Akhir-akhir ini pertanyaan seputar
nikah muda lagi nangkring di kepala gue. Tapi bukan, bukan
pertanyaan tentang 'kapan gue nikah?' atau 'kapan gue bisa ketemu jodoh?'. Lebih jelasnya adalah
pertanyaan tentang kenapa anak muda sekarang seakan-akan lebih semangat buat
nikah ketimbang membangun masa depan yang lebih baik, supaya nantinya gak asal
nikahin anak orang dan punya anak, tapi selepas itu gak tau how to
parent a child.
Gue muslim, dan tahu betul bahwa
kita memang sudah ditakdirkan hidup berpasang-pasangan, bahwa menikah itu
sebagian dari ibadah, bahwa menikah itu dapat menjauhkan kita dari zina. Zina apapun itu termasuk mengenal lawan jenis tanpa adanya ikatan apapun yang
berujung pada dosa. Menikah juga bisa mempermudah jalannya rezeki, karena apa
yang kita lakukan, apa yang kita kerjakan insya Allah nggak cuma balik ke diri
kita sendiri, tapi juga untuk suami/istri, atau untuk anak-anak nantinya.
Bahkan memberi nafkah keluarga dalam islam itu sejatinya dihitung sebagai
sedekah yang utama. Namun seiring dengan itu, yang gue lihat, orang-orang
jadi malah menganggap bahwa pernikahan itu adalah sesuatu yang mudah. Sesuatu
yang gak perlu dipikirin dengan serius, karena toh tujuannya adalah untuk
mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.
Seperti yang mungkin kalian semua
tahu, sekarang rasanya banyak banget akun-akun dakwah yang menyiarkan tentang
nikah muda, dan seakan-akan cuma topik tentang itu yang bisa dibagikan. Hampir
di setiap akun keislaman yang gue temuin, semuanya pasti ada bahasan tentang
mengkampanyekan nikah muda. Sebetulnya gue sama sekali terbuka tentang topik
apapun itu yang memang isinya positif. Apalagi ini kan dakwah, mensyi'arkan
hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh kita sebagai muslim. Tapi apa yang gue
temukan justru berbanding terbalik dengan harapan gue. Jelas, yang namanya
kampanye pasti ada sesuatu yang perlu ditonjolkan dari 'gerakan' atau topik
yang bersangkutan. Nah, isu yang mereka angkat itu yang buat gue tidak habis
pikir.
Pertama, hampir semua topik seakan
ngejurungin anak muda untuk segera nikah dengan mengiming-imingi malam pertama,
dan justru menyinggung mereka yang masih pada jomblo. Kurang lebih kayak gini,
'masih mau ngejomblo? Gak mau malam pertama?', 'gimana nih malam pertamanya
yang udah nikah?', dan masih banyak lagi.
Tiga kata yang terlintas di pikiran
gue ketika membaca itu adalah, wth. Dipikir nikah itu cuma buat malam pertama? Jangan-jangan
ini orang kebanyakan nonton iklan, sampe ngomongin nikah aja bahasanya
marketing banget. Apa sih yang ada di pikiran kalian ketika ngomong gitu
wahay anak muda? Dan bisa kalian lihat tentang kata jomblo disana. Ini juga
yang bikin gue gak habis pikir. Salah satu tujuan nikah itu kan untuk
menghindari zina, bukan menghindari kejombloan. Apakah semua orang yang jomblo
itu berkemungkinan untuk melakukan zina? Apa kabar dengan orang-orang yang
sudah menikah, tapi punya hubungan lain di luar pernikahannya? Men,
zina itu akan selalu ada kalau kita gak bisa menahan diri dan menjaga keimanan
kita. Bahkan ketika lo sudah menikah, bukan tidak mungkin lo akan bertemu
dengan kemudhorotan lain yang berkaitan dengan zina. Gak akan ada
yang namanya pelakor kalau gak ada zina yang mesti kita hindari dalam
pernikahan.
Jadi, kenapa mesti menyinggung
mereka-mereka yang masih jomblo? Gimana kalau seandainya orang-orang yang
menjomblo ini justru sedang sibuk bermuhasabah, sibuk bekerja buat ngebahagian
orangtua/keluarga mereka, sibuk memperbaiki diri untuk bertemu dengan jodoh
yang lebih baik dari dirinya? We'll never know kalau kita
tidak pernah menyelami hidup masing-masing orang. Hanya Allah yang tahu apa isi
hati hamba-Nya, right?
Kedua, beberapa orang yang sudah
menikah seakan-akan menggoda mereka yang belum nikah dengan bikin perbandingan
antara gaya orang yang pacaran tapi belum halal, sama orang yang pacaran tapi
udah halal alias udah nikah. Okay, gue gak masalah dengan itu selagi
bahasanya nggak terkesan menyudutkan dan nggak terkesan seakan-akan cuma
lo yang paling benar. Ini juga menurut gue sah-sah aja kalau memang
perbandingan itu bisa jadi bahan renungan buat mereka yang masih terlena dengan
yang namanya pacaran untuk gak melakukan hal-hal yang jelas dilarang. Tapi
yang gue khawatirkan dari ini adalah tujuannya. Niatnya. Apa dia benar-benar
berusaha ngajak temennya ke jalan yang benar atau cuma pingin nunjukin betapa
indahnya kehidupan dia setelah nikah?
Well, gue berusaha untuk tidak suudzon, karena ini masalah
hati dan niat yang gak bisa gue telusuri. Gue hanya khawatir dengan iming-iming
bahwa kehidupan pacaran setelah halal itu akhirnya jadi mempengaruhi
orang-orang sebagai tujuan utama kenapa mereka decided untuk
nikah muda. Karena lagi-lagi gue bilang, nikah itu gak segampang itu cuy. Gue
takut apa yang mereka bagikan ke temen-temen atau followers-nya itu
justru jadi toxic, karena orientasi orang-orang yang mikir bahwa
nikah itu harus dengan kesiapan malah beralih jadi hanya terfokus pada
bagaimana enaknya kehidupan pacaran setelah nikah. Seakan-akan hidup itu milik
berdua, asal ada kamu aku bisa hidup, asal makan nasi sama garem aja jadi yang
penting ada kamu. Klise.
Nah, kalau yang ketiga ini gue
denger dari slentingan-slentingan bahwa alasan dari pentingnya untuk nikah muda
itu adalah karena kita sekarang sedang ada di penghujung jaman. Dunia ada di
masa-masa kritis. Sebagai umat muslim, gue tahu ini jadi semacam kekhawatiran.
Alhamdulillah kita jadi semakin berlomba-lomba untuk berbuat baik, berbagi
hal-hal positif dan memanfaatkan media sosial sebagai ajang dakwah. Cuma lucu
aja rasanya kalau karena alasan tersebut kita jadi berlomba-lomba untuk menikah
tapi tanpa tahu ilmunya. Tanpa benar-benar memahami makna dari penikahan itu
sendiri. Apalagi sampe ada yang bilang kayak gini, "bentar lagi dajjal
keluar, lo buruan gih nikah!"
Geez, merinding gue dengernya juga.
Sebenarnya masih ada beberapa hal
yang bikin gue gondok dan gak bisa berkata-kata. Kok segitunya banget sih
ngajak orang-orang buat nikah muda? I mean, menikah itu kan pilihan
setiap orang. Apa yang bagi sebagian orang baik dan indah, belum tentu demikian
bagi sebagian yang lainnya. Setiap orang udah ada bagian masing-masing dalam
hidupnya. Gue bicara kayak gini bukan tanpa alasan. Selama 19 tahun hidup di
dunia, ada banyak banget hal yang bikin gue belajar untuk berhati-hati dalam
melangkah. Termasuk dalam memandang pernikahan. Gue bukan lahir dari keluarga
yang harmonis dan utuh. Gue banyak mengamati kehidupan pernikahan sampai pada
detik ini, dan dari hasil observasi itu gue menyimpulkan bahwa nikah tidak
mudah seperti kelihatannya.
Ketika lo menikah, artinya lo sudah
siap dengan segala problema yang menanti di depan sana. Dari hal-hal kecil
sampe hal-hal yang besar sekalipun. Dari masalah financial sampe hal-hal yang
berkaitan dengan anak. Karena, again, nikah itu pada akhirnya bukan
hanya tentang aku dan kamu, bukan hanya tentang kita berdua, tapi tentang masa
depan. Komitmen. Bagaimana kita seharusnya bertindak sebagai suami atau istri.
Apa aja yang mesti dilakukan istri kepada suami dan sebaliknya. Ditambah
kenyataan bahwa menikah itu adalah menyatukan dua keluarga. Memiliki dua
orangtua yang mesti kita sayangi dan hormati. Jelas tanggung jawabnya lebih
besar.
Anyway, satu hal yang mesti gue lurusin disini adalah, gue tidak
sedang nge-blame mereka yang nge-share tentang nikah
muda atau bahkan mereka yang sudah menikah. Temen-temen gue juga banyak kok
yang udah nikah. Mereka sepantar dengan gue, dan gue justru salut sama mereka
karena untuk membayangkan ada dalam proses pernikahan sekarang aja gue nggak
bisa. Sementara temen-temen gue ini, mereka siap untuk memulai hidup dengan
orang lain, bahkan punya yang namanya keluarga baru.
Semua ini hanya keluhan dan tumpahan
dari kekesalan gue, seorang anak yang merasa bahwa pernikahan itu tidak bisa
dibandingkan cuma dengan pacaran versi halal. Karena ada banyak banget hal-hal
yang lebih besar dari sekadar gandengan berduaan tanpa takut dosa, atau sekadar
tidur ada yang nemenin. Beberapa hal yang gue sebutkan di atas itu cuma
sebagian dari 'bonus' yang bisa lo dapatkan hikmahnya ketika menikah.
Gue pikir kita gak cuma harus
bijaksana dalam bersikap, tapi juga harus bisa lebih bijak dalam berkata-kata,
apalagi di era digital dimana satu postingan dalam satu kali sentuhan jari lo
itu bisa menyebar dalam waktu yang singkat. Bahkan mungkin bisa mempengaruhi
orang-orang dalam waktu sepersekian detik. Apa yang kita sebarkan, apa yang
kita ucapkan itu tentu ada pertanggungjawabannya. Kalaupun temanya adalah
tentang mengajak kepada kebaikan, akan tetap jadi lain cerita kalau orang yang
baca atau orang yang nangkep ilmunya malah menjabarkannya dalam arti lain. Islam
itu indah. Harusnya kita bisa menyampaikan apa yang akan kita sampaikan dengan
cara yang elegan. Bukan dengan cara yang 'toxic'. Apalagi dengan embel-embel ayat Qur'an padahal apa yang
sedang dia sampaikan justru keluar dari konteks yang sesungguhnya.
Oiya satu lagi, fakta-fakta yang udah gue sebutin di atas itu ngingetin gue sama keadaan yang teramat mainstream di sekitar kita tentang pertanyaan yang muncul di saat seorang laki-laki dan perempuan sudah menginjak kepala dua, yaitu "kapan nikah?".
Gue pikir hal-hal tersebut gak ada bedanya sama pertanyaan klasik yang biasa dilontarkan oleh orang-orang itu. Bahkan sampe saat ini jujur gue tidak mengerti kenapa ada aja orang yang bikin standar tersendiri bahwa perempuan itu harus menikah ketika umurnya udah 23 tahun ke atas. Apakah ada dalil yang menentukan seseorang untuk menikah di usia tertentu? Please, jangan jadi manusia-manusia yang seneng ngasih tekanan tentang suatu hal yang sakral dan bukan hak kita. Karena dengan demikian, artinya kalian sedang menggadaikan kehidupan calon anak yang lahir akibat orangtuanya menikah atas paksaan dan tekanan. Na'udzubillah.