Manusia Kaleng

by - Maret 13, 2020

perilaku manusia-manusia di abad ini


Bulan ketiga, tahun 2020. Kerusuhan, kebodohan dan kekacauan dimana-mana. Penyakit, ketidakadilan, segala bentuk kekerasan yang semakin masif hadir di tengah-tengah kita membuat gue bungkam seribu bahasa. Berada di akhir zaman membuat gue semakin takut. Bukannya enggan untuk beropini, tapi situasi dunia yang runyam ini perlahan membuat gue berpikir bahwa kayaknya manusia semakin nggak terkontrol perilakunya. Seiring dengan banyaknya pergerakan-pergerakan yang menuntut keadilan dan kebaikan terhadap sesama umat manusia, kejahatan-kejahatan yang seringkali ditutup rapat pun ikut meluap nggak terbendung. Hasilnya, mata kita disuguhkan dengan kenyataan bahwa lagi-lagi orang dungu dan tolol di sekitar kita itu jumlahnya tidak kalah masif dengan orang-orang yang menginginkan perubahan,  menginginkan pergerakan untuk didengar.

Realita itu membuat gue pada akhirnya fokus mengamati. Kok begini amat ya manusia? Ego mereka seakan sudah merasuk sampai ke daging, demi melakukan kepentingan pribadi yang dianggap penting. Demi memuaskan hawa nafsu, meski yang dikorbankan adalah nyawa bernasib pilu. Begini, mungkin dari kita gak sadar, hampir seluruh manusia yang ada di sekitar kita, including us, seakan sudah lupa apa makna hidup di dunia. Bukan lagi tenteram dan damai yang dikejar, tapi materi, kepuasan diri, sampai atensi orang lain. Kalau dulu membunuh adalah tindakan yang masih bisa dihindari beritanya karena orang-orang mungkin masih sedikit waras, sekarang nggak. Bunuh-membunuh selalu jadi headline. Dan parahnya, bukan hanya fisik yang dibunuh, tapi pemikiran, demokrasi, kebebasan berpendapat, dan idealisme. Agama udah bukan lagi jadi tiang. Asal perut kenyang, ego senang, negara aman, tenang. 

Bukan salah negara ini memang, bukan juga salah dunia, kalau kita mengingat betapa banyak moralitas manusia-manusia di luar negeri sana yang gak kalah sadisnya dibanding negara kita. Seperti yang sudah jelas-jelas tercantum dalam Al-Qur'an, manusia sejatinya adalah perusak di muka bumi.  Maka sudah jelas ini semua salah siapa. Salah kita yang bodoh, yang gak menggunakan akal sebagaimana mestinya, yang gak tahu apa tujuan hidup di bumi. Negara kita cuma korban, dari bobroknya kapitalis, penguasa-penguasa, dan orang-orang t*l*l yang gak punya setitik pun niat untuk hidup dengan baik. Our world as well, is the victim of all the victim.

Coba kita lirik sebentar berita yang masih baru-baru ini, in case you still don't get what i'm saying. Media dunia belum lama ini dihebohkan dengan berita tentang muslim di India yang dipersekusi, didiskriminasi, dan diserang oleh masyarakat yang tadinya dianggap kawan, dan oleh pemerintah mereka sendiri. Rumah-rumah di bakar, dihancurin, sampai gak terhitung berapa banyak korban jiwa, termasuk lansia dan balita. Di Jerman, para ekstrimis dan rasisme yang dibawa dari golongan sayap kanan yang anti-imigran dan anti-muslim sekarang semakin menyebar dan berkembang kebenciannya, hal itu dibuktikan dengan kasus penembakan di Hanau yang menewaskan kurang lebih sepuluh imigran. Sementara itu di London, seorang imam masjid di Regents Park Mosque ditikam oleh orang berkulit putih saat sedang sholat Ashar. Di saat yang sama, seorang pengungsi Syria di Amerika ditembak sesaat sebelum dia berangkat untuk sholat jum'at and fyi, refugee ini berhasil melarikan diri dari Syria ketika perang, berharap untuk bisa melanjutkan hidupnya dengan normal but he tragically ended up getting murdered there. Lalu berita virus corona yang dengan ditulisnya postingan ini belum juga hilang wabahnya.

Di Indonesia sendiri, gue rasa kalian udah bisa mengira apa aja yang terjadi di negara kita. Sepertinya segala bentuk egoisme manusia numplek jadi satu disini. Kasus-kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, entah itu dilakukan oleh orang random atau saudara kandung sendiri! Pembunuhan tanpa pandang iba, begal dimana-mana, pendidikan yang gak setara, yang pandang bulu dan juga timpang implikasinya antara desa dan perkotaan—dan entah sampai kapan gue bisa berhenti sedih kalau menyadari banyak anak-anak yang bahkan gak tau untuk apa mereka sekolah. Duka yang tanpa perasaan dieksploitasi oleh media, demi rating, demi views. Pemerintahan yang cacat, yang gak pro-rakyat, dan orang-orang yang gak berusaha mengisi otak mereka dengan berbagai informasi bermutu, yet appreciating jokes too much. Apalagi kaum-kaum yang berpikiran sempit, gak bisa mencari sisi positif dari ideologi yang mereka anggap berseberangan. Padahal berseberangan bukan berarti salah, bukan berarti sesat, hence mereka cuma bisa bergumul dengan pemikiran yang sama juga dan gak bisa menerima perbedaan.


Tapi di antara semua itu, lo tau gak sih? Ada yang paling bikin gue sebel dan ini sering banget. Satu hal yang bikin gue makin gedek sama Indonesia adalah media-medianya. Media di Indonesia tuh sering banget lebay dan naruh clickbait yang sama sekali gak ada hubungan sama isi berita yang ditulis *lagi-lagi trik sih memang. Ditambah kontennya sama sekali gak bikin gue merasa acknowledge. Berita artis yang begini lah, begitu lah, berita pemerintahan yang kadang kurang informatif lah. Contoh aja ya, kalau ada berita pemerkosaan, yang dikupas tuntas bukan tentang proses kasus itu berlangsung, tapi privasi korban, hubungan korban dan pelaku, etc, yang menurut gue gak bagus untuk membuka informasi seorang korban yang privat ke ruang publik. Belum lagi program televisi yang seneng banget ngasih suguhan acara gosip dan sinetron kaleng. Perlu gue akui kayaknya acara televisi kita makin kesini makin gak kreatif. Bisanya cuma ngambil berita-berita yang lagi hot dan ngetrend di medsos atau yutub. Gue berasa nonton yutub versi layar gede sih.

OK, gue tau gue bilang kayak gitu karena gue gak kerja di stasiun TV. Gue tau betapa berat perjuangan mereka untuk bisa mengikuti perkembangan jaman dengan membawa apa yang jadi isu terkini di internet, tapi bukan berarti gak ada cara lain untuk membuat tontonan kita lebih bermutu.  Toh gue gak menyalahkan pekerjanya, tapi kapitalisme yang bersembunyi di balik ide-ide cemerlang para produser atau bos-bosnya TV. Gue percaya kok di antara mereka masih banyak  sekali orang kreatif dan inovatif tapi tertahan oleh rating. 

Gue hanya bingung setiap kali ada orang TV yang jawab bahwa mereka mengikuti konsumsi masyarakat ketika ditanya kenapa programnya begini begitu blablabla. TV yang berkedudukan sebagai ruang publik dan milik publik, gak semestinya selalu ngikutin pasar, malahan harus bisa ngendaliin pasar, dong. Kalau pasar bagus seleranya, kalau nggak, terbukti kan sekarang gimana tampilan program TV Indonesia?

Melihat watak orang Indonesia yang apa-apa perlu "diatur" dan "ditertibkan", seharusnya penting bagi media untuk menggeser tontonan dan program-programnya ke jalur yang benar, yang lebih baik seleranya, yang sesuai dengan undang-undang. Toh kalau semua channel bersinergi bikin tontonan yang  lebih berbobot dan bernilai, mau gak mau akan tetap dilahap sama masyarakat. Coba deh, lo mending dikasih asupan empat sehat lima sempurna tapi sehat, atau dikasih jengkol lima kilo sampe asem urat? Untuk mencapai sesuatu yang lebih baik, memang kita harus dihadapkan dengan sesuatu yang lebih pahit. Tapi kalau untuk kebaikan, masa sih gak ada hasil yang setimpal?

Sebagai tambahan, gue cantumkan beberapa  pasal dari Undang-undang No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran.

(1) Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.

(2) Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-kurangnya enam puluh per seratus mata acara yang berasal dari dalam negeri.

(3) Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.

(4) Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.

(5) Isi siaran dilarang :
a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau
c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.

(6) Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.

Gimana? Apa menurut kalian penyiaran kita masih berpegang pada undang-undang? Sebagian mungkin iya, tapi gue sih ragu. Wong TV publik kita udah gak netral juga kan preferensi politiknya. Hm. Mungkin tayangan televisi yang selama ini ada sudah lolos KPI dan itu artinya memenuhi undah-undang yang berlaku, tapi somehow gue justru merasa bahwa semua yang ada sekarang ini terkesan dipaksakan untuk sesuai dibandingkan sesuai secara murni.

Kesimpulan dari tulisan ini, manusia jaman sekarang udah gak punya akal. Even now animal more human than human themselves. Apapun dilakukan demi ego diri sendiri. Demi rating, demi views, demi preferensi politik yang dielu-elu tapi nyatanya nihil hasil, demi menguntungkan golongan tertentu. Banyak demi yang terbuang sia-sia, cuma untuk kepuasan semata. Sepertinya kita lupa, manusia bukan cuma seonggok daging yang bisa berjalan di muka bumi. Kita punya misi, punya tujuan, salah satunya ya untuk bumi juga, untuk jadi bermanfaat buat sesama.

You May Also Like

5 komentar

  1. prok prok, pemimpin adalah gambaran atau cerminan dari masyrakat itu sendiri, begitupun tontonan tv ai. jadi, siapa yg salah? penonton atau pihak hak siar tv? jadi, konsumsi standar masyarakat kita baru sampe segitu. Jangan naif, pihak hak siar tv ujung-ujungnya pasti views dan rating juga jadi, ga spenuhnya salah dari pihak hak siar tv si. Artinya, tontonan yg kita anggap kaleng-kaleng ini masih laku di pasaran Indonesia. Dan, itulah kualitas penonton kita ai.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hmm iya sih, maybe i'm too naive wanna better spectacle for the public:(

      Hapus
  2. prok prok, pemimpin adalah gambaran atau cerminan dari masyrakat itu sendiri, begitupun tontonan tv ai. jadi, siapa yg salah? penonton atau pihak hak siar tv? jadi, konsumsi standar masyarakat kita baru sampe segitu. Jangan naif, pihak hak siar tv ujung-ujungnya pasti views dan rating juga jadi, ga spenuhnya salah dari pihak hak siar tv si. Artinya, tontonan yg kita anggap kaleng-kaleng ini masih laku di pasaran Indonesia. Dan, itulah kualitas penonton kita ai.

    BalasHapus