Tumbuh dan besar di sebuah kota kecil di Jawa Barat membuat gue banyak belajar tentang kehidupan. Benar-benar "kehidupan". Bertemu dengan orang-orangnya yang punya beragam kesulitan, mulai dari gaya hidup, keuangan, pendidikan, hubungan sosial, sampai persoalan berpikir. Gue merasakan betul berbagai ketimpangan antara mereka yang tinggal di pedesaan dan di perkotaan (specifically wilayah tempat gue tumbuh). Terkadang lucu membayangkan, orang-orang elite dan berpendidikan di perkotaan sana yang—mari kita garis bawahi—lupa dimana mereka berpijak, sibuk berkoar-koar bahwa "kita harus menstabilkan perekonomian bangsa!", "tidak boleh ada kesenjangan antara rakyat ekonomi ke bawah dengan menengah ke atas!", padahal mereka yang hidupnya serba terbatas mana peduli sama pidato-pidato kosong mereka? Yang orang-orang kecil tahu, mereka hanya harus cari uang setiap hari supaya bisa makan. Yang mereka pikir, mereka hanya harus berjuang untuk dirinya sendiri karena orang-orang di luar sana pun sibuk ngenyangin perut mereka sendiri, sibuk suap sana sini supaya bisa bekerja di tempat yang mereka mau, supaya bisa ada di tempat yang mereka incar.
Isu kesetaraan gender pun gak hanya sebatas gaji yang tidak sesuai antara laki-laki dan perempuan meski posisinya sama, juga tidak hanya soal pelecehan seksual, pemerkosaan, catcalling dan serangkaian kekerasan seksual lainnya, tapi lebih luas lagi. Banyak sekali pabrik-pabrik yang mempekerjakan wanita bahkan dengan jam kerja yang melebihi seharusnya, dan menyempitkan lapangan pekerjaan buat laki-laki. Sebagian bekerja atas kemauan sendiri, sebagian bekerja karena ada opresi bahwa dia harus mencukupi kebutuhan rumah tangga, atau kebutuhan keluarga, karena suaminya sebagai kepala keluarga tidak memiliki pekerjaan tetap alias serabutan, atau bahkan lebih parahnya nggak bekerja sama sekali. It really happens, dan gue tahu gak hanya terjadi pada satu atau dua orang. I saw it. I observed it, and i've heard of many.
Bukan hanya itu, persoalan nikah muda karena orangtua yang udah nggak sanggup buat ngasih makan anaknya dengan dilandasi pemikiran bahwa si anak sudah pantas mengurus suami/istri (padahal usianya masih sangat muda) pun menjadi sesuatu yang terlihat normal dan seakan memang diwajarkan secara nggak langsung. Padahal seharusnya pendidikan anak mereka lebih penting daripada sibuk ngurusi pesta pernikahan, ini dan itu, sementara dari segi kesiapan baik mentally and financially belum bisa disanggupi oleh mempelai pria. Lucunya, memiliki pernikahan dengan resepsi yang "ramai" dan "megah" adalah goals-nya, bukan masa depan pernikahannya. Mereka bahkan sepertinya gak sadar bahwa masalah patriarki dan RUU P-KS yang belum juga disahkan itu ada di negara ini. Iya, gue sadar betul bahwa beberapa hal yang gue sebutkan di atas adalah sesuatu yang sifatnya privat, ranah pribadi sebab menyangkut pilihan individu, bukan hak gue melarang siapapun, bahkan tetangga gue tersebut untuk menikahkan anaknya. Pada akhirnya mereka tetap menikah dan punya kehidupan masing-masing, dan gue pun mengerjakan segala urusan gue sendiri. Hanya saja, gue menyayangkan suatu kondisi dimana banyak sekali orang-orang yang bertindak bukan karena mereka telah paham, tapi karena tindakan itu sudah dilakukan oleh orang banyak dan menjadi terlihat normal, seperti perkara menikah muda tadi.
Belum lagi saat melihat banyak sekali berita-berita di ranah pendidikan tentang guru honorer di pedalaman sana, seperti berita seorang ibu di Flores.
Beliau hanya digaji kurang lebih sebesar Rp. 200.000 per bulannya, itupun seringkali nunggak, bahkan pernah tertunda sampai delapan bulan. Sekalinya gaji turun, yang dibayarkan hanya tiga bulan pertama. Padahal beban beliau dalam mengemban tugas, apalagi di daerah pedalaman tentu gak ringan, tanggungjawab sama besarnya dengan guru-guru di luar sana, mendidik anak-anak di desanya yang semata-mata untuk memenuhi sebagian Undang-Undang 1945, yakni mencerdaskan anak bangsa. Apalagi dengan situasi pandemi yang mengharuskan sekolah ditutup, nggak sedikit guru-guru yang terpaksa menyambangi rumah beberapa anak didiknya untuk mengajar sebab murid mereka tak punya fasilitas yang dibutuhkan untuk belajar daring.
Baca Juga: Terlalu Besar Untuk Gagal
See, ini hanya sekian persen dari kenyataan yang terjadi. Berapa banyak berita semacam ini yang harus gue temui selama pandemi—yang seperti baru menguap tampak di permukaan?
"Gak ada gunanya kamu berkoar-koar disini."
"Kalau mau mengkritik pemerintah bukan disini tempatnya."
Gue menulis ini memang bukan untuk tujuan politis, apalagi ingin agar pemerintah melirik tulisan ini (hmm mana sempat mereka baca blog abal-abal, iyaa mana sempat), oleh sebab itu mungkin memang gak ada gunanya. I just want to share my thoughts. Toh gue percaya selama ini sudah banyak sekali media, aksi, tulisan dari asosiasi atau instansi tertentu yang bergerak di bidang sosial yang menyuarakan dan mewakili masyarakat, namun pada kenyataannya pun gak banyak didengar, kan? Sekarang mengkritik pemerintah bukan dimana-mana tempatnya sebab pemerintahan kita sendiri sudah anti-kritik. Ada influencer sindir aparat negara soal kasus penyiraman air keras Novel Baswedan langsung diserang buzzer, dituduh narkoba. Ada juga wartawan yang aktif dengan kritik tajamnya di media sosial malah diserang hacker, difitnah atas masalah pencemaran nama baik sampai diancam kena UU ITE. Apa itu bukan mengarah fasis namanya?
Belum beberapa lama ini gue juga dibuat jengkel dengan berita Gilang pelaku pelecehan seksual fetish kain jarik yang kemungkinan hanya dikenai ancaman pelanggaran UU ITE pasal 27 ayat 4 dan pasal 29 tentang pengancaman atas tindakannya, sementara yang merujuk pada KUHP sendiri hanya pada pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan. Perbuatan tidak menyenangkan lho ya, yang mana tidak sesuai dengan laporan korban yang sejak awal sudah menekankan bahwa kasus ini adalah pelecehan seksual, yang jika bisa diusut dengan UU Penghapusan Kekerasan Seksual seharusnya dapat lebih lugas, plus dapat lebih adil dalam mengayomi korban baik memberi perlindungan secara psikis atau fisik. Pihak kepolisian bilang bukti-bukti yang diberikan kurang kuat untuk bisa menjebloskan tersangka dengan pasal-pasal asusila yang ada di KUHP, sebab banyak ambiguitas di dalamnya. Huft. Bahkan mereka sendiri sebagai aparatur negara berharap agar pemerintah segera mendiskusikan kelanjutan nasib RUU P-KS agar ada payung hukum jelas mengenai isu ini.
Karena hal itu pula, gue semakin jengkel dengan kenyataan bahwa RUU P-KS tampaknya masih dianggap main-main oleh segelintir penguasa. Beberapa dari beliau-beliau ini sering berkomentar bahwa isi dari RUU P-KS terkesan ambigu dan cenderung mengarahkan hukum menjadi lebih liberal dengan konsep LGBT atau legalisasi prostitusi dan aborsi yang secara implisit tertulis. Iya iya, gue mengerti. Tapi mbok ya kalau memang ambigu kan didiskusikan gitu lho harusnya ya? Bukan cuma diperdebatkan ambigu atau nggaknya, bahkan dilempar sana sini. Seharusnya perlu ada pembahasan lebih lanjut yang substansial untuk mencari solusi dari permasalahan yang ada, bukan cuma ribut memperebutkan siapa yang mengusulkan ini dan itu (seriously, beberapa fraksi awalnya rebutan mau jadi pengusung RUU ini, mungkin kalau nanti goal biar nama partainya bisa ikut naik kali yaa auk ah).
Seringkali gue sedih dan gak jarang bisa langsung sakit kepala hanya dengan melihat segala macam kerumitan yang ada di negara ini, bahkan jika hanya lewat berita sekalipun. Lebih parah lagi, kalau dalam sehari ada lebih dari enam berita yang gue baca, gue bisa menangis saking sedihnya. Gak jarang merasa menyesal juga, "kenapa sih gue harus dilahirkan di negara yang budayanya santuy, malas dan korup?" Kenapa gue harus tinggal di negara yang sama sekali nggak pro-rakyat? Kenapa gue harus tinggal dengan pemandangan berita-berita bodoh para penguasa? Kenapa gue harus menyaksikan betapa terinjak-injaknya mereka yang ada di bawah? Kenapa gue merasa iri dengan negara lain yang bisa mensejahterakan rakyatnya? Kenapa gue harus merasa aneh dengan negara sendiri sebab orang yang warasnya nggak kelihatan? Kenapa gue harus ditampakan wajah-wajah lugu calon generasi di masa depan yang harus hidup di jalanan dan mengais untuk makan? Kenapa juga gue harus tinggal di negara yang mana orang-orangnya bebal dan egois, dan terlihat seperti saat pandemi? Kenapa gue harus hidup di tengah-tengah pengguna media sosial yang bahkan gak tau caranya menginform diri mereka dengan segala pengetahuan yang seharusnya mereka lahap sebelum berbicara? Kenapa gue harus bertemu dengan orang-orang yang bahkan gak tau caranya berperilaku dengan baik dan tau caranya memanusiakan manusia? Kenapa gue harus mendengar ada wakil rakyat yang sibuk berkoar menjunjung pancasila tapi bahkan kelima sila-nya aja nggak mereka penuhi? Kenapa gue harus tinggal di Indonesia? Kenapa?
Berbagai hal yang gue temui dari sejak kecil sampai saat ini telah membentuk diri gue yang sekarang, yang sedikit-sedikit merasa gerah tinggal di Indonesia, dan yang sedikit-sedikit mempertanyakan kenapa sih orang-orang bebal itu nggak bisa hidup selayaknya manusia normal? Sehingga nggak jarang gue menyalahkan Indonesia karena menjadi negara yang nggak cukup nyaman untuk gue tinggali, terkhusus secara mental. Ditambah adanya segala pressure yang membuat timpang salah satu gender. Iya, dengan segala kerumitan ini, hidup menjadi perempuan bukan sesuatu yang mudah sebab masyarakat kita masih begitu kental budaya patriarkinya.
Lalu bertemu dengan nepotisme lah, korup dimana-mana lah, hukum yang patut dipertanyakan lah, suara-suara rakyat yang nggak didengar lah, pemerintah yang selalu sibuk membuat RUU baru dengan dalih memberi solusi padahal sebagian isi Undang-Undangnya menekan rakyat menengah ke bawah lah. Jujur gue jadi kasihan sama pejabat-pejabat pemerintah yang masih punya hati namun tergeser tempatnya sama mereka yang punya kepentingan pribadi untuk bertengger di kursi tinggi sana. Gue malah melihat sekarang rakyat semakin nggak punya pegangan dan tempat yang bisa dituju untuk menyuarakan apa yang menjadi keresahan kami. Wong wakil rakyat aja nggak punya, mau mengadu ke siapa lagi kalau bukan Yang Di Atas?
Beberapa bulan gue pun melepas diri dari media sosial yang selama ini cenderung menjadi penyumbang nomor satu atas kesedihan dan kegelisahan gue. Paling sesekali gue buka twitter untuk cari tahu isu apa yang lagi hangat. Kayaknya tiap hari tuh ada aja kasus aneh yang trending, dan lagi-lagi membuat gue geleng-geleng kepala. Akhirnya berbaur dengan alam menjadi salah satu obat untuk gue beristirahat sejenak.
Sebetulnya, gue bersyukur sekali bisa hidup di sebuah negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Apalagi gue sendiri memang tinggal di sebuah kota yang bisa dibilang masih asri dibandingkan ibukota. Dalam proses perenungan ini, gue juga prihatin melihat alam kita yang semakin kesini semakin tidak asri, semakin kotor dan sepertinya jauh sekali dibandingkan saat dulu sebelum banyak infrastruktur berdiri. Sampah dimana-mana, banyak pohon yang ditebang untuk kebutuhan komoditas dan lahan-lahannya yang dibangun untuk perhotelan, gedung-gedung tinggi, dll.
Setelah gue pikir-pikir, ternyata semua ini bukan salah Indonesia. Bukan salah Indonesia kalau negara ini isinya hanya orang-orang yang bebal, santuy dan korup. Bukan salah Indonesia kalau rakyatnya nggak bisa sejahtera dan terbelenggu dalam kemiskinan struktural bahkan kultural. Bukan salah Indonesia kalau hukum yang berlaku di negara ini tajam ke bawah. Bukan salah Indonesia kalau berita yang muncul selalu tentang kebodohan para penguasa. Bukan salah Indonesia kalau nepotisme ada dimana-mana. Bukan salah Indonesia kalau alamnya menjadi rusak dan hewan-hewan langka semakin punah, bahkan yang nggak langka pun menjadi langka sebab banyak perburuan liar. Bukan salah Indonesia kalau rakyatnya gak tau cara menginform diri dengan benar meski dimudahkan dengan gadget dan internet. Bukan salah Indonesia kalau keadilan sosial yang bahkan ada dalam pancasila gak berlaku di negara ini. Bukan salah Indonesia kalau masih banyak anak-anak yang terlantar meninggalkan bangku sekolah. Bukan salah Indonesia kalau orang yang waras nggak kelihatan, simply karena orang yang waras nggak akan mau membuang waktu dan tenaganya dengan berkomentar buruk dan melakukan tindakan yang gak ada gunanya juga, also simply karena mereka terlalu sibuk untuk bergulat memenuhi tanggungjawab. Bukan salah Indonesia kalau negara ini masih patriarkis dan belum cukup aman untuk ditinggali. Ini semua bukan salah Indonesia. Indonesia, ibu pertiwi ini hanya korban dari bobroknya perlakuan manusia-manusia yang berkacak pinggang di atas kepentingan mereka.
Salah siapa kalau negara ini tidak cukup mensejahterakan rakyatnya? Salah mereka yang dibutakan mata dan hatinya untuk bisa berlaku sebaik-baiknya manusia. Salah mereka yang hidupnya dimakan oleh egoisme sendiri. Salah mereka yang nggak berusaha mengisi otak dengan segala pengetahuan dan haus akan banyak hal. Salah mereka yang nggak pakai hati di balik isi kepala yang dianggapnya sudah banyak itu. Salah mereka yang lupa bahwa diri mereka adalah seorang hamba, yang tak ubahnya hanyalah penghuni di dunia yang fana, yang diberi mandat oleh Tuhan untuk berbuat sebaik-baiknya ciptaan.