Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram twitter LinkedIn YouTube Spotify Email

Notes of Little Sister




Pernah gak sih lo merasa terjebak dalam lingkaran setan dan mengulang pattern yang sama?

If you do, itu artinya lo normal—katanya sih gitu.

Mungkin udah nature-nya manusia kali ya untuk jatuh ke lubang yang sama berkali-kali, seakan-akan kita gak cukup pintar untuk bisa mengambil hikmah dari setiap kesalahan yang terjadi. Padahal bukannya gak bisa mencerna setiap pelajaran, menurut gue terkadang kita justru menjadikan pengalaman itu sebagai tameng buat bisa menghadapi kegagalan berikutnya. Instead of blocking away the anxiety and avoiding failure, kita malah cenderung membiarkan kesalahan terjadi lagi hanya untuk tahu apakah kali ini bisa lebih kuat atau malah lebih keok pertahanannya dari sebelumnya, atau hanya karena udah merasa cukup kuat buat menghadapi segala risiko—ini sih gak masalah bagi gue, artinya kita masih punya kesadaran untuk siap gagal. Tapi yang lebih parahnya, ada momen dimana justru kita gak tahu kalau kita sedang berjalan menuju kesalahan yang sama, ke dalam lubang yang sama dan gak sadar bahwa perlu waktu sebentar lagi untuk kembali jatuh.

Contoh terkecil dalam kehidupan sehari-hari adalah melewatkan kesempatan dengan cuma-cuma. Gue personally, sering banget secara sadar atau nggak, melewatkan gitu aja kesempatan yang harusnya bisa gue ambil. Kesempatan, yang harusnya bisa jadi tempat gue mencicipi sesendok kecil petualangan dalam hidup, tempat gue mencoba pengalaman yang gak pernah gue temui sebelumnya. Terkadang gue jadi penasaran sendiri, seandainya kesempatan-kesempatan itu gue ambil, ada di bubble seperti apa gue sekarang? Yang pasti gue bisa selangkah atau dua langkah lebih maju daripada sebelumnya, atau mungkin sekarang. Mungkin aja gue ada di bubble yang lebih besar, lebih segar, lebih melegakan, dan lebih menantang. Lucu kalau membayangkan mungkin Tuhan sedang menertawakan gue yang hobinya sambat sama misuh-misuh soal hidup gue yang gini-gini aja, padahal gue sendiri yang ngelewatin kesempatan emas yang Allah kasih. Gue sendiri yang hobinya uncang-uncang kaki dan rebahan gak jelas. Kadang meringis sendiri sih, perlu digetok seberapa keras gue buat bangkit dan berjalan? Mengambil setiap kesempatan yang datang.

Mungkin, ini normal. Again, seperti yang gue bilang di atas. But do you know? It's all normal as its looks. It seems normal, karena itu biasa kita lakuin. It sounds normal, karena melewatkan kesempatan berharga dan mengulang kesalahan yang sama adalah pola hidup manusia. Kita yang membuat semuanya tampak normal. Coba deh bayangin, gimana kalau dari sejak awal kita mengenal hidup semuanya benar-benar dilakukan dengan hati dan hati-hati, mungkin gagal bukanlah sesuatu yang normal. Tapi lagi-lagi ngeri juga membayangkan betapa seramnya persaingan di antara kita. Manusia akan selalu menghalalkan segala cara supaya bisa sampai ke titik yang mereka mau. Terus, gimana cara orang-orang gagal menghadapi hidup mereka? Depresi, pasti. Sementara tekanan yang datang bertubi-tubi. Lihat orang sukses kiri kanan. Padahal kapasitas manusia gak bisa disama ratain. Orang-orang yang sangat rajin pun pasti pernah gagal, pasti pernah melewatkan kesempatan yang datang dalam hidupnya, disadari atau nggak.

Pesan gue adalah, segala sesuatu yang normal gak bisa selamanya dimaklum. Normal hanya kumpulan stigma yang dianggap common oleh sebagian orang. Normal is just assumption that we, our own selves made. Gak apa-apa melewatkan kesempatan, selama semuanya diputuskan dengan matang, selama kesempatan itu dilewat untuk sesuatu yang lebih bernilai buat diri lo. Tapi tidak membiarkan diri mengulang kesalahan yang sama sesungguhnya sangatlah bijak, daripada mengulang hal yang bikin kita menyesal. 

Blog kali ini sengaja gue isi lebih personal, supaya masing-masing dari kita bisa refleksi. Kira-kira kesempatan apa aja sih yang udah dilewatin dengan percuma? Lalu setelah itu bertekad dalam diri buat gak mengulang jatuh di lubang yang dalam, di kesalahan yang sama.

Anyway, stay safe, guys. Stay healthy and stay at home. Lebih baik jaga kesehatan, jangan sakit. Not to be rude, tapi jadi sakit di Indonesia menurut gue cukup memprihatinkan. Apalagi melihat death rate nya udah sampe puluhan orang gini. Kalau ngebandingin sama di Thailand yang sama-sama negara berkembang dan asia tenggara, jumlah pasien yang positif corona disana udah 1000 orang tapi yang meninggal sampai saat ini 4 orang. Ngeri, makanya. Semoga kita diberikan perlindungan selalu ya.

Share
Tweet
Pin
Share
6 komentar
perilaku manusia-manusia di abad ini


Bulan ketiga, tahun 2020. Kerusuhan, kebodohan dan kekacauan dimana-mana. Penyakit, ketidakadilan, segala bentuk kekerasan yang semakin masif hadir di tengah-tengah kita membuat gue bungkam seribu bahasa. Berada di akhir zaman membuat gue semakin takut. Bukannya enggan untuk beropini, tapi situasi dunia yang runyam ini perlahan membuat gue berpikir bahwa kayaknya manusia semakin nggak terkontrol perilakunya. Seiring dengan banyaknya pergerakan-pergerakan yang menuntut keadilan dan kebaikan terhadap sesama umat manusia, kejahatan-kejahatan yang seringkali ditutup rapat pun ikut meluap nggak terbendung. Hasilnya, mata kita disuguhkan dengan kenyataan bahwa lagi-lagi orang dungu dan tolol di sekitar kita itu jumlahnya tidak kalah masif dengan orang-orang yang menginginkan perubahan,  menginginkan pergerakan untuk didengar.

Realita itu membuat gue pada akhirnya fokus mengamati. Kok begini amat ya manusia? Ego mereka seakan sudah merasuk sampai ke daging, demi melakukan kepentingan pribadi yang dianggap penting. Demi memuaskan hawa nafsu, meski yang dikorbankan adalah nyawa bernasib pilu. Begini, mungkin dari kita gak sadar, hampir seluruh manusia yang ada di sekitar kita, including us, seakan sudah lupa apa makna hidup di dunia. Bukan lagi tenteram dan damai yang dikejar, tapi materi, kepuasan diri, sampai atensi orang lain. Kalau dulu membunuh adalah tindakan yang masih bisa dihindari beritanya karena orang-orang mungkin masih sedikit waras, sekarang nggak. Bunuh-membunuh selalu jadi headline. Dan parahnya, bukan hanya fisik yang dibunuh, tapi pemikiran, demokrasi, kebebasan berpendapat, dan idealisme. Agama udah bukan lagi jadi tiang. Asal perut kenyang, ego senang, negara aman, tenang. 

Bukan salah negara ini memang, bukan juga salah dunia, kalau kita mengingat betapa banyak moralitas manusia-manusia di luar negeri sana yang gak kalah sadisnya dibanding negara kita. Seperti yang sudah jelas-jelas tercantum dalam Al-Qur'an, manusia sejatinya adalah perusak di muka bumi.  Maka sudah jelas ini semua salah siapa. Salah kita yang bodoh, yang gak menggunakan akal sebagaimana mestinya, yang gak tahu apa tujuan hidup di bumi. Negara kita cuma korban, dari bobroknya kapitalis, penguasa-penguasa, dan orang-orang t*l*l yang gak punya setitik pun niat untuk hidup dengan baik. Our world as well, is the victim of all the victim.

Coba kita lirik sebentar berita yang masih baru-baru ini, in case you still don't get what i'm saying. Media dunia belum lama ini dihebohkan dengan berita tentang muslim di India yang dipersekusi, didiskriminasi, dan diserang oleh masyarakat yang tadinya dianggap kawan, dan oleh pemerintah mereka sendiri. Rumah-rumah di bakar, dihancurin, sampai gak terhitung berapa banyak korban jiwa, termasuk lansia dan balita. Di Jerman, para ekstrimis dan rasisme yang dibawa dari golongan sayap kanan yang anti-imigran dan anti-muslim sekarang semakin menyebar dan berkembang kebenciannya, hal itu dibuktikan dengan kasus penembakan di Hanau yang menewaskan kurang lebih sepuluh imigran. Sementara itu di London, seorang imam masjid di Regents Park Mosque ditikam oleh orang berkulit putih saat sedang sholat Ashar. Di saat yang sama, seorang pengungsi Syria di Amerika ditembak sesaat sebelum dia berangkat untuk sholat jum'at and fyi, refugee ini berhasil melarikan diri dari Syria ketika perang, berharap untuk bisa melanjutkan hidupnya dengan normal but he tragically ended up getting murdered there. Lalu berita virus corona yang dengan ditulisnya postingan ini belum juga hilang wabahnya.

Di Indonesia sendiri, gue rasa kalian udah bisa mengira apa aja yang terjadi di negara kita. Sepertinya segala bentuk egoisme manusia numplek jadi satu disini. Kasus-kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, entah itu dilakukan oleh orang random atau saudara kandung sendiri! Pembunuhan tanpa pandang iba, begal dimana-mana, pendidikan yang gak setara, yang pandang bulu dan juga timpang implikasinya antara desa dan perkotaan—dan entah sampai kapan gue bisa berhenti sedih kalau menyadari banyak anak-anak yang bahkan gak tau untuk apa mereka sekolah. Duka yang tanpa perasaan dieksploitasi oleh media, demi rating, demi views. Pemerintahan yang cacat, yang gak pro-rakyat, dan orang-orang yang gak berusaha mengisi otak mereka dengan berbagai informasi bermutu, yet appreciating jokes too much. Apalagi kaum-kaum yang berpikiran sempit, gak bisa mencari sisi positif dari ideologi yang mereka anggap berseberangan. Padahal berseberangan bukan berarti salah, bukan berarti sesat, hence mereka cuma bisa bergumul dengan pemikiran yang sama juga dan gak bisa menerima perbedaan.

Baca juga: Indonesia Krisis Moral dan Terlalu Besar Untuk Gagal

Tapi di antara semua itu, lo tau gak sih? Ada yang paling bikin gue sebel dan ini sering banget. Satu hal yang bikin gue makin gedek sama Indonesia adalah media-medianya. Media di Indonesia tuh sering banget lebay dan naruh clickbait yang sama sekali gak ada hubungan sama isi berita yang ditulis *lagi-lagi trik sih memang. Ditambah kontennya sama sekali gak bikin gue merasa acknowledge. Berita artis yang begini lah, begitu lah, berita pemerintahan yang kadang kurang informatif lah. Contoh aja ya, kalau ada berita pemerkosaan, yang dikupas tuntas bukan tentang proses kasus itu berlangsung, tapi privasi korban, hubungan korban dan pelaku, etc, yang menurut gue gak bagus untuk membuka informasi seorang korban yang privat ke ruang publik. Belum lagi program televisi yang seneng banget ngasih suguhan acara gosip dan sinetron kaleng. Perlu gue akui kayaknya acara televisi kita makin kesini makin gak kreatif. Bisanya cuma ngambil berita-berita yang lagi hot dan ngetrend di medsos atau yutub. Gue berasa nonton yutub versi layar gede sih.

OK, gue tau gue bilang kayak gitu karena gue gak kerja di stasiun TV. Gue tau betapa berat perjuangan mereka untuk bisa mengikuti perkembangan jaman dengan membawa apa yang jadi isu terkini di internet, tapi bukan berarti gak ada cara lain untuk membuat tontonan kita lebih bermutu.  Toh gue gak menyalahkan pekerjanya, tapi kapitalisme yang bersembunyi di balik ide-ide cemerlang para produser atau bos-bosnya TV. Gue percaya kok di antara mereka masih banyak  sekali orang kreatif dan inovatif tapi tertahan oleh rating. 

Gue hanya bingung setiap kali ada orang TV yang jawab bahwa mereka mengikuti konsumsi masyarakat ketika ditanya kenapa programnya begini begitu blablabla. TV yang berkedudukan sebagai ruang publik dan milik publik, gak semestinya selalu ngikutin pasar, malahan harus bisa ngendaliin pasar, dong. Kalau pasar bagus seleranya, kalau nggak, terbukti kan sekarang gimana tampilan program TV Indonesia?

Melihat watak orang Indonesia yang apa-apa perlu "diatur" dan "ditertibkan", seharusnya penting bagi media untuk menggeser tontonan dan program-programnya ke jalur yang benar, yang lebih baik seleranya, yang sesuai dengan undang-undang. Toh kalau semua channel bersinergi bikin tontonan yang  lebih berbobot dan bernilai, mau gak mau akan tetap dilahap sama masyarakat. Coba deh, lo mending dikasih asupan empat sehat lima sempurna tapi sehat, atau dikasih jengkol lima kilo sampe asem urat? Untuk mencapai sesuatu yang lebih baik, memang kita harus dihadapkan dengan sesuatu yang lebih pahit. Tapi kalau untuk kebaikan, masa sih gak ada hasil yang setimpal?

Sebagai tambahan, gue cantumkan beberapa  pasal dari Undang-undang No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran.

(1) Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.

(2) Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-kurangnya enam puluh per seratus mata acara yang berasal dari dalam negeri.

(3) Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.

(4) Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.

(5) Isi siaran dilarang :
a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau
c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.

(6) Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.

Gimana? Apa menurut kalian penyiaran kita masih berpegang pada undang-undang? Sebagian mungkin iya, tapi gue sih ragu. Wong TV publik kita udah gak netral juga kan preferensi politiknya. Hm. Mungkin tayangan televisi yang selama ini ada sudah lolos KPI dan itu artinya memenuhi undah-undang yang berlaku, tapi somehow gue justru merasa bahwa semua yang ada sekarang ini terkesan dipaksakan untuk sesuai dibandingkan sesuai secara murni.

Kesimpulan dari tulisan ini, manusia jaman sekarang udah gak punya akal. Even now animal more human than human themselves. Apapun dilakukan demi ego diri sendiri. Demi rating, demi views, demi preferensi politik yang dielu-elu tapi nyatanya nihil hasil, demi menguntungkan golongan tertentu. Banyak demi yang terbuang sia-sia, cuma untuk kepuasan semata. Sepertinya kita lupa, manusia bukan cuma seonggok daging yang bisa berjalan di muka bumi. Kita punya misi, punya tujuan, salah satunya ya untuk bumi juga, untuk jadi bermanfaat buat sesama.
Share
Tweet
Pin
Share
5 komentar


Generasi dimana orang-orang lebih senang menertawakan kehidupan orang lain dan menganggap lucu konten-konten sampah

Gue sepertinya sedang ada di masa-masa jenuh buat nulis. Bukan karena nggak punya ide, tapi karena gue gak merasa punya dorongan buat menyampaikan sesuatu yang seharusnya penting untuk dibaca. Gue merasa menulis disini jadi sia-sia karena poin penting yang ingin gue sampaikan hanya diterima oleh sedikit orang–itupun kalau doi beneran baca. Mungkin ini suka dukanya jadi idealis. Gak semua orang bisa menikmati konten yang isinya cenderung terlalu serius dan mumet. Jujur gue juga kalau udah terlalu mumet sama urusan ini itu kayaknya gak ada waktu buat baca-baca tulisan yang bisa numbuhin mumet-mumet baru. Akhirnya yang dicari pun hiburan, atau paling nggak konten yang seger yang bisa bikin kita lupa sejenak dari problema dan rutinitas yang menyita. I see.

Kita tuh selalu tertarik buat dikasih postingan lucu dan menggelikan yang gak jarang bikin kepala geleng-geleng sendiri. Mungkin ngetawain orang memang jadi salah satu tindakan paling enak, paling bikin puas dan lo gak butuh effort lebih untuk mendapatkan kepuasan itu. Gue pun seringkali begitu. Cuma lama-lama jengkel juga sih kalau sampe setiap hari yang trending isinya konten-konten gak bermutu. Saking senengnya orang sama konten menghibur, udah deh, terus aja dikasih asupan begitu sama para "content creator" yang nggak jelas. Bahkan acara televisi yang seharusnya serius, berkelas dan minim bercanda pun, sekarang di-setting untuk paling nggak ada satu segmen dimana komedian atau pelawak muncul disitu, atau kalau nggak komedian, ya hostnya dituntut buat bawain segmen lucu-lucuan bareng bintang tamu. Gue yang tadinya semangat pingin ngedengerin cerita-cerita inspiratif dan asik dari si bintang tamu akhirnya cuma bisa "hm okay" dan terpaksa matiin TV. Iya, matiin TV. Gue gak perlu lagi ganti channel karena toh gak ada program yang well-informed dan well-educated di era sekarang selain isinya ketawa ketiwi, dangdut, sama kepo dan rumpiin hidup artis.

Kayaknya di balik kejenuhan ini gue nggak sama sekali mendapat pencerahan. Gimana nggak, nonton TV gak mungkin, udah dari kapan tau gue puasa nonton. Buka yucub sama medsos, yang ada isinya misuh-misuh semua liat berita si anu yang berantem sama lulove, terus liat berita video dara arafah yang viral–yang ujung-ujungnya ada nama lulove juga huft, berita sunda empire, rumah kuya yang entah untuk keberapa kalinya masuk top trending, prank ojol, halilintar, kue ricis, lulove lagi, bocil-bocil tiktok yang entah gimana caranya bisa punya fanbase sampe bikin meet&greet, drama perseteruan artis, drama perselingkuhan artis, drama perjulidan selebgram, and ANOTHER STUPIDITY THAT I CAN'T BELIEVE IT'S TRULY EXIST.

Kayaknya gak salah kalau gue bilang orang-orang ini adalah generasi hobi bercanda. Mereka cuma tau caranya bikin konten bobrok yang berkedok hiburan. Ada influencer yang hobinya ngomong cursing words dianggap lucu dan keren. Kalau dikomentarin gak lucu, kita yang dianggap kurang main dan ujung-ujungnya menyalahkan selera. Kalau ditanya kenapa kok influencer ngomongnya gitu, kontennya gitu, "ya gue kan emang kerjaannya ngelucu", "gue cuma menghibur orang". Perasaan dari jaman dulu pelawak atau orang yang senang ngelucu di depan orang lain itu punya effort lebih karena harus bisa melucu dengan berbagai topik. Lah ini cuma ngomong ng*n**t doang bisa jadi lucu? Anehnya banyak orang yang bertingkah geram dengan pointing out kesalahan dan kekurangan si pembuat konten karena mengajarkan yang gak baik dan bikin konten gak bermutu, tapi mereka gak sadar telah membuang waktu untuk mencari kekurangan dengan bela-belain nontonin konten mereka. Pura-pura iwh, tapi tetep kepo sama kontennya terus mantengin di instagram itu gimana malih? Gue jadi takut lama kelamaan kita jadi orang yang munafik karena gak bisa bedain mana yang jahil dan bathil, mana yang baik dan buruk, mana yang pura-pura dan tulus, mana yang berfaedah dan mana yang nggak.

Masa iya kan kalau mau jadi influencer harus ada penyaringannya dulu? Dengan membludaknya para content creator dan influencer, ini jelas susah. Harusnya udah pada tahu lah hal-hal basic macem gini. Tapi ya itu, makin susah karena masing-masing mungkin udah punya pasarnya. Gen Halilintar sampe anak cucu cicitnya—yakali—udah punya pasarnya sendiri, yang menurut gue sangat disayangkan para subscribersnya seperti nggak bisa memilah konten apa yang bisa mereka tonton dan nggak. Terus channel gaming, juga udah punya sasarannya. Channel kuliner, channel masak, channel edukasi, dll. Tapi pembagian pasar dan sasaran penonton itu gak bikin gue puas karena lagi-lagi (seperti politik kita yang sama sekali nggak cerdas) banyak ketimpangan disana-sini. Konten yang positifnya mungkin gak lebih banyak dari konten serampangan.

Gue bener-bener jenuh. Sangat jenuh karena cuma tiga puluh atau empat puluh persen kayaknya postingan atau konten yang bener-bener mengedukasi dan menginform diri. Apakah udah jadi watak? Apa karena bagian dari identitas? Bahwa orang Indonesia, rakyat negara +62 tuh apa-apa dibawa santai, dibercandain. Saking senengnya bercanda, apa aja bisa dijadiin konten. Sampe ke masalah yang menyangkut financial dan hidup orang aja bisa di-prank. Gue nggak menyangka hal-hal bercanda bisa bikin orang lupa diri dan gelap mata. Oh iya, asal kalian tau aja, kebanyakan ketawa bisa bikin otak dan hati kita mati. Bisa bikin lupa diri dan hilang empati. Gak percaya? Butuh bukti secara ilmiahnya? Oh, don't worry guys. Allah has said it clearly. You can easily find it in your Holy Qur'an and it's absolute. And if you know already, that's okay. Gak ada salahnya mengingatkan hati yang udah ketutup rating, trafik dan jumlah followers.

Mungkin kita selama ini banyak lupanya, bahwa gak semua hal bisa dibercandain. Mungkin kerasnya hidup membuat kita lupa dengan kenyataan bahwa hidup nggak sebercanda itu untuk dimainin dan diketawain seenak jidat, hingga akhirnya menertawakan orang lain lewat "konten-konten" pun dijadikan sebuah pelarian, which is gak memberi efek apa-apa pada diri lo yang butuh hiburan selain hati yang semakin mati. Sejujurnya gue udah pernah bahas sedikit yang nyenggol tentang ini di postingan yang judulnya "Everything Goes Viral with Social Media" but that's that. Gue bener-bener nggak menyangka hal semacam itu terus menjamur dan menjadi candu yang gak ada abisnya. Lagi-lagi gue menyayangkan kenapa pengaruh yang ditimbulkan dari internet menjadi nggak terbendung kayak gini? Kenapa kita nggak memanfaatkan media sosial dengan sebaik-baiknya, dengan seberguna-bergunanya.

Untungnya di balik generasi yang hobi bercanda ini ternyata ada juga orang-orang baik dan waras yang gak mau kalah dengan dibodohi konten-konten prank nggak jelas. Gue bersyukur banget karenanya ada platform yang memanfaatkan jaringan internet seperti kitabisa.com, ruangguru, Kophi, Komunitas Jendela, beasiswa10000, @perempuangagal, @pedulikucingpasar, dan masih banyak lagi. Untungnya juga, orang-orang yang mungkin sama jenuh dan gedeknya dengan gue bisa terjaring dengan platform itu supaya akhirnya bisa saling bermanfaat untuk sesama. Buat yang masih awam dengan platform-platform penebar kebaikan, mending kalian abisin waktu dengan itu, deh. Paling nggak jadi donatur kecil-kecilan gitu. Dijamin hidup lo bakal lebih bahagia dibanding nontonin selebgram gak jelas yang katanya lucu padahal garing. Internet itu luas cuy, coba carilah yang isinya faedah dikit.
Share
Tweet
Pin
Share
3 komentar

Seputar pengalaman tentang bullying

Before 2019 really end, i wanna tell you something and this might be the briefest story i have ever written.

Ada alasan kenapa gue nggak senang bergaul dengan orang, pilih-pilih teman dan cenderung mengucilkan diri. Gue selalu punya pengalaman nggak mengenakan dari sejak SD dalam pertemanan. Entah itu diledek, diejek, dikatain manja lah, belo lah, etc. But it has nothing to do with me now. Ada alasan lain dibalik semua itu. Dibalik antipati gue terhadap manusia lainnya. Lebih tepatnya terhadap orang-orang yang nggak bisa menghargai manusia lainnya.

Gue pake kacamata sekitar kelas satu SMA. But it's not because i have eye problems like minuses or cylinders. No. I was tried to covering my eye-bags that's so "baggy" and "dark" that time—seperti yang mungkin temen real life gue tahu. Gue sangat nggak nyaman dengan ini. Sangat.

Pada awalnya gue nggak pernah mempersalahkan itu. Gue sama sekali gak pernah berusaha melihat kekurangan diri gue cause i think i'm normal just like my friends out there. Gue sama dengan mereka. But apparently some of them saw me another way.

Sebelum kenal skincare dan make-up, so pasti gue ke sekolah cuma pake bedak bayi. Setiap kali gue dateng ke sekolah, instead of say hello or ask me how was my holiday, or have you done your homework, etc, my friends chose to asked 'am i sick?' or 'did i stay up last night?' karena gue terlihat sangat pucat. Saat itu kira-kira SMP kelas satu, dan seharusnya, gue ketemu dengan teman-teman baru yang 90% gak pernah ditemuin di SD. Emang sih, dulu gue dikenal sebagai anak yang penyakitan karena saat kelas 1—2 SD dulu gue sering banget gak masuk gara-gara sakit, bahkan pernah sampe diopname berminggu-minggu karena tifus. Maka itu gak aneh kalau gue dikatain penyakitan dan setiap pelajaran olahraga gak boleh ngelakuin olahraga berat. Tapi yang bikin gue bingung saat itu adalah, kenapa teman-teman baru gue di SMP harus menanyakan hal yang sama? Mereka tau darimana gue penyakitan? Lagian itu kan dulu sering sakitnya, pikir gue. Apakah gue terlihat penyakitan?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus terlintas dalam kepala gue meski akhirnya hilang dengan sendirinya karena gue nggak mau memikirkan hal yang gak penting, toh gue tetep main sama mereka. Tapi agaknya gue memang harus disadarkan saat itu tentang bagaimana orang lain melihat gue, dan semua itu berawal ketika ada anak laki-laki yang ngatain gue zombie. Iya. Zombie, sosok mayat hidup yang berbagi virus dengan manusia normal dengan makan daging mereka, dan kalau di film-film barat biasanya digambarkan dengan jalan sempoyongan sambil tangan ke depan kayak vampire China. Bersama teman-temannya, mereka mengolok-olok gue dari bangku bagian belakang, laughing at me because at that time they thought i'm zombie, karena gue kelihatan penyakitan dan pucat. Seperti biasa, gue nggak mau cari ribut sama mereka, jadi yang gue lakukan hanyalah melotot dan muterin mata—etdah gimana tuh bahasa. Mendelik lah ya. Untungnya pelototan gue cukup ampuh untuk nggak bikin mereka mengulang hal yang sama kepada gue di kemudian hari. Tapi sejak hari itu, ucapan mereka terus terngiang-ngiang di kepala gue. Kenapa? Kenapa mereka ngatain gue zombie? Apa karena gue penyakitan? Apa karena gue pucat? Karena gue gak bisa menemukan alasan lain selain dua itu.

Sepulang sekolah, gue pun menatap cermin. Meniti wajah gue sepersekian detik. I'm beautiful. Gue manis kok—iya gue sePD itu kalau lagi ngaca. But then i've finally found something. Ada semacam kantung mata yang gelap di area bawah mata gue. Entah sejak kapan dark circle ini muncul, mungkin memang gen dari kecil, i don't know. Foto-foto gue kecil kebanyakan dari jarak jauh, jadi gue nggak bisa menemukan detail wajah gue sampai ke mata-matanya.

Sejak saat itu gue pun tau, kenapa anak laki-laki itu ngatain gue zombie. Dan sejak saat itu, gue seperti nggak bersyukur dengan kesempurnaan yang Tuhan kasih. Gue jadi sering ngeluh, "coba mata gue cantik kayak orang lain, pasti banyak temen😟", "kenapa sih mata gue harus gini". Berkali-kali gue googling 'how to reduce dark circle' dan gimana cara ngilanginnya, serta alasan kenapa seseorang bisa memiliki dark circle. Ada banyak artikel yang mungkin gue lahap tentang itu selama bertahun-tahun. 

Gue insecure. Gue nggak PD ikut ekskul ini itu. Bahkan ikut ekskul PMR aja setelah pelantikan malah keluar. Gue nggak nyaman ketika ada orang yang berusaha menelisik wajah gue—dan itu jelas banget—bukan karena gue menarik, atau cantik di mata mereka, tapi karena gue mungkin terlihat 'berbeda'.

Untungnya perasaan itu agak mereda ketika gue kelas 2 SMP, karena gue mulai mau untuk berusaha deket sama orang, termasuk temen cowok—and you know where does the story continue. Tapi ternyata orang-orang yang 'sok' gak hilang juga dari muka bumi. Menjadi anak yang terlihat culun mungkin memang sasaran empuk geng-geng sok iye. Beralih dari problem soal mata, gue pernah diejek, diketawain gara-gara salah beli barang yang mereka suruh gue buat beli ke koperasi. Iya, mereka nyuruh gue beli minuman ke koperasi siswa. Sebagai anak yang baik—atau bego—gue iya-iya aja nurut apa kata mereka. Kebetulan suasana di kelas waktu itu emang lagi rame banget, makanya gue gak begitu dengar apa yang mereka pinta, sampai akhirnya pas gue bawain minuman yang salah, gue diketawain habis-habisan satu kelas. Gue ikut ketawa, tapi hati gue sakit. Gue cuma bisa ngedumel dalam hati. "Belagu lu!" "Hm, gini ya rasanya jadi anak cupu."

Masalah ini nggak pernah gue ceritakan ke siapapun. Even keluarga gue. Karena gue pikir ini cukup sepele pada awalnya. Tapi dengan seringnya orang-orang bertanya perihal keadaan mata gue, gue semakin menganggap bahwa ini nggak sepele. Ini bisa mengganggu psikis gue. Pertanyaan-pertanyaan gak bermutu kalian bisa mempengaruhi hidup gue and how i deal with it.

Kembali ke soal kenapa gue memakai kacamata. Dari kelas tiga SMP, gue udah coba-coba beli kacamata dan sesekali gue pakai ke sekolah untuk membuat gue terbiasa. Of course, kacamata biasa. Tapi kegiatan itu nggak rutin gue lakuin, karena gue pikir biarlah semua itu gue akhiri di masa SMP. Gue pingin buka lembaran baru. Gue pingin memberi kesan baik ketika bertemu dengan teman-teman baru gue nanti di SMA.

So, apakah itu berhasil? Gue nggak bisa bilang iya. Tapi setidaknya masa SMA gue lebih baik daripada masa SMP. Gue cukup aktif di organisasi dan ekskul, gue punya banyak temen dari setiap kelas, dan gue berhasil bikin mereka 'mau' melihat gue karena kagum—maybe🙄, bukan karena apa yang terlihat di wajah gue.

Jadi, apa sekarang gue masih pura-pura minus buat pake kacamata? Nggak. Mata gue beneran minus sekarang. Blur. Dari sejak kelas dua SMA, setahun setelah gue pake kacamata bohongan, tapi saat itu emang gak parah. Gue bercerita seperti ini bukan karena gue pingin seeking attention or something ya, no. Gue pingin orang-orang yang baca ini dan orang-orang lain di luar sana supaya sadar, bahwa komentar-komentar terhadap penampilan seseorang yang nggak memiliki kesan baik ternyata  bisa mempengaruhi hidup mereka, dan tentu saja ini semua nggak bisa dianggap remeh.

Sekarang gue udah berdamai dengan masa itu. Gue udah bisa menerima diri gue apa adanya, termasuk kondisi mata gue. Dan gue lebih gak peduli sekarang setiap ada orang yang berusaha untuk memberi komentar terhadap mata gue. Kadang kalau orang-orang di deket gue ngomongin soal kecantikan dan mata, gue langsung menghindari pembicaraan itu atau nggak pura-pura melakukan kegiatan lain. Bukan karena gue masih insecure, tapi karena gue nggak mau hati kecil gue ngedenger hal-hal yang menjadi strugglenya selama ini. Gue butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa seperti sekarang, dan gue nggak bisa membiarkan hal itu mengusik diri gue lagi. Gue nggak mau bilang keadaan mereka-mereka yang "ngebully" gue sekarang gimana, tapi gue yakin lo semua udah bisa paham apa yang dinamakan karma.

Pesan yang ingin gue sampaikan adalah, gak semua hal bisa dikomentari. Gak semua hal butuh untuk dikoreksi. Kadang apa yang kita pikir becanda, bisa jadi nggak sebecanda itu dalam hidup seseorang. If you want to be something bad in someone's memory, then be it. Tapi nyatanya nggak ada, kan, yang mau menyisakan kenangan buruk dalam hidup orang lain—seharusnya. Apa yang gue alami mungkin memang nggak setara dengan apa yang dialami korban-korban bullying di luar sana, tapi ini membekas cukup dalam di ingatan gue. For years.

Akhir kata, gue harap semoga kita-kita ini bisa lebih sadar akan pentingnya menjaga perkataan. Terkhusus untuk orang-orang yang senang memberi penilaian berdasarkan penampilan semata. Kita ini hidup untuk menikmati hidup. Dan menikmati apa yang ada dalam hidup itu sudah terlalu sulit. Tolong jangan dibuat sulit dengan berucap yang nggak baik. Kalau nggak bisa menanyakan dan memberi komentar baik, alangkah indahnya kalau mulut kita cukup diam, bersihkan hati dari segala komentar julid dan kepo yang sama sekali nggak ada untungnya.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
How i see feminist as a muslim


Berawal dari kemunculan gerakan feminis yang menyuarakan aspirasinya untuk mendukung hak perempuan, kemudian merembet ke isu-isu seputar kasus pelecehan yang ternyata semakin meningkat setiap tahunnya. Masyarakat kita seakan baru sadar bahwa masalah perempuan ternyata nggak sesepele kelihatannya. Stereotip gender, KDRT, kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual fisik dan non-fisik adalah beberapa dari segelintir kasus yang sering menghantui kaum perempuan. Kasus yang sering dianggap "apaan sih" sama sebagian orang di luar sana, karena manusia-manusia yang hobi bercanda. Yeah. Tapi bukan tentang kasus-kasus itu yang mau gue bahas disini,  karena seperti yang kalian sudah tahu, hampir  di setiap negara di belahan dunia manapun, perempuan selalu menjadi sosok yang tertindas, dianggap lemah, dan nggak bisa apa-apa.

Jujur, pertama kali denger di Indonesia mulai aktif ada gerakan ini, gue sangat menyambut dengan senang hati, karena menurut gue belakangan ini emansipasi di negara kita mulai kembali dipertanyakan. Meski keadaan perempuan jaman sekarang gak sesulit dan semengekang dulu, kenyatannya di luar sana masih ada aja orang yang terbelenggu sistem patriarki dan bahkan sengaja memanfaatkannya untuk menyudutkan kaum perempuan. Akun-akun anti feminis, contohnya, yang selama ini menurut gue terkesan selalu mencari kesalahan dari poin-poin yang diperjuangkan feminis, dan bahkan mengaitkan semuanya dengan agama, bahwa feminis tidak sejalan dengan napas Islam dan Islam nggak butuh feminis karena ia sudah sangat sempurna dalam memuliakan kaum perempuan. I see.

Yep, Islam memang sudah sempurna mengajarkan kita betapa istimewanya kaum perempuan, karena itu laki-laki memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan dan menafkahi perempuan/istrinya. Oleh karena itu pula, saking sempurnanya Islam menjelaskan dan mengatur posisi laki-laki dan perempuan lengkap beserta teknisnya, seharusnya sudah jelas bahwa Islam juga fleksibel di setiap zaman. Sebelum ada feminis, Islam sudah lebih dulu progresif mengatur keadilan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan kodratnya, dan menjunjung tinggi keadilan untuk semua umat, siapapun dan bagaimanapun mereka. Sebagai muslim, gue tentu mengikuti apa yang agama gue ajarkan. Tapi sebagai warga negara Indonesia, gue juga mendukung feminis.

"lah, berarti lo liberal dong? kurang baca, labil, jangan2 pro-LGBT!"


Friends, let me tell you. Kita ini tinggal di negara yang beragama dan sekaligus berpancasila. Ada lima agama yang diakui secara legal oleh negara. It means everyone comes with different culture and backgrounds of point of view about women, equality, and feminism itself. Sebagai warga negara, menurut gue pemikiran itu sah-sah aja untuk diaplikasikan mengingat gak semua orang mengerti dan paham akan agama Islam. Siapa tau juga kan agama lain menjelaskan kemuliaan perempuan di dalamnya? Oleh karena ketidaktahuan itu, salah satu cara agar kita bisa satu suara dan bersama-sama menuntut keadilan atas hak-hak yang direnggut in terms of humanity, adalah dengan mendukung gerakan ini. Bukankah semua agama mengajarkan akan pentingnya kemanusiaan?

Seperti tulisan yang gue kutip dari tirto.id, menurut penulis Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan (2005), kelompok penentang feminisme tak menangkap bahwa sebenarnya Islam sudah siap untuk memperkenalkan esensi kemanusiaan seperti yang dilakukan oleh para feminis.

Gue tau para ekstrimis di luar sana banyak yang memberi judgment dan seakan sudah anti-pati duluan bahwa feminisme itu erat kaitannya dengan melegalkan LGBT, melegalkan zina dan aborsi, kemudian menutup mata begitu aja. Mungkin kalian benar, di negara-negara Eropa sana fungsi dan paham feminisme menjadi sebesar itu—karena aliran feminisme sendiri terbagi ke dalam beberapa jenis, tapi selama yang gue tahu, ketika kita menyebut diri kita sebagai feminis, it doesn't mean we supported every single thing of what really feminism is.

Cause basicly, you decide what feminism is for you.


Sampai  saat ini dan seterusnya, gue termasuk orang yang percaya bahwa feminis nggak selalu berarti mendukung LGBTQ, melegalkan zina dan menyetujui prostitusi akibat tulisan "my body is mine". Siapapun bisa mengartikan sendiri apa itu gender buat mereka, apa itu definisi "my body is mine" bagi mereka. Toh bagi gue, gender ya cuma dua, laki-laki dan perempuan. Walaupun begitu, gak lantas gue mendiskriminasi mereka yang jalan hidupnya itu berbeda dari kebanyakan orang, gak lantas gue menjadi homophobic dan menghardik mereka, apalagi sampe membakar hidup-hidup transpuan seperti yang terjadi di Jakarta beberapa waktu lalu—Astaghfirullah. Jangankan soal itu, bahkan di dalam feminisme sendiri sebenarnya gak ada lho misi-misi berujar kebencian terhadap laki-laki, karena menjunjung kesetaraan bukan berarti melemahkan gender yang lainnya. Perihal kemanusiaan, gak ada kata diskriminasi, semua manusia berhak untuk hidup dan memperoleh keadilan. Who are we to judge? Sebagai muslim, kita pasti paham betul ada zat yang Maha yang punya kewenangan menghakimi dan menghukum hamba-Nya.  We can disagree their point of views but it doesn't mean we can't respect them to be what they want to be. Equality doesn't only live on gender issues but on all aspects that fight for the right of all people's lives. 

Di samping itu, soal "my body is mine", tubuh kita dan semua hal di dunia ini pun memang benar milik Tuhan, yang ada dalam kontrol kita. Gak salah kalau ada hashtag yang menyuarakan soal #tubuhkuotoritasku, karena pada kenyataannya memang tubuh kita ada dalam tanggungjawab kita dan gak bisa semena mena diatur orang lain. Adanya kalimat seperti itu pun karena dipicu oleh perlindungan terhadap perempuan yang selama ini dianggap sepele, terbukti dengan banyaknya kasus pelecehan, pemerkosaan, dan kejahatan seksual lainnya.  Oleh karena itu pula, nggak ada yang namanya tubuh kita milik seseorang, milik germo, milik suami, atau apapun itu. Pun jika semuanya milik Allah,  justru kita berkewajiban untuk menjaga diri kita, melindungi tubuh kita sebaik-baiknya, bukan untuk dianggap mainan dan dijadikan ajang pemuas nafsu kaum lelaki. Namun dalam konteks yang lebih luas ini, narasi #tubuhkumilikAllah yang digaungkan @Indonesiatanpafeminis dirasa kurang tepat karena gerakan ini bukan hanya berlaku dalam lingkup Islam, tapi seluruh aspek, menyangkut kemanusiaan. Kita tinggal dalam keberagaman, bukan?

Eits, tapi tunggu, gue gak sedang ngedismiss fakta bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan sangat memuliakan kaum perempuan hanya untuk berusaha sejalan dengan feminisme, apalagi mendesakralisasi nilai Islam. Dalam beberapa aspek, gue tidak menolak bahwa laki-laki posisinya di atas perempuan karena dialah yang memegang penuh tanggung jawab, terkhusus dalam kehidupan berumah tangga. Gue juga yakin kenapa dalam Islam sendiri "seakan" menanamkan budaya patriarkial, karena tujuannya adalah untuk membedakan bahwa bagaimanapun laki-laki dan perempuan secara kodrat berbeda, dan harus dibatasi supaya nggak melampaui kodratnya. Itupun sebenarnya bukan patriarki, karena patriarki sendiri berarti suatu kondisi dimana lelaki memegang kekuasaan penuh di atas perempuan dengan tidak memberi suatu kebebasan apapun, mengekang, mendiskriminasi, dan bisa jadi mengintimidasi.

Can you get my point there?


Menjadi seorang muslim dan warga negara yang baik nggak mesti selalu kaku. Apalagi Islam sendiri agama yang sudah sangat-sangat sesuai di masa apapun kita hidup, jelas karena itu datangnya dari Allah dan menjadi tuntunan hidup di dunia. 

Gue yakin kita semua sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk, serta mana yang bisa diterima dan tidak. Kemudian menyeimbangkan antara keduanya—maksudnya adalah, ketika lo menemukan ada sesuatu yang salah, gak ada yang menyuruh lo untuk menelan paham itu bulat-bulat, kan?

Tentu, gue pun masih harus belajar banyak tentang ini, tapi bicara soal kemanusiaan IMHO seharusnya kita gak perlu membutuhkan teori yang serasional mungkin hanya untuk berperilaku baik terhadap sesama. Bukankah katanya poin penting dari gerakan feminisme adalah memperjuangkan hak-hak perempuan yang tertindas dalam ruang lingkup sosial, politik, masyarakat, dan pendidikan?

Toh, ketika ada sisi positif yang bisa kita ambil dari feminis untuk kemaslahatan bersama, kenapa nggak? Ketika keduanya bisa berjalan bersamaan, kenapa nggak? Selama kita nggak lupa akan apa yang agama kita ajarkan, dan selama kita nggak terbawa arus feminisme yang radikal, liberal dan ekstrim, kenapa nggak, kan? Bisa jadi, paham itupun datangnya dari Allah supaya kita bisa belajar lebih banyak tentang agama-Nya dan lebih bijak dalam melihat dua sisi. Bahwa inti dari semuanya adalah menginginkan kesejahteraan bagi sesama umat manusia.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Terlalu Besar Untuk Gagal
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Just Listen
  • Bukan Salah Indonesia

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • The Phantom of the Opera: Di Balik Danau
  • Cuma Cerita
  • Priority Chat
  • Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Cuma Cerita #2
  • Kiamat Sudah Dekat
  • Spoonerism, Alasan di Balik Keselip Lidah
  • Bad For Good
  • 36 Questions Movie Tag

Blog Archive

  • ▼  2023 (1)
    • ▼  Februari 2023 (1)
      • Kejar Passion itu Omong Kosong
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (31)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

digital marketing Intermeso karir Krisis 1/4 Abad lifestyle Opini Perempuan Podcast Poetry Review slice of life Thoughts

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.