Become a Fighter

by - November 16, 2020

 
Fighting Our Own Battles

Seharian ini (Sabtu, 7 November) waktu gue lebih banyak digunakan untuk nontonin video-video Daniel Mananta di yucub, yang mewawancarai teman-teman artisnya untuk bercerita perihal spiritual journey mereka—yang entah kenapa salah satu cuplikan videonya bisa muncul di timeline gue.

Pada awalnya, gue pikir kehidupan para artis tuh enak, sekali kerja honornya bisa puluhan juta (ratusan malah), walaupun nggak menutup kemungkinan juga mereka tetap merasakan kesulitan dalam mengontrol keuangan—karena di balik income yang besar pasti ada outcome yang juga besar, apalagi kalau outcome-nya berhubungan dengan gaya hidup mevvah. Gue juga seringkali skeptis dengan mereka-mereka yang memanfaatkan hidupnya sebagai konten di platform digital manapun. Kasarnya, nih orang udah pada kaya apalagi sih yang dicari, jangan semua diembat napa😒 . Hanya karena gue merasa konten-konten ini nggak informatif dan cuma 'showing off' kekayaan mereka yang gak ada habisnya.

Long story short, setelah mendengar beberapa cerita soal life journey mereka, gue seperti kembali disadarkan bahwa setiap orang sesungguhnya punya ceritanya masing-masing, punya caranya masing-masing dalam menjalani hidup. Though kalau pada akhirnya mereka memang menjadikan separuh hidupnya sebagai konten—yang ujung-ujungnya menghasilkan uang, itu hak mereka (also privilege that give them such influence). Kita nggak pernah tau apa yang terjadi off camera, cause basicly we are fighting our own battles. Hanya karena gue nggak seberuntung mereka, bukan berarti gue bisa dengan mudah menghakimi, dan menilai mereka berdasarkan apa yang selama ini ditampilkan oleh media.

Artis-artis yang kita kenal di layar kaca selama ini memulai karirnya di sana, di dunia broadcasting tentu dengan perjuangan yang bermacam-macam. Start point mereka sebetulnya sama dengan kita, misalnya, yang memulai karir di bidang digital marketing, rumah makan, toko elektronik, bisnis tekstil, makanan semisal kue-kue lapis, bahkan sampai pakaian di online shop, etc. Bedanya, kalau mereka sukses, mereka bisa dikenal orang satu negara. Sementara kita, ya nggak akan ada yang mau tau dan peduli juga.

But that's my point, man. Even seorang artis yang selama ini kita lihat di televisi aja, ketika sudah memasuki ranah privasi, mereka masih punya cerita tersendiri yang nggak akan pernah kita ketahui kecuali diri mereka sendiri dan Tuhan. Mereka masih harus berjuang untuk hidup selayaknya manusia biasa, sama seperti kita, yang Dia beri ujian untuk bisa 'naik level' menjadi manusia seutuhnya. Hanya saja kadarnya pun pasti beda-beda.

Ini juga salah satu yang mempengaruhi proses pendewasaan gue akhir-akhir ini. Rasa iri dan ketakutan akan tidak bisa menyamai pencapaian orang lagi-lagi menjadi tembok penghalang yang cukup tinggi untuk gue bisa berjalan melewati rintangan yang ada. Seperti yang pernah gue mention di tulisan Berteman Dengan Kegagalan ini, bahwa gue terlalu fokus dengan apa yang orang lain bisa dan orang lain kerjakan, instead of berbenah diri dan evaluasi pekerjaan gue sendiri.

Akhirnya, gue jadi melupakan esensi hidup itu sendiri. Gue lupa bahwa each of us are a fighter in our livesKita melawan pergulatan, pertempuran yang sama yang hanya dialami masing-masing diri. Kenapa gue peduli amat sama 'permainan' orang lain? Padahal jelas-jelas gue punya arena bermain gue sendiri?

Sama kayak Atta Halilintar (yang dalam beberapa tahun terakhir konten prank-nya sering bikin gue sebal), dia juga punya perjalanan yang panjang dan berliku untuk bisa ada di jajaran Top YouTuber di Indonesia. Meski kontennya banyak yang 'apaan sih' buat gue, pada akhirnya dia tetap menemui penggemarnya. Videonya tetap ada yang nonton, tetap bisa menghasilkan duit. Kalau memang gue nggak suka dengan channel-nya, it's become my problem, artinya memang bukan gue target audiensnya. Toh nggak suka dengan kontennya bukan berarti gue nggak bisa respect dengan kreatornya. Karena lagi-lagi, he's fighting his own battle to stay productive in order to earn more money in this industry, and that's the reality. Kenyataannya memang masing-masing kategori (di platform apapun) punya sasaran dan punya penontonnya masing-masing, dan suka nggak suka ini juga yang terjadi di dunia pertelevisian Indonesia. Kita nggak bisa mengelak bahwa nggak semua orang punya idealisme yang tinggi untuk bisa menghasilkan sesuatu, apalagi kalau tujuannya semata-mata untuk kebaikan bersama. Jangan berharap tinggi, deh. Toh semua orang sedang berjuang dengan urusannya masing-masing kok, demi keuntungan masing-masing juga.

Karena ini gue jadi lebih belajar untuk jangan terlalu memusingkan apa yang terjadi di sekitar kita, apalagi yang memang sifatnya berkaitan dengan individu, privasi—apapun itu, seperti apa yang orang lain sedang kerjakan dan pencapaian apa yang mereka punya. Mau itu teman gue kek, tetangga gue kek, bahkan artis yang gue lihat di TV. Karena kita nggak bisa memaksa orang lain untuk sama hidup dan jalan pikirannya dengan kita.

Kadang gue suka berpikir, kenapa ya orang-orang zaman sekarang seneng banget ngeributin privilege orang lain dan menganggap bahwa perbedaan starting point itu sebagai masalah buat mereka?

Gue tau, kita memang nggak bisa deny bahwa ada orang-orang yang dari lahir udah kaya dan pasti kaya kalau mereka hanya berusaha sedikit lebih keras—since kesuksesan seringkali diukur dengan kekayaan. Kita pun nggak bisa mengelak bahwa realitas sosial yang hadir di tengah-tengah kita terkait si kaya dan si miskin, kemiskinan struktural dan kultural, serta privilege yang nggak dimiliki semua orang ini bisa jadi masalah yang sangat berarti untuk bisa memotivasi setiap individu bergerak di jalurnya. Itulah kenapa konsep-konsep tentang tatanan kehidupan sosial semacam inipun ada ilmunya. Tapi kita juga nggak bisa selamanya terjebak dalam pola pikir seperti itu. Apalagi sampe jadi pembahasan terus.

Malu nggak sih membayangkan, mereka yang 'punya privilege' tadi sedang bekerja keras memajukan usahanya, menelurkan pundi-pundi uang, sementara kita yang nggak ber-privilege ini cuma sibuk mengeluh karena nggak punya privilege yang sama? Ya gimana kita bisa nyusul mereka kalau gitu? Jadi, siapa yang menghambat kesuksesan diri kita sebetulnya? Privilege orang lain, atau rasa malas dalam diri?

Berada di garis start yang berbeda nggak membuat kita berakhir di garis finish yang berbeda pula. Kita semua akan berakhir sama, mati, di tanah yang sama. Nggak peduli apakah kuburannya mewah atau cuma ditandai dengan nisan kayu. Kita mati di dalam kubur nggak punya apa-apa, dan nggak akan bawa apa-apa selain amal ibadah dan perbuatan.

RANS Entertainment bisa punya pesawat pribadi dan boyong keluarga sama sahabat-sahabatnya liburan kesana sini, karena memang itu adalah hasil jerih payahnya, rezekinya. Raffi Ahmad bisa muncul di semua stasiun TV sekarang ini juga berkat kerja kerasnya yang  udah wara wiri di dunia entertainment dari usia yang sangat muda, even lebih muda dari usia gue sekarang. Agnezmo, bisa jadi penyanyi internasional sekarang karena ada banyak sekali peluh keringat yang dia keluarin untuk meraih impiannya dari sejak kecil. Terus Jessica Tanoe, yang kemarin sempet dinyinyirin karena mengisi seminar motivasi sukses di usia muda, kenyataannya memang dia sukses di usia muda—berkat privilege tadi, ya mau gimana lagi? Kita juga nggak bisa menyalahkan privilege yang mereka punya. Kalau lo masih juga mencari-cari alasan bahwa Agnezmo pun udah kaya dari kecil (misalnya), hidup mereka tetap milik mereka. Kenapa sih bahasan privilege menjadi sepenting itu dan seolah bisa dijadikan senjata atas kemalasan yang mengakar dalam diri? 

"Lho emang iya kok, dia bisa maju juga berkat orangtuanya, warisannya. Privilege does work, men!"

No, privilege doesn't always work for every privileged human being, dude. Ada usaha ya ada hasil. Rumusnya tetap begitu. Gue rasa teman-teman juga pernah denger setidaknya sekali seumur hidup, bahwa ada pula anak-anak ber-privilege di luar sana yang harus berjuang untuk keluar dari stigma atau embel-embel yang melekat dalam dirinya karena sering dianggap sukses berkat tangan-tangan orangtuanya yang sudah 'kaya'. In the end, mereka juga ingin kesuksesannya dilihat sebagai hasil keringatnya, jerih payahnya, bukan semata-mata hasil bantuan orangtuanya yang terpandang. Mungkin aja, kan, itu juga yang dirasakan Jessica Tanoe sebagai anak dari salah satu orang terkaya di Indonesia. Mungkin.

Walaupun sebetulnya gue setuju bahwa acara seminar motivasi harus bisa merepresentasikan realita yang sebenarnya, tapi soal hidup orang lain alangkah baiknya nggak usah kita komentari dan kita campuri. Toh setiap di antara kita udah punya takdir masing-masing. Tinggal kerja keras, dan percayakan sisanya sama kekuatan Yang Maha. Kalau nggak dapet bahagia di dunia, masih ada kehidupan yang lebih kekal nanti, kok. Inget aja itu.

Gue jadi mikir lagi, terkadang ya, yang menjadikan hidup ini seperti perlombaan itu justru manusianya sendiri. Apa-apa membandingkan diri dengan orang lain. Apa-apa merasa harus disandingkan dengan orang lain. Mau sengsara atau bahagia, rasanya kita harus look up ke orang lain. Padahal, berlomba dengan diri sendiri sudah lebih dari berat, seperti melawan segala hawa negatif dalam diri untuk berperilaku dengan baik selayaknya manusia. Masa mau capek-capekin diri sendiri membuat arena baru dengan orang lain yang bahkan gak punya waktu untuk membandingkan hidupnya dengan kita?

Sama, gue bukan dari keluarga yang biasa orang-orang anggap ber-privilege, kok. Nih dompet juga banyak kosongnya daripada penuhnya. Gue pun kadang suka sedih, "kenapa yak hidup gue gini-gini amat?". Tapi serius, deh, nggak akan ada habisnya kalau kita selalu memperhitungkan hak-hak istimewa mana yang nggak kita miliki. 

See, melihat segala sesuatu dengan lebih jelas dan terbuka betul-betul bisa bikin kita lebih tenang dan legowo dalam menjalani kehidupan. Sebab sejatinya kita memang hanya perlu sibuk dengan diri sendiri, berkaca pada diri sendiri, memperbaiki diri, mengevaluasi diri, kerja keras dengan diri sendiri, supaya bisa jadi versi terbaik dalam hidup kita pribadi. Remember these words; life is an ocean of experiences, some are good, some are bad. But the one surviving those experiences is the real hero, the real fighter! 

Jadi, jangan membandingkan diri sendiri dengan orang lain sampe ke tetek bengeknya (yang mana berlaku untuk diri gue). Jangan pula menyepelekan hidup orang lain seenaknya, seolah-olah hanya diri sendiri yang menderita. Sebab kita semua lah pejuang yang sebenarnya atas hidup kita.

You May Also Like

24 komentar

  1. Aku juga dulu mikir gitu soal artis-artis TV yang berkonten di Youtube. Kenapa sih dengan segala fame dan harta yang dipunya, mereka nggak bisa memberikan konten yang lebih berfaedah. Tapi yaa kemungkinan besar, mereka memenuhi audiens yang membutuhkan itu 😂 apalah aku kan nyinyirin mereka wkwkwk

    Harus aku akui memang privilege itu memudahkan segalanya, khususnya kalau bicara dalam hal uang yaa. Tapi makin ke sini, aku percaya kita bisa menciptakan privilege kita sendiri untuk generasi berikutnya kalau kita mau berusaha dan stop membandingkan hidup dengan orang lain. Ini sih ngomongnya gampang yak, tapi nyatanya susah memang hidup di era sosmed hahahaha 😂 cuma aku belajar terus untuk fokus menjalani tujuan hidupku sendiri, biarlah orang lain yang mengurus hidup mereka masing-masing.

    Thanks Awl for writing this! Keep fighting!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Asal kita nggak mengikuti jalan yang sama kalau memang kontennya dirasa unfaedah ya mbak Jane😂 karena akupun jujur capek ughaa kalau cuma misuh-misuh aja wkwkw, toh masing-masing udh punya pasarnya. Walaupun kadang jiwa nyinyir gak ilang2 *eh*😆

      Iya betul banget mbak, makanya orang-orang semakin kesini juga semakin sadar meski uang tidak bisa membeli kebahagiaan, pada realitanya tetap banyak kebahagiaan yg bisa didapatkan dengan uang😂. Meski inipun balik lagi ke masing-masing prinsip setiap orang, apa makna kebahagiaan buat mereka.
      Hahahaha gampang bukan main memang mbaak kalau sekadar ngomong ya, tapi beginilah sulitnya melawan diri sendiri. Sudah tau, sudah sadar, tapi praktiknya itu yg perlu dikuatin terus😂

      Sama-sama mbak Jane, semoga kita terus dikuatkan dalam menjalani hidup dan menciptakan privilege kita ya mbak😍 Aamiin🤧

      Hapus
  2. Nice writing, Awl! Pagi-pagi udah diberi motivasi untuk menjalani hari menjadi lebih baik. Thank you so much, Awl 💕

    Aku sepakat dengan pernyataan kamu tentang privilege doesn't always work for every privilege human. Banyak orang yang karena terlena dengan privilege yang ia punya sampai tidak mengembangkannya dengan benar, hasilnya jadi terpuruk. Banyak orang yang dari bawah, tidak punya privilege apapun namun bisa mengembangkan apa yang ia punya, kemudian bisa berhasil. Nggak 100% apa yang dinamakan privilege bisa membuat orang ongkang-ongkang kaki seumur hidupnya. Ini yang banyak orang nggak sadar dan selalu melihat luarnya saja. Ujung-ujungnya semua butuh kerja keras untuk berkembang dan mempertahankan 😊

    Biarpun, tetap aja, aku iri sama Rafathar yang saat ingin es krim, kemudian dibawain Mama Gigi es krim se-lemari pendinginnya yang seperti ada di Indomaret 😤. Kalau kayak gini, siapa yang nggak iri? 🤪

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wkwkwkwk udah kayak kuliah motivasi Awl Teguh ya kak Li🤣 Btw makasi juga kak!😘

      Nah iyaa, itu dia maksudku, kita itu kadang terlalu dikotak-kotakan oleh istilah tertentu yang disematkan kepada orang lain. Akhir-akhir ini kata privilege terkesan jadi sesuatu yg wah banget, sampai-sampai dianggapnya kita gak akan berhasil kalau nggak punya privilege itu. Meski memang kenyataannya orang-orang berprivilege terlihat jauh di depan, tapi kan memang esensi hidup itu ya masing-masing setiap orang punya. Jangan melulu membandingkan diri, sebab gak ada habisnya, kecuali kita berusaha dan fokus dengan kehidupan kita pribadi🤧

      Huahahaha Sultan Andara mah emang bedaa, untung aku nggak terlalu suka makan es krim sering-sering jadi nggak terlalu mupeng liatnya😆 Tapi semoga suatu saat kakak bisa punya lemari pendingin yg besar juga khusus es krim ya kak Li, Aamiin😂

      Hapus
  3. I feel you Awl, kadang kakak juga pernah terlintas pikiran semacam ini. Hahaha. Tapi cepet sadar, semua ada porsinya. Dulu, pas skripsian sering banget bandingin diri sama temen yang lain, kenapa orang jalannya lancar amat ya, hahaha. Sampai akhirnya dia yang aku bilang jalannya gampang curhat, bahwa dia merasa bersyukur cepat kelar karena bapaknya udah di putus kontrak dan gapunya uang lebih lagi buat bayar spp semester depan kalau dia nggak kelar semester ini. Di hati itu rasanya lansung JLEB, sekarang kakak percaya aja nggak ada yang namanya terlalu cepat terlalu lambat, kita hanya berada pada 'waktu' kita masing-masing.

    Baca tulisan Awl yang ini, kakak berasa baca diary sendiri Awl, hahahha. Semangat terus Awl, you stronger than you know. ❤❤

    BalasHapus
    Balasan
    1. Namanya lika liku hidup bener-bener gak bisa lepas dari rumput tetangga ya kak😂 kadang cepat sadar, kadang tenggelam di dalamnya sampai lupa diri, hikss.

      Yaampun ini ceritanya persis banget sama apa yg beberapa bulan ke belakang ini aku rasain kak Soviii😫 Sering banget menyesal karena telat jauh di belakang daripada orang lain, tapi entah kenapa adaaa aja peristiwa-peristiwa yg menyadarkan aku, bahwa ketika aku merasa terbelakang sekalipun, sebetulnya masih ada orang lain di belakang aku yg juga sedang berjuang dengan cara mereka. Artinya kita hidup semua beriringan, di jalan yg sama, hanya memang beda speed and that's okay, no need to worry dan overthinking dengan masa depan🤧 ah, kan, jadi curhat deh huhuhu😫 Semoga aku bisa konsisten selalu dengan progressku, sebab sikit sikit lama jadi bukit. Harus percaya💪🏻

      Thank you so much ya, kak Sovi! Semangat terus!🤗💕

      Hapus
  4. Kadang juga aku suka mikir gitu, enak ya hidupnya artis, banyak uang, makan enak, jalan-jalan mulu kerjanya, tapi ya terus cpt sadar juga sih, bahwa semua yang mereka dapet pasti ada prosesnya. Jatuh bangun yang dirasa nggak membuat mereka patah semangat. Coba kalo kita orang biasa ini, seringnya ngeluh nggak jelas, seakan-akan menderitaaaa aja, wkwk..

    Ngelihat mereka sebagai semangat untuk bisa jadiin hidup kita lebih baik memang nggak ada salahnya, tapi bukan berarti kita harus jadi seperti mereka. Yang bisa buat kita berubah ya diri kita sendiri, berkaca dari diri sendiri aja berat, apalagi berkaca dari orang lain, hindari membanding-bandingkan diri dengan orang lain, setuju nih sama kamu, hihi..

    Semangat buat kita Awl !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hola kak Rizkyyy!🤗 Lama juga ya nggak bersua, hihi.

      Setuju banget kaakk! Merasa termotivasi atas hidup orang lain yg berada jauh di atas kita nggak berarti kita harus menjadi mereka. Kadang orang suka salah kaprah, pengen kayak si anu, si itu, tapi taunya apa yg terlihat sekarang aja. Padahal belum tentu kalau melalui jalan yg sama, kita akan bisa ada di puncak yg sama dengan mereka. Biar bagaimanapun harus tetap realistis dan melakukan sebaik-baiknya usaha dengan diri sendiri. Kuncinya ada pada diri sendiri ya kak huhu🤧

      Siapp semangat kitaahh💕💪🏻

      Hapus
  5. Wuiiih bagus banget tulisannya, Awl. Sukaaaa hehehe as usual, tulisan Awl selalu menarik untuk dibaca 😍

    By the way, kita nggak bisa berharap semua orang bersikap idealis untuk apa yang mereka kerjakan. Karena di dalam konsep hidup ini, kenyataannya being realistis is more important than idealis especially kalau kita mau survive yah. Ini pula pesan dari ortu kakak dulu, "Kamu boleh idealis, tapi nanti setelah realistis, alias lihat hidup yang kamu punya dulu." 😆

    Nah, proses realistis tiap orang agar bisa survive itu beda-beda. Ada yang mungkin harus buat konten prank aneh aneh macam Atta, ada pula yang seperti Raffi dan Agnes Monica. Setiap individu punya caranya terlepas mereka berprivilege atau nggak. Tapi bukan kewajiban kita untuk hakimi cara mereka survive jalani hidup di dunia, karena kita nggak tau beban apa yang ada di pundak mereka.

    Dan kakak setuju sama Awl, jangan sampai persoalan privilege menjadi alasan kita untuk malas, hanya karena kita nggak seprivilege orang-orang yang Awl sebut di atas, jangan sampai kita jadi malas. Yang ada kita semakin jauh tertinggal saat mereka semua yang terlihat berprivilege ternyata kerja pagi siang malam 🤣

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maacih banyak kak Eno! Hihi😘

      Pesan ortu kakak ini rasanya pernah aku dengar dulu, cuma lupa entah dari siapa😖 Di dalam hidup ini kalau idealis gak dibarengi dengan sikap realistis rasanya jadi hambar ya kak, sebab idealisme itu seringkali hanya terletak pada visi, bukan misi. Salah satu misinya ya menjadi realistis ini, dan tentu konsisten dalam berusaha🤧

      Mungkin karena namanya hidup berdampingan kali ya, kadang mulut kita suka usiiiil aja komenin hidup orang lain yg dirasa hidupnya nggak sejalan dengan kita, misal konten prank Atta itu, atau konten-kontennya Raffi Ahmad, padahal gak perlu dibawa ribet deh, dikritisi boleh, tapi sisanya cukup fokus dengan diri sendiri aja, dan kerja keras semampunya😬 *ngedumel ke diri sendiri ceritanya kak Eno😆*

      Ngomong-ngomong kalau udah ngebahas gini rasanya slogan kerja kerja kerja jadi cocok banget😂

      Hapus
  6. Sebetulnya mengkritisi sebuah konten yang dianggap tidak bermutu, ya boleh-boleh saja. Toh, kita berada di negara bebas berpendapat. Tapi kalau sudah sampai ngotot pengen kontennya disetop dengan cara memaki-maki, tetap salah juga. Kalau memang si orang yang katanya hobi bikin kontroversi kekeuh dengan caranya cari cuan, mau gimana lagi. Justru kita, yang resah dengan hal itu harus buat privillage sendiri dengan konten yang dianggap bisa lebih baik. Kalau cuma kritik tanpa mau mengubahnya oleh diri sendiri, percuma aja.

    Soal privillage saya juga setuju. Privillage tidak selamanya bisa menguntungkan. Banyak kok kisah-kisah artis Hollywood yang punya seabreg keuntungan buat bisa jauh lebih terkenal, tapi pada akhirnya malah berujung miskin sampe bangkrut.

    Dahlah, kepanjangan. Hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mas Nandar, dan sebetulnya menurut sayapun penting banget untuk kita punya kesadaran itu, supaya kita bisa memilah-milah mana konten yang dirasa lebih banyak memberi dampak positif, dan mana yg sekadar hiburan. Kalau saya pribadi, udah sampai di tahap (mau nggak mau) nggak peduli, alias ingin berbenah diri saja. Sejalan dengan yang mas Nandar bilang, kalau kita sudah resah dengan konten-konten demikian, ya kita buat yg lebih baik lagi, yang memang sesuai dengan visi misi kita😁

      Oh iya, soal Hollywood ini juga saya jadi teringat sama kisah-kisah beberapa penyanyi di negeri Paman Sam sana, yang meski dari luar terlihat enak, tapi sebenarnya hidupnya gak sebebas itu karena banyak diatur management bahkan keluarga sendiri yg memanfaatkannya untuk keuntungan semata. Rasanya jadi ingin terus-terusan bersyukur, kita yg nggak setenar dan sesukses mereka, setidaknya masih punya kendali atas diri sendiri🤧.

      Hapus
  7. from the beginning to the end of the sentences, persis seperti pandanganku selama ini, makanya aku ga pernah komen soal kehidupan orang lain karena betapapun kita ga suka atau suka, itu tetap hidup orang lain dan ga ada hubungannya sama hidup kita sendiri, tapi kalo ingin terpengaruh dari hidup orang, ambil esensi yg baik-baiknya aja seperti kerja kerasnya, semangat pantang menyerahnya.

    Dan alhamdulillah untukku yang ga pernah mau dipusingin sama orang lain apalagi yg sejauh artis, hidupku lebih ringan untuk dijalani, lebih fokus untuk menjadi lebih baik dari diriku yang kemarin.

    tapi kadang, suka terpengaruh kalo sama temen yg dulunya starting poin dan kondisinya sama tapi misalnya hari ini dia lagi menikmati liburan di Bali sambil kerja. Tapi aku disini aja.
    Tapi mantranya selalu kuucapkan di akhir hari, untuk mengingatkan bahwa setiap manusia punya cerita hidupnya sendiri-sendiri dengan timing sendiri-sendiri.
    bahkan, definisi sukses setiap orang itu bisa beda-beda, maka cara berbahagiapun akan beda-beda, dan menyamakan adalah kesalahan besar.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali kak Ady, hidup kerasanya jadi lebih ringan dan enteng ketika kita hanya fokus dengan diri sendiri. Walaupun masalah pasti tetep ada, hanya saja dalam menjalaninya kita bisa lebih penuh kesadaran dan pendewasaan, gak lantas mengeluh kenapa hidupnya nggak kayak si A si B si C, sebab memang nggak akan ada habisnya🤧 Kadang dengan nggak ngurusin hidup orang lain aja masalah sendiri udh terlampau sulit dan runyam, kok ya ditambah-tambahin sama look up ke orang lain.

      "setiap orang punya ceritanya sendiri", dan selalu ada yg lebih terpuruk dari kita.. Itu juga salah satu obat penguatku kak Ady di kala lagi stress banget, atau di saat lagi sedih meratapi hidup. Biasanya setelah menyadari itu, hati kita setidaknya bisa kembali tenang. Kuncinya cukup sabar, sabar dan usaha aja:') Karena yess, menyamakan definisi bahagia dan sukses kita dengan orang lain adalah kesalahan besar😧

      Hapus
  8. Setuju banget... semua itu balik ke diri kita masing masing. Mau berjuang atau tidak. Terkadang manusia hanya melihat orang lain ketika org lain tersebut sudah berada di puncak suksesnya. Padahal, perjuangan dan jatuh bangun nya gak kita lihat. Mungkin ketika kita tau berat perjuangannya, bisa jdi kita gak sanggup.

    Thank you kak Awl sharingnyaa. Inspiring!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak Annisa, sebuah PR besar buat kita agar nggak selalu mendamba-dambakan hidup orang lain yg sudah berada di puncak, seolah-olah nggak ada kerja keras di baliknya. Bahkan bagi orang-orang yg punya privilege sekalipun saya yakin ada usaha juga yg mengiringi mereka. Lebih baik kita fokus dengan kehidupan sendiri dan kalau mau tinggal ikuti cara-cara orang tersebut untuk sukses supaya sedikit banyaknya kecipratan ilmu dan motivasinya😇

      Sama-sama mbak Nisaa, hihi🤗

      Hapus
  9. Ada banyak anak artis yang ingin terlepas dari bayang-bayang nama besar orangtuanya. Seperti cuplikan video yang barusan saya tonton, Marlo Ernesto, saya dilu taunya dia cuma artis IG yang tenar pada masa Indovidgram lagi jaya-jayanya bareng Chandra Liow, Bena Kribo, dan Aulion. Belakangan baru saya tau dia anak dari Andy Noya. Salah satu kalimat yang ada dalam video, ia menegaskan bahwa ia tidak seperti bayangan dikepala orang-orang tentang anak pembawa acara Kick Andy yang kaya. Ia memutuskan untuk keluar dari rumah untuk mencari jalannya sendiri dalam tanda kutip ingin mandiri seperti kebanyakan remaja.

    Tapi poin saya, kita memang tidak bisa mengukur setiap orang. Terserah barometernya apa. Mau itu anak artis atau tidak, semua berbeda dan punya struggle masing-masing

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya baru cari tau tadi ternyata Marlo punya acara juga di Metro TV ya? Marlo Morco the Loco Brothers. Sejujurnya saya malah baru tau dari Rahul tentang sosok Marlo ini, soalnya dulu pengetahuan saya tentang content creator sedikit banget, dari nama di atas saya hanya familiar sama Chandra Liow dan Bena Kribo. Maklum anaknya gak ngikutin banget indovidgram😂 Tapi bahkan saya nggak tau sebelumnya kalau ternyata Andi Noya punya seorang anak yg juga aktif membuat konten di platform digital. Pasti berat buat anak-anak seperti dia yang harus dibayang-bayangi sosok orangtua yang sudah lebih dulu dikenal orang.
      Dan ya betul, terlepas dari anak artis atau bukannya, di antara kita semua pasti ada yg harus mengalami hal serupa, sebab itulah hidup, masing-masing sudah punya jalannya.

      Hapus
  10. We're not stand in the same shoes, aku masih percaya kalau pada akhirnya semua orang bisa kok berada di titik yang sama. Suatu misal ingin sampai di pencapaian Awkarin, bisa, tapi jalannya belum tentu sama dengan Awkarin. Serta waktu yang dibutuhkan pun nggak akan sama. Privilege does work, tapi karna non privilege never get expose in a good way, it cause this kind of jealousy in this society.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yepp, exactly mbak Rere. Mau sama seperti orang yang kita adore, misalnya, gak mesti proses yang dilalui harus bisa exact sama
      seperti mereka. Bahkan bisa jadi dari proses yg kita jalani, kita lebih sukses dari orang tersebut, atau sedikit di bawah orang tersebut—tapi inipun bukan berarti kita harus banding-bandingan. Sebetulnya work atau tidaknya privilege itu memang harus melihat ke dua sisi, sih, mbak menurutku🤧 Untuk orang-orang yg berprivilege ini, seperti yg saya bilang di atas, mungkin bagi mereka nggak semua privilege bisa works kalau nggak betul-betul dimanfaatkan dengan baik, either untuk kepentingan pribadi atau kemaslahatan individu lain. Tapi di lain sisi, bagi yg nggak punya privilege tersebut, pasti akan berpikir privilege selalu berlaku bagi setiap manusia berprivilege mau apapun kondisinya, so do i (karena beberapa waktu lalu saya masih berpikir seperti ini juga😅). Akhirnya perspektif tersebutlah yg membangun kecemburuan sosial, dan menunjukan jelas tatanan sosial yg ada antara "si kaya dan si miskin". Padahal kita nggak bisa menilai segala sesuatunya dari luar:')

      Hapus
  11. Aku duluu sempat kepikiran jg. Mau jadi artis, hidup enak, sekali tampil honornya bisa jutaan rupiah. Sebulan bisa jadi ratusan juta rupiah.
    Tapi, kek nya ga cocok sama kehidupanku. aku orang yg tak suka tampil di tempat umum, belum lagi.. kalo artis mah hidupnya pasti "dibuntutin" media terus. Privasi hilang, pasti itu ga nyaman buat sebagian orang...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang betul setiap org diciptakan dengan karakteristik yg berbeda-beda ya kak Dodo🤧. Bagi kita kelihatannya gampang kerja di tv, dilihat jutaan orang di seantero wilayah, dibuntutin awak media, tapi yg didambakan ya yg bagian enaknya aja, padahal nggak semua org bisa juga melakukan itu semua.

      Berarti kak Dodo cocoknya bekerja di balik layar aja, kalau bukan artisnya, berarti produser program tv nya, hehehehhee. #Aamiin😬

      Hapus
  12. Aku bersyukuur banget diingetin kayak gini sama Awl. Di dunia yang serba maya dan apa-apa cuma bisa kita lihat di media sosial, banyak orang kerap mendamba-dambakan hidup enak seperti artis di media sosial tersebut. Padahal ada yang nggak keliatan, yaitu perjuangan hidup mereka.

    Aku yakin, walaupun orang itu punya privilege, pasti ada aja tantangannya, because life will never flat. Nggak hanya orang-orang entertainment yang sekarang lagi terpandang aja, bahkan mungkin anak-anaknya orang kaya udah punya struggle sama kehidupannya yang "sepi" karena orang tuanya sibuk, atau nggak boleh kemana-mana, dan alasan lainnya. Kita nggak akan pernah tau dan nggak akan pernah paham, karena emang Tuhan udah memeta-metakan permasalahan hidup hambanya sesuai dengan mental hambanya juga. Dia yang lebih tau kan, yang pantas dapat ini siapa, itu siapa? Kadang kitanya aja yang selalu overthinking, kok dia dapet gue ngga😂

    Seperti biasa, tulisan kamu itu penuh dengan pemikiran-pemikiran yang baru dan membangun. Aku sukaa!😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul kak, perjuangan banget untuk stay sane dengan nggak mendamba-dambakan hidup orang lain sampai segitunya, padahal semua itu cuma apa yg ditampakan di media sosial. Kebanyakan dari kita pasti pernah mikir, kok si anu enak hidupnya jalan-jalan terus, gak ada sedihnya, padahal diri sendiri pun nggak pernah mengekspose ke social media saat lg sedih, gelisah, putus asa dan depresi. Sebenarnya mereka sama, punya masalah, punya kesulitan, hanya saja nggak dishare ke followersnya yg notabene udh berjuta-juta itu🤧

      Aku suka banget dengan kata-kata ini, "Tuhan sudah memeta-metakan permasalahan hidup hambanya sesuai dengan mental hambanya juga.." Jadi teringat dengan statement pak Sujiwo Tejo waktu diwawancara. Kalau nggak salah, katanya, jika kita takut nggak bisa hidup, takut nggak bisa sukses, atau takut miskin (kurang lebih begini karena kulupa😂), itu artinya kita sedang menghina Tuhan. Jleb banget dengernyaa, huhu😫 Sebab betul bahwasanya hidup kita udh ada yg ngatur, udah ada yg lebih tau berapa saja bagian kita. Kalau mau mendapat lebih, ya tinggal usaha lebih, setelah itu baru berserah. Toh Tuhan nggak akan mengubah suatu kaum atau hambanya, kalau dia
      nggak mengubah dirinya sendiri, in this case mengubah nasib.

      Makasi banyak kak Ibel! Hehe, terima kasih juga atas sharingnya yg insightful😍

      Hapus