkan sama suatu masalah, emang rawan kesenggol si silent treatment ini. Tapi selama perlakuan kita nggak sampai merugikan orang lain, atau bahkan membingungkan orang dalam jangka waktu yg lama sih no problemo, wkwkw. Asalkan pada akhirnya komunikasi itu tetap terjalin. Sebab cara setiap orang berbeda-beda untuk bisa meluapkan emosi atau apapun yg dirasa. Ada yg harus tunggu reda, ada yg tunggu suasana tenang dulu, ada yg harus dibawa tidur dulu😁. Kuncinya jangan sampai dibawa berlarut-larut aja.

      Hapus
  7. Sebagai orang yang cukup susah membuka obrolan kayaknya saya termasuk orang yang tergolong silent treatment, Aina. Kadang saya tidak bermaksud untuk mendiamkan, tapi kalau mau bahas topik A, misalnya, takut bikin lawan tutur jadi risih dan ngga nyaman.

    Beda cerita kalau sudah sama teman yang sudah akrab. Mau bahas apapun ngga masalah, pasti semuanya dimakan. Sekalipun ngga nyaman, pasti mereka bisa bilang ganti topik dan merasa semuanya akan baik-baik saja setelahnya.

    Bicara soal silent treatment ini, saya pernah dengar argumen menarik,"bahwa bagaimana kalau ternyata hubungan itu bukan hanya tentang klik ngomongin sesuatu. Tapi meskipun diam, kita bisa merasa nyaman."

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau Rahul lebih kepada menghindari percakapan dengan lawan bicara yg dikhawatirkan membuat kurang nyaman, ya. It's okay, karena inipun kadang saya sendiri melakukan, wkwkwkw. Karena saya pribadi termasuk orang yg nggak gampang bicara sama orang lain (apalagi orang baru), jd topik yg dibahas pun pilih-pilih, alias bukan yg benar-benar pingin saya bahas. Beda kalau ngobrol sama teman yg sudah kenal baik😂.

      Sebetulnya menurut pemahaman saya sih, silent treatment ini bisa dikatakan sebagai "perlakuan tidak nyaman", kalau memberi dampak negatif terhadap lawan bicara atau relasi kita. Jadi, nggak selamanya tindakan diam itu dianggap silent treatment. Selama apa yg Rahul lakukan nggak membuat seseorang rugi secara mental, nggak ada masalah, hehe. Yang ditakutkan justru kalau jadi bikin hubungan malah renggang sampai dalam jangka waktu yg panjang.

      Dan yaap, saya juga pernah dengar ini😁. Nah kalau tentang ini rasanya lebih kepada diam karena nggak ada yg pingin diobrolin, dan karena lg menikmati waktu bersama aja *cielaah gaya*. Saya juga sering begini nih soalnya sama temen2😆. Sebab nggak ada maksud untuk menimbulkan masalah apapun di dalamnya, selayaknya silent treatment dalam hubungan yg selama ini kita kenal.

      Hapus
  8. baca post ini jadi keinget ketika aku dan atasan ada masalah, kadang dulu kalau aku lagi kesel, aku diemin, kadang atasan juga diemin aku :D, lama-lama kalau kayak gini nggak sehat urusan kantor dan juga personalnya
    jadi keinget juga sama mantan, kita nggak ada masalah berarti tapi kok kayak diam diaman hahaha, aneh
    memang baiknya jika menyangkut dua pihak atau lebih, dibicarakan untuk cari solusi daripada diem dieman, nggak enak juga dan nggak bakalan ngerti kemauan pihak satu dengan pihak lainnya pinginnya gimana

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduh, repot juga ya mbak kalau sampai harus diam-diaman sesering itu sama atasan di kantor. Biasanya kalau persoalan kayak gini malah jd bibit-bibit ghibah rekan kerja soalnya😂.
      Memang sebaik-baiknya menjalin hubungan ya dengan memperbaiki komunikasi itu ya, mbak. Daripada mendem-mendem dan jadi penyakit hati, kan lebih baik diutarakan secara baik-baik:')

      Semoga sekarang hubungan mbak dengan atasan bisa berkembang semakin baik lg ya mbak, hehehe😁🤗

      Hapus