Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram twitter LinkedIn YouTube Spotify Email

Notes of Little Sister





Akhir-akhir ini, entah kenapa gue merasa hidup gue gak ada artinya. Gue semakin malas untuk melakukan sesuatu. Bahkan untuk belajar pun sama sekali gak ada semangat. Kadang suka berpikir, mana janji lo belakangan kemarin soal semester ini harus berjuang blablablaa? Dan sekarang lihat, gue malah semakin menjadi-jadi. Jadi sering bolos. Jadi sok sibuk sama himpunan yang akhir-akhir ini membuat gue merasa muak. Sorry to say that, tapi itu yang memang gue rasakan. Orang-orang yang gue temui kebanyakan tidak sejalan dengan prinsip gue. Memang, prinsip setiap manusia pastilah berbeda-beda, tapi ada sesuatu yang harusnya membuat kita sama ketika berbagi tentang pikiran-pikiran atau opini, dan gue tidak menemukan itu. Kalaupun ada, kita sama-sama tidak tahu apa yang mesti dilakukan agar tidak menjadi orang yang bisanya Cuma omong doang. Tapi gue tekankan, disini gue sama sekali gak bermaksud menjelek-jelekan himpunan gue. Gue hanya mengeluhkan sikap gue yang makin kesini merasa tidak bisa kooperatif karena alasan di atas. Yah, namanya hidup pasti ada masa-masa sedih dan senengnya, kan? 

Sebenernya gue adalah tipe orang yang cepat bosan. Gue cepat menyukai sesuatu, tapi bisa cepat juga merasa jenuh atas apa yang baru gue suka. Itu juga yang gue rasakan belakangan ini. Gue semakin merasa malas untuk bertemu dengan orang-orang, haha hihi sebagai tanda basa basi, dan semakin malas untuk berorganisasi. Gue sadar, selama ini gue terlalu dalam berkecimpung di ruang lingkup seperti itu, yang secara perlahan membuat semangat belajar gue hilang. Gue terlalu sering beropini tentang ini itu, tentang memanusiakan manusia, sok idealis dan seakan hidup gue hanya terarah untuk itu, sementara kemampuan bahasa gue gak bagus-bagus amat dan bahkan mungkin gak ada peningkatan yang signifikan. Lantas, gue harus lari kemana? Di saat belajar bahasa dan berorganisasi seakan sudah bukan menjadi passion gue.

Tapi kalau di antara kalian ada yang bilang ke gue dan mikir bahwa "gue kok bisa nyeimbangin antara akademik dan non-akademik?" , sementara gue sok-sok kerepotan, c'mon men, emangnya lo bisa nyamain diri lo sama gue? Sama orang lain di luar sana yang bermasalah dengan manajemen waktunya? Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kalau lo merasa pandai mengatur prioritas dan fine-fine aja sama kehidupan kampus lo, mungkin artinya itu memang kelebihan lo, tapi bukan berarti kelebihan gue juga. Ada orang yang emang ajaib ngatur waktunya, ada yang serba males-malesan alias berprinsip gak usahlah ngurusin ini itu prioritas blablabla, ada juga yang kadang bagus dalam hal memanage tapi cuma sesaat aja, selebihnya moody-an (dan gue termasuk kelompok yang ini). 

Setelah gue pikir-pikir, gue gak bisa seterusnya menjalani dua hal secara bersamaan. Gue inget dengan apa yang bokap gue pernah bilang, bahwa manusia itu tidak bisa secara bersamaan melakukan dua hal. Kalaupun ada, lihat dulu seperti apa konteksnya. Dulu gue selalu membantah ketika mendengar kalimat itu, karena pada dasarnya  gue memang merasa bisa melakukan hal-hal dalam waktu yang bersamaan. Tapi faktanya gue baru menyadari itu sekarang. Kalimat itu bisa dibilang kiasan. Karena kenyataannya, dalam hidup lo Cuma akan fokus pada satu hal. Contohnya adalah, kalau lo ingin menjadi seorang penyanyi, lo pasti akan fokus latihan dan menggeluti bidang itu. Sementara hal-hal lain di samping keinginan lo menjadi penyanyi itu bukanlah prioritas, dan pada akhirnya lo memang hanya akan fokus terhadap itu.

Gue sadar, kalau gue ingin mengembalikan mood gue dan menjalani hari-hari seperti sebelumnya, gue harus belajar untuk mengatur apa yang menjadi prioritas gue. Disini gue adalah seorang mahasiswa, yang gak Cuma punya tuntutan untuk beraspirasi tapi juga dituntut untuk belajar. Ketika orang lain bisa pulang pergi ke Jepang (gue lupa bilang kalau major gue Bahasa) dengan modal kecerdasan mereka tentang bahasa Jepang, gue disini bisa apa? Cuma bisa berkoar doang soal ini itu, kehidupan kampus, himpunan atau sumber daya mahasiswanya yang akhir-akhir ini gue pandang sebagai hal klise.

Intinya teman-teman, kita gak bisa memilih untuk hidup dengan dua hal bersamaan. Segimanapun lo suka terhadap beberapa hal, pasti ada yang persentasenya lebih besar di pandangan lo. Dan itulah yang secara tidak sadar menjadi fokus lo. Mungkin ada yang tidak setuju dengan pendapat ini, itu sih terserah. Gue hanya ingin membagikan pikiran gue tentang hidup yang mana yang sebenernya jadi prioritas. Apakah benar kita bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu? Pada hakikatnya kita hanya manusia yang diberikan keterbatasan. Tetapi di balik keterbatasan itulah Alloh memberi satu keistimewaan pada diri kita masing-masing yang membuat kita mampu berdiri dengan beda.

Adakah di antara kalian yang pernah atau sedang mengalami hal serupa?
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Akhir-akhir ini dan bahkan sebelum-sebelumnya, sadar nggak sih kalau Indonesia nggak kehabisan 'akal' untuk membuat sesuatu jadi viral? Bukan Indonesia nya sih, emang. Tapi orang-orangnya. Apa-apa bisa jadi viral. Video curhatan para istri lah, orang gile joget lah, dan masih banyak lg yang lainnya. Pertanyaan gue adalah, apa manfaatnya? Okelah, mungkin itu cuma lucu-lucuan aja. Tapi, parahnya orang Indonesia adalah selalu melebih-lebihkan sesuatu, dan ini yang akhirnya jadi salah satu faktor kenapa banyak banget hal-hal viral yang 'kelewatan viral'.


Semudah itukah membuat sesuatu atau seseorang jadi terkenal? Yah, katakan lah gue sirik. Kenyataannya, mungkin gue memang sirik. Gue nggak senang lihat orang lain bahagia dan bisa mendapat penghasilan dari hasil viral mereka, yang tiba-tiba dikejar ol shop buat endorse, ditelpon crew acara televisi, or etc. Toh gue yakin gak hanya gue yang sirik ketika melihat semua itu. Di saat hampir setiap bulan atau bahkan setiap hari ada aja sesuatu yang dengan mudahnya jadi viral dan bikin tenar yang bersangkutan. Percayalah, di luar sana ada banyak orang yang lebih parah geleng-geleng kepalanya dibanding gue. Karena semuanya bisa jadi viral cuma karena sentuhan jari lo di media sosial.


At least sebenarnya gue gak terlalu mempermasalahkan itu, sih. Dan bukan itu juga inti dari permasalahan disini, karena balik lagi bahwa rezeki setiap orang itu ada yang mengatur, apapun dan bagaimanapun jalannya asalkan positif. Bukan salah yang bersangkutan juga kalau mereka tiba-tiba jadi viral, mendadak dikenal orang dan bahkan ada yang bersyukur banget kalau sampe muncul di TV karena kreativitas mereka yang awalnya cuma iseng-iseng, atau berkat tingkah lucu mereka.


Kadang gue cuma gak habis pikir aja, ada begitu banyak hal yang membanggakan di luar sana tapi justru nggak kita ‘lihat’. Orang-orang terlalu fokus dengan hiburan-hiburan di media sosial dan cenderung seakan lebih bangga dengan hal itu. Hiburan yang menurut gue kebanyakan sama sekali nggak menghibur. Hiburan yang justru cenderung merendahkan orang lain, seperti komedi-komedi di TV zaman now contohnya. Disini gue sama sekali gak bermaksud menyinggung siapapun. Gue justru menghargai mereka yang di dalam viral itu memberi nilai positif, juga akun-akun selebgram di luar sana (karena akhir-akhir ini Instagram yang lebih banyak menghasilkan viral) yang memberikan pesan moral sangat dalam di setiap feedsnya.


Pada intinya, gue cukup kecewa dengan keadaan medsos sekarang. Gak heran kalau orang Indonesia lebih diakui dan dihargai di negeri orang dibanding negeri sendiri, karena orang-orang yang apresiatif lebih sedikit dibanding mereka yang 'sok-sok' apresiasi tapi ujung-ujungnya lebih senang apresiasi hal yang nggak penting. Padahal banyak banget hal-hal di luar sana yang bisa lebih bermanfaat dan membanggakan untuk bisa kita lihat dan tunjukan pada dunia. Please stop making everythings viral just because your fun, because there's so much good things that can make you happy more than just feeling fun or laugh even for 1 minute. :)
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar



Cinta, ya. Kalau bicara soal cinta, pada dasarnya sulit untuk mendefinisikan apa arti sebenarnya, karena sifatnya yang begitu subjektif. Setiap sudut pandang dan perasaan yang dihasilkan oleh cinta itu pasti berbeda bagi setiap orang, walaupun kenyataannya bisa jadi apa yang mereka rasakan justru nggak jauh berbeda atau bahkan sama persis. 

Pada hakikatnya, cinta adalah sesuatu yang fitrah yang dianugerahkan oleh Tuhan untuk kita. Tanpa cinta, kita nggak bisa memberikan afeksi kepada orang lain. Kita juga nggak bisa dengan baik menerima seseorang, mengekspresikan perasaan kita karena nggak akan ada satupun yang mengerti tentang rasa itu. Well, kita dilahirkan ke dunia ini bukankah atas dasar cinta? Salah sebenarnya kalau kita selalu berpikir bahwa cinta itu adalah segala hal yang bersangkutan dengan doi. Dan itu yang jadi problema di kehidupan sekarang. 

Di masa serba modern ini, nggak sedikit orang yang mendefinisikan cinta sebagai pembuktian untuk pacar atau kekasih. Sadar atau nggak, kita jadi seakan-akan terobsesi dengan cinta yang menjurus pada sesuatu atau seseorang. Kadang suka miris aja sih, melihat bagaimana anak-anak zaman sekarang mengekpresikan perasaannya secara berlebihan untuk orang yang belum tentu "benar-benar" mereka cinta, atau bahkan belum tentu “benar-benar” mencintai mereka. Karena balik lagi, banyak yang salah persepsi tentang makna cinta itu sendiri. Kita terlalu fokus memikirkan bahwasanya cinta itu adalah pacar kita, jodoh kita, pasangan kita. Padahal kenyataannya nggak begitu, guys. And you have to deal with it. 

Oke, mungkin ada banyak orang di luar sana yang sudah menyadari untuk siapa, dan apa cinta itu. Tapi, gak ada salahnya kan kita saling bertukar pikiran supaya lebih luas lagi pemahaman kita tentang cinta? 

Sadarlah, Tuhan memberikan kita cinta bukan semata-mata untuk pasangan hidup yang akan membersamai kita kelak. Bukan pula hanya untuk orangtua, keluarga dan sanak saudara kita yang seringkali tanpa sadar kita lupakan bahwa merekalah yang lebih berhak mendapatkan cinta kita dibanding seseorang yang belum jelas apakah takdir kita atau bukan. Bahkan lebih jauh dari itu, Tuhan memberi kita cinta melainkan agar kita selalu mengingat-Nya, untuk kembali pada-Nya, mengikhlaskan hidup kita hanya untuk Dia yang Maha Kasih. Karena sesungguhnya itulah cinta yang hakiki. 

Tapi pada kenyataannya, stigma yang terus terbentuk dalam kehidupan sosial kita saat ini seakan-akan membuat kita jauh dari hakikat cinta yang sebenarnya. Seiring zaman yang semakin berubah, orang-orang nggak lagi menggunakan ‘rasa’ dalam pikiran mereka, karena yang dibutuhkan hanyalah logika, dan kenyataan. Bukan lagi tentang hati dan penghayatan. Mungkin kita sudah lupa bahwa sudah sepatutnya kita lebih mencintai Dia yang memberi kita cinta. Sama seperti ketika kita menerima kebaikan dari orang lain, bukankah kita akan merasa sungkan dan timbul keinginan untuk membalas budi? Begitulah cinta.

Sebagai manusia yang modern, ayo dong, diubah stigmanya. Ingat bahwa cinta nggak cuma sebatas pacaran dan menaruh rasa untuk lawan jenis. Terlalu sempit. Mereka memang abstrak, namun cinta lebih luas dari itu.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Kami, putera-puteri Indonesia
Mengaku bertumpah darah satu, tanah air Indonesia
Kami, putera-puteri Indonesia
Mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia
Kami, putera-puteri Indonesia
Menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia

Ya, begitulah kalimat sederhana namun penuh makna itu diikrarkan 89 tahun lalu. Sudah menjelang satu abad, sejak para pemuda Indonesia memperjuangkan bangsa ini. Apa yang sudah kita lakukan untuk terus membangun negeri yang tengah di rundung badai ini?
Apa yang mesti kita lakukan di tengah pembangunan bangsa yang tak kunjung dewasa ini?
Di tengah semakin derasnya segala perkembangan dunia, sebagai pemuda, apa sih yang harus kita perjuangkan?
Oh, millennials. Pernahkah terpikirkan oleh kita semua hal-hal seperti itu?
Menjadi bagian dari generasi millennials, atau generasi Y, tentunya adalah sebuah tantangan tersendiri untuk dapat terus berdiri di tengah-tengah arus perkembangan zaman. Dimana para millennials harus menjadi contoh tauladan bagi para generasi Z, atau yang kini dikenal sebagai “kids zaman now”. Tidak hanya itu, mereka, kita, dan termasuk penulis sendiri harus menjadi penerus para generasi X yang patut untuk dibanggakan. Karena sesungguhnya di tangan kita lah segala tumpuan harapan bangsa tertanam.
Menjadi bagian dari pemuda dan pemudi di era saat ini, rupanya semakin berat beban yang harus ditanggung. Kita harus mampu menyesuaikan diri dengan segala perkembangan teknologi. Mengikuti arus yang ada dengan pandai memilah-milah, agar tak digunjing oleh mereka, “anak zaman sekarang“ yang pertumbuhannya luar biasa dahsyat dalam menghadapi era serba modern. Kita bagaikan kakak tengah di antara tiga bersaudara. Ketika kakak pertama kita sukses, maka kita harus mampu mengikuti langkah keberhasilannya dengan cara kita, agar orangtua bangga terhadap kita. Bahkan kita harus mampu melampaui kesuksesannya, agar sang kakak juga tersenyum puas melihat kesuksesan yang kita raih. Tetapi, di sisi lain, sebagai kakak kita juga harus mampu membimbing adik kita, bagian dari generasi Z, yang perkembangannya akan kemajuan dunia ini begitu rentan. Sehingga perlu untuk kita arahkan. Jangan hanya kita perhatikan dengan sesekali mencibir, kemudian diabaikan begitu saja.
Dengan kata lain, kita harus membuat bangsa ini bangga dengan segala pencapaian dan kontribusi yang dilakukan. Kita harus membuat para pendahulu tersenyum puas melihat Indonesia tumbuh dengan makmurnya, besar dengan prestasinya. Sehingga menjadi pacuan untuk para pemuda di generasi yang akan datang. Bertepatan dengan hari dimana para golongan muda mengikrarkan sumpahnya ini, tentu mengingatkan kita akan pentingnya peran pemuda.
Lantas, kita harus bagaimana?
Diam di tempat dan hanya belajar sesuka hati kita? Cukup asik dengan melihat banyak hal viral tak mendidik, yang hanya bikin negara kita menutup muka?
Tentu tidak. Ada begitu banyak cara yang bisa dilakukan untuk dapat terus berkontribusi, menjadi pemuda millennial yang kreatif, dan salah satu yang dapat dengan mudah dan murah dilakukan adalah membaca.
Seperti yang harus kita ketahui, minat pembaca Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Berdasarkan studi “Most Littered Nation in the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada 2016 lalu, Indonesia tercatat menduduki peringkat ke-60 dari total 61 negara. Hasilnya sebesar 0,001% minat untuk membaca di Indonesia, dan itu artinya dari 1000 orang, hanya 1 orang yang rajin membaca. Padahal berdasarkan komponen infrastruktur di Indonesia, negara kita ini berada di atas negara-negara asia tenggara lain, seperti Filiphina.
Kenapa bisa begitu memprihatinkan seperti ini? Rupanya kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia masih sangat minim dalam memanfaatkan infrastruktur yang ada. Kita tidak terbiasa dengan dunia literasi, dunia tulisan, yang menjadikan kita kaya akan pengetahuan. Kita semua tentu pernah mendengar pepatah ini, bukan? Bahwa buku adalah jendela dunia. Ya.
Kenapa hanya dengan membaca kita bisa membuka jendela dunia? Kenapa tidak dengan berkeliling melakukan perjalanan ke setiap negara, dan mengamati kebiasaan orang-orangnya agar kita bisa mencontek kesuksesan mereka?
Karena dengan membaca, kita bisa mendapatkan begitu banyak hal tanpa mengeluarkan banyak uang. Setara bukan dengan berkeliling dunia? Apalagi dengan teknologi yang sudah begitu canggih ini, kita tidak perlu jauh-jauh ke perpustakaan atau pergi ke toko buku jika tempatnya memanglah tidak terjangkau. Perusahaan besar seperti google, dan lain-lain telah menyediakan fasilitas untuk kita membaca. Jadi, tidak ada alasan untuk mengatakan malas hanya karena toko buku atau perpustakaan sangat jauh dari tempat tinggal. Bahkan, di Indonesia banyak sekali program-program ataupun gerakan membaca yang digalang oleh tokoh-tokoh inspiratif kita. So, kenapa kita tidak coba bantu untuk mengembangkannya, dan ajak teman-teman, keluarga, adik-adik, bahkan saudara-saudara kita di luar sana untuk terbiasa membaca?
Lalu, tahukah Anda?
Dengan membaca, wawasan kita akan terbuka lebar-lebar. Segala pengetahuan kita akan dunia ini menjadi berkembang. Kita juga tidak akan mudah dibodohi oleh perkembangan zaman, karena kita bisa selektif dalam segala pembaruan yang mudah datang begitu saja ke negerti tercinta ini. Selain itu, sering membaca dapat menambah pengetahuan kita tentang kosakata baik itu bahasa asing maupun bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sesuai dengan ikrar sumpah pemuda, bukan?
Membaca tidak membutuhkan tenaga seperti halnya berlari keliling stadion hingga beratus-ratus meter. Membaca juga tidak perlu cara-cara khusus, seperti harus duduk tegak tanpa istirahat. Kita bisa membaca dimanapun dengan santai, dengan cara apapun yang kita inginkan. Tetapi dengan kegiatan yang tidak membutuhkan tenaga kuda itu, kecerdasan otak kita akan semakin terasah tanpa kita sadari. Bahkan kita bisa mendapatkan efek positif lain, seperti timbul kesenangan menulis. Dengan menuliskan apa yang telah kita peroleh lewat membaca, tulisan-tulisan kita akan terasa lebih kaya. Kita akan mampu menuliskan gagasan baru yang tidak sempat kita utarakan, sehingga akan banyak tersebar karya-karya dan gagasan anak bangsa yang tak terhingga dari Sabang hingga Merauke.

Jadi, inilah waktunyakita berliterasi. Menjadi pemuda yang kreatif dan penuh karya!
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Terlalu Besar Untuk Gagal
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Just Listen
  • Bukan Salah Indonesia

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • The Phantom of the Opera: Di Balik Danau
  • Cuma Cerita
  • Priority Chat
  • Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Cuma Cerita #2
  • Kiamat Sudah Dekat
  • Spoonerism, Alasan di Balik Keselip Lidah
  • Bad For Good
  • 36 Questions Movie Tag

Blog Archive

  • ▼  2023 (1)
    • ▼  Februari 2023 (1)
      • Kejar Passion itu Omong Kosong
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (31)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

digital marketing Intermeso karir Krisis 1/4 Abad lifestyle Opini Perempuan Podcast Poetry Review slice of life Thoughts

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.