Bahasan tentang masa-masa kecil atau masa remaja yang indah sepertinya nggak pernah bosan buat jadi topik utama dalam sebuah obrolan. Seringkali saat sedang reuni, obrolan tentang mengingat masa-masa lampau selalu menarik buat dikenang. Apalagi untuk generasi 90-an dan 2000-an, atau generasi milenial yang tumbuh di antara dua era, rasanya membandingkan antara zaman mereka dimana teknologi tidak semasif seperti sekarang adalah sebuah ulasan wajib yang gak bisa dihindari.
Gue sebagai anak yang tumbuh di tahun 2000-an dan dekat dengan generasi 90-an ini merasa relate kalau udah membahas tentang zamannya MTV nge-trend banget di TV, mulai dari MTV Bujang, MTV Salam Dangdut, MTV Getar Cinta, MTV Global Room, dan MTV Ampuh yang semuanya senantiasa diisi sama VJ-VJ keren nan hits, pun kalau membahas soal program televisi lain yang sifatnya anak muda abis atau bahkan anak-anak dan keluarga, seperti Planet Remaja: Peace, Love, aand *kecup jari* Gaul! (siapa nih yang suka ikut-ikutan gaya ini kalau di sekolah?😂), Komunikata, Tralala Trilili, Kring....kring Olala, Berpacu Dalam Melodi, Kuis Siapa Berani, Who Wants to be Millionaire yang dipandu oleh Tantowi Yahya (beberapa termasuk acara 2000-an banget sih, karena gue anak 2000-an jadi referensinya banyak disana hehe maafkan✌🏻), dan kartun-kartun di hari minggu, telenovela yang merajalela, sinetron-sinetron hits semacam Tersanjung, Cinta, Bidadari, Tuyul dan Mbak Yul, Keluarga Cemara, Jin dan Jun, Disini Ada Setan,
serta sitkom-sitkom legendaris kayak Bajaj Bajuri, Spontan Uhuy!, sampai ke acara masak di hari minggu yang selalu ditunggu mama-mama seperti Aroma yang dibawakan oleh bu Sisca Soewitomo, Selera Nusantara, Rahasia Dapur Kita, dll, ditambah nama-nama permainan yang gak kalah nge-trend menghiasi zaman itu seperti Yoyo (ingat banget dulu sering banget diketawain sama tante gara-gara main yoyonya gak bener haha), Dakocan, mainan gelembung karet yang bentuknya mungil-mungil dan kalau udah ditiup biasa ditempelin ke wajah, mainan BP/boneka kertas, kapal-kapalan yang bunyinya tok-keletok-keletok, lompat karet, kelereng, ketapel bambu yang pelurunya diisi sama kertas yang dibentuk bulat kecil, gameboy (ini entah kenapa gue dulu nyebutnya jimbot), Nintendo, Tamagotchi, permainan ular naga yang dilakukan ramai-ramai, engkle, egrang, congklak, sampai bola bekel, rasanya kita seperti diajak berlomba-lomba supaya bisa menyebut satu nama dari sekian nama yang ada. Banyak banget, kan, ternyata! Segini masih banyak yang belum ditulis, fiuh.
"Kenapa sih generasi 90-an begitu meromantisisasi masa-masanya?" tanya si Generasi Z.
Sebelum itu gue mau ngasih tahu dulu, kenapa gue pakai kata romantisisasi instead romantisasi? Awalnya gue terbiasa bilang romantisasi sih, tapi sebetulnya ini salah. Setelah gue cari-cari di KBBI, yang benar adalah romantisisasi. Karena kata romantisisasi sendiri berasal dari kata serapan bahasa Inggris romanticization yang ketika diubah ke dalam bahasa Indonesia menjadi lebih pas romantisisasi, sama seperti spesialisasi dan generalisasi. Dalam KBBI, hanya dapat ditemukan imbuhan -isasi yang konon sudah ada sejak zaman Belanda, yang kalau diartikan maknanya menjadi pengidealan, atau perlakuan sebagai sesuatu yang romantis. Jadi, yang lebih tepat adalah romantisisasi, bukan romantisasi, karena kalau romantisasi maka imbuhannya adalah -asi yang mana tidak ada dalam KBBI.
Anyway, tulisan ini nggak ada kaitannya dengan buku Generasi 90-an karya Marchella FP. Gue justru terinspirasi dari karya-karya beliau dan bertanya-tanya, kenapa sih topik soal ini justru banyak sekali peminatnya? Bahkan beberapa kali ada event yang berkaitan dengan nostalgia dengan tema mesin waktu yang juga diusung oleh komunitas generasi 90-an yang digagas oleh Mba Marchella.
Well, sebetulnya gue merasa adanya generasi X, Y, Z dan lainnya secara nggak langsung mengkotak-kotakan kubu antara usia sekian dan usia sekian, juga zaman sekian dan zaman sekian—walaupun memang tujuannya itu. Maksud gue, gue merasa dengan adanya generasi-generasi tersebut kita jadi menjauhkan diri satu sama lain dari orang-orang yang generasinya berbeda dengan kita dan bahkan membangun batasan setinggi-tingginya. Gak jarang ada orang-orang yang skeptis duluan kalau mendengar asal seseorang dari generasi dan lahir di tahun yang berbeda dengan dirinya, seakan-akan generasi itu otomatis bisa membentuk pemikiran dan karakteristik seseorang. Namun di saat yang bersamaan, menyebut tentang generasi dan mengenang sesuatu yang lahir di eranya adalah sesuatu yang menyenangkan buat dibahas.
Gue personally, seringkali merasa semangat kalau ngomongin tentang masa-masa di bawah tahun 2010-an, ketika gadget dan internet nggak mem-booming seperti sekarang. Siapa sih yang waktu kecilnya nggak senang main petak umpet, main sondakh, main tamiya, main barbie, main kucing-kucingan sampai maghrib baru pulang? We were all have those childhood moments weren't we?
Tapi seperti apa yang ditanyakan oleh Gen Z, gue pun seringkali mempertanyakan hal tersebut ke diri gue. Kenapa sih senang banget kalau ngebahas tentang hal-hal menarik zaman dulu? Apa iya gue nggak bisa lari dari masa lalu? Apa iya gue terlalu mengglorifikasi era 90-an dan era 2000-an, bahkan overproud sama masa-masa pertumbuhan gue?
Ternyata jawabannya sederhana. Gue terlalu lelah dengan kondisi di zaman sekarang yang membuat semuanya tampak terlihat jelas karena internet dan platform seperti media sosial. Gue pun merindukan kejayaan tayangan televisi yang gak lebay, edukatif, dan berkualitas. Seringkali gue mengeluh karena melihat tayangan televisi kita yang semakin kesini tampak semakin tidak kreatif. Oleh karena itu, gak bosan-bosan gue mengeluh soal pertelevisian beberapa kali di blog ini.
Baca juga: Manusia Kaleng
Aneh, kan? Bukannya berkembang maju, justru nilai-nilai dari tontonan yang ada malah masih terasa sama seperti sepuluh tahun lalu, dan sedihnya seperti berkurang. Mungkin keberadaan platform seperti YouTube dan Instagram yang menawarkan lebih banyak keunggulan bikin para kreatif di industri pertelevisian ini kewalahan buat ngikutin. Akhirnya tontonannya banyak yang hanya mencomot dari hal-hal viral yang terjadi di dunia maya. Instead of fokus membenahi tayangan yang tidak sedap dan selalu terkesan dipaksakan tayang, malah fokus mengejar rating, rating, dan rating, dengan dalih mengikuti selera pasar. Padahal statement tersebut sama saja beranggapan bahwa masyarakat kita terlalu bodoh untuk dikasih tayangan yang variatif seperti drama Korea dengan banyak genre dan sinematografi yang mumpuni. Bukan soal selera masyarakat, tapi memang jiwa kapitalisnya aja yang sulit berubah. Padahal logikanya kalau tahu selera masyarakat buruk yaa diubah dong biar jadi lebih bagus. Iya gak, sih? Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Mas Roy, pendiri Remotivi di salah satu artikelnya, Menguji Logika Pandji.
Mungkin karena hiburan kita dulu benar-benar terbatas antara main di luar atau main di rumah, dan sisanya nonton TV, gue pribadi merasa siaran televisi benar-benar memberi pengaruh dalam proses tumbuh kembang gue. Sehingga apapun yang berkaitan dengan nostalgia 90-an atau 2000-an, mungkin kalian pun ingatnya gak jauh-jauh tentang tayangan televisi favorit di zaman dulu. Sebab memang jenis-jenisnya sendiri penuh warna. Bayangin, dulu tuh kayaknya dari usia balita sampai tua ada tayangan favorit masing-masing, dan isinya gak melulu infotainment gosip yang menayangkan hidup artis, tapi banyak pilihan. Acara anak ada (bahkan lagu anak-anak juga bisa dengan mudah kita jumpai), acara anak tanggung sampai remaja pun ada, acara orang dewasa yang tayang di jam-jam tengah malam pun ada, bahkan sampai acara memasak, yang semuanya konsisten tayang hampir di setiap stasiun televisi dan di jam yang sesuai.
Sebetulnya, setelah mengobservasi dan mencari tahu lebih lanjut, selain keluhan di atas, gue nggak menemukan jawaban lain kecuali hanya untuk bernostalgia atau mengenang masa-masa remaja. Dulu orangtua kita pun sepertinya sering menceritakan bagaimana kehidupan mereka di era 70-an dan 80-an berjalan, bahkan gue sering juga diceritakan oleh eyang gue sebelum tidur tentang masa mudanya dulu saat tinggal di zaman Presiden Soeharto, dimana Jakarta masih banyak pohon-pohon besar dan banyak kuntilanak yang berkeliaran (sekarang mungkin udah terhalang gedung-gedung tinggi), dan dimana kejahatan pun rasanya selalu melekat di telinga masyarakat. Yah, walaupun sampai sekarang kejahatan yang dilakukan manusia, entah bunuh-membunuh atau perampokan masih merajalela, dulu lebih parah karena dipengaruhi juga oleh situasi politik yang tampak jelas tidak sehatnya, *kayaknya memang separah itu ya zaman orde baru.
Gue pun sering membicarakan masa kanak-kanak ini dengan teman-teman juga kerabat dekat, bahkan seringkali tenggelam di dalamnya, saking banyak sekali cerita tentang kami yang tidak ditemukan pada anak-anak generasi sekarang.
“Dulu tuh kayaknya kita kecil bahagia banget ya, main lompat tali sama petak umpet gak tau waktu."
"Kayaknya anak-anak dulu pada jadi ekstrovert kali ya. Jangankan sama temen di komplek dalam, sama anak komplek luar aja sampe kenal saking sosialisnya!”
“Eh iya, lho! Kalo anak sekarang sih mainnya gadget, boro-boro kenal yaa sama anak-anak komplek.”
Gue cuma bisa "hmm" aja sih kalau udah sampe situ obrolannya. Tanpa bermaksud membandingkan, sebenarnya perbedaan zaman itu memang gak bisa dipungkiri. Sekarang memang eranya teknologi, gadget dimana-mana, semua dilakukan serba daring, gaya hidup pun pasti akan berubah mengikuti alur ini. Wong namanya juga globalisasi, nggak cuma Indonesia, semua negara mengalami hal yang sama. Bahkan gue juga sering menemukan postingan orang-orang luar di media sosial yang kerap bernostalgia dengan membagikan memes tentang hal-hal yang dilakukan anak kecil di era 90-an dan 2000-an.
Sebab gue sering juga nih nemu orang-orang yang merasa dirinya adalah generasi emas karena tumbuh atau lahir di era 90-an, kocaknya justru yang mengaku generasi emas ini adalah barisan orang-orang yang lahir di 90-an tapi tumbuh di tahun 2000-an, padahal era 2000-an ini masuknya udah zaman milenium walaupun teknologi memang gak langsung pesat perkembangannya.
"Generasi 90-an emang terbaik!"
"Kasihan sama generasi sekarang, gak punya masa kecil yang bahagia."
"Gue dong, masa kecil gue bahagia, gak banyak main gadget, tapi udah gedenya melek teknologi!"
Iye, malih, terserah lo aja dah. Bernostalgia boleh banget kok, tapi akan lebih bijak kalau kita gak merendahkan kaum lain atau generasi lain yang memang berbeda zamannya dengan kita, hanya karena merasa superior dan punya segalanya yang gak dimiliki si Gen Z ini. Lagi-lagi "superior" penyebabnya. Kenapa ya manusia hobi banget ngerasa lebih tinggi derajatnya daripada orang lain🤦🏻♀️. Padahal 90-an sendiri ogah kali dibawa-bawa tahunnya sama orang yang ke-PD-an macam gitu.
Namun, berkaitan dengan keluhan gue yang kecewa dengan program-program televisi yang effortless, dan gue yang lelah dengan paparan internet yang seperti tiada henti menghiasi hari, gue melihat ajang bernostalgia ini sebetulnya bisa merupakan bentuk sindiran, atau bahkan peringatan. Untuk apa? Untuk kita refleksi atas berbagai hal. Apakah kondisi dulu dan kini membawa perubahan yang baik atau nggak? Apakah tayangan televisi yang berjalan sekarang ini masih produk yang sama seperti dulu atau justru berubah ke arah yang lebih baik? Dan perubahannya sendiri apakah sejalan dengan waktu yang sudah dilewati? Seberapa banyak? Gak cuma untuk program televisi aja sih, ya. Untuk semua aspek, seperti gaya hidup yang kita jalani sekarang. Apakah kehidupan virtual ini benar-benar memberi pengaruh baik dalam kehidupan kita? Apa justru kita malah jadi lupa caranya berkehidupan sebagai makhluk sosial yang harus berbaur juga dengan alam sesekali dan makhluk sosial lainnya?
Kok terlalu banyak pertanyaan ya, hehe. Ya memang gue rasa penting untuk kita selalu mempertanyakan tentang hidup ini, semata-mata agar masing-masing dari kita bisa mengevaluasi untuk berubah menjadi lebih baik lagi. So, kegiatan meromantisisasi ini seharusnya nggak cuma jadi cerita kenangan alias ajang nostalgia saat reuni yang hanya jadi angin lalu, melainkan bisa jadi bahan refleksi atas apa-apa saja yang sudah berjalan sejauh ini. Apa yang harus diperbaiki dan apa yang harus ditingkatkan. Berkembang dan hidup mengikuti zaman memang gak ada salahnya, bahkan sebuah keharusan supaya kita bisa terus beradaptasi untuk kejutan-kejutan lain di masa yang akan datang, namun gue harap kita juga nggak begitu saja melupakan nilai-nilai baik yang sudah ada sejak zaman dulu. Kalau sekarang kita berkutat dengan media sosial terus, gak ada salahnya sesekali simpan gadget kita dan menikmati permainan-permainan yang dulu sempat menghiasi masa kanak-kanak kita, entah dengan teman, anak, suami, atau saudara. Toh sekarang masih ada kok beberapa permainan zaman dulu yang dijual dan dikemas secara modern. Buat para orangtua pun, mungkin bisa memperkenalkan anak-anak sesekali saat di luar jam belajar dengan beberapa permainan tradisional yang bisa dilakukan dengan keluarga. Omong-omong, apa sih hal-hal favorit kamu semasa kecil di era 90-an atau 2000-an dulu?
Rekomendasi artikel terkait: