Rasanya Jadi Tuhan

by - April 07, 2021



 
Pernahkah kau berpikir, bagaimana rasanya jadi Tuhan?

Tidak, aku sedang tidak mengajakmu berandai-andai kemudian melampaui batas dari apa yang keyakinanmu ajarkan. Ini hanya, metafora. Pertanyaan yang memang tak perlu jawabannya. Tapi kurasa, perlu kutuliskan disini.

Sebab menurutku, manusia adalah makhluk paling kompleks, yang hanya tak diberi mandat untuk menjaga ketertiban alam semesta, tapi juga untuk menjalani kehidupan sebaik-baiknya, dengan segala macam bentuk perasaan yang sepertinya tak pernah berhenti menggerogoti manusia itu sendiri.

Bagaimana ya rasanya jadi Tuhan?

Dia yang melihat gerak gerik kita setiap hari, dia yang menjadi sutradara, sekaligus penulis cerita yang terlihat seperti tak pernah ada episode akhirnya, untuk hidup kita dan makhluk lainnya di muka bumi, yang mungkin sebetulnya bagi kita tak berarti apa-apa. Dia bak nakhoda yang tak akan pernah berhenti berlayar, membawa kami dalam lautan-Nya yang luas untuk mempelajari tentang laut, bumi, dan dasar-dasarnya, hingga cara survive di dalam kapal yang tak ada pintunya, sampai waktunya tepat untuk berlabuh. Tapi, tentu, Tuhan lebih Agung dari apa yang bisa tergapai oleh nalar kita.

Bagaimana ya rasanya jadi Tuhan?

Menyaksikan makhluk-makhluk ciptaannya yang berakal dan berperasaan ini, mengarungi hidup dengan cerita yang beragam. Dari hidup anak tak berdosa, sampai hidup seseorang yang bejad dan kejinya tak masuk akal bagi pikiran kita. Aku penasaran.. sebab, kau tahulah.. Bagi manusia dangkal seperti kita, saat menjumpai seseorang yang kita cintai sepenuh hati, memiliki kelemahan atau pemikiran-pemikiran yang tak selamanya bisa sejalan dengan apa yang menurutmu benar. Kau pasti kecewa, bukan?

Sementara, bagaimana dengan Tuhan yang harus menyaksikan tingkah-tingkah hamba-Nya yang melampaui batas ini setiap detiknya? Melihat kita yang selalu berpaling dari-Nya saat tengah berlimang kenikmatan, melihat manusia-manusia yang berkhianat dan mempersekutukan-Nya, melihat manusia-manusia tak bersyukur yang bahkan tak meletakan Sang Pencipta di hatinya.

Dalam kondisi-kondisi dimana manusia terlihat menjadi makhluk yang paling hina dan dibenci, di sisi lain.. Dia akan tetap menjadi Dzat yang penuh kasih sayang dan menuntun kita dengan plot rancangan-Nya, untuk kemudian belajar memperbaiki diri dan mengenal diri dengan sebenar-benarnya.

Sedang aku..

Kenapa aku harus selalu sedih dan kecewa saat menemui manusia-manusia yang menurutku tak dapat sejalan dengan pemikiranku? Kenapa aku harus selalu marah saat mengetahui akan fakta bahwa manusia adalah makhluk dengan segudang pemikiran yang berbeda dan isi hati yang sulit ditelusuri, adalah kenyataan yang paling menyakitkan? Kenapa aku harus kecewa saat menyadari bahwa kita memang tak bisa sama?

Ya, aku memang bukan bandingan untuk Tuhan. Seperti yang kubilang di awal, ini hanya metafora. Dan poinku bukan ingin disamakan dengan Tuhan.

Justru itu.. kalau kupikirkan, sudah berapa banyak seharusnya Tuhan kecewa dengan tingkah manusia-Nya yang melampaui batas ini? Sudah berapa kali seharusnya Tuhan lebih berhak marah atas keputusan-keputusan hamba-Nya yang menyimpang? Namun Dia tak pernah benar-benar lepas tangan atas kenakalan kita, sebab rasa cinta-Nya yang lebih luas dari planet manapun.

Sedang aku, menemui satu atau dua sesama manusia saja.. yang kompleksnya bukan main, rasa sudah tak karuan. Mengaku cinta, sayang, tapi banyak kekurangan yang kadangkala tak bisa kuterima saat mengetahui kenyataannya. Apa hakku berbuat demikian? Toh Tuhan saja Maha Memaafkan. Dia tak pernah lari sekalipun, jika harus kembali menuntun hamba-Nya untuk yang ke 100.000 kalinya.

Aku sadar itu. Bahwa pada akhirnya, masing-masing dari kita hanyalah persinggahan satu sama lain. Sebab kita sama-sama manusia, yang tak akan bisa sempurna. Selalu punya titik kelemahan, dan titik itu.. yang seringkali tak bisa kita terima, bukan hak kita untuk tak menerima. Bukan hak kita untuk mengatur.

Disinilah aku.. melepas pemikiran-pemikiran idealisku tentang manusia yang hidupnya penuh persimpangan. Karena sudah bukan ranahku lagi untuk memaksakan ini. Maksudku, aku bukan Tuhan yang bisa selalu mencintai dan menerima hamba-Nya yang ingin kembali, dalam kondisi apapun. 

Yah, siapa aku? 

Karena aku tak pernah tahu, dan tak akan bisa tahu, rasanya jadi Tuhan. 

You May Also Like

7 komentar

  1. Kontennya agak deep ya, menurut saya. Keren, merinding.

    BalasHapus
  2. yah membayangkan menjadi Tuhan pun aku merasa tak pantas kak, manusia belum bisa adil dalam melihat manusia lainnya..

    BalasHapus
  3. Entah harus bilang wow keren atau wow pusiaaanng...:-D

    Hemm.. pertanyaannya, kecewa, marah, itu adalah perasaan manusia dan istilah yang disebut manusia. Apakah Tuhan punya rasa itu? Apakah Tuhan memakai istilah buatan manusia?

    Paradoks juga jadinya ... antara tidak bisa (mau) dibandingkan dengan Tuhan, tetapi mempersonifikasi Tuhan seakan tahu bahwa Tuhan pasti kecewa dan marah terhadap tingkah laku umatnya? Benarkah begitu? Kok bisa tahu? Tahunya dari mana? Bagaimana manusia bisa tahu perasaan Tuhan? Padahal manusia itu makhluk ciptaan Tuhan? Apakah ada kemampuan manusia untuk mengetahui rasa yang dirasakan penciptanya?

    Pertanyaan akhir dari saya adalah "Apakah Awl (kita-manusia) wakil dari Tuhan yang bisa memastikan kekecewaan dan kemarahannya?" "Apakah kita memang punya hak mengklaim bahwa Tuhan punya semua rasa itu?"

    Nah, biar tambah pusing dah.. hahahaha...

    Kalau saya lebih suka berpikir, pembahasan tentang Tuhan bukanlah wilayah saya. Otak di kepala saya untuk memecahkan masalah sehari hari saja sudah sering ngebul, apalagi membahas pencipta saya.

    Saya lebih suka melepaskan hal itu dari kepala dan menjalani kehidupan saya di bumi yang dianugerahkan Tuhan kepada saya.

    BalasHapus
  4. Eh, ini kok seru ya?

    Podcast sembari ada text di blog.

    tapi kelam banget :'(

    BalasHapus
  5. aku nggak kepikiran gimana rasanya jadi Tuhan,, Tuhan mengatasi segitu banyak umatnya, umatnya diberikan cobaan, umatnya diberikan akal pikiran untuk berpikir ketika menghadapi masalah.
    nggak ngebayangin juga gimana kecewanya Tuhan melihat umatnya bertindak nggak sesuai sama ajaran-Nya

    BalasHapus
  6. terlalu dalam, sampai bingung juga buat komentar

    dari pada mikirin, gimana rasanya menjadi Tuhan, kayak nya gue lebih mikir, apa sebenarnya tujuan kita ini para manusia diciptakan.

    BalasHapus