Menjadi Individu

by - September 03, 2019

Fenomena ghibah dan menjadi individu


Sejak kecil gue termasuk anak yang super pemalu, gak mau kenal orang dan sangat pilih-pilih mana kiranya orang yang cocok sama gue dan bisa dijadiin temen. Beranjak remaja, karena merasa pertemanan gue kurang luas dan gitu-gitu aja, gue akhirnya decided untuk aktif di organisasi. Semua aspek dalam kepribadian gue yang kuper gue ubah abis-abisan waktu SMA, yang tadinya mungkin gue cuma jago ngomong di depan kelas pas pelajaran, gue coba beraniin diri untuk ngomong di depan orang-orang yang literally baru gue kenal dan bukan temen sekelas gue. Alhasil meluaslah lingkar pertemanan gue saat itu. Gue punya cukup banyak temen hampir dari semua kelas. Dari anak IPA sampe IPS, dan sejak saat itu gue yakin sama diri sendiri bahwa gue senang bersosialisasi. Menurut gue, seru aja gitu rasanya bisa kenal orang dan nambah temen dari latar yang berbeda-beda. Gue pikir semua orang menyenangkan kalau kita bisa kenal dan deket sama mereka. Tapi untuk beberapa alasan, semua perspektif itu agaknya terpatahkan ketika gue beranjak dewasa. Ketika gue meninggalkan keluguan anak SMA yang mungkin emang udah hobinya memperbanyak teman.

Semakin kesini gue semakin kembali ke wujud asli gue. Awl yang males basa basi sama orang, males dengan keramaian, males dengerin celotehan orang lain yang nyeritain temennya sendiri, dan Awl yang berakhir di kamar, nyaman dengan dunianya sendiri. Gue pikir orang-orang akan selalu menyenangkan, tapi ternyata nggak when it comes to discuss people, when it comes to interfere their problems, when it comes to prevent them to be what they wanna be. 

Gue pernah bilang sebelumnya di postingan yang satu ini, bahwa alasan kenapa hidup kita seperti dituntut untuk sama seperti kacamata orang lain adalah, karena udah menjadi tabiat manusia untuk punya indera ketujuh dengan mengkotak-kotakan tindakan manusia lain yang gak sejalan dengan pandangannya. It really is.

Gue beberapa kali punya pengalaman gak asik ketika lagi kumpul atau diem di suatu tempat, dimana ada aja sekumpulan orang yang ngomongin kejelekan orang lain, padahal objek yang diomongin adalah temennya sendiri. Layaknya udah jadi kegiatan wajib, si bahan obrolan ini seenaknya aja dicap sesuai dengan apa yang mereka lihat, entah doi anaknya pemalas, gasuka gawe, suka ngerokok, banyak gaya, dsb. Seakan-akan orang yang diomongin itu bener-bener salah dan gak patut untuk ditemenin. Hal ini membuktikan bahwa orang bisa dengan mudahnya memberi penilaian kepada orang lain yang menurut mereka tidak sesuai dengan norma dan nilai-nilai bagi merekawithout knowing who actually the person is.

Entah apa yang mendasari manusia-manusia ini untuk pingin tau urusan orang lain dan bahkan menjustifikasi mereka sesuka hati. Okay, mungkin mereka gak benar-benar nge-judge. Gak benar-benar mau tau. They're just being kepo. Mungkin keren aja kayaknya bagi orang Indonesia ketika isi kepalanya penuh dengan informasi seputar hidup orang lain, si A begini, si B begitu. Karena dengan begitu, dia akan dapat dengan mudah diterima oleh society. Lihat aja acara gosip di televisi, contohnya. Instead of nonton acara yang lebih bermutu dan berisi, kita kadang lebih milih nonton acara gosip saking pingin tau gimana perkembangan artis kesukaan kita atau apa yang happening di Indonesia. Tampaknya kebiasaan itupun berlaku dan berkembang di lingkungan sosial. Gak semua orang memang, tapi sebagian besar begitu.

Saking udah malesnya menghadapi situasi memilukan kayak gitu, kadang gue memilih untuk misahin diri, fokus sama apa yang mau gue kerjain. Walau nyatanya yang ada gue dicap tidak setia kawan, apatis, kurang kumpul dan ujung-ujungnya gue juga yang jadi bahan empuk buat diomongin. Pernah suatu ketika gue nimbrung nimpalin ghibahan mereka. Emang dasar yang namanya dosa, kadang bikin asik dan lupa diri kali ya, gue seakan terbawa dengan obrolan itu dan ikut bahagia menghakimi orang yang dimaksud dengan sesuka hati. Namun lantas gue tau ini gak bener. 

Dari sisi agama pun, udah jelas yang namanya ghibah sangat dilarang. Selain kita membicarakan sesuatu yang belum tentu benar adanya, ghibah itu sama sekali gak ada manfaatnya. Informasi yang didapat gak bikin kita pinter, yang ada bikin kita terus berpikiran negatif sama orang lain. Kita jadi seperti disihir untuk gak nemenin orang yang udah diomongin, gak boleh deket sama mereka, dan memandang mereka sesuai dengan apa yang terlihat dan apa kata rumor yang beredar. Kemudian jadi gak sehat lah cara berpikir kita, karena kita hanya fokus untuk mengurusi orang lain dari ujung kepala hingga kaki. Kita jadi takut untuk berteman karena khawatir teman baru nanti akan sama dengan orang-orang yang kita pandang buruk, atau takut kita juga akan jadi bahan omongan di kelompok yang baru nantinya. Akibatnya, kita pun jadi terbiasa bermuka dua.

To be honest, i don't feel i have the urge to interfere someone's life, like commenting her or his photos (for example) on social media just to shaming themyeah, give such a bad comment even means interfering their lives IMO, apalagi lebih dari itu. I believe everyone has their own lives, has their own privacies dimana kita gak punya hak untuk mencoba masuk ke dalamnya. As long as they would take any responsibility of what they did to the community, it doesn't matter. Dan selama mereka punya komitmen yang bisa dipertanggungjawabkan untuk kemaslahatan society, harusnya gak masalah.

Lagipula, apa hak kita untuk mengomentari dan mencampuri urusan orang lain? Gue sih jujur gak mau segala macam kepentingan gue dicampuri atau bahkan dikomen sama orang yang notabenenya gak tau seluk beluk hidup gue. Itulah kenapa gue pun selalu berusaha untuk gak bersikap demikian kepada orang lain, karena sangat gak enak rasanya ketika ada orang yang berusaha mencampuri urusan pribadi gue seakan mereka sudah sangat mengenal siapa diri gue sebenarnya, like dude, you kno' nothing about me but you're act like you kno' everything? Yah, meski pada akhirnya, still, people has their own shit to invade other people's privacy.

Budaya ini secara gak sadar bikin kita jadi sulit untuk menerima kepribadian orang lain. Menerima keputusan orang lain. Ketika ada orang yang memilih jalan berbeda di dalam suatu kelompok, akan dianggap berbeda dan kurang piknik sama mereka yang merasa dirinya baik-baik aja. Padahal setiap orang punya hak untuk memilih jalannya sendiri. Bukan berarti kurang akrab, bukan juga kurang solid. Mungkin dia memang kurang cocok ada di kelompok itu, atau ada sesuatu yang lebih penting yang harus dikerjain.

Kadang gue suka iri sama orang-orang yang tinggal di luar negeri. Masyarakat disana tergolong individualis. Hidup masing-masing, dan lebih mengutamakan kepentingan pribadi serta mandiri. Silaturahminya gak seerat orang-orang Indonesia, memang. Bagi gue pribadi yang cenderung sangat menghargai privasi dan urusan orang lain, itu jelas jadi keuntungan. Gue gak perlu ribet sama orang yang suka misuh-misuh akibat tindakan orang lain yang berseberangan. Gue juga gak perlu takut dijulidin atau dinyinyirin karena budaya itu mungkin gak akan berlaku keras seperti halnya di negara gue.

Untuk di Indonesia sendiri, mungkin karena memang budaya gotong royong atau kekeluargaannya yang begitu melekat, kita jadi merasa punya tanggung jawab untuk ngebantu setiap orang yang mungkin sedang ada masalah. Kita seperti punya tekanan sendiri untuk selalu ada buat siapapun yang membutuhkan teman. Ini gak salah. I totally agree, tapi sayangnya budaya itu harus merambah juga pada hal yang negatif dimana kita seakan gak memberi ruang untuk orang-orang yang membutuhkan privasi, karena semua hal dengan mudahnya bisa dicampuri.

Gue tau, kita mungkin merasa punya keluarga kedua, atau ketiga di beberapa tempat. Hal kayak gini sering banget gue temuin di organisasi-organisasi atau komunitas di kampus dan atau luar kampus. Namun jangan lupa juga bahwa kita masing-masing adalah individu. Ada banyak hal yang gak mesti semua orang tau, bahkan orangtua kita sendiri. Ada beberapa hal yang cukup jadi rahasia antara diri kita dan Tuhan. Menjadi individualis pun bukan selamanya mementingkan diri sendiri.

Bagi gue, memisahkan diri dengan melihat diri sendiri sebagai individu adalah tindakan menghargai individu lain yang punya privasi dan problema berbeda dengan gue. Punya kepentingan yang berbeda dari gue, dan punya kepribadiannya sendiri. Bukan hak gue untuk selalu mengomentari tindak tanduk dan pandangan individu yang berseberangan dengan gue, karena manusia hakikatnya memang berbeda satu sama lain. Kita yang harus menerima. Kita yang harus mendengarkan. Bukan kita yang asik nyinyir di belakang.

Satu hal yang mesti gue lurusin, gue gak sedang mengajak kalian untuk hidup menjadi apatis dan egois, nggak. Gue pun banyak belajar dari pengalaman, dimana gue pernah menjadi keduanya. Jadi orang yang egois, dan orang yang sosialis. Gue cuma pingin kalian tau bahwa peduli itu ada batasannya. Gak semua hal bisa kita peduliin, gak semua hal harus kita usik, karena masing-masing udah ada porsinya. Mana yang bisa di-handle sendiri dan mana hal yang bisa dilakukan bersama-sama. Peduli, berarti mau melibatkan diri dan bertindak proaktif dalam suatu persoalan. Peduli, berarti menjadi individu yang gak menutup mata dari kondisi apapun. Peduli, bukan menjadi individu yang senang ngurusin hidup orang lain dan sibuk memberi komentar atas apa yang begitu saja terlihat.

Basically we are all the same human beings with the same potential to be a good human being or a bad human being. The important thing is to realize the positive side and try to increase that; realize the negative side and try to reduce. That's the way.

You May Also Like

5 komentar

  1. Relate banget :')

    Awal2 kerja, saya udah mencoba untuk gak terlibat dengan dunia pergosipan kantor. Tapi lama kelamaan saya jadi kebawa untuk ikut nimbrung juga, entah karena insting saya sendiri untuk menyesuaikan diri dan pengen diterima di lingkungan ini. Tapi bahkan pada saat ngegosip pun, saya sebenernya sadar bahwa ini gak bener dan gak seharusnya dilakukan.

    Cuma ya seperti yang mbak bilang, emang dasar yang namanya dosa ~

    Anyway, salam kenal ya mba :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Serba salah ya mba:(
      Kita pengen kerja misah dan gak ikut-ikutan nimbrung juga kadang kesepian, berasa gak punya temen. Tapi sekalinya berteman, ada aspek "ngumpul" yang seringnya ngeghibahin orang dan bikin gak nyaman. Paling kitanya aja yg harus pintar-pintar bagi waktu kapan bisa ngumpul bareng, dan kapan sebaiknya memisahkan diri hmm🙄

      Salam kenal juga mba Siti! Terima kasih sudah berkunjung😍

      Hapus
  2. Awl, aku salut lho sama keputusan kamu untuk aktif di organisasi untuk memperluas pertemanan. Soalnya sebagai introvert pun aku nggak pernah punya keinginan untuk aktif di organisasi, bahkan pas kuliah pun rasanya malesss banget ikut acara-acara A dan B, inginnya mengurung diri aja di kamar asrama 😂

    Eniwei, aku jadi teringat dulu punya kenalan yang auranya tuh toxic sekali. Pokoknya tiap ada dia topik yang dibawa pasti ngeghibahin orang lain. Entah hobi atau gimana, doi memang suka mengomentari orang lain. Bahkan aku pun pernah dikomentari langsung dan karena aku udah nggak tahan lagi, kusemprot aja dan hubungan kami sempat nggak enak waktu itu 😅 Cuma sepertinya dia kapok, jadi di depanku dia nggak pernah begitu lagi hahaha

    Makin ke sini aku suka mengingatkan diri sendiri untuk ngurang-ngurangi rasa kepo ke orang lain. Kalau tujuannya care, lebih baik langsung ke orang yang bersangkutan aja. Kalau ujung-ujungnya ngeghibah, lebih baik diam aja deh hihi

    Maacih, Awlll buat tulisannya! <3

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe timaaci mbak Jane! Dulu tuh aku mikirnya bosan juga kalau diajak sama temen susah berbaur saking pemalu dan malesnya, jadi perlahan-lahan mencoba untuk menantang diri sendiri ceritanya *cielah* wkwkw. Tapi sekarang setelah udah tau gimana rasanya bersosialisasi, berorganisasi, jadi balik lagi ke cangkang yang dulu. Ujung-ujungnya tetap nyaman jadi diri sendiri dan memiliki batasan:')

      Hahaha kayaknya kalau org kayak gitu memang harus ditegur atau disemprot langsung ya mbak biar sadar😂 soalnya dari yg aku perhatiin (plus pengalaman sendiri jg😫) kalau lg ghibahin orang tuh kita kadang suka gak sadar betapa jahatnya mulut kita, yg mana membicarakan sesuatu yg belum tentu benar adanya dan gak ada manfaatnya. Aku salut sama mbak Jane yg berani buat ngomong langsung ke teman mbak Jane😍, karena sampai skrg jujur aku gak pernah berani negur kayak gitu, kebanyakan takutnya wkwkw, jadi cuma bisa dipendem aja atau nggak aku yg menghindar dari mereka:')

      Setuju banget mbak Jane, mending diem aja kalau ujung2nya kepo itu malah jd ngomongin orang. Toh kita sebenernya punya pilihan untuk nggak mengomentari apa yg menurut kita layak dikomentari. Kayak baru aja nih aku kejadian, pas ngeliat ada pengendara motor yg ngeselin karena gak pake helm, biasanya suka gatel ngomong sesuatu 'ih kok gak pake helm sih blablabla' (wkwkwk emg dasar manusia suka gatel mulutnya), tapi tadi tuh berasa tiba2 ingat untuk gak jadi ngomong yg nggak baik, karena sebetulnya aku punya pilihan untuk nggak berkomentar apa2, hiks🤧

      Eniwey maacih juga mbak Jane udh main-main ke postingan lamaku yaa!😁💕

      Hapus
  3. Aku prnh dibully zaman SD dulu, Krn kulitku yg LBH gelap dari temen2, juga karena rambut kriting, dan badan tipis.. yg sedihnya pas SMU, pernah ga sengaja denger percakapan dari orang yg mengaku sahabat baikku, ngatain dia ga percaya kenapa abangnya sampe bisa naksir Ama aku yg item begini..

    Mungkin Krn aku pernah ngerasain bully melalui kata2 begitu, aku tau rasa sakitnya seperti apa. Gimana confidence kita lgs ancur Krn kata2 meremehkan kayak td. Makanya, aku ga mau ngelakuin yg sama mba. Mengatakan sesuatu yg terkait fisik walo hanya bercanda , buatku pantang diucapin. Makanya kalo ketemu lgs denganku, aku cendrung diam orangnya, bukan Krn sombong, tp kdg aku takut ngeluarin kata2 yg bisa bikin temen2 sakit ati. Diam, buatku LBH bagus kalo memang susah mengucapkan kata2 bagus.

    Ttg bertetangga, dr dulu aku prefer tinggal di apartmen drpd rumah yg skr. Kayaknya penghuni apartmen itu LBH individu :p. Ga terlalu kepo Ama tetangganya :p. Beda kan Ama yg tinggal di perumahan biasa. Tp syangnya suami beda pemikiran . Dia supel dan suka sosialisasi dengan tetangga. Makanya pas nikah LBH milih tinggal di rumah dan menyewakan apartmen kami, hufft... Ini juga yg bikin aku ga terlalu Deket Ama tetangga. Sengaja nolak kalo diajak arisan, Krn aku tau biasanya itu berujung ke ghibah2 ga jelas :(

    BalasHapus