Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram twitter LinkedIn YouTube Spotify Email

Notes of Little Sister



Kata siapa nikah muda itu mudah?

Akhir-akhir ini pertanyaan seputar nikah muda lagi nangkring di kepala gue. Tapi bukan, bukan pertanyaan tentang 'kapan gue nikah?' atau 'kapan gue bisa ketemu jodoh?'. Lebih jelasnya adalah pertanyaan tentang kenapa anak muda sekarang seakan-akan lebih semangat buat nikah ketimbang membangun masa depan yang lebih baik, supaya nantinya gak asal nikahin anak orang dan punya anak, tapi selepas itu gak tau how to parent a child.

Gue muslim, dan tahu betul bahwa kita memang sudah ditakdirkan hidup berpasang-pasangan, bahwa menikah itu sebagian dari ibadah, bahwa menikah itu dapat menjauhkan kita dari zina. Zina apapun itu termasuk mengenal lawan jenis tanpa adanya ikatan apapun yang berujung pada dosa. Menikah juga bisa mempermudah jalannya rezeki, karena apa yang kita lakukan, apa yang kita kerjakan insya Allah nggak cuma balik ke diri kita sendiri, tapi juga untuk suami/istri, atau untuk anak-anak nantinya. Bahkan memberi nafkah keluarga dalam islam itu sejatinya dihitung sebagai sedekah yang utama. Namun seiring dengan itu, yang gue lihat, orang-orang jadi malah menganggap bahwa pernikahan itu adalah sesuatu yang mudah. Sesuatu yang gak perlu dipikirin dengan serius, karena toh tujuannya adalah untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.

Seperti yang mungkin kalian semua tahu, sekarang rasanya banyak banget akun-akun dakwah yang menyiarkan tentang nikah muda, dan seakan-akan cuma topik tentang itu yang bisa dibagikan. Hampir di setiap akun keislaman yang gue temuin, semuanya pasti ada bahasan tentang mengkampanyekan nikah muda. Sebetulnya gue sama sekali terbuka tentang topik apapun itu yang memang isinya positif. Apalagi ini kan dakwah, mensyi'arkan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh kita sebagai muslim. Tapi apa yang gue temukan justru berbanding terbalik dengan harapan gue. Jelas, yang namanya kampanye pasti ada sesuatu yang perlu ditonjolkan dari 'gerakan' atau topik yang bersangkutan. Nah, isu yang mereka angkat itu yang buat gue tidak habis pikir.

Pertama, hampir semua topik seakan ngejurungin anak muda untuk segera nikah dengan mengiming-imingi malam pertama, dan justru menyinggung mereka yang masih pada jomblo. Kurang lebih kayak gini, 'masih mau ngejomblo? Gak mau malam pertama?', 'gimana nih malam pertamanya yang udah nikah?', dan masih banyak lagi. 

Tiga kata yang terlintas di pikiran gue ketika membaca itu adalah, wth. Dipikir nikah itu cuma buat malam pertama? Jangan-jangan ini orang kebanyakan nonton iklan, sampe ngomongin nikah aja bahasanya marketing banget. Apa sih yang ada di pikiran kalian ketika ngomong gitu wahay anak muda? Dan bisa kalian lihat tentang kata jomblo disana. Ini juga yang bikin gue gak habis pikir. Salah satu tujuan nikah itu kan untuk menghindari zina, bukan menghindari kejombloan. Apakah semua orang yang jomblo itu berkemungkinan untuk melakukan zina? Apa kabar dengan orang-orang yang sudah menikah, tapi punya hubungan lain di luar pernikahannya? Men, zina itu akan selalu ada kalau kita gak bisa menahan diri dan menjaga keimanan kita. Bahkan ketika lo sudah menikah, bukan tidak mungkin lo akan bertemu dengan kemudhorotan lain yang berkaitan dengan zina. Gak akan ada yang namanya pelakor kalau gak ada zina yang mesti kita hindari dalam pernikahan.

Jadi, kenapa mesti menyinggung mereka-mereka yang masih jomblo? Gimana kalau seandainya orang-orang yang menjomblo ini justru sedang sibuk bermuhasabah, sibuk bekerja buat ngebahagian orangtua/keluarga mereka, sibuk memperbaiki diri untuk bertemu dengan jodoh yang lebih baik dari dirinya? We'll never know kalau kita tidak pernah menyelami hidup masing-masing orang. Hanya Allah yang tahu apa isi hati hamba-Nya, right?

Kedua, beberapa orang yang sudah menikah seakan-akan menggoda mereka yang belum nikah dengan bikin perbandingan antara gaya orang yang pacaran tapi belum halal, sama orang yang pacaran tapi udah halal alias udah nikah. Okay, gue gak masalah dengan itu selagi bahasanya nggak terkesan menyudutkan dan nggak terkesan seakan-akan cuma lo yang paling benar. Ini juga menurut gue sah-sah aja kalau memang perbandingan itu bisa jadi bahan renungan buat mereka yang masih terlena dengan yang namanya pacaran untuk gak melakukan hal-hal yang jelas dilarang. Tapi yang gue khawatirkan dari ini adalah tujuannya. Niatnya. Apa dia benar-benar berusaha ngajak temennya ke jalan yang benar atau cuma pingin nunjukin betapa indahnya kehidupan dia setelah nikah?

Well, gue berusaha untuk tidak suudzon, karena ini masalah hati dan niat yang gak bisa gue telusuri. Gue hanya khawatir dengan iming-iming bahwa kehidupan pacaran setelah halal itu akhirnya jadi mempengaruhi orang-orang sebagai tujuan utama kenapa mereka decided untuk nikah muda. Karena lagi-lagi gue bilang, nikah itu gak segampang itu cuy. Gue takut apa yang mereka bagikan ke temen-temen atau followers-nya itu justru jadi toxic, karena orientasi orang-orang yang mikir bahwa nikah itu harus dengan kesiapan malah beralih jadi hanya terfokus pada bagaimana enaknya kehidupan pacaran setelah nikah. Seakan-akan hidup itu milik berdua, asal ada kamu aku bisa hidup, asal makan nasi sama garem aja jadi yang penting ada kamu. Klise.

Nah, kalau yang ketiga ini gue denger dari slentingan-slentingan bahwa alasan dari pentingnya untuk nikah muda itu adalah karena kita sekarang sedang ada di penghujung jaman. Dunia ada di masa-masa kritis. Sebagai umat muslim, gue tahu ini jadi semacam kekhawatiran. Alhamdulillah kita jadi semakin berlomba-lomba untuk berbuat baik, berbagi hal-hal positif dan memanfaatkan media sosial sebagai ajang dakwah. Cuma lucu aja rasanya kalau karena alasan tersebut kita jadi berlomba-lomba untuk menikah tapi tanpa tahu ilmunya. Tanpa benar-benar memahami makna dari penikahan itu sendiri. Apalagi sampe ada yang bilang kayak gini, "bentar lagi dajjal keluar, lo buruan gih nikah!"

Geez, merinding gue dengernya juga.

Sebenarnya masih ada beberapa hal yang bikin gue gondok dan gak bisa berkata-kata. Kok segitunya banget sih ngajak orang-orang buat nikah muda? I mean, menikah itu kan pilihan setiap orang. Apa yang bagi sebagian orang baik dan indah, belum tentu demikian bagi sebagian yang lainnya. Setiap orang udah ada bagian masing-masing dalam hidupnya. Gue bicara kayak gini bukan tanpa alasan. Selama 19 tahun hidup di dunia, ada banyak banget hal yang bikin gue belajar untuk berhati-hati dalam melangkah. Termasuk dalam memandang pernikahan. Gue bukan lahir dari keluarga yang harmonis dan utuh. Gue banyak mengamati kehidupan pernikahan sampai pada detik ini, dan dari hasil observasi itu gue menyimpulkan bahwa nikah tidak mudah seperti kelihatannya.

Ketika lo menikah, artinya lo sudah siap dengan segala problema yang menanti di depan sana. Dari hal-hal kecil sampe hal-hal yang besar sekalipun. Dari masalah financial sampe hal-hal yang berkaitan dengan anak. Karena, again, nikah itu pada akhirnya bukan hanya tentang aku dan kamu, bukan hanya tentang kita berdua, tapi tentang masa depan. Komitmen. Bagaimana kita seharusnya bertindak sebagai suami atau istri. Apa aja yang mesti dilakukan istri kepada suami dan sebaliknya. Ditambah kenyataan bahwa menikah itu adalah menyatukan dua keluarga. Memiliki dua orangtua yang mesti kita sayangi dan hormati. Jelas tanggung jawabnya lebih besar.

Anyway, satu hal yang mesti gue lurusin disini adalah, gue tidak sedang nge-blame mereka yang nge-share tentang nikah muda atau bahkan mereka yang sudah menikah. Temen-temen gue juga banyak kok yang udah nikah. Mereka sepantar dengan gue, dan gue justru salut sama mereka karena untuk membayangkan ada dalam proses pernikahan sekarang aja gue nggak bisa. Sementara temen-temen gue ini, mereka siap untuk memulai hidup dengan orang lain, bahkan punya yang namanya keluarga baru.

Semua ini hanya keluhan dan tumpahan dari kekesalan gue, seorang anak yang merasa bahwa pernikahan itu tidak bisa dibandingkan cuma dengan pacaran versi halal. Karena ada banyak banget hal-hal yang lebih besar dari sekadar gandengan berduaan tanpa takut dosa, atau sekadar tidur ada yang nemenin. Beberapa hal yang gue sebutkan di atas itu cuma sebagian dari 'bonus' yang bisa lo dapatkan hikmahnya ketika menikah.

Gue pikir kita gak cuma harus bijaksana dalam bersikap, tapi juga harus bisa lebih bijak dalam berkata-kata, apalagi di era digital dimana satu postingan dalam satu kali sentuhan jari lo itu bisa menyebar dalam waktu yang singkat. Bahkan mungkin bisa mempengaruhi orang-orang dalam waktu sepersekian detik. Apa yang kita sebarkan, apa yang kita ucapkan itu tentu ada pertanggungjawabannya. Kalaupun temanya adalah tentang mengajak kepada kebaikan, akan tetap jadi lain cerita kalau orang yang baca atau orang yang nangkep ilmunya malah menjabarkannya dalam arti lain. Islam itu indah. Harusnya kita bisa menyampaikan apa yang akan kita sampaikan dengan cara yang elegan. Bukan dengan cara yang 'toxic'. Apalagi dengan embel-embel ayat Qur'an padahal apa yang sedang dia sampaikan justru keluar dari konteks yang sesungguhnya.

Oiya satu lagi, fakta-fakta yang udah gue sebutin di atas itu ngingetin gue sama keadaan yang teramat mainstream di sekitar kita tentang pertanyaan yang muncul di saat seorang laki-laki dan perempuan sudah menginjak kepala dua, yaitu "kapan nikah?".

Gue pikir hal-hal tersebut gak ada bedanya sama pertanyaan klasik yang biasa dilontarkan oleh orang-orang itu. Bahkan sampe saat ini jujur gue tidak mengerti kenapa ada aja orang yang bikin standar tersendiri bahwa perempuan itu harus menikah ketika umurnya udah 23 tahun ke atas. Apakah ada dalil yang menentukan seseorang untuk menikah di usia tertentu? Please, jangan jadi manusia-manusia yang seneng ngasih tekanan tentang suatu hal yang sakral dan bukan hak kita. Karena dengan demikian, artinya kalian sedang menggadaikan kehidupan calon anak yang lahir akibat orangtuanya menikah atas paksaan dan tekanan. Na'udzubillah.
Share
Tweet
Pin
Share
9 komentar


Beberapa orang mikir kalau demo mahasiswa itu gak ada gunanya. Instead of berkoar-koar nyapein diri sendiri panas-panasan di depan gedung pemerintah atau rektorat atau apapun itu, mereka lebih sering ngasih saran atau lebih tepatnya berkomentar buat nyerah. "Udahlah, hidup itu penuh perjuangan. Ngapain kita capek2 turun ke jalan cuma buat perjuangin org2 yg bisa jadi nantinya kacang lupa kulit."
Ada juga yang bilang, "sistem itu gak bisa kita ubah. Mau sejahtera ya kerja keras!" Intinya setiap yang mereka katakan adalah lo harus kerja keras! Kerja keras! Berjuang! Kalau mau sukses, mau negara kita maju, mau masuk perguruan tinggi tanpa bayar uang pangkal yang nominalnya puluhan juta, lo harus berjuang!

Gue memang bukan orang yang suka turun ke jalan, ikut demo, menyuarakan pikiran rakyat atau meneriakan keluhan dari teman-teman gue yang membutuhkan keadilan (in this case, masalah demo yang biasa terjadi di PTN/PTS, dan masalah ini yg akan jadi poin utamanya). Gue juga bukan orang yang tau seluk beluk tentang sistem yang ada di pemerintahan, atau kalau gue kerucutkan, gue sama sekali gak mengerti hal-hal yang sebenernya terjadi di balik biaya masuk yang mahal di perguruan tinggi. Padahal at least lo masih kuliah di Indonesia, bukan ke negara lain. Terus pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana uang mahasiwa itu dialokasikan, atau tentang transparansi pembayaran UKT, serta bagaimana bantuan-bantuan yang ada untuk pendidikan itu dimanfaatkan. Gue sangat buta akan hal itu, karena yang gue lakukan adalah hal-hal sewajarnya yang biasa dilakuin mahasiswa. Belajar, berorganisasi, nambah-nambah penghasilan dengan manfaatin keahlian, atau hal-hal lain. Tapi bukan berarti gue membenarkan apa yang mereka katakan tentang kesia-siaan melakukan demo, karena gue sadar betul siapa gue dan posisi gue sekarang.

Gue termasuk salah satu dari sekian banyak orang yang mereka perjuangin buat bisa masuk ke perguruan tinggi (of course gue lolos seleksi masuk, tp pas masuk kudu bayar lg). Gue bisa kuliah itu karena dibantu oleh mereka-mereka yang demo di gedung rektorat, buat menuntut hak pendidikan anak-anak bangsa yang punya tekad buat kuliah tapi terkendala biaya. Kenapa nama gue akhirnya bisa ada di PTN yang gue pilih adalah berkat orang-orang ini, mereka yg jadi perantara Allah buat ngebantu orang-orang yang sebenernya sedang berjuang. Jadi kalau ada yg mikir bahwa orang-orang yang sedang diperjuangin lewat demo itu sesungguhnya gak berjuang, mereka salah. Anak-anak muda yang gabisa bayar kuliah atau uang pangkal itu justru sedang berjuang, dan orang-orang yg demo inilah yang mau membersamai perjuangan mereka. Supaya mereka bisa kuliah, bisa belajar, bisa jadi orang yang cerdas, hebat, dan bisa berkontribusi buat negara, entah dengan hal apa nantinya.

Gue gak bohong bahwa seringkali suara mahasiswa emang sangat berperan dalam mengatasi masalah yang ada, terutama sebagai penyambung pikiran rakyat, buktinya kan mahasiswa yang bergerak di era awal reformasi. Tapi, semakin kesini justru peran kita rasanya semakin disepelein. Apa karena sering turun ke jalan? Panas-panasan terus jadi keliatan kumal, item, dekil, sampe-sampe orang lain yang merasa pinter itu tutup mata dan telinga. Padahal gak semata-mata tanpa tujuan orang-orang gak kenal lelah ini bersuara.

Yah, kadang sebetulnya penguasa-penguasa emang harus ditegur supaya sadar, kalau mereka kebanyakan ngepulin asep rokok daripada kerja. Kadang mereka harus didemo, supaya sadar bahwa masih banyak pemuda-pemudi bangsa yang peduli, cerdas, dan gak rela dibodoh-bodohin. Oke lanjut!

Jadi gini, (setelah tadi dibuka dengan kata-kata yang sedikit esmosi) dalam sebuah kelompok mahasiswa pasti ada yang namanya pro dan kontra. Gue mencoba menjelaskan bahwa kelompok yang kontra dengan segala aturan atau kebijakan pemerintah itu adalah mereka yang rela demo di tengah terik matahari, hanya agar mendapat perhatian dan juga jawaban dari kaum birokrat. Sementara anggota yang pro itu adalah golongan mahasiswa yang masa bodo, yang 'yaudah semuanya seterah aja', yang mikir 'ngapain sih demo-demo gak jelas? toh mereka yang punya jabatan pasti lebih tau', sampe akhirnya mikir kyk yg gue bilang tadi, 'sistem itu gabisa diubah. Jadi let it flow aja.' Mahasiswa kayak gini biasanya disebut mahasiswa apatis. Yeah. Apatis yang bener-bener apatis level kakap.

Kalau boleh jujur, gue berusaha untuk netral karena gue sendiri pun punya pemikiran bahwa berjuang dengan diri sendiri untuk bisa punya tempat yang layak di bangsa sendiri itu lebih baik daripada demo. Tapi jelas, tidak lantas gue membenarkan pemikiran mereka, si kelompok pro soal sistem yang gak bisa diubah, karena gue sama sekali gak lupa dengan orang-orang yang pernah berjuang untuk gue, padahal mereka gak kenal siapa gue, dan pemikiran itu bukan sebuah arti dari kacang lupa kulit. Justru saking kasian dan mirisnya gue ngeliat temen-temen, juga kating-kating di luar sana yang menyuarakan hak mereka sebagai mahasiswa buat turun ke jalan, tapi apa yang mereka lakukan itu seringkali dianggap remeh oleh orang lain. 'Orang-orang' ini yang sering berkomentar tadi. 'Orang-orang' ini yang mikir sistem gak bisa diubah. 'Orang-orang' ini yang sok-sokan nyuruh orang lain berjuang, padahal mereka gak tau barang sedikitpun yang sebenarnya terjadi.

Gue berpikiran seperti itu karena gue merasa muak dengan orang-orang ini. Apalagi sama birokrat-birokrat yang ngeremehin suara mahasiswa. Gue berpikiran seperti itu karena gue pikir salah satu cara supaya kita gak diinjak-injak adalah masuk ke ruang lingkup yang tinggi, dan mengubah sistem yang ada. Entah kenapa mungkin terdengar mustahil dan membara, tapi emang itu salah satu cara supaya lo gak dipandang sebelah mata lagi, dan supaya lo bisa menghentikan kebrutalan yang ada di birokrasi manapun.

So, singkatnya adalah, sistem itu bisa kita ubah, kalau kita punya sesuatu yang bikin mereka menatap ke bawah dan mengakui keberadaan kita, anak-anak bangsa yang gak cuma bisa teriak-teriak di jalan. Layaknya pendidikan kita yang tertinggal 128 tahun dari negara-negara maju, pasti ada sesuatu yang bisa diubah. Maka kalau ada yang berpikir kita gak bisa mengubah sistem yang ada, artinya mereka gak mau maju dong? Artinya mereka mau-mau aja jadi generasi yang stuck di tempat, doing nothing, cuma bisa pidato cuap-cuap dan menganggap kebobrokan dan ketertinggalan yang ada sebagai warisan yang mesti dipertahankan. Kalau banyak orang-orang yang pemikirannya kayak gitu, gue khawatir kita emang gak bisa maju. Gue khawatir kualitas pendidikan kita bahkan bisa lebih dari 128 tahun tertinggal dari negara lain. Gue khawatir pendidikan kita justru semakin merosot, dari yang tadinya urutan ke 62 dari 70 negara, jadi di posisi paling akhir. Dan gue khawatir, 'orang-orang' macem gini yang nantinya mimpin negara.

Omong-omong soal pendidikan, again, apakah kita gak malu dengan angka yang gak sedikit itu? Ketinggalan 128 tahun lho. Masih adem ayem aja bersifat apatis?

Semua orang memang punya hak untuk tidak melakukan apapun, atau bersikap apatis layaknya dia/mereka/siapapun benar-benar bisa hidup mandiri tanpa peduli lingkungan sekitar. Tapi please, Indonesia itu milik kita semua. Tanah air kita. Kalaupun mau jadi orang yang masa bodo, setidaknya jadilah orang yang mau berkarya. Jangan mentang-mentang hidup di negara yang subur, terus jadi keenakan, entar lama-lama diambil orang baru tau rasa kan.

Apa karena orang Indonesia seneng ngelanjutin tradisi? Saking cintanya sama leluhur-leluhur yang udh bangun negara lebih dulu, kita jadi takut buat berbenah. Tradisi emg harus dilestarikan, tapi sebagai generasi 45 harusnya lebih tau tradisi apa aja yang mesti kita lestarikan. Katanya agen perubahan?
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar



Despite adanya berita-berita duka yang datang dari saudara-saudari kita di Palestina, beserta sosok-sosok syahid juga syahidah yang banyak diberitakan di media massa, ada satu akun yang cukup menarik perhatian gue hari ini. Lebih tepatnya sebuah video yang disebar oleh salah satu akun instagram. Isi video itu gak membuat gue tercengang sih, tapi cukup buat hati gue panas karena miris. Ya. Video itu menampilkan seorang anak remaja yang diiket di tiang dengan telanjang dada, gara-gara kepergok nyuri seekor ayam di sebuah kampung, yang katanya udah sering banget nyolong tu ayam-ayam hampir tiap hari dan bikin warga cukup geram.

Apa yang bikin gue memanas saat itu adalah, lagi-lagi, gue menemukan sikap masyarakat kita yang udah gak asing sama yang berbau maling, alias main hakim sendiri. Gue melihat bagaimana mereka yang notabenenya adalah bapak-bapak mukulin wajah anak itu, gak cuma dengan tangan mereka, tapi juga dengan kaki kanan mereka, kayak tu anak emang segitu bejadnya untuk bisa mereka tendang, mereka tampar, mereka jadiin olok-olok. Bahkan yang membuat gue lebih miris adalah, lagi, hal seperti itu justru dijadikan tontonan. Dan bisa lo tebak? Yep, beberapa dari penontonnya adalah anak-anak kecil. Masih dalam kategori miris, most of them masing-masing megang handphone dan ngarahin kamera ke muka anak itu. Can you imagine mirisnya ngeliat orang-orang dewasa mukulin yang bersangkutan dengan tangan sebelah mereka megang hp, like, apa yang mau lo banggain dari itu? Lo pengen bilang ke media, ke orang-orang bahwa lo puas udah menghakimi seorang anak dengan tangan kanan lo, dengan kaki lo yang bau busuk itu? Sedangkal itu pikiran lo pada? Hhh. C'mon, men, he is just a teenager. Remaja yang mestinya kita arahin, bukan sengsarain. Kita gak pernah tau apa yang sedang dia alami, bahkan anak-anak yang serupa dengan dia, kita gak akan tau apa yang mendasari mereka untuk berbuat hal itu, kalau kita gak berusaha mencari tau. Sesulit itukah bersimpati sedikit dengan ngedengerin penjelasannya? Sesulit itukah mendengar suara-suara dari orang yang justru sama dengan kita? Si manusia, tempatnya salah.

Okay. I know. Gak ada gunanya gue berkoar disini, capek-capek ngetik dan ngomentarin, karena mereka gak akan baca juga. Orang-orang yang pikirannya dangkal ini gak mungkin ada waktu buat baca blog abal-abal, karena waktu mereka cuma disibukan buat ngehakimin orang. Judge them, yeah. Tapi lebih gak ada gunanya lagi kalau gue cuma bisa diem, sakit hati dan panas ngeliat postingan itu. Isn't it?

Gue sama sekali gak shock saat itu, karena seperti yang lo tau, bukan hal asing lagi nemuin hal serupa dimana stigma yang terbangun dalam masyarakat kita tentang pencuri itu segitu buruknya. Dimana lo bisa main hakim sendiri, even polisi aja kalah tarung ketika ngadepin otak-otak masyarakat yang kayak gini. Dan soal anak-anak kecil yang nonton perbuatan orang-orang dewasa itu buat gue jadi berpikir, pantes aja hal-hal demikian selalu terjadi dan gak pernah berhenti, bahkan makin ganas, karena si manusia-manusia tua ini mewariskan pemikiran yang dangkal kepada penerus mereka, dengan memperlihatkan sesuatu yang gak semestinya diperlihatkan. Bahwa pencuri itu harus dimusnahkan, harus dihakimi, gak peduli apakah semua itu benar atau cuma kesalahpahaman. Sekali ada yang bilang maling, jangan harap lo bisa selamat di Indonesia. Begitu isinya negara gue.

Gue jadi berpikir lagi saat itu, gimana kalo seandainya posisi remaja yang dipukulin dan dipermalukan itu adalah koruptor. Apakah mereka berani main hakim sendiri? which is si koruptor itu udah bejad level kakap, sebejad-bejadnya manusia. Karena bukan cuma tentang ayam yang dicolong, lebih jauh dari itu, mereka main-main soal hak rakyat. Hak kita. Kepercayaan kita. Nasib kita, yang terus mengharapkan kesejahteraan dari pemerintah. Dari birokrat-birokrat, dari mereka para wakil rakyat yang gue gak yakin apakah masih ada dari mereka yang patut dipercaya atau nggak. Dari pertanyaan itu, jawaban yang paling tepat menurut gue adalah nggak. Mereka gak mungkin berani memukuli si koruptor itu dengan tangan mereka sambil ngerekam pake hp. Mereka gak akan berani nendang muka koruptor itu dengan kaki-kaki mereka yang kotor. Because of what??! Because people who have power will always be on top! Sekejam-kejamnya mereka, sejahat-jahatnya mereka, tetep, orang-orang yang gak punya kekuasaan akan kalah dengan mereka yang punya kekuasaan, even though they've made a big mistake. Jadi gak peduli apakah lo benar atau salah, asal lo gak punya kekuasaan, orang-orang dangkal ini bisa seenaknya merampas hak lo. Gue selalu berpikir, kapan dong masyarakat kita bisa maju? Minimal kayak di luar negeri lah, dimana pencuri, perampok, maling, atau apapun itu gak akan seenaknya diancurin hidupnya. Karena mereka sadar, mereka punya pihak berwenang yang punya tugas disitu, dan mereka sadar, ada hukum yang berbicara. Sementara kita, bisa aja berkoar-koar kalau negara kita adalah negara hukum, tapi orang-orangnya justru gak ada kesadaran akan hukum.

Sebenernya sangat kompleks kalau gue ngomongin soal ini. Karena secara gak sadar semuanya saling berkaitan. Dimana orang-orang yang gak sadar hukum ini gak cuma orang-orang dangkal yang gue sebut tadi, tapi termasuk orang-orang di birokrasi sendiri. Orang-orang yang punya kekuasaan itu sendiri. Orang-orang yang ada dalam tugas menegakan hukum itu sendiri, terkadang sulit menempuh hukum yang benar. Hukum yang beradab. Sebagai anak Indonesia, gue gak pernah lupa dengan kasus-kasus ringan yang divonis cukup berat--untuk kasus yang seringan itu. Gue gak pernah lupa dengan seorang nenek yang dituduh nyuri kayu, ibu-ibu yang dituduh nyuri piring tetangga, juga nenek-nenek yang dituduh nyuri bawang di kebon, tapi kasusnya sampe dibawa ke pengadilan.

Kapan KKN di Indonesia bisa berhenti? Kalau masyarakatnya sendiri gak pada aware dengan hukum. Kapan orang-orang kita bisa maju? Kalau bisanya cuma main hakim sendiri ngurusin maling yang nyuri ayam. Gini deh, kalau emang ngurusin hukum itu segitu beratnya buat kita pikirin, minimal peduli lah dengan sesama. Ingat bahwa kita adalah sesama rakyat yang ingin negaranya maju, yang pingin orang-orangnya sejahtera. Indonesia ini udah luntur budaya gotong-royongnya. Mungkin karena mereka lupa kalau kita pernah dijajah Belanda sama Jepang lebih dari 3 abad. Atau mungkin juga mereka keenakan dijajah, sampe-sampe berpikir maju itu ibarat langit yang sulit digapai.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar



I came up with the idea bahwa proses dalam hidup kita adalah milik kita sendiri. Kemana pun kita melangkah, apapun yang kita bawa, segala hal yang kita lalui adalah sesuatu yang hanya bisa diketahui oleh diri kita sendiri, dan juga Tuhan.
Kesedihan apa yang lo rasakan, bahkan sedalam apa rasa sedih dan sakit itu, gak akan pernah ada yang tau selain diri lo sendiri dan Tuhan.
Mau lo tinggal sendirian alias ngekost, sakit perut kelaparan sampe sakit-sakitan karena gak makan seharian, atau ngerasa hidup gak ada artinya, gak ada yang peduli sama lo, dan bisanya cuma meratap, mandangin langit-langit kamar, curhat sama Alloh, dan nangis lagi.
Hal-hal semacam itu adalah rahasia terbesar yang seringkali kita sembunyikan, bahkan kita jadikan sebuah alasan untuk berbohong di depan orang lain, karena bukan hal-hal menyengsarakan seperti itulah yang ingin kita bagikan kepada mereka.

Bukan jawaban bahwa gue sedang sakit, lemah, atau sedang ada pada titik berat dalam hidup yang ingin orangtua dan keluarga lo dengar saat mereka ingin tahu keadaan lo di luar sana. Yap, ini memang dikhususkan buat 'lo pada' yang tinggal jauh dari rumah. Karena gue pun sedang mengalami fase itu, jauh dari keluarga yang tiap hari bisa caring lo tanpa lo harus ngelakuin apa-apa sendiri, jadi gue cukup mengerti dengan keadaan itu. Sangat malah. Karena gue paham dengan kebohongan-kebohongan itu. Rasa sakit yang kita coba tutup-tutupi, yang bagi sebagian orang itu adalah pilihan yang salah. Mungkin ada di antara kalian yang berpikir kalau kita gak seharusnya membohongi mereka tentang keadaan kita. Karena orangtua, keluarga, kerabat yang gue sebut 'mereka' tadi juga berhak mengetahui setiap proses yang lo alami dalam hidup. Proses yang barangkali mengantarkan lo pada sebuah arti yang besar. At least, itu bener. Tapi gak sepenuhnya bener bagi gue. Gimana dengan orang-orang yang kehidupan keluarganya tidak sekuat itu ngedenger kisah hidup lo yang seakan-akan paling sengsara itu? Gimana dengan keadaan mereka yang secara gak langsung membuat hati teriris ketika harus denger cerita-cerita sedih lo? Ingatlah bahwa tiap orang punya pilihan mereka masing-masing. Kalau lo termasuk dari mereka yang mencoba untuk jujur, itu pilihan lo. Karena bisa jadi juga sebenernya itu satu-satunya motivasi terbesar lo buat ngelanjutin hidup.

Dan kalau bagi gue sendiri, gue adalah tipe orang yang senang menutupi semua hal sendirian. Selain karena gue gak pingin buat orangtua dan keluarga gue sedih, gue punya Alloh yang selalu mendengarkan gue. Yang jadi tempat mengadu pertama di kala gue merasa gak ada artinya hidup. Di kala gue merasa sedang kalut-kalutnya. Dengan begitu, gue gak cuma bisa mencurahkan segala isi hati yang sudah pasti Dia Ketahui, tapi gue bisa menyampaikan salam rindu buat orang-orang terkasih seperti mereka. Gue menjelaskan, bahwa gue bukan ingin mengkhianati mereka, tapi gue hanya gak ingin menyedihkan mereka. Membuat mereka berpikir betapa beratnya proses yang sedang gue lalui.
Karena sekali lagi, bukan itu semua yang ingin gue bagikan. Bukan kesedihan yang ingin gue ceritakan, tapi kelak kesedihan yang berubah menjadi bahagia. Tapi jangan lupa juga, bahwa segimana hebatnya kita, kita tetaplah manusia yang ditakdirkan untuk hidup berdampingan dengan orang lain. Gak ada salahnya kita curhat sesuatu yang udah gak bisa kita bendung sendiri, bahkan selepas 'curhat' sama Sang Pencipta, kita kadang butuh dorongan dari seseorang yang bisa mengerti dan mau mendengarkan. Lo bisa lakuin itu, and sometimes i do the same.

Ada satu hal juga yang mungkin bisa jadi tips buat kalian yang sering ngerasa kalut, jenuh, gak berarti, gak tahan dengan semua cobaan, yaitu ingatlah selalu bahwa ada berjuta-juta orang di luar sana yang punya masalah lebih besar daripada lo. Jujur, yang satu ini sangat manjur, selain bercerita kepada-Nya. Seringkali gue tiba-tiba berhenti nangis ketika sadar, bahwa gue gak seharusnya begini. Being totally like the most sad people in the world. Biasanya hal itu bisa lo dapet dari video-video renungan atau video yang isinya menceritakan kehidupan Palestinian yang sekarang banyak banget dipost di media manapun. Bahkan gue terkadang nontonin YouTube yang isinya inspirator-inspirator ternama, para influencers, diaspora dan para mualaf yang berasal dari berbagai negara, dan masih banyak hal lagi yang bisa kita jadiin semangat sekaligus renungan bahwasanya kita bukan satu-satunya orang yang diberi cobaan, dan bersyukurlah dengan kehidupan yang sedang dijalani.

Dan pada intinya, hidup itu memang benar penuh kebohongan. Dengan alasan sebaik apapun, kita tetap berbohong. Bohong pada hidup bahwa kita mampu, meski dalam hati seringkali ngeluh, "kenapa gue harus ngalamin ini?", "kenapa hidup itu gak adil?"
Berbohong juga pada orang-orang yang kita sayangi, bahwa kita baik-baik saja. Karena ada Alloh yang senantiasa menjaga kita.

Ingat bahwa Tuhan tidak akan memberi suatu ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya. Sama seperti ketika lo menghadapi UN atau tes masuk perguruan tinggi, mungkin lo akan merasa soal-soal itu sangat sulit dan gak ada jawaban yang bisa lo temuin. At least, itu bukan karena soalnya yang sulit. Tapi karena lo kurang belajar dan ngegampangin soal-soal sejenis sebelumnya. Sebenernya lo bisa ngisi semuanya, tapi lo sendiri yang mempersulit diri lo dan mengatakan pada dunia bahwa gue udah kerja keras, gue udah belajar, tapi emang susah ya mau gimana lagi! Padahal belum tentu lo udah semaksimal itu. Sama dengan hidup. Kalau Tuhan sudah memberi jalan, memberi sesuatu yang harus lo hadapi maka hadapilah. Lo harus yakin bahwa semua itu bisa lo lalui.

Dan yakinlah, di balik semua kebohongan yang lo berikan itu, sebenernya ada satu hal yang nggak pernah bisa kita bohongi. Satu hal besar yang keberadaannya justru bisa juga dirasakan oleh orang-orang. Satu hal itu adalah kebalikan dari rasa sedih itu sendiri. Meski lo gak bisa berkata dengan lantang bahwa lo sedang sedih, lo tetap bisa mengutarakan pada mereka bahwa lo sedang bahagia. Maka jangan bohongi mereka selamanya, jujurlah dengan kebahagiaan yang lo rasakan. Utamakanlah berbagi dengan mereka yang banyak lo bohongi. Termasuk rasa bahagia yang mengubah kebohongan lo itu menjadi hal baik.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Akhir-akhir ini, entah kenapa gue merasa hidup gue gak ada artinya. Gue semakin malas untuk melakukan sesuatu. Bahkan untuk belajar pun sama sekali gak ada semangat. Kadang suka berpikir, mana janji lo belakangan kemarin soal semester ini harus berjuang blablablaa? Dan sekarang lihat, gue malah semakin menjadi-jadi. Jadi sering bolos. Jadi sok sibuk sama himpunan yang akhir-akhir ini membuat gue merasa muak. Sorry to say that, tapi itu yang memang gue rasakan. Orang-orang yang gue temui kebanyakan tidak sejalan dengan prinsip gue. Memang, prinsip setiap manusia pastilah berbeda-beda, tapi ada sesuatu yang harusnya membuat kita sama ketika berbagi tentang pikiran-pikiran atau opini, dan gue tidak menemukan itu. Kalaupun ada, kita sama-sama tidak tahu apa yang mesti dilakukan agar tidak menjadi orang yang bisanya Cuma omong doang. Tapi gue tekankan, disini gue sama sekali gak bermaksud menjelek-jelekan himpunan gue. Gue hanya mengeluhkan sikap gue yang makin kesini merasa tidak bisa kooperatif karena alasan di atas. Yah, namanya hidup pasti ada masa-masa sedih dan senengnya, kan? 

Sebenernya gue adalah tipe orang yang cepat bosan. Gue cepat menyukai sesuatu, tapi bisa cepat juga merasa jenuh atas apa yang baru gue suka. Itu juga yang gue rasakan belakangan ini. Gue semakin merasa malas untuk bertemu dengan orang-orang, haha hihi sebagai tanda basa basi, dan semakin malas untuk berorganisasi. Gue sadar, selama ini gue terlalu dalam berkecimpung di ruang lingkup seperti itu, yang secara perlahan membuat semangat belajar gue hilang. Gue terlalu sering beropini tentang ini itu, tentang memanusiakan manusia, sok idealis dan seakan hidup gue hanya terarah untuk itu, sementara kemampuan bahasa gue gak bagus-bagus amat dan bahkan mungkin gak ada peningkatan yang signifikan. Lantas, gue harus lari kemana? Di saat belajar bahasa dan berorganisasi seakan sudah bukan menjadi passion gue.

Tapi kalau di antara kalian ada yang bilang ke gue dan mikir bahwa "gue kok bisa nyeimbangin antara akademik dan non-akademik?" , sementara gue sok-sok kerepotan, c'mon men, emangnya lo bisa nyamain diri lo sama gue? Sama orang lain di luar sana yang bermasalah dengan manajemen waktunya? Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kalau lo merasa pandai mengatur prioritas dan fine-fine aja sama kehidupan kampus lo, mungkin artinya itu memang kelebihan lo, tapi bukan berarti kelebihan gue juga. Ada orang yang emang ajaib ngatur waktunya, ada yang serba males-malesan alias berprinsip gak usahlah ngurusin ini itu prioritas blablabla, ada juga yang kadang bagus dalam hal memanage tapi cuma sesaat aja, selebihnya moody-an (dan gue termasuk kelompok yang ini). 

Setelah gue pikir-pikir, gue gak bisa seterusnya menjalani dua hal secara bersamaan. Gue inget dengan apa yang bokap gue pernah bilang, bahwa manusia itu tidak bisa secara bersamaan melakukan dua hal. Kalaupun ada, lihat dulu seperti apa konteksnya. Dulu gue selalu membantah ketika mendengar kalimat itu, karena pada dasarnya  gue memang merasa bisa melakukan hal-hal dalam waktu yang bersamaan. Tapi faktanya gue baru menyadari itu sekarang. Kalimat itu bisa dibilang kiasan. Karena kenyataannya, dalam hidup lo Cuma akan fokus pada satu hal. Contohnya adalah, kalau lo ingin menjadi seorang penyanyi, lo pasti akan fokus latihan dan menggeluti bidang itu. Sementara hal-hal lain di samping keinginan lo menjadi penyanyi itu bukanlah prioritas, dan pada akhirnya lo memang hanya akan fokus terhadap itu.

Gue sadar, kalau gue ingin mengembalikan mood gue dan menjalani hari-hari seperti sebelumnya, gue harus belajar untuk mengatur apa yang menjadi prioritas gue. Disini gue adalah seorang mahasiswa, yang gak Cuma punya tuntutan untuk beraspirasi tapi juga dituntut untuk belajar. Ketika orang lain bisa pulang pergi ke Jepang (gue lupa bilang kalau major gue Bahasa) dengan modal kecerdasan mereka tentang bahasa Jepang, gue disini bisa apa? Cuma bisa berkoar doang soal ini itu, kehidupan kampus, himpunan atau sumber daya mahasiswanya yang akhir-akhir ini gue pandang sebagai hal klise.

Intinya teman-teman, kita gak bisa memilih untuk hidup dengan dua hal bersamaan. Segimanapun lo suka terhadap beberapa hal, pasti ada yang persentasenya lebih besar di pandangan lo. Dan itulah yang secara tidak sadar menjadi fokus lo. Mungkin ada yang tidak setuju dengan pendapat ini, itu sih terserah. Gue hanya ingin membagikan pikiran gue tentang hidup yang mana yang sebenernya jadi prioritas. Apakah benar kita bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu? Pada hakikatnya kita hanya manusia yang diberikan keterbatasan. Tetapi di balik keterbatasan itulah Alloh memberi satu keistimewaan pada diri kita masing-masing yang membuat kita mampu berdiri dengan beda.

Adakah di antara kalian yang pernah atau sedang mengalami hal serupa?
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Terlalu Besar Untuk Gagal
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Just Listen
  • Bukan Salah Indonesia

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • The Phantom of the Opera: Di Balik Danau
  • Cuma Cerita
  • Priority Chat
  • Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Cuma Cerita #2
  • Kiamat Sudah Dekat
  • Spoonerism, Alasan di Balik Keselip Lidah
  • Bad For Good
  • 36 Questions Movie Tag

Blog Archive

  • ▼  2023 (1)
    • ▼  Februari 2023 (1)
      • Kejar Passion itu Omong Kosong
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (31)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (6)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

digital marketing Intermeso karir Krisis 1/4 Abad lifestyle Opini Perempuan Podcast Poetry Review slice of life Thoughts

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.