Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram twitter LinkedIn YouTube Spotify Email

Notes of Little Sister



Kenapa Kita Harus Berpikir Kritis?

Beberapa minggu lalu, gue menulis soal balada pertemanan dan hitam putihnya, yang membuat kita hanya bisa melihat sebuah sisi berdasarkan baik dan buruknya aja. Awalnya tulisan itu singkat, gak sampai satu jam gue selesain. Gue baca-baca dan renungin cukup lama buat gue putuskan apakah ini okay untuk diposting atau nggak, tapi karena ada beberapa statement yang menurut gue terlalu mengutamakan sudut pandang pribadi, gue check and re-check. Ternyata beberapa hal yang gue tulis memang terkesan cukup judgmental dan bahkan menentang akidah.

Dari situ gue berkesimpulan, gue tidak sekritis itu untuk bisa constantly menulis dengan research and data, i'm a human too who's  sometimes being too emotional over my perspective. Kemudian permasalahan soal critical thinking jadi berkelebat di kepala gue. Kebetulan sekali sudah beberapa hari ini gue malas buka twitter karena seringnya melihat menfess-menfess yang kebanyakan isinya mempertanyakan hal-hal yang too common dan gak perlu ditanyain alias bisa dicari sendiri. Di satu sisi, gue tahu itulah sebabnya kenapa menfess-menfess ada, gunanya ya buat menciptakan komunikasi lebih dari satu arah dan supaya bisa saling menginform diri. Di sisi lain, gue merasa banyak hal yang bisa kita cari sendiri sebelum kita tanya ke orang lain. That is what google has been created for, right? Tapi ternyata gak semua orang punya inisiatif ini. 

Beberapa orang lebih memilih bertanya langsung ke orang lain untuk mengisi lubang-lubang informasi di kepala mereka. Hal ini terlihat sederhana dan mudah, karena kita gak perlu ribet memproses berbagai istilah atau kalimat yang kita temui lewat bacaan. Cukup nyimak penjelasan orang lain, dengerin, perhatiin, udah deh kelar. Padahal kebiasaan ini bikin kita secara gak langsung jadi maunya selalu disuapin, maunya dikasih tutorial, dan buruknya membuat functional literacy kita stuck alias gak ada kemajuan.

Apa sih functional literacy itu?

Functional literacy is the ability to manage daily living and employment tasks that require reading skills beyond a basic level. Artinya, literasi fungsional ini adalah kemampuan untuk mengolah atau menangkap suatu isi dari bacaan, entah itu poster, artikel berita, formulir, job advertisements, dll. Gue yakin kemampuan literasi (the ability to read and write) orang Indonesia itu sebenarnya udah bagus, tapi ternyata gak sedikit yang gak bisa langsung memahami maksud dari apa yang mereka baca. This means, functional literacy-nya rendah.

Hal ini yang bikin kita seringkali harus baca sampai berulang-ulang, dan bahkan harus bertanya ke orang lain yang bisa menjelaskan lebih detail supaya kita bisa ngerti sama isi bacaan tersebut. Nah, functional literacy ini bisa kita tingkatkan dengan melatih critical thinking kita.

Tapi nih, bukan berarti bertanya kepada orang lain itu kegiatan yang jelek, ya. Terkadang malah orang yang banyak bertanya itu sebenarnya kritis. Mereka punya keingintahuan yang besar dan gak malu untuk mempertanyakan hal-hal yang memancing rasa ingin tahu mereka. Sayangnya terkadang ada beberapa situasi dimana seseorang mempertanyakan hal yang sebelumnya bisa dia cari tahu sendiri. Nah, gue pingin ngajak kalian supaya membiasakan diri untuk mandiri dalam berpikir, tapi juga gak malu untuk bertanya tentang sesuatu kepada ahlinya. Bukankah segala sesuatu itu perlu keseimbangan? Koi Fresco said, balance is the key to everything. What we do, think, say, eat, feel, they all require awareness and through this awareness we can grow.

Apa itu critical thinking?

Berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir dengan lebih jelas, rasional, dan mampu menganalisis fakta untuk membentuk sebuah penilaian, argumen, atau kesimpulan. Basically, it's thinking about thinking, memikirkan hal-hal tertentu untuk bisa mencapai solusi atau kesimpulan terbaik dalam situasi yang kita sadari. Berpikir kritis bukan berarti cukup dengan mengakumulasikan fakta dan pengetahuan hanya pada satu kali pencarian terus kita bisa pakai itu selamanya. Nggak. Semuanya tentang proses; proses mengumpulkan data dan fakta, dan proses berpikir. Seperti teknologi, setiap dekade pasti selalu ada hal baru yang kita terima karena penelitian gak cuma berhenti pada satu penemuan. 

Semakin banyak bacaan yang kita baca, akan semakin banyak kita berpikir, dan proses untuk mencapai kesimpulan akan semakin bijak, karena kita gak asal comot satu sumber buat menuhin isi kepala. Semua itu yang dinamakan berpikir kritis. Oh iya, critical thinking ini adalah metacognitive skill —> a higher level cognitive skill that involves thinking about thinking.

Kenapa sih kita harus berpikir kritis?

Gue akan membagi ini ke beberapa hal, alasan kenapa critical thinking penting untuk kita miliki dan apa keuntungan yang bisa kita dapetin. Pertama, critical thinking bisa memerdekakan cara berpikir kita. Kita bisa lebih mandiri dalam berpikir, tahu mana hal yang bisa diterima mana yang nggak, masuk akal atau nggak, dan nggak terkukung pada inherited opinion; sesuatu yang kita terima dari orangtua, kakek, nenek, atau buyut, misalnya soal mitos kalau duduk di palang pintu bikin kita jauh dari jodoh. Jelas, gue gak mengajari kalian untuk membangkang orangtua, tapi disini maksudnya adalah kita jadi bisa lebih aware akan adanya mitos-mitos dan memiliki keinginan untuk mencaritahu kebenaran di balik itu. Mandiri dalam berpikir ini juga membantu kita terhindar dari yang namanya manipulasi, entah lewat media massa, media sosial, modus penipuan uang atau pyramid scheme (semacam MLM). Otomatis kita pun memiliki opini yang lebih well-informed. Karena kita tau informasi apa saja yang bisa kita terima, meaning kita jadi gak gampang dibodohi oleh berita hoax plus twit buzzer-buzzer gak jelas yang isinya tukang fitnah. Apalagi dalam situasi pandemi kayak sekarang, kelihatan banget kan, mana golongan orang yang berpikir lebih kritis dan mana yang cuma mengandalkan berita dari grup chat whatsapp. Kita seperti lebih ditantang untuk mampu menerima beberapa fakta berdasarkan sains, contohnya diam di rumah karena gak mau menularkan virus kepada orang sekitar, bukan karena lebih takut corona daripada Tuhan. In order to have a democracy and to prove scientific facts, we need criticial thinking in this world. Teori harus didasari oleh pengetahuan, bukan cuma asumsi.

Kedua, kemampuan bahasa dan presentasi kita meningkat. Supaya bisa mengekspresikan diri, kita harus tahu caranya berpikir secara lebih jelas dan terstruktur. Nah, critical thinking also means knowing how to break down texts, and in turn, improve our ability to comprehend. Again, to comprehend, karena basicly berpikir kritis itu adalah tentang memahami apa aja yang kita baca dan dengar, and trying to reduce unimportant things and all noises. Contohnya saat presentasi di depan kelas menggunakan powerpoint, kita akan otomatis terbiasa menjelaskan langsung isi teks yang ada di ppt itu dengan gaya bahasa kita, bukan cuma bacain audiens teks tanpa penjelasan lebih lanjut. Sehingga hal inipun bisa membuat kita tampil lebih percaya diri dan gak perlu takut gak bisa ngomong dan gak bisa mikir pas lagi presentasi atau seminar depan dosen, karena semua hal penting yang kita pahami udah tercatat jelas di luar kepala. Bonusnya, kemampuan public speaking kita bisa lebih meningkat. Interesting!

Selanjutnya, berpikir kritis membuat kita lebih open-minded (kata yang paling terkenal jaman sekarang), artinya sadar dan menerima akan adanya pendapat atau argumentasi lain yang mendukung analisis atau proses berpikir kita. Dalam proses terbukanya pikiran ini, ketika kita mencari tahu dan menemukan banyak fakta, informasi yang datang pasti akan banyak dari setiap sisi. Nah, mengapa kita perlu memiliki critical thinking skill adalah agar kita bisa memutuskan sendiri yang mana yang harus kita percayai. Remember, critical thinking memungkinkan kita untuk memastikan bahwa pendapat kita didasarkan pada fakta dan membantu kita memilah-milah dan membuang bias yang ada. Jadi, buat orang-orang yang udah merasa open-minded, apakah kalian sudah bisa menerima adanya bias dan argumentasi lain atau justru cuma bisa nerima satu fakta baru? Karena yang gue lihat nih, sekarang banyak orang yang ngeklaim diri mereka open-minded tapi cenderung keukeuh sama sudut pandangnya, misal, ada orang yang ngedukung komunitas tertentu dan memperjuangkan hak-hak mereka, tapi di sisi lain gak menerima akan fakta bahwa ada orang-orang yang gak bisa satu suara sama mereka. That's not how your "open-minded" works.

Keempat, critical thinking skill bisa membuat kita berpikir lebih kreatif—definitely. Akan ada banyak sekali ide yang muncul di kepala disebabkan kita yang rajin mengolah informasi dan mencaritahu banyak hal. Pola pikir kreatif ini bisa bikin kita jadi problem solver yang andal. Kedengarannya terlalu iklan, sih, but seriously, lo jadi gak perlu kebingungan untuk melakukan sesuatu yang membutuhkan kreativitas lebih tinggi karena pikiran lo terbiasa untuk memikirkan dan memilah berbagai hal untuk keluar dari blunder dan menemukan solusinya. 

Better decision making, adalah salah satu yang gak kalah penting dalam skill ini. Berpikir kritis membantu kita untuk bisa deal dengan berbagai masalah yang datang dalam hidup kita, karena gak cuma mereduksi berbagai bias dan noises dalam nuance saat berinteraksi dengan orang lain, tapi juga membantu kita mereduksi berbagai pilihan dengan pertimbangan yang matang saat mengambil keputusan. Seringkali untuk memutuskan hal-hal tertentu kita kebingungan sendiri dan bahkan gak percaya dengan diri sendiri. Dalam hal ini, bukan cuma berpikir independen yang dibutuhkan, critical thinking also helps us to trust our gut feeling to make the best choices. 

Terakhir dari gue, gak akan bermakna rasanya kalau berpikir kreatif ini gak memberi pengaruh apapun terhadap proses lo memaknai hidup. Without critical thinking, how can we really live a meaningful life? Kita akan sangat membutuhkan skill ini untuk self-reflect dan membenarkan cara hidup kita plus cara kita memandang suatu hal. Indeed, with think, you'll know how to act, tapi itu aja gak cukup. With critical thinking, you know how to have a good life with good actions.

Seperti yang lo lihat, semuanya saling berkaitan dan sebenarnya banyak banget yang belum gue tulis. Tapi intinya udah jelas, betapa pentingnya buat kita memiliki critical thinking, apalagi di era ini. Berpikir kritis gak cuma membenarkan cara berpikir kita dan bagaimana kita memproses berbagai informasi yang diserap, tapi juga bisa membangun kita menjadi pribadi yang lebih bijak, tentunya dengan proses. Seseorang yang dicap kritis dalam berpikir gak selamanya begitu, keterampilan ini bisa memudar kalau kita gak rajin mengasah dan membiasakan. Lama-lama dia akan pudar juga kalau kita menutup diri dari berbagai situasi yang bisa mendorong cara berpikir kita, apalagi kalau kita sengaja melakukan itu karena udah merasa cukup kritis. Eits, jangan. Dalam hal ini, merasa cukup aja gak cukup. Lo harus terus merasa haus supaya lebih banyak lagi pengetahuan yang terkumpul di dalam kepala lo. Anyways, semoga infonya bermanfaat, ya! Kalau ada yang mau nambahin, dengan senang hati silakan masukan di kolom komentar. Gue akan ngebahas gimana caranya berpikir kritis di postingan selanjutnya, stay tuned!☺


Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar
Papuan Lives Matter

Istilah privilege lagi hangat-hangatnya diperbincangkan di Twitter, bersamaan dengan kasus George Floyd di US dan gerakan #BlackLivesMatter yang sekarang digalakan hampir di setiap negara. Menurut gue, dua-duanya sama berkaitan, dan bahkan terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Oleh karena itu, let's talk about this for a few minutes.

Gerakan Black Lives Matter yang diawali dengan kasus rasialisme yang menimpa George Floyd di Amerika seakan menyulut kebungkaman orang-orang yang bernasib sama; korban colorism dan racism. Sekaligus menampakan betapa brutalnya aksi aparat kalau menyangkut dengan warna kulit suatu kelompok, begitupun dengan Indonesia. 

Sebelum itu, gue mau kasih tahu dulu apa bedanya rasisme, rasialisme, dan colorisme. Menurut Oliver C. Cox, rasisme merupakan peristiwa, situasi yang menilai berbagai tindakan, dan nilai dalam suatu kelompok berdasar perspektif kulturalnya yang memandang semua nilai sosial masyarakat lain di luar diri mereka itu salah dan tidak dapat diterima. Sementara rasialisme berarti keyakinan akan keberadaan dan signifikansi perbedaan rasial, tetapi belum tentu ada hierarki antara ras. Rasialis biasanya menolak klaim superioritas rasial. A racialist, however, may simply prefer to date people within his or her own race because they believe other races will be incompatible. Sederhananya, rasisme adalah tindakan atau akibat dari rasialisme yang merupakan doktrin dan telah ada sebelum istilah rasisme itu sendiri muncul. Namun sebenarnya untuk persoalan rasisme dan rasialisme sendiri terdapat beberapa perbedaan pemahaman, ada yang mengatakan bahwa rasisme adalah sebuah ideologi atau pemahaman yang mendasari rasialisme, ada juga yang mengatakan bahwa rasialisme itu sinonim dari rasisme. However, i prefer the first one, dan menurut gue, keduanya sama-sama berbahaya karena bisa menjadi manifestasi dari diskriminasi yang terjadi di sekitar kita. Salah satunya diskriminasi berdasarkan warna kulit; colorism. An author and activist Alice Walker defined colorism as “prejudicial or preferential treatment of same-race people based solely on their color”. She is the person most often credited with first using the word colorism, out loud and in print.

Kemarin gue baru aja lihat artikel yang berisi tentang respon pemerintah bahwa isu rasisme yang sekarang lagi memanas di AS gak perlu dikait-kaitkan dengan masalah Papua karena sama sekali gak ada kaitannya. Gue agak terperangah, karena berani sekali beliau ini bersikap denial dengan isu tersebut. 


We didn't mention that everything happens in Papua caused only by racism, but this issue is actually happening for over decades even oppressed the Papuans intentional or unintentionally. Gue tahu permasalahan di Papua bukan hanya didasari oleh rasialisme, pertumbuhan ekonomi yang lamban, pembangunan yang tidak merata, etc, tapi kita gak bisa mengelak bahwa permasalahan soal rasisme itu hidup di dalamnya. Ruang rasisme bisa tumbuh hampir di setiap negara, apalagi di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, budaya dan adat istiadat. Dari sekian ratus juta orang di negara ini nggak mungkin semua hidup aman damai tanpa sepotong pemikiran merasa superior to other race. Gue kasih tau aja ya, di lingkungan gue tinggal seringkali beberapa orang rasis terhadap orang Batak (yang merupakan ras proto-melayu) karena karakternya yang dikenal keras, kalau ngomong nggak bisa pelan, dan kebanyakan suka makan anjing. Image seperti itu tertanam hampir di kepala setiap orang yang bukan berasal dari suku batak, artinya rasisme bisa terjadi kapanpun dan dimanapun, tanpa kita sadari, because accepting stereotype and discriminate people by their race and skin color without realizing it, is a form of racism and being a racist.

Masalah rasisme dan colorisme gak hanya terjadi di Amerika, Selandia Baru, London, Jerman, dan negara-negara Eropa sana, tapi juga di Indonesia. Kalian gak lupa kan dengan kasus penangkapan mahasiswa Papua di Surabaya tahun lalu yang berujung diputusnya akses internet di Papua? Atau mungkin ada yang belum tau? Geez, man. Makanya kita harus sesekali buka mata dengan isu kemanusiaan di sekitar kita, sekalipun gue tahu, melelahkan sekali melihat berita di Indonesia yang gak jauh-jauh dari tingkah lucu pemerintah dan orang-orang di bawahnya.

Pada tahun 2016, Obby Kogoya, seorang mahasiswa Papua di Yogyakarta dikejar, ditangkap, dan dipukuli oleh polisi saat akan mengikuti sebuah aksi protes. Fakta yang paling memilukan adalah foto yang disebarkan menunjukkan hidungnya ditarik oleh polisi dan tangannya diborgol. Sementara pada bulan Agustus tahun lalu, tepatnya hari kemerdekaan Indonesia, sekitar empat puluh tiga mahasiswa ditangkap oleh polisi atas tuduhan perusakan bendera merah putih di depan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Asrama tersebut ditembaki gas air mata, dan didepan pagarnya dijaga ketat oleh beberapa anjing penjaga yang membuat mahasiswa tersudutkan dan secara tidak langsung ditekan. Beberapa kata rasis juga kerap dilontarkan oleh mereka, bersamaan dengan lemparan batu, dan yang membuat geram adalah tindakan penyerangan itu dilakukan tanpa investigasi sama sekali sebelumnya, alhasil tidak ditemukan bukti apapun yang menguatkan bahwa mahasiswa-mahasiswa ini adalah pelaku perusakan bendera tersebut. Hal-hal seperti ini sering terjadi namun penegakan hukum terhadap pelanggaran rasis dan HAM terhadap Papua seringkali bias dan tidak kunjung diselesaikan. Berdasarkan tulisan yang dimuat di The Jakarta Post, peristiwa ini menimbulkan kerusuhan di Papua dan Papua Barat yang menyebabkan setidaknya 33 kematian dan pemindahan “sekitar 8.000 orang asli Papua dan orang Indonesia lainnya,” menurut LSM Human Rights Watch. Sejak itu, lebih banyak polisi telah dikerahkan ke Papua. Namun, kasus ini hanya satu dari sekian banyak dalam sejarah pelanggaran terhadap orang Papua, termasuk pembunuhan orang Papua di Enarotali pada 2015 dan di Wamena pada 2012. Kekerasan seringkali disertai dengan kekerasan, seperti apa yang terjadi di Amerika Serikat.

What's so funny about this, pemerintah memutus akses internet di Papua sebagai tindakan untuk meredam massa dan mencegah penyebaran tindakan provokatif di dunia maya untuk mempercepat proses pemulihan keamanan. Polisi sebagai instansi yang seharusnya paham hukum pun sebaliknya malah lebih fokus mengusut penyebaran video rasis yang dilakukan oleh anggotanya karena tindakan tersebut dianggap sebagai tindakan provokatif dan curang. Tindakan pemerintah itupun justru menekan kebebasan orang Papua untuk mengekspresikan rasa frustrasi mereka atas diskriminasi rasial kepada media atau masyarakat internasional. Kebebasan mereka seakan dibungkam begitu saja, seolah-olah Papua menjadi yang paling terbelakang dan dianggap tidak bisa berbuat apa-apa jika pemerintah pusat telah menggunakan kekuasaannya. Ironisnya, walaupun Papua kaya akan sumber daya alam, provinsi tersebut memang menjadi yang terbelakang, khususnya dalam fasilitas pendidikan dan kesehatan. 

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), persentase perpustakaan sekolah di Papua kurang dari 40 persen, sedangkan di provinsi lain lebih dari 50 persen. Selanjutnya, partisipasi sekolah adalah yang terendah di antara semua provinsi pada tahun 2017, yaitu 80,69 persen. Papua juga memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia pada tahun 2018, yaitu 27,43 persen, dibandingkan dengan Jakarta yang hanya sebesar 3,55 persen. Mungkin bagi kita, masalah ini hanyalah milik pemerintah dan tugas mereka untuk terus melakukan pembangunan secara berkala di tanah Papua, but this kind of thinking is partly due to the privilege of being born non-Papuan. Tidak mendapatkan perlakuan yang sama seperti apa yang menimpa orang Papua hanya karena memiliki ras berbeda dan warna kulit gelap adalah suatu privilege.

Sekarang gue ingatkan lagi kalian dengan sosok Fathur, mantan ketua BEM UGM yang sempat ramai di pemberitaan dengan "keberaniannya" mengkritik pemerintah pada aksi demokrasi mahasiswa Gejayan Memanggil September lalu. Sosoknya dielu-elu dan mendapat dukungan positif dari berbagai media, termasuk eksistensinya di media sosial diterima dengan sangat baik. Tadinya gue pikir ini adalah sebagian dari achievement dia, rezeki dia, tapi kalau kita membandingkan dengan kondisi Ferry Kombo yang juga adalah mantan Ketua BEM Universitas Cendrawasih, that my friend, is really the privilege of having lighter skin and being non-Papuan. Ferry Kombo dituntut atas tuduhan pasal makar dalam aksi unjuk rasa di Kota Jayapura, Papua pada Agustus 2019 lalu, buntut tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Dia bersama enam tahanan politik lainnya juga mendapat tuntutan hingga belasan tahun. 

Berkaca pada kondisi tersebut, kasus George Floyd dan orang-orang Papua di Indonesia justru memiliki kesamaan. Mereka sama-sama korban dari rasisme sistematik. Karena sikap rasis bersarang di kepala aparat, mereka sebagai instansi yang berwenang lantas menggunakan kekuatan secara berlebihan bahkan untuk menghadapi isu-isu 'remeh', persis seperti yang terjadi pada George Floyd. Dia dibekuk polisi karena tuduhan membayar menggunakan uang palsu saat belanja di minimarket. Contoh yang cukup signifikan untuk menunjukan perbedaan perlakuan dari aparat terhadap orang Papua adalah, pelapor pada kasus perusakan bendera merah putih di Surabaya itu hanya dijatuhi hukuman penjara selama lima bulan, sementara Ferry Kombo, yang memimpin aksi unjuk rasa akibat kasus tuduhan perusakan bendera itu dituntut hukuman sepuluh tahun penjara. Pada kasus-kasus tuduhan makar sebelumnya pun, beberapa tertuduh hanya dijatuhi hukuman rata-rata selama lima bulan penjara. Padahal kalau memang dicurigai sebagai makar, hukuman yang diberikan bisa lebih dari itu, meaning bahwa ketimpangan hukum masih terasa jelas tumpulnya di negara kita.


Kalimat-kalimat ujaran rasis seperti menyebut orang berkulit hitam dengan nama binatang, dan "becandaan" bernada sarkas semacam; kamu cantik kayak orang Papua, yang mana merujuk pada warna kulit juga menunjukan bagaimana isu colorisme sangat kentara hidup di tengah-tengah kita. Orang-orang terbiasa dengan stereotip bahwa orang kulit putih/terang lebih wangi daripada orang berkulit hitam/gelap, orang kulit terang lebih cantik dan rupawan daripada mereka yang berkulit gelap. Sedihnya, stereotip ini harus didukung dengan realitas bahwa selebritis, pembawa acara, pembaca berita, influencer, sampai para aktivis yang disorot media selalu mereka yang berwarna kulit terang. Karena hal itu, gak sedikit orang yang berpikir bahwa orang berkulit hitam nggak bisa menjadi representasi yang baik untuk tampil di ruang publik. Sampai-sampai tingkat intelektual seseorang bisa ditentukan hanya karena warna kulitnya, just because Papuans are educationally and economically backward. 

Segala hal yang kita saksikan dan hidup di tengah-tengah kita secara nggak langsung mendiskriminasi orang atau kelompok tertentu berdasarkan warna kulit and we get used to it after all these times. Bahkan produk-produk kecantikan yang diperjualbelikan seperti mendukung adanya opresi terhadap perbedaan warna kulit, karena orang yang berkulit gelap seakan dipaksa untuk memakai produk mereka—walaupun kebebasan membeli atau tidak terletak pada kontrol diri sendiri, tetapi model-model yang mengiklankan produk mereka selalu orang-orang yang berkulit putih dan terlihat "menjual",  tanpa sadar dirinya adalah representasi dari colorisme. Terlepas dari itu, gue sih berterimakasih sama beberapa produk kosmetik yang willing untuk open terhadap isu ini dengan memperluas warna atau shade dari produk mereka, dan bahkan nggak segan memberi kesempatan terhadap model-model yang berwarna kulit gelap sebagai bagian dari perubahan.

Gue harap tulisan ini bukan sekadar dianggap kata-kata bual yang bisa dilupakan begitu aja. Sebaliknya, apa yang gue sampaikan bisa dipahami dan direnungi bahwa permasalahan rasisme/rasialisme dan diskriminasi golongan tertentu, dalam hal ini berdasarkan warna kulit, adalah isu kemanusiaan yang melemah di sekitar kita tapi sangat jarang didiskusikan. Malah semakin banyak orang yang mengkotak-kotakan perilaku atau kebiasaan orang lain berdasarkan ras, etnik, dan golongannya. Kita lupa bahwa manusia punya hak yang sama untuk hidup dan memperoleh kenyamanan, tanpa memandang apa warna kulitnya, dari mana dia berasal, dari suku atau ras apa dia lahir, dan apa keturunannya. Untuk apa HAM atau Human Rights ada jika pada akhirnya manusia bisa hidup sesuai dengan apa yang dia mau dengan menganggap orang yang tidak sama dengan dirinya adalah inferior alias lemah?

Mengutip kembali dari The Jakarta Post, with the recent death of George Floyd and the uprising of the Black Lives Matter movement, now, more than ever, is a time to reevaluate Indonesia's own racism and colorism. It would be a shame if we were to be abhorred by the situation in the United States, but remain blind to what happens in our country.

Terakhir, i put the link where you can get more information about Papua. You can also sign petition and donate here: We Need to Talk About Papua.


Sumber:
  • https://www.thejakartapost.com/academia/2020/06/04/papuan-lives-matter-george-floyd-and-colorism-in-indonesia.html
  • https://theconversation.com/lets-talk-more-about-racism-in-indonesia-123019
  • https://asiatimes.com/2019/08/rasicm-to-papuans-humanity-law-enforcement-history-and-momentum-of-independence/
  • https://tirto.id/kasus-rasisme-represi-seperti-george-floyd-berulang-di-indonesia-fEB6

Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar

Sepertinya udah terlampau sering gue mention soal kehidupan personal yang gak terlalu suka berteman dengan banyak orang, agak pilih-pilih dan individualis, tapi gak pernah sekalipun gue mention betapa gue sangat menghargai pertemanan. Sebuah rasa yang gak bisa dengan mudah diekspresikan dan gak jarang salah diinterpretasikan oleh teman-teman gue.

Kehilangan tampaknya selalu jadi musuh buat setiap orang, karena sifatnya selalu melekat dengan perpisahan. Akhir-akhir ini gue sedang merasa kehilangan sosok-sosok terdekat yang dulu pernah mengisi hari-hari gue di masa sekolah. Gue punya beberapa teman dalam satu geng, dari SD sampai SMA, tapi hanya beberapa yang sampai saat ini masih get in touch, itupun jarang. Banyaknya hilang, atau yang menyedihkannya; keberadaan gue sudah dianggap tidak ada. Beberapa menghilang karena situasi yang mengharuskan kita berpencar dan hilang kontak, beberapa diputuskan oleh hubungan—yang setelah gue pikir-pikir sekarang cukup toxic sebetulnya. Dan ini adalah salah satu kenyataan dari kehilangan teman yang paling menyakitkan yang gue miliki, karena harus melibatkan perasaan orang lain bahkan sampai bikin sakit hati.

Entah kenapa dulu gue sebucin itu untuk mau aja nurut apa kata eks untuk menjauhi teman-teman gue yang menurutnya "gak cukup baik", wadda hell man. Pepatah "main dengan tukang minyak wangi akan kecipratan wanginya" seakan mengekang kita untuk hanya melihat dunia di atas hitam dan putih, karena banyak orang yang masih salah kaprah soal ini. Gue repeat ya, masih banyak orang yang salah kaprah dan gak bisa secara bijak mengartikan kalimatnya. Indeed, nasihat itu gak datang secara sembarangan karena termasuk hadits yang menjelaskan tentang cara memilih teman atau bagaimana kita menentukan pertemanan. Tapi yang gue rasa, negatifnya kebanyakan dari kita malah jadi buta mata dan hati enggan melihat sisi baik yang mungkin dimiliki si jahat. Kita jadi nggak bisa menghargai mereka-mereka yang ada di pihak antagonis karena yang kita tahu orang jahat gak boleh ditemanin—yang mana membawa kita pada sifat iblis; merasa diri lebih baik dari orang lain. Kebayang gak  sih gimana rasanya memakan bulat-bulat sesuatu tanpa dikunyah lamat-lamat? Seret, sesak, sakit dada. Itu juga yang terjadi kalau kita asal melahap sesuatu tanpa mau memaknai dan menyerap maksudnya. Secara gak langsung kita akan bisa menyakiti diri sendiri akibat ketidaktahuan kita. Berkumpul dengan orang-orang sholeh adalah anjuran yang mestinya kita laksanakan, tapi gak lantas membuat kita bisa dengan mudahnya menilai orang lain berdasarkan apa yang terlihat. Remember that people can change. Orang jahat bisa berubah, pun orang baik. Allah yang Maha Tahu Maha membolak-balikan hati kita.

Gak ada yang bisa mengelak, main sama anak baik-baik yang sholeh dan sholeha, sholat tepat waktu dan rajin sedekah akan secara gak langsung membawa positive vibe untuk kita melakukan hal yang sama. Tapi sis, soal hidup gak selamanya tentang bawang merah dan bawang putih. Gak semua hal hanya tentang hitam dan putih. Ada banyak spektrum warna yang bisa kita lihat, dan bisa kita pilih yang mana yang mau kita lihat. Gue yakin Allah pun gak ingin kita merasa congkak dan tinggi derajatnya dari orang-orang yang dianggap buruk. Allah gak pingin kita mengambil alih tugas-Nya atas menghakimi perilaku manusia lain.

Sampai sekarang gue masih nggak mengerti kenapa teman-teman gue dulu ini dianggap buruk. Cara ngomongnya? Cara bergaulnya? Man, gue menemukan yang lebih buruk dari itu di dunia perkuliahan, kalau memang itu yang jadi standard penilaian. Apa teman-teman gue menjerumuskan ke dunia gelap? Nah, dunia gelap kami cuma sebatas ngerumpi di kamar tanpa diterangi cahaya lampu. Apa teman-teman gue ini bikin gue malas dan bodoh di kelas? Nggak juga, sampai gue lulus dari sekolah, gue masih jadi salah satu yang terbaik di kelas dan mungkin bawa nama baik kelas gue satu sekolah. Terus, apa mereka bikin gue menjauh dari hobi gue dan waktu-waktu produktif gue? Lagi-lagi nggak, gue tetep seneng nulis, bahkan beberapa tulisan gue dulu sebelum dipost selalu gue kasih ke temen gue, dan gak ada tuh perkataan yang melemahkan gue. Mereka selalu support gue. Beberapa pertanyaan di atas adalah ciri-ciri dari pertemanan atau hubungan yang toxic. Jadi, setelah jawaban-jawaban gue di atas, apa bisa disimpulkan teman-teman gue dulu toxic?

Katakanlah ada semacam ketakutan bahwa gue akan terbawa ke hal-hal yang negatif—yang masih gue gak ngerti bagian mana negatifnya, itupun nggak jadi alasan untuk seseorang lantas ikut campur dengan kehidupan sosial seorang lainnya. Gue kenal dengan teman-teman gue ini sebelum gue punya pacar, malahan mereka yang ngedukung gue, but was that how they got paid for being friends? Gue yang punya wewenang atas diri gue sendiri, termasuk dalam memilih teman. Even kalau memang orang-orang di sekitar gue adalah orang-orang yang dicap tidak baik, gue masih punya kuasa untuk diri gue menentukan mana yang pantas dan tidak. Gue akan bisa memilah mana yang baik dan buruk, karena gue gak sebodoh itu untuk terjebak dalam spektrum yang dengan gampangnya mengkotak-kotakan perilaku orang.

Despite all that, manusia selalu punya sisi baik dan buruk dalam dirinya. Kita punya berbagai macam jenis perasaan dan kepribadian yang kadang bisa berubah-ubah. Tukang minyak wangi gak selamanya wangi, begitupun tukang angkut sampah gak selamanya bau sampah. Di antara bawang putih dan bawang merah ada bawang bombay yang seringkali terlupakan.

Dari perpisahan yang satu itu, gue belajar bahwa memanusiakan manusia ada banyak caranya. Termasuk bagaimana kita memandang seseorang tanpa harus terkukung dalam pola hitam dan putih, serta baik dan buruk adalah salah satu cara menghargai bahwa manusia sebagai makhluk sosial dan hamba sahaya adalah individu yang tidak luput dari kesalahan dan gak selamanya suci dari dosa. Lagipula, siapa sih kita yang berhak menilai seseorang baik dan buruk? Kenapa kita gak bisa lebih luas lagi melihat segala sesuatu yang ada dan berusaha lebih bijak menyikapinya? Bukankah kehadiran kita dalam hidup siapapun adalah sebagai momen untuk saling berkembang ke arah yang lebih baik? Terkadang kita memang harus menerima realita yang ada bahwa menjadi muslim tidak berarti kita lantas sempurna, sesempurna agamanya.

Sekarang, sebisa mungkin gue mempertahankan apa yang gue punya. Kerabat, sahabat, teman-teman, entah mereka merasakan hal yang sama ke gue atau nggak, tapi yang jelas memiliki mereka sampai detik ini adalah salah satu rasa syukur gue yang gak bisa diungkapkan lewat kata-kata. Lagipula, lingkar pertemanan gue udah cukup kecil, gak sanggup rasanya kalau harus kehilangan lagi.
Share
Tweet
Pin
Share
6 komentar

Menghadapi situasi pandemic di tahun 2020

You know, it's a nightmare, actually. 

Beberapa bulan lalu, gue baru aja start untuk kembali menata kehidupan yang semakin gak jelas dan gak terarah. Gue mulai bisa menerima semua yang terjadi dalam hidup gue berangsur-angsur, seperti ngejalanin praktik lapangan (PPL) dengan senang hati, dengan legowo, dan mulai semangat ngerjain skripsi yang tertunda lebih dari tujuh bulan lamanya—which has become a nightmare already for me. Gue mulai kembali menemukan versi diri gue yang dulu, yang gak mau pusing dan ribet dengan segala kecemasan diri, dan gampang lepas landas di arena tanpa banyak mikir. Ada tugas, yaudah babat, and turned out it was quite fun to do! Sibuk gue jadi lebih berharga. Gue hanya harus mengakhiri semua ini lebih cepat, pikir gue.

But then a real nightmare called covid-19 came to us. Saat gue lagi seneng-senengnya dateng ke sekolah dan bertemu dengan teman-teman yang menyenangkan, saat gue lagi semangat-semangatnya pergi ke perpustakaan buat skripsian, karena suasananya yang bikin tenang dan gak bikin gue pengen main medsos terus kayak di kosan. Awalnya gue masih optimis, it's not that bad to stay at home and doing anything online. I mean.. why not? This is what the digital era created for. Gue pikir gue masih bisa mengerjakan semuanya dari balik layar laptop. Literally, semuanya. Tapi ternyata ngerjain semuanya via online gak lantas bikin gue lebih semangat. Gue emang introvert akut, yang benci lama-lama ada di tempat keramaian, tapi diam di rumah untuk alasan pandemi gue rasa jadi mimpi buruk buat setiap orang. Kita jadi gak tenang. Banyak gelisah, bingung, stress, memikirkan rencana-rencana yang baru aja dibangun dan harus ditunda. Rasanya kayak diangkat setinggi-tingginya terus dijatuhin sekeras-kerasnya ke tanah. Gue seperti lagi dipermainin sama hidup; "nah kan, kena deh lu!" dan harus membangun rencana yang lain yang sesuai dengan kondisi sekarang—yang buat gue cukup menguras banyak pikiran dan kesehatan mental gue. I'm not saying i have an anxiety disorder or something because i haven't gone to an expert but this all chaos that's happening right now makes me mentally ill and tired. Gue selalu mulai mengerjakan sesuatu dengan emosi, dengan marah, dan dengan berat hati, apalagi kalau hal yang harus gue kerjain dirasa gak masuk akal dan mempersulit diri. Kalau bukan dinasehati berkali-kali dan berusaha menenangkan diri, gue mungkin gak akan mengerjakan satupun. Pekerjaan juga jadi terbengkalai. Padahal belum sebulan gue merasa bangga dan super seneng bisa juggling dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. I did even make money from my job. Pada akhirnya yang gue lakukan kebanyakan cuma diem. Sisanya paling milih ngejalanin hobi, kayak nyanyi-nyanyi, baca buku, nulis-nulis/bikin puisi-puisian, yang sama sekali gak ada hubungannya dengan segala pekerjaan yang harus gue selesain. Gue kembali nge-down, ngerasa depresi, stress, bahkan pas mau mulai ngerjain sesuatu gue terkadang ngerasa mual dan jijik duluan, yang pada akhirnya gak bikin gue bertindak apa-apa. Semua ini udah sampai pada titik dimana gue gak lagi mau mikirin keadaan orang lain di luar sana yang jauh lebih terpuruk menghadapi situasi pandemi hanya untuk bikin gue merasa lebih baik. Of course gue bersimpati, but it just doesn't work well for me. Setiap orang pasti punya struggle-nya masing-masing dan inilah bentuk perjuangan yang harus gue lalui.

Gue tahu, semuanya terkesan drama dan berlebihan. I also kept thinking that it was only me who felt  that way, it was only me who thought i am the only one, it was only me who couldn't get over it, karena sepanjang yang gue lihat, banyak orang yang seperti biasa aja ngejalanin kegiatan mereka di tengah pandemi, khususnya di lingkungan sekitar gue, masih banyak dari mereka yang lancar-lancar aja melalui semester akhirnya. Tapi semakin gue pikirin, semakin gue sadar bahwa lagi-lagi hidup kita gak bisa disamain dengan orang lain. Langkah kaki kita gak mesti selalu sama dengan orang lain. There are things that just don't go easy for some people and they always have a reason for that.

Pelan-pelan gue menata diri lagi. Membiarkan semuanya berjalan dengan damai dan tenang. Apalagi ketemu bulan suci Ramadhan, gue harus bisa lebih tabah dan husnudzon sama Yang Maha Pemberi Hidup. Beberapa pertanyaan perlahan mendapat jawaban. Terkadang, kita memang harus membiarkan semuanya mengalir dengan sendirinya. Terkadang kita hanya harus berjalan di atas pilihan yang sudah kita buat sendiri. Lalu jalanin apa yang ada di hadapan. Bergelut dengan segala kekhawatiran hanya bikin harapan dan rencana kita semakin tertunda. Dan lo tau gak sih lucunya apa? Bisa aja semua ini bagian dari akal busuk setan dan antek-anteknya untuk buat kita menjauh dari apa yang seharusnya diri kita bisa perbuat; ikhlas dan sabar.

2020 mungkin memang mimpi buruk buat kita semua. Bahkan mungkin 2020 jadi satu-satunya tahun yang ingin dilupakan semua orang di belahan dunia, tapi kita juga nggak bisa ngelak it gives us so many lessons to learn. Kita jadi sadar betapa banyak waktu yang terbuang hanya untuk ngejar kenyamanan urusan dunia sampai rela bertarung dengan carut marutnya, kita jadi lebih menghargai waktu-waktu bersama keluarga yang selama ini jarang didapat, plus waktu-waktu bersama kolega, temen-temen dan sahabat yang justru sering nyita kesibukan kita di luar sana. Kita jadi semakin membuka mata bahwa kesehatan itu nomor satu dan penting untuk dijaga, either kesehatan mental atau fisik kita, dan bahkan dengan kenyataan bahwa kita masih bernapas dengan baik saat bangun di pagi hari adalah sesuatu yang sekarang ini amat sangat disyukuri. 

So, ini pasti akan berakhir, insya Allah. Walaupun perjuangan kita sekarang lebih soal menghadapi sesama manusia yang egoismenya lebih besar daripada virus itu sendiri, gue percaya masih ada orang-orang waras di luar sana yang tetap sanggup menahan diri untuk nggak ikut-ikutan nyemplung di jalanan yang macet. Biarlah beauty vlogger dan suaminya yang viral itu lalai, asal kita jangan. Inget, asal kita jangan.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
rasanya menjadi dewasa di era digital
This photo is belong to this incredible Japanese photographer: Akine Coco

Usia sepertinya memang bisa selalu menipu dan bikin gelisah. Terlebih untuk gue yang di usia sekarang ini masih clueless soal masa depan, akan jadi apa setelah lulus nanti. Berkali-kali gak habis pikir bisa menyentuh angka 21 tahun. Dari kecil, gue memang selalu melihat orang dewasa sebagai superior dan "tua". Orang-orang yang dewasa pasti hebat karena pernah melalui berbagai macam problema dalam hidupnya, tanpa pernah berpikir gue suatu saat akan dewasa. Percayalah, ketika menjadi dewasa seperti sekarang, rasanya bener-bener aneh. Sampai sekarang gue masih amazed ketika ngeliat temen yang udah nikah, yang udah kerja, yang udah buka usaha dan sukses—walaupun gue gak tau tolak ukur kesuksesan itu apa, tapi bagi gue mereka udah sukses menjadi orang dewasa, karena gue seringkali masih merasa seperti anak kecil, seakan-akan raga gue tertinggal 10 tahun yang lalu di tempat tidur, masih pake piyama dan tidur dengan mimpi panjang.

Seharusnya gue bersyukur bisa diberi kesempatan untuk beribadah dan memperbaiki diri oleh Allah, sehingga gue bisa mencicipi bagaimana pula rasanya hidup sebagai orang dewasa, yang harus bisa mandiri, yang harus bisa mengontrol segala perasaan yang muncul, yang harus bisa menjaga perasaan orang lain, yang harus bisa mengerti manusia lainnya, yang harus bisa mencari solusi dari setiap masalah sendiri, yang harus menangis sendiri saat orang-orang pergi dengan segala misi pribadinya, yang harus dihadapkan dengan segala sistem dan peraturan yang kadang gak masuk akal, dan yang harus lainnya.

Entah keadaan yang memaksa gue untuk jadi dewasa bahkan sebelum waktunya, atau memang gue hanya sedang menyangkal bahwa gue sebetulnya sudah cukup dewasa untuk merasa dewasa. Keduanya mungkin bisa iya atau nggak. Iya, gue dewasa sebelum waktunya, karena harus menghadapi gimana rasanya jadi anak broken home sedari kecil, sekaligus anak pertama yang mau nggak mau beban dan segala kesedihan dipeluk sendiri. Bisa juga nggak, karena gue mungkin hanya merasa menjadi orang dewasa itu sucks. Banyak hal yang diribetin, yang dibawa pusing, yang dibawa perasaan, yang gak bisa dibikin santai.

Dulu, saat masih kecil, perjalanan panjang di dalam bus atau kereta selalu menyenangkan karena gue bisa belajar banyak hal dari sekitar. Belajar mengamati orang-orang dewasa dengan segala tampang semrawut dan cueknya, memperhatikan pak supir dan kondekturnya yang seakan gak mengenal lelah nganterin penumpang, juga ngeliat objek-objek di jalanan sana. Pemandangan alam dan kehidupan selalu asik buat kita perhatiin sampe ngantuk. Sekarang, perjalanan sepanjang apapun nggak banyak yang bisa dinikmati kecuali pikiran yang bergulat sendiri. Mikirin kerjaan numpuk, deadline yang berdekatan, mikirin pasangan yang nggak ngehubungin kita, mikirin ortu dan keluarga di rumah, mikirin teman-teman di lingkungan kerja atau mereka yang menghilang total dari kehidupan kita, mikirin gaji yang serasa gak cukup buat memenuhi kebutuhan, semuanya menjadi lebih kompleks buat sekadar dipikirin. Belum lagi kenyataan bahwa kita hidup di jaman dimana perlombaan antar manusia seakan menjadi lebih jelas kelihatannya, sehingga banyak kekhawatiran-kekhawatiran yang datang tanpa diundang.

Dulu juga, saat masih kanak-kanak, gue ngerasa segala tindak tanduk gue gak berpengaruh untuk orang banyak. Apa yang gue lakuin semua murni dari hati, atau paling nggak karena pingin menang piala, dapet snack dan hadiah. Namun pada prosesnya, gue gak butuh pengakuan orang lain untuk membuat gue bisa berjalan di arena gue. Sekarang, semuanya berbanding terbalik. Gue merasa orang-orang seringkali terlalu ikut campur di arena balap gue, bikin semua yang gue kerjakan serasa tumpang tindih, antara niat, ambisi, dan emosi untuk bisa menghalau omongan-omongan gak mengenakan. Padahal bisa saja itu semua cuma sugesti gue, walaupun gak bisa dipungkiri, menjadi dewasa berarti mau nggak mau memang harus menerima banyak omongan pahit yang datang dari lingkungan sekitar. Semakin kesini, bahkan bukan cuma omongan yang datang dari mulut perseorangan lah yang jadi pressure, hal-hal abstrak dari pikiran sendiri pun bisa jadi tekanan. Misalnya, mudah iri ketika melihat orang-orang di luar sana yang udah selangkah lebih maju daripada gue. Mudah frustrasi karena merasa bahwa gue satu-satunya orang yang tertinggal. Beberapa hal itu seringkali gue alami di media sosial, yang parahnya, selama ini gue justru gak sadar bahwa dengan hal itu gue sudah menekan diri sendiri akibat kebodohan yang gak bisa mem-filter apapun yang gue lihat di media sosial.

Realita hidup di era digital memang lumayan pedih untuk orang-orang dewasa yang punya banyak problema. Kalau kita gak pintar memanfaatkan media sosial yang ada, bisa habis diri sendiri dibuat depresi karena kehidupan chill and gaul yang dipertontonkan orang lain. Omong-omong, kenapa gue sangkut pautin sama media sosial? Karena benda tak berbentuk itu buat gue pribadi cukup memberi pengaruh dalam keberlangsungan hidup gue. Terkhusus sisi gue yang akhir-akhir ini sering melo dan galau mengkhawatirkan masa depan. Gak jarang media sosial justru menyita waktu gue yang teramat berharga, padahal isinya cuma scrolling dan swipe gak jelas ngelihat hidup orang lain satu per satu.

Seperti di seri Black Mirror episode Nosedive, gue nggak menemukan alasan kenapa hidup kita harus diukur dari rank atau rating, dan kenapa ini harus mempengaruhi status sosio-ekonomi kita. Kalau rating kita di media sosial ada di bawah 3, maka jangan harap bisa dapat akses dengan mudah untuk pergi ke tempat-tempat tertentu. Bahkan untuk tinggal di apartemen mewah aja seseorang harus terdaftar di atas 4,5. Kalau sampai rate-nya turun, bisa-bisa diusir dari tempat tinggalnya sendiri. Kita memang gak sampai disana—atau belum, tapi dari seri itu gue belajar bahwa hidup harus berjalan sesuai dengan kapasitas kita, dan harus ada di bawah kendali kita. Jangan jadi Lacie yang sebegitu terobsesinya dengan rating tinggi sampai lupa diri sendiri, lupa saudara, lupa kalau dia juga manusia yang punya harga diri, yang bisa merasakan emosi, yang gak harus selalu pura-pura tersenyum dan ceria hanya untuk dapat rating tinggi setiap kali berinteraksi dengan orang lain, yang punya kebebasan buat melakukan apapun yang dia mau—ofc, selama itu baik. Jangan juga jadi Naomi yang dibutakan oleh peringkat sampe-sampe dia memandang teman lamanya sebagai barang yang pas harganya udah jatuh dia bisa buang begitu aja.

Enough with Black Mirror episode, menjadi dewasa di era sekarang gak cuma dihadapkan dengan eksistensi media sosial yang seringkali merenggut waktu produktif kita, tapi juga harus dihadapkan dengan orang-orang dewasa lain yang gak cukup dewasa untuk disebut dewasa. Kebebasan dalam berinternet gak lantas membuat semua orang terinformasi dan terpenuhi wawasannya dengan baik, karena nyatanya ada orang-orang yang gak bisa memilah konten apa yang baik untuk dirinya dan mana yang nggak. Alhasil akan banyak dijumpai orang-orang yang dibutakan oleh preferensi politiknya sendiri, menutup mata dan hati terhadap realita karena terlalu menyembah tindak tanduk sang idola, sampai-sampai gak tau caranya bertutur kata dengan baik kepada mereka yang berkomentar lain. Mereka gak sadar bahwa ada sosok manusia di balik akun-akun instagram, facebook, twitter, etc, yang mungkin kita bisa lebih hargai jika bertemu secara langsung. Gak cuma itu, tingkat kedewasaan seseorang di internet bisa dilihat dari cara dia memperlakukan seseorang. Gak sedikit yang merasa bebas untuk mengumpat atau mencaci orang lain yang dibenci, atau bahkan ngajak sex strangers yang bagi dia menarik. Cyber bullying, sexual harassment/verbal, adalah yang marak terjadi dan seringkali dianggap biasa. Lagi-lagi karena komunikasi tanpa tatap muka membuat kita hilang respek terhadap orang lain. Kita akhirnya seperti anak kecil yang harus disuapi caranya bersikap dan bertutur kata di internet, karena kehidupan nyata dan maya ibarat Ahmad Dani dan Maia yang gak bisa lagi disatukan.

Hidup di belahan mana pun realitasnya akan selalu sama. Termasuk hidup di dunia maya. Kita gak boleh lupa dengan identitas diri, yang punya kebebasan dan kontrol atas diri sendiri, supaya gak dengan mudahnya dikendalikan oleh media. Jaman sekarang tuh gak perlu sering denger ocehan tetangga, tapi lihat kehidupan mewah orang lain di instagram udah cukup bikin panas. Liat yang nikah, pengen ikutan nikah. Liat yang jalan-jalan ke LN, pengen ke LN juga. Liat yang udah punya anak, pengen punya anak juga. Segitu mudahnya keinginan kita tercipta. Lihat orang bikin video tiktok, ikutan juga. Yaa ini sih terserah ya, gue cuma agak geram sama yang pingin ikut-ikutan dalam urusan yang sifatnya besar dan personal like i said. Sebagai orang dewasa, harusnya kita tahu bahwa setiap orang punya pace-nya masing-masing, punya goals-nya masing-masing, punya prinsip masing-masing. Jangan jadi anak kecil yang selalu iri melihat pencapaian orang lain, yang selalu mudah tersulut lihat orang lain yang punya preferensi berbeda akan suatu hal, yang gak tau caranya berbicara dengan strangers—padahal gak sedikit anak kecil yang lebih tau tata krama daripada orang dewasa, yang sadar akan potensi diri sendiri dan mau untuk berkembang, yang terus jalan tanpa menghiraukan pandangan negatif di sekelilingnya.

Oh iya, sisi positifnya, gue jadi tahu bahwa gue bukan satu-satunya orang yang tertinggal. Ada ribuan orang di luar sana yang mungkin sama depresinya dengan gue, sama khawatirnya dengan gue soal masa depan.  Dan ini membuat gue lebih sadar dan tenang, gak semua hal harus didapatkan dengan berlari. Maybe some of them do so, maybe not, dan gue salah satu dari sekian orang yang bergerak perlahan, merangkak, nungging, atau mungkin jalan jongkok. Better correct the words 'left behind' with 'chase behind', karena sesungguhnya semua orang hanya sedang saling mengejar, bukan sedang meninggalkan. Mengobservasi orang lain di media sosial juga kadang selalu jadi inspirasi buat gue nulis-nulis hal baru. Interesting, huh? Sama kayak hidup, yang ada ups and downs-nya. Sama kayak sifat manusia, yang ada lebih dan kurangnya, media sosial juga punya sisi positif dan negatifnya di kehidupan kita.

Menurut gue, sosok Ryan Pond, adik Lacie di episode Nosedive adalah representasi orang dewasa yang lumayan bisa jadi contoh untuk masyarakat yang hidup di tengah-tengah era digital seperti kita. Dia nggak peduli dengan peringkat, dengan segala privilege yang bisa dia dapat hanya dengan bertemu orang-orang dan bersikap sok friendly,  dengan kepura-puraan yang ditampilkan Naomi, dengan media sosialnya sendiri yang cuma di-rate tiga koma sekian. Walaupun yang dia lakuin cuma main game, at least dia tahu apa yang mau dia lakukan. Dan setidaknya, dia nggak seperti orang-orang di luar sana yang penuh kepalsuan dan mau aja dibudaki media sosial.
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Terlalu Besar Untuk Gagal
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Just Listen
  • Bukan Salah Indonesia

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • The Phantom of the Opera: Di Balik Danau
  • Cuma Cerita
  • Priority Chat
  • Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Cuma Cerita #2
  • Kiamat Sudah Dekat
  • Spoonerism, Alasan di Balik Keselip Lidah
  • Bad For Good
  • 36 Questions Movie Tag

Blog Archive

  • ▼  2023 (1)
    • ▼  Februari 2023 (1)
      • Kejar Passion itu Omong Kosong
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (31)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

digital marketing Intermeso karir Krisis 1/4 Abad lifestyle Opini Perempuan Podcast Poetry Review slice of life Thoughts

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.