Manusia dan Tingkahnya

by - Desember 29, 2019


Seputar pengalaman tentang bullying

Before 2019 really end, i wanna tell you something and this might be the briefest story i have ever written.

Ada alasan kenapa gue nggak senang bergaul dengan orang, pilih-pilih teman dan cenderung mengucilkan diri. Gue selalu punya pengalaman nggak mengenakan dari sejak SD dalam pertemanan. Entah itu diledek, diejek, dikatain manja lah, belo lah, etc. But it has nothing to do with me now. Ada alasan lain dibalik semua itu. Dibalik antipati gue terhadap manusia lainnya. Lebih tepatnya terhadap orang-orang yang nggak bisa menghargai manusia lainnya.

Gue pake kacamata sekitar kelas satu SMA. But it's not because i have eye problems like minuses or cylinders. No. I was tried to covering my eye-bags that's so "baggy" and "dark" that time—seperti yang mungkin temen real life gue tahu. Gue sangat nggak nyaman dengan ini. Sangat.

Pada awalnya gue nggak pernah mempersalahkan itu. Gue sama sekali gak pernah berusaha melihat kekurangan diri gue cause i think i'm normal just like my friends out there. Gue sama dengan mereka. But apparently some of them saw me another way.

Sebelum kenal skincare dan make-up, so pasti gue ke sekolah cuma pake bedak bayi. Setiap kali gue dateng ke sekolah, instead of say hello or ask me how was my holiday, or have you done your homework, etc, my friends chose to asked 'am i sick?' or 'did i stay up last night?' karena gue terlihat sangat pucat. Saat itu kira-kira SMP kelas satu, dan seharusnya, gue ketemu dengan teman-teman baru yang 90% gak pernah ditemuin di SD. Emang sih, dulu gue dikenal sebagai anak yang penyakitan karena saat kelas 1—2 SD dulu gue sering banget gak masuk gara-gara sakit, bahkan pernah sampe diopname berminggu-minggu karena tifus. Maka itu gak aneh kalau gue dikatain penyakitan dan setiap pelajaran olahraga gak boleh ngelakuin olahraga berat. Tapi yang bikin gue bingung saat itu adalah, kenapa teman-teman baru gue di SMP harus menanyakan hal yang sama? Mereka tau darimana gue penyakitan? Lagian itu kan dulu sering sakitnya, pikir gue. Apakah gue terlihat penyakitan?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus terlintas dalam kepala gue meski akhirnya hilang dengan sendirinya karena gue nggak mau memikirkan hal yang gak penting, toh gue tetep main sama mereka. Tapi agaknya gue memang harus disadarkan saat itu tentang bagaimana orang lain melihat gue, dan semua itu berawal ketika ada anak laki-laki yang ngatain gue zombie. Iya. Zombie, sosok mayat hidup yang berbagi virus dengan manusia normal dengan makan daging mereka, dan kalau di film-film barat biasanya digambarkan dengan jalan sempoyongan sambil tangan ke depan kayak vampire China. Bersama teman-temannya, mereka mengolok-olok gue dari bangku bagian belakang, laughing at me because at that time they thought i'm zombie, karena gue kelihatan penyakitan dan pucat. Seperti biasa, gue nggak mau cari ribut sama mereka, jadi yang gue lakukan hanyalah melotot dan muterin mata—etdah gimana tuh bahasa. Mendelik lah ya. Untungnya pelototan gue cukup ampuh untuk nggak bikin mereka mengulang hal yang sama kepada gue di kemudian hari. Tapi sejak hari itu, ucapan mereka terus terngiang-ngiang di kepala gue. Kenapa? Kenapa mereka ngatain gue zombie? Apa karena gue penyakitan? Apa karena gue pucat? Karena gue gak bisa menemukan alasan lain selain dua itu.

Sepulang sekolah, gue pun menatap cermin. Meniti wajah gue sepersekian detik. I'm beautiful. Gue manis kok—iya gue sePD itu kalau lagi ngaca. But then i've finally found something. Ada semacam kantung mata yang gelap di area bawah mata gue. Entah sejak kapan dark circle ini muncul, mungkin memang gen dari kecil, i don't know. Foto-foto gue kecil kebanyakan dari jarak jauh, jadi gue nggak bisa menemukan detail wajah gue sampai ke mata-matanya.

Sejak saat itu gue pun tau, kenapa anak laki-laki itu ngatain gue zombie. Dan sejak saat itu, gue seperti nggak bersyukur dengan kesempurnaan yang Tuhan kasih. Gue jadi sering ngeluh, "coba mata gue cantik kayak orang lain, pasti banyak temen😟", "kenapa sih mata gue harus gini". Berkali-kali gue googling 'how to reduce dark circle' dan gimana cara ngilanginnya, serta alasan kenapa seseorang bisa memiliki dark circle. Ada banyak artikel yang mungkin gue lahap tentang itu selama bertahun-tahun. 

Gue insecure. Gue nggak PD ikut ekskul ini itu. Bahkan ikut ekskul PMR aja setelah pelantikan malah keluar. Gue nggak nyaman ketika ada orang yang berusaha menelisik wajah gue—dan itu jelas banget—bukan karena gue menarik, atau cantik di mata mereka, tapi karena gue mungkin terlihat 'berbeda'.

Untungnya perasaan itu agak mereda ketika gue kelas 2 SMP, karena gue mulai mau untuk berusaha deket sama orang, termasuk temen cowok—and you know where does the story continue. Tapi ternyata orang-orang yang 'sok' gak hilang juga dari muka bumi. Menjadi anak yang terlihat culun mungkin memang sasaran empuk geng-geng sok iye. Beralih dari problem soal mata, gue pernah diejek, diketawain gara-gara salah beli barang yang mereka suruh gue buat beli ke koperasi. Iya, mereka nyuruh gue beli minuman ke koperasi siswa. Sebagai anak yang baik—atau bego—gue iya-iya aja nurut apa kata mereka. Kebetulan suasana di kelas waktu itu emang lagi rame banget, makanya gue gak begitu dengar apa yang mereka pinta, sampai akhirnya pas gue bawain minuman yang salah, gue diketawain habis-habisan satu kelas. Gue ikut ketawa, tapi hati gue sakit. Gue cuma bisa ngedumel dalam hati. "Belagu lu!" "Hm, gini ya rasanya jadi anak cupu."

Masalah ini nggak pernah gue ceritakan ke siapapun. Even keluarga gue. Karena gue pikir ini cukup sepele pada awalnya. Tapi dengan seringnya orang-orang bertanya perihal keadaan mata gue, gue semakin menganggap bahwa ini nggak sepele. Ini bisa mengganggu psikis gue. Pertanyaan-pertanyaan gak bermutu kalian bisa mempengaruhi hidup gue and how i deal with it.

Kembali ke soal kenapa gue memakai kacamata. Dari kelas tiga SMP, gue udah coba-coba beli kacamata dan sesekali gue pakai ke sekolah untuk membuat gue terbiasa. Of course, kacamata biasa. Tapi kegiatan itu nggak rutin gue lakuin, karena gue pikir biarlah semua itu gue akhiri di masa SMP. Gue pingin buka lembaran baru. Gue pingin memberi kesan baik ketika bertemu dengan teman-teman baru gue nanti di SMA.

So, apakah itu berhasil? Gue nggak bisa bilang iya. Tapi setidaknya masa SMA gue lebih baik daripada masa SMP. Gue cukup aktif di organisasi dan ekskul, gue punya banyak temen dari setiap kelas, dan gue berhasil bikin mereka 'mau' melihat gue karena kagum—maybe🙄, bukan karena apa yang terlihat di wajah gue.

Jadi, apa sekarang gue masih pura-pura minus buat pake kacamata? Nggak. Mata gue beneran minus sekarang. Blur. Dari sejak kelas dua SMA, setahun setelah gue pake kacamata bohongan, tapi saat itu emang gak parah. Gue bercerita seperti ini bukan karena gue pingin seeking attention or something ya, no. Gue pingin orang-orang yang baca ini dan orang-orang lain di luar sana supaya sadar, bahwa komentar-komentar terhadap penampilan seseorang yang nggak memiliki kesan baik ternyata  bisa mempengaruhi hidup mereka, dan tentu saja ini semua nggak bisa dianggap remeh.

Sekarang gue udah berdamai dengan masa itu. Gue udah bisa menerima diri gue apa adanya, termasuk kondisi mata gue. Dan gue lebih gak peduli sekarang setiap ada orang yang berusaha untuk memberi komentar terhadap mata gue. Kadang kalau orang-orang di deket gue ngomongin soal kecantikan dan mata, gue langsung menghindari pembicaraan itu atau nggak pura-pura melakukan kegiatan lain. Bukan karena gue masih insecure, tapi karena gue nggak mau hati kecil gue ngedenger hal-hal yang menjadi strugglenya selama ini. Gue butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa seperti sekarang, dan gue nggak bisa membiarkan hal itu mengusik diri gue lagi. Gue nggak mau bilang keadaan mereka-mereka yang "ngebully" gue sekarang gimana, tapi gue yakin lo semua udah bisa paham apa yang dinamakan karma.

Pesan yang ingin gue sampaikan adalah, gak semua hal bisa dikomentari. Gak semua hal butuh untuk dikoreksi. Kadang apa yang kita pikir becanda, bisa jadi nggak sebecanda itu dalam hidup seseorang. If you want to be something bad in someone's memory, then be it. Tapi nyatanya nggak ada, kan, yang mau menyisakan kenangan buruk dalam hidup orang lain—seharusnya. Apa yang gue alami mungkin memang nggak setara dengan apa yang dialami korban-korban bullying di luar sana, tapi ini membekas cukup dalam di ingatan gue. For years.

Akhir kata, gue harap semoga kita-kita ini bisa lebih sadar akan pentingnya menjaga perkataan. Terkhusus untuk orang-orang yang senang memberi penilaian berdasarkan penampilan semata. Kita ini hidup untuk menikmati hidup. Dan menikmati apa yang ada dalam hidup itu sudah terlalu sulit. Tolong jangan dibuat sulit dengan berucap yang nggak baik. Kalau nggak bisa menanyakan dan memberi komentar baik, alangkah indahnya kalau mulut kita cukup diam, bersihkan hati dari segala komentar julid dan kepo yang sama sekali nggak ada untungnya.

You May Also Like

0 komentar