Diberdayakan oleh Blogger.
  • Home
  • About
  • Lifestyle
  • Personal
    • Opini
    • Thoughts
    • Slice of Life
    • Poetry
    • Intermeso
  • Podcast
  • Review
instagram LinkedIn Spotify YouTube Email

Notes of Little Sister



I'm not like the other girls


Entah kenapa pikiran gue malam ini random sekali. Something about misogynist has just popped up into my head for no reason—since it's become a real thing now. Bagi yang masih kurang familiar dengan kata ini, secara umum misogini didefinisikan sebagai kebencian atau rasa tidak suka terhadap perempuan, dan dapat diwujudkan dalam berbagai cara; diskriminasi seksual, fitnah perempuan, kekerasan terhadap perempuan, dan objektifikasi seksual. Sederhananya, misogini ini semacam tindakan menyepelekan dan merendahkan kaum perempuan, seperti yang kalian sering dengar bersamaan dengan budaya patriarki.

Mungkin kita lebih sering dengar kasus-kasus diskriminatif terhadap perempuan dan tindakan-tindakan mengobjektifikasi lainnya yang dilakukan oleh laki-laki. Tapi tahukah kita? Bahwa misoginis itu gak selamanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Gue, kita, khususnya perempuan, justru berkemungkinan besar untuk melakukan hal yang sama terhadap sesama perempuan. Ini yang dinamakan misoginis terinternalisasi, atau bahasa kerennya internalized misogyny.

According to Cultural Bridges to Justice, internalized misogyny or sexism is defined as the involuntary belief by girls and women that the lies, stereotypes and myths about girls and women that are delivered to everyone in a sexist society ARE TRUE.

Seseorang dianggap mengidap internalized misogyny ketika dia secara nggak sadar sudah membenarkan stereotip, mitos dan kebohongan yang berkembang di society bahwa perempuan itu inferior, lemah, nggak bisa apa-apa, pantas diobjektifikasi, sudah kodratnya buat ngelayanin cowok, being the one to be blamed when she is literally a victim, terus berakhir di dapur—mau setinggi apapun pendidikannya, dan maaasih banyak lagi.

Apa kalian salah satu di antaranya?

Kalau iya, lebih baik refleksi diri, deh. Ingat-ingat lagi, coba sadari, apa kita sering merasa spesial dengan menjadi berbeda dari yang lain? But wait, we're not gonna end this topic here. There are sooo many interesting things to talk about. Tapi sebelum itu, here are some memes that you might have seen on social media:

i'm not like the other girls





That's quite ironic, isn't it?

Gue jadi teringat dulu sering banget self-proclaimed bahwa gue berbeda, gue nggak sama dengan orang-orang, hanya karena gue nggak suka warna pink seperti halnya kebanyakan perempuan. Gue memandang perempuan lain sebagai inferior sebab gue lebih bangga menjadi tomboy, karena itu artinya gue nggak sama dengan cewek-cewek stereotipikal yang hobinya dandan dan belanja. Gue juga cenderung julid saat ngeliat cewek lain yang gampang nangis hanya karena masalah sepele, hanya karena luka kecil. Gue merasa kuat  sebagai cewek hanya karena gue gak pernah pingsan dan terkapar di UKS. Terkadang gue prefer temenan sama cowok karena ngumpul bareng ciwi-ciwi somehow rempong dan banyaknya ngeghibahin orang (walaupun kadang cowok ghibahnya bisa lebih parah sih kyknya). Gue suka lebih percaya diri dengan make-up natural karena kalau make-up nya tebel-tebel, gue akan dicap centil dan dianggap "attention seeker". Gue merasa superior to other women karena gue nggak suka nontonin yucub yang isinya beauty vlogger dan beauty enthusiast,  walaupun pada akhirnya gue menikmati juga kok beberapa channel kecantikan. Dan serangkaian narasi "i'm not like other girls" lainnya.

Pada saat yang sama, ketika gue mulai suka beli skincare, suka beli barang-barang which i think it's too girly to buy or to wear before, gue jadi merendahkan diri sendiri. Gue malah mempertanyakan diri sendiri, "do u really wanna buy this women's product?". When actually i, myself, is naturally a woman. 

What's so damn wrong with being an average woman, tho? Why am i worrying those stereotypes too much? Gue pun seakan perlahan menjauh dari "menjadi perempuan" yang gue mau, padahal nggak ada yang melarang dan mendoktrin gue untuk secara konstan melakukan itu. Semua itu akibat internal misoginis gue yang nggak mau disamakan dengan perempuan manapun.

Pandangan seksis macem gini udah lama banget bertengger dalam diri gue, tanpa gue sadari, dan mungkin begitu juga kalian. Gue bisa aja bilang kalau cowok tuh nggak boleh begini begitu sama perempuan, nggak boleh mengobjektifikasi sesuka hati dengan ngomongin hal-hal yang berbau seksual, tapi gue lupa bahwa gue juga terkadang belittling mereka yang secara teknis ada dalam komunitas yang sama dengan gue. As a woman.

Maka dari itu, gue pun mencari tahu apa sih yang bikin kita-kita ini dengan mudahnya membenci dan merendahkan perempuan? Either laki-laki atau sesama perempuan sekalipun. Beberapa artikel bilang bahwa, dalam buku seorang pakar psikologi dari Universitas Cornell, yaitu Professor Kate Manne, lelaki yang misoginis bukannya membenci wanita. Mereka hanya tidak suka jika dominasi mereka sebagai lelaki terancam sehingga mereka menghukum, menyakiti, dan membenci wanita yang cenderung mendominasi dalam sebuah hubungan. Alasan yang pertama bisa jadi karena mereka punya trauma masa lalu atau masalah dengan ibunya. Kedua, para lelaki ini merasa frustrasi dengan definisi maskulinitas dan feminisme yang ada di masa sekarang. Ketiga, banyak mendapat penolakan romantis dari perempuan, sehingga perlakuan misoginisnya bisa berarti ajang balas dendam, etc. Ngeri banget, sih. Terakhir, mereka nggak mengerti tentang perempuan-perempuan yang selalu membawa paham feminisme dan bermain sebagai korban dalam aspek apapun, karena again, budaya patriarkial yang kuat yang masih mereka pegang.

Sementara untuk internalized misogyny sendiri, berdasarkan artikel yang gue baca, women are educated from infancy both explicitly and implicitly on “appropriate” ways to act, think, and feel. These cultural conceptions of womanhood are so deeply ingrained that they dictate performances of femininity, even behind closed doors.

Dari sejak kecil kita memang sudah dicekokin dengan berbagai perbedaan yang jelas antara laki-laki dan perempuan. Contoh kecilnya dari warna pakaian. Baju-baju anak perempuan identik dengan warna pink, sementara anak laki-laki adalah biru. Treatment yang berlaku di lingkungan sekitar pun memberi batasan apa yang harusnya dilakukan oleh anak laki-laki, dan mana yang harusnya dilakukan oleh anak perempuan. Mungkin untuk beberapa alasan, perlakuan itu penting dalam membatasi gerak si anak agar orientasi seksualnya nggak menyimpang. Tetapi, negatifnya, budaya itu jadi bikin kita nggak bisa lepas dari pandangan seksis yang ada. Sehingga ketika ada golongan perempuan yang merasa beda dengan perempuan kebanyakan, they will say that "i'm different!". "Nggak kayak lo pada yang suka pake rok mini dan liptint warna terang."

Salah satu contoh yang kentara banget di saat kita sudah beranjak dewasa, yaitu adanya oppresion yang menghubung-hubungkan harga diri dengan penampilan. Sebagai cewek, kalau mau gampang cari kerja dan gampang dapet relasi, penampilan itu nomor satu. Good looking itu suatu keharusan. Apalagi kalo cantik, beuuhh. Intinya sesuatu yang berkaitan dengan kecantikan, it all belongs to woman. Dan kalau penampilan lo dianggap buruk, kemungkinan harga diri lo akan dipandang rendah karena lo tidak cukup baik untuk menjadi seorang wanita. Akibatnya, sudut pandang itu jadi mengakar pada diri kita bahwa perempuan harus cantik, dan kalau nggak cantik-cantik amat ya berarti beda dari yang lain.

But then, it doesn't surprise me at all. Karena memang kenyataannya kebohongan, mitos dan stereotip itu sendirilah yang bikin internal misogini muncul, seperti yang sudah gue mention sebelumnya. Gue kemudian mencari-cari akar dari semua ini. Apa, sih? Apa yang menyebabkan pola pikir kita menjadi sebegitu dangkalnya mengekspresikan perbedaan?

Ternyata jawabannya cuma satu. Dan ini berlaku untuk semua orang. Gak cuma perempuan, tapi juga laki-laki. Can y'all guess it?

Ya, jawabannya ego. Manusia punya sifat natural yang ada dalam dirinya, yang gak mau dibandingkan ketika ada orang yang lebih baik dari dirinya—paling tidak menurut pandangannya. Ketika dia menemukan sesuatu yang terlihat biasa, dia akan menertawakan hal itu, meremehkan dan menganggap dirinya superior. Sesederhana itu jawabannya. Satu kata bisa mengubah jutaan mindset orang-orang terhadap femininity dan masculinity. I know this is super ironic!

Menjadi berbeda memang selalu terdengar mengesankan, karena itu berarti lo gak sama dengan orang lain.

"Lo unik!"
"Gak semua orang kayak lo."

Tetapi ketahuilah bahwa semua kata-kata itu menipu. Kita cenderung nggak menjadi diri kita yang sebenarnya, karena satu pujian itu bikin kita puas terhadap diri sendiri dan menyangkal keberagaman.

Di saat yang bersamaan, orang-orang yang merasa beda ini ketika dipuji cantik, mereka nggak bisa bohong kalau dari lubuk hati yang terdalam juga seneng ngedengernya (yah, namanya juga perempuan. Ujiannya itu ada di telinga, paling seneng kalo udah dipuji). Padahal itu artinya mereka sama dengan perempuan-perempuan di luar sana yang cantik, yang punya karakter dan keunikan tersendiri, and who's come with different shapes and sizes.

Jadi, masih gak mau disamain sama perempuan lain?

Pada awalnya mungkin sulit melepaskan diri dari internal misoginis yang selalu datang di pikiran kita tanpa diprediksi. Tapi kalau bukan diri sendiri yang berubah, siapa lagi?

Gue juga terkadang masih sekelebat menganggap orang lain inferior karena beberapa alasan. Tapi lantas gue tahu ini gak bisa selalu dibiarkan begitu aja. Karena dengan menyadari bahwa internalized misogyny adalah sesuatu yang harus dihindari, itu mengartikan bahwa kita menghargai setiap orang apapun dan bagaimanapun dirinya.

Gue pun sekarang bisa beli apa aja yang sebelumnya gue anggap 'terlalu cewek', karena pada akhirnya gue sadar, memiliki sesuatu yang 'terlalu cewek' tidak merusak citra diri gue sama sekali sebagai perempuan. Ketika merasa jadi cewek yang kuat pun, gue sadar mungkin itu suatu petunjuk bahwa gue harus bisa merangkul mereka-mereka yang tidak sekuat gue. Dengan menyadari semua itu, sekarang apapun terasa lebih jelas dan terang. Because basicly women are women. Gak ada spesialisasi perempuan yang begini dan begitu. Kalaupun beda, apa yang beda? Lo mau bilang, "apa cuma gue yang blablabla?"

Oh, no no no. Gak cuma lo yang beda, gak cuma gue yang beda. Kita semua pernah ada di posisi mempertanyakan itu kepada diri sendiri. Dan jawabannya nggak, bukan cuma lo yang beda karena lo nggak sendiri.

Anyway, kalau ada di antara kalian laki-laki yang pernah merasa demikian terhadap teman sesama lelaki, mungkin kalian juga mengidap internalized misandrist atau misandry. Dorongan maskulinitas yang berkembang dalam society sama halnya dengan femininitas yang berasal dari stereotip gender bahwa cewek itu biasanya begini, cowok biasanya begitu, dan tanpa disadari mungkin menimbulkan insecurity terhadap diri sendiri. I don't know how this happens to men tapi intinya sama, siapapun kamu di luar sana yang merasa minder atau merasa superior karena berbeda, laki-laki atau perempuan, sebaiknya ubah mindset kalian selayaknya dunia yang nggak sempit ini. Planet kita luas. Ada miliyaran orang di muka bumi ini dan kita bukan satu-satunya orang yang diciptakan berbeda.
Share
Tweet
Pin
Share
9 komentar
the importance of minimalism in our lives


Disclaimer: Tulisan ini dibuat dalam bahasa Jepang sebagai naskah untuk kontes pidato bahasa Jepang dalam Pekan Bahasa dan Budaya Jepang ke-45 & Lomba Pidato Bahasa Jepang Regional Jawa Barat 2019 (第45回バンドン日本語日本文化祭弁論大会) yang diselenggarakan oleh Japan Foundation. Namun gue menyertakan juga terjemahannya dalam bahasa Inggris di bagian bawah. Tulisan ini berisi tentang kaitan perilaku konsumtif di media sosial dengan gaya hidup minimalisme yang mana sangat menjadi concern gue. Selamat membaca dan jangan lupa sertakan komentarmu tentang artikel ini!❤️


「さようなら無駄遣い、ようこそミニマリズム」
アイナ・アウリヤ
皆さんは、普段インスタグラムやフェイスブック、ツイッターなどのSNSをよく使いますか?一日でも、SNSをチェックしていないと、落ち着かない人も少なくないですよね。
先月、たまたまユーチューブで、ある外国人のビデオログを見て驚きました。彼は昨年からSNSをやめた理由について話しました。本来、人と人のつながりを便利にさせるSNSが、最近は色々な商売の宣伝であふれて、そんなに必要ないのに、どんどん出てきた商品を買ってしまったそうです。たくさんの無駄遣いを辞めたいから、SNSを辞めるようになったと述べました。彼の話を聞いてから、私が普段、SNSにどれくらい時間を使っているのか、そして日常生活にどんな影響があるのか、について考え始めました。
SNSの影響の一つとして、私の生活に無駄遣いが増えたと感じています。面白いオンライン・ストアや、色々な商品を見るために、インスタグラムなどをよく使います。商品を宣伝しているセレブの投稿や、買った商品を見せている友達の投稿を見た時、私も欲しいと感じ、要らなくてもインターネットで同じ商品を探して買ってしまいます。このことから、SNSに私のお金や時間がたくさん奪われていることが、はっきりとわかります。また、物を買うためにお金を使うだけでなく、SNSを利用するためのインターネット代も忘れてはいけないでしょう。
最近、オンライン・ストアは本当に私たちの消費パターンを変えてしまったと思いませんか。以前は、商品やサービスには、その機能が必要なものだけを選んでいましたが、最近は、他の人にほめられるライフ・スタイルを作る考え方に変わってきています。これによって、悪い影響が出ると私は心配しています。
たとえば、女性は似ている服をいくつも買ってしまったり、男性はかっこいい電化製品を買ってしまったりすることが多いですよね。また、SNSでたくさん「いいね」などをもらうために、人気な物を買って投稿する人もいます。それによって、ライフ・スタイルはより不規則になり、商品を真剣に選ぶことも減り、しばしば買った後に騙されたと感じます。これを解決するためには、ほしいと思ったらすぐ買うのではなく、必要かどうかを考えて商品を買う、という生活パターンに戻す必要があります。
そのために、ライフ・スタイルにミニマリズムを取り入れるべきです。ミニマリズムとは、「無駄に多いものを捨て、本当に自分に必要なものだけを選ぶ努力」のことです。
最近、近藤まりえという日本人の名前をよく耳にしませんか。
彼女は、ミニマリズムのライフ・スタイルを取り入れているコンサルタントとして、人気を集めている日本人です。彼女の考え方は、コンマリ法と呼ばれ、「不要なものを捨てる」「落ち着いて幸せになれるものを大切にする」「人生で重要なことに集中する時間を自分に与える」という考え方です。私は、このミニマリズムのコンセプトで無駄な買い物を防げる、と思います。
考えてみれば、確かに商品は他人に見せてほめてもらうためではなく、使うために買うのです。私は、コンマリ法を使ってミニマリズムの生活を始め、無駄の多い生活を避けることが、良い第一歩だと思います。そのため、自分の持っているものに対してもっと感謝し、それらをもっと必要とする人々に与えることができます。このようにして、私たちは自分を幸せにするだけでなく、他の人を幸せにすることもできるのです。
それでは、SNSはどうでしょうか。
SNS自体が変わることは難しいです。変わることができるのは、自分だけです。SNSを使い、ミニマリズムのライフ・スタイルを広めるキャンペーンなど、前向きなもののために利用できます。そのため、これからSNSでやるべきことは、ミニマリズムを行う人々の写真を投稿し、コンマリ法の利点を共有し、そして、それらからどのような結果が得られるかについて、他の人に伝えることです。私自身も、これからオンライン・ショッピングを減らし、コンマリ法を実施してみたいと思います。

Eng-Trans:

Do you often use SNS such as Instagram, Facebook, and Twitter? Most of the time, there's a lot of people who don't feel comfortable when they don't check social media in a day, do they?

My curiosity about this issue led me to one of the shocking videos on youtube about someone's experience when he was using social media. He talked about why he stopped for being active on SNS since last year. Social media which initially made people's connection more convenient has recently been flooded with various commercial advertisements, which seem to make its users buy more and more unnecessary products. He said that he came to quit SNS/social media because he wanted to free of wasteful life. After watched his video, I started thinking about how much time I usually spend on social media and how it affects my life.

One of the effects that i feel of using SNS intensively is wasteful lifestyle that has increased in my life. I often use Instagram to see interesting online stores and various products. When I see a post from a celebrity promoting a product or a friend showing me what he or she's bought, I feel that I want it, and even if I don't need it, I search for the same product on the Internet and buy it. This clearly shows that my money and my time are being taken away by SNS. In addition to spending money to buy things, you should also not forget the internet bill or quota to use SNS.

Don't you think online stores have really changed our consumption patterns? In the past, only products and services that required their functions were selected. But lately, the concept has turned into a lifestyle that always wants to impress others. If this impulsive behavior continues, I'm worried that this will have a negative impact not only for ourselves, but also to our environment. For example, women often buy several similar clothes, and men often buy cool appliances without thinking whether they're really need those or not. Some people buy and post popular items to get lots of likes on SNS. As a result, lifestyles become more irregular, less serious selection of goods, and often feels deceived after buying. In order to solve this problem, it is necessary to return to the lifestyle pattern of buying a product based on whether it is necessary, rather than buying it only for showing off to people.

One thing we can do to overcome this is to incorporate minimalism into our lifestyle. Minimalism itself is "an effort to throw away useless things and choose only what is really needed."

Have you guys heard about Marie Kondo?

She is a Japanese who is gaining popularity as a consultant who practicing a lifestyle of minimalism. Her idea is called the 'Conmari Method', which is "throw away unnecessary things", "value things that calm down and make you happy", and "give yourself time to concentrate on important things in life". I think that this minimalism concept can prevent unnecessary shopping that we always do.

If you think about it, you certainly buy products for use, not to impress people, right? I think it can be good first step to start a minimalism life using the Conmari Method and avoid a wasteful life. So you can be more thankful for what you have and give them to those who need it more. In this way, we cannot only make ourselves happy, but also make others feel the same way.

So, what about SNS?

SNS itself is difficult to change. Only you who can change. It can be used for positive things such as a campaign to spread the lifestyle of minimalism using SNS. So one of the things you need to do on SNS is to post photos of people doing minimalism, share the benefits of the "Conmari Method", and tell others what the results will be. I myself would like to reduce online shopping and implement this great concept of Marie Kondo! How about you?



Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar

kenapa anak-anak Indonesia saat ini krisis moral?


Kepeningan gue minggu ini gak cuma disebabkan oleh tugas-tugas kuliah yang lumayan nguras tenaga dan pikiran, tapi juga dipersembahkan oleh sebuah thread di linimasa twitter seputar siswa korban pengeroyokan di salah satu pesantren yang berujung meregang nyawa setelah berhari-hari koma.

Setelah sebelumnya media sosial cukup geger sama video empat siswa SMP beserta bapak salah satu anak yang ngeroyok seorang petugas kebersihan di sekolahnya, dan video seorang siswa SMP yang ‘berani’ megang kerah gurunya sendiri, berita tentang kematian santri di Padang itu gak kalah miris kalau mengulik betapa rendahnya morality anak bangsa jaman sekarang. Tahun 2019 baru mau lewatin Februari, tapi kasus tentang kebodohan-kebodohan murid nowadays udah menuhin timeline kepolisian gue rasa. Ngeri, udah pasti. Miris. Gerah. Gak ngerti lagi sama etika dan moral manusia-manusia abad ini. Diri seorang guru aja udah gak ada harganya, apalagi nyawa, gue berani taruhan kalau orang-orang macem gini memberi label mahal pada harga diri sendiri dibanding nyawa orang lain.

Murid persekusi guru, murid tikam perut guru di kelasnya sendiri setelah dinasehati—camkan, dinasehati cuy—, murid pukul kepala guru pake kursi sekolah, murid keroyok guru, murid lapor guru gara-gara gak terima diceramahi, seorang santri korban bully dikeroyok teman satu asramanya hingga meninggal, adalah beberapa dari sekian kasus yang berhasil tercium media. Iya, kasus santri asal PonPes di Padang Panjang itu bukan kasus pertama yang terjadi dalam kurun waktu empat bulan. Masih di daerah Sumatera, kasus yang sama juga terjadi di salah satu Pondok Pesantren di Ogan Ilir, Palembang, dan pelakunya berusia kisaran 14 tahun.

Kasus-kasus itu bikin otak gue merembet kilas balik ke tahun sebelumnya, tentang kasus anggota the jack yang habis dikeroyok sampai meninggal sama bobotoh waktu dia mau nonton pertandingan antara persib lawan persija. Bunuh-membunuh kemudian bukan menjadi hal tabu di telinga gue. Isu sosial tentang nyawa yang seakan dianggap murah oleh orang-orang yang ‘kerasukan’ ini pada akhirnya bukan cuma terjadi di lingkungan sekolah, antara murid dan guru, junior atau senior, bahkan sesama teman sendiri, tapi juga terjadi di lingkungan masyarakat—so pasti. Dan bisa dipastikan faktor lingkungan masyarakat ini yang secara langsung memberi andil sangat besar terhadap krisis moral hingga di ranah pendidikan.

Sebelum gue lanjut, here’s some informations that i think we all need. Faktor-faktor yang bisa menjadi penyebab kerusakan moral di lingkungan sosial:
  1. Peran media massa dan perkembangan teknologi,
  2. Pendidikan di dalam keluarga,
  3. Pengaruh lingkungan,
  4. Perkembangan nalar tidak dimanfaatkan dengan baik atau bahkan tidak berkembang sama sekali,
  5. Hilangnya nilai-nilai kehidupan yang bisa diamalkan, seperti kejujuran dan rasa tanggung jawab, serta rendahnya disiplin,
  6. Tidak berpikir jauh kedepan,
  7. Memudarnya kualitas keimanan.
Gue jadi teringat ketika gue di sekolah dulu, yang namanya pendidikan karakter, etika, moral yang diajarin guru-guru disana masih berasa kerasnya sampai sekarang. Pernah beberapa kali gue ngalamin yang namanya kontak fisik ringan semacam dicubit, ditempeleng waktu kelas 4 SD gara-gara nggak bisa ngerjain soal matematika di papantulis, dilempar penghapus+spidol, sampai ditunjuk-tunjuk depan muka (ini masuknya verbal sih). Yash, gue anak yang lumayan bego dan bandel waktu itu. SMP lebih seringnya. Bukan karena ngelakuin hal-hal gak wajar dan terlarang, tapi karena gak ngerjain tugas, entah itu tugas yang ada di buku atau LKS. Alhasil gue beberapa kali dikeluarin dari kelas dan gak boleh ikut pelajaran yang bersangkutan sama sekali selama satu minggu itu. Mostly cuma di pelajaran IPA sih, that’s why kalo di matpel Bahasa guru-guru gue gak percaya sebadung itu Aina ini sampe berani gak nyentuh buku sama sekali. Oke, lanjut. Anehnya gue gak merasa ditindas sama sekali. Malahan gak kepikiran yang namanya lapor ke polisi hanya untuk balas dendam—yang secara nalar itu semua justru karena ulah gue sendiri. Jangankan lapor ke polisi, ngadu ke orangtua aja kagak. Bisa-bisa gue sendiri yang justru kena marah emak babeh.

Selain pengalaman pribadi, gue juga sering banget dapet cerita dari tante gue tentang gimana killernya guru-guru dia di sekolah. Ketauan melamun dikit, lempar penghapus yang segede gaban, atau nggak disuruh diem di depan kelas, nerangin pelajaran. Malunya udah setengah mati. Bener-bener gak kebayang kalau sistem pengajaran di sekolah-sekolah sekarang masih keras kayak dulu. Gue rasa laporan di polisi penuh sama murid-murid yang merasa diinjak-injak dan tidak terima dengan perlakuan gurunya.

Kalau dipikir-pikir, kurang baik apa guru-guru jaman sekarang. Kenapa mental kita harus terbiasa dengan istilah semakin dibaikin maka semakin ngerunjak? Lo cuma dinasehatin men, dikasih tau mana yang baik dan buruk—padahal kalau untuk merokok di dalam kelas menurut gue anak SD juga udah paham perbuatan itu salah, tapi nyatanya masih ada siswa yang bahkan belum paham bagaimana menghargai orang yang lebih tua, menghormati guru. Apa karena lagu hormati gurumu sayangi teman udah hilang ditelan bumi, jadinya anak-anak jaman sekarang nggak kenal yang namanya moral dan attitude?

Kalau melihat secara general, memang, usia remaja itu paling rentan nggak bisa mengontrol emosi atau perasaannya, jiwa mereka masih labil, masih menggebu-gebu dan cenderung egois, hanya peduli dengan emosional diri sendiri, tapi itu tidak berarti mereka belum tau mana yang baik dan buruk. Usia remaja cenderung melakukan sesuatu karena keinginannya, terlepas dari perbuatan yang dia lakukan itu salah atau benar, yang mereka tau mereka bisa menentukan sendiri mana langkah yang ingin diambil. Dan hal-hal yang mendorong keinginan untuk memilih atau berbuat sesuatu yang salah itu ada di faktor-faktor yang udah gue sebutin di atas.

Globalisasi, as we all know, jadi biang kerok dari menurunnya morality generasi muda sekarang ini. Media sosial, terutama. Sebuah platform dimana orang-orang bisa sesuka hati mendapatkan apa yang mereka mau, dan selebihnya bisa dengan mudah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, but in negative ways. Dari penggunaan smartphone dan media sosial, peran orangtua bisa sangat sangat berperan untuk membentuk karakter anak mereka di lingkungan sekitar. Gue gak perlu ngejelasin lagi kalau sekarang anak kelas 3 SD juga banyak yang bawa gawai ke sekolah. Seringkali anak-anak muda yang labil dan bener-bener clueless soal etika ini justru kurang mendapat pengawasan dari orangtua mereka.

Para orangtua seperti belum sadar betul bahwa teknologi ini ibarat penyakit, virus yang bisa kapan saja hinggap di badan anaknya. Gak cuma soal pengawasan, pendidikan yang dibentuk dalam keluarga itu sendiri memberi pengaruh besar terhadap sikap sang anak. Ketika ada seorang siswa yang bersikap tidak sopan dan semena-mena kepada gurunya, maka bisa dipastikan ada yang salah dari sistem pembentukan karakter di keluarga mereka. Entah karena masalah broken home, situasi rumah yang kurang harmonis, atau orangtua yang sama-sama sibuk bekerja sampai gak ada waktu untuk anak mereka. Sehingga apa yang mereka bawa ke sekolah itu murni hasil dari yang dia dapatkan selama di rumah.

Tapi, gue harus akui, kondisi ini gak melulu diakibatkan dari lingkungan keluarga. Ada yang didikannya keras, tapi anaknya jadi kebawa keras. Ada juga yang keluarganya religius, tapi si anak bertindak berseberangan. Biasanya hal itu disebabkan oleh lingkungan sosial. Lingkar pertemanan yang dipilih nggak membantu dia untuk mengamalkan apa yang diajarkan orangtua dan guru di sekolah. Sisanya seperti yang gue sebutkan, nilai-nilai kehidupan terkait rasa peduli, tanggung jawab, kejujuran dan kedisiplinan menjadi timpang, yang dengan munculnya hal tersebut jadi bisa mempengaruhi perkembangan nalar si anak. Seiring dengan tingkat intelektualitas yang semakin tinggi, maka seharusnya kemampuan untuk berpikir kedepan, dan menimbang segala konsekuensi atas sikap yang ditunjukannya menjadi lebih besar. Sayangnya, rata-rata siswa yang di ambang batas itu kurang baik dalam mengelola perkembangan nalar mereka.

Jadi, apa dong yang mesti diubah?

Setiap kali kita bikin rumusan masalah, yang jadi jawaban pasti adalah tujuan dari mengapa rumusan masalah itu dibuat. Menurut gue, beberapa aspek yang gue sebutkan tadi sudah cukup menjadi jawaban bahwa itulah yang sedang menjadi krisis dalam pendidikan karakter anak bangsa. Artinya ranah itu yang bisa kita gali, yang bisa kita perbaiki. Dimulai dari pembenahan pada sistem pendidikan karakter di dalam lingkungan keluarga, ruang lingkup pertemanan atau pengaruh masyarakat, penggunaan smartphone, dan perubahan pola pikir remaja yang mesti selalu diarahkan. Bagaimana siswa ini mampu memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan baik, memperluas wawasan dan pengetahuan dalam ranah ilmu pengetahuan dan kehidupan sosial.

Melihat dari kasus yang baru-baru ini viral, gue pikir orangtua lah yang harus bertanggung jawab mendidik anaknya, bukan cuma apa-apa menyalahkan guru yang ada di sekolah. Pola pikir orangtua yang terlalu memanjakan anaknya harus berhenti menganggap bahwa sekolah itu tempat penitipan anak, karena sama sekali bukan. Sekolah bukan tempat dimana lo numpang membesarkan anak dan cuma diempanin materi pelajaran, setelah itu gak tau akan jadi apa anaknya nanti ketika bersosialisasi di lingkungan sosial. Sekolah itu tempat mencari ilmu, sebuah sarana dimana anak dituntut untuk memiliki moral dan etika yang tidak menyimpang, tempat mereka dibina dan didik.

Ketika mereka melakukan kesalahan, guru yang berhak menegur dan memperbaiki. Dan ketika anak mengadu kepada orangtua mereka terkait beberapa treatment pendidikan yang diberlakukan di sekolah, maka orangtua harus memberikan pengertian dan pendidikan tambahan yang semestinya di dalam keluarga. Kalau salah, ya salah. Kalau gurunya yang salah, ya bantu ingetin. Bukan asal main keroyok, atau lapor atas isu penganiayaan. Padahal salahnya sendiri kalau si anak gak bisa kooperatif dengan lingkungan dan norma-norma sosial di sekitarnya. 

Anyway, gue baru aja baca-baca soal pendidikan karakter, etika, moral, dan budi pekerti di sekolah. Sebenarnya semua hal yang menyangkut pendidikan sikap itu udah ada dari kapan tau. Hampir keseluruhan ada di setiap mata pelajaran yang ada di sekolah. Hanya saja kebanyakan apa yang disampaikan masih berupa pengenalan nilai-nilai atau norma, belum secara optimal menyentuh tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Intinya, pendidikan moral itu penting untuk memupuk sikap siswa agar menjadi pribadi yang tidak buta tata krama dan sopan santun. Dalam hal ini, gue jadi merasa setuju dengan senioritas secara general. Yang namanya menghormati dan menghargai seseorang yang lebih tua atau lebih tinggi dudukannya di atas kita adalah sebuah wujud dari etika yang mencerminkan moralitas bangsa.

Ini gue udah kayak nulis makalah daritadi, gak sadar udah 1600 lebih kata bray. Ada yang menyadari sesuatu gak? Atau menyadari ada yang kurang, gitu? Yep.

In the end, pendidikan agama lah fondasi yang teramat penting dan perlu untuk terus diberikan kepada anak-anak sejak dini, agar ketika mereka kehilangan arah, ada batasan yang bisa dihindari, ada hati yang bisa dijadikan pegangan. Islam, kristen, katolik, hindu, buddha. Terlepas dari pandangan masing-masing penganutnya, gue percaya semuanya mengajarkan kebaikan, dan menjadi pijakan dalam setiap tutur kata dan perbuatan penganutnya.

Akhir kata, gue ingin mengungkapkan rasa terimakasih dan syukur gue karena besar dan lahir di dalam keluarga yang cukup keras didikannya. Entah itu secara sosial atau agama. Berkaca pada segala problema yang gue alami sampai detik ini, mungkin gue udah jadi anak nakal dan brandal andai kata fondasi itu gak gue dapatkan sepanjang proses gue hidup.

Walaupun gak mungkin, karena mengingat dunia yang udah makin tua, tapi gak ada salahnya berharap. Semoga Indonesia bisa bangkit dari krisis moral. Aamiin.
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar

Bukti permasalahan akan sistem pendidikan di Indonesia

Tulisan ini seharusnya udah nangkring dari sebulan yang lalu, tapi akibat berbagai kesibukan dan kemalasan (again), akhirnya baru bisa gue publish sekarang. Berhubung hampir satu bulan kemarin pikiran gue seakan dicekokin dengan isu tentang pendidikan, keinginan untuk punya bahasan soal ini akhirnya terpecahkan.

Bicara soal pendidikan, jelas gue bukan satu-satunya orang yang langsung berpikir bahwa hal itu ibarat fondasi dan sangat sangat penting dalam kehidupan kita, walaupun setiap orang punya ukuran tersendiri tentang seberapa penting persentase pendidikan dalam hidup mereka. Apakah hanya untuk dapetin ijazah atau bener-bener ingin jadi orang yang berpendidikan? Who knows. Tetapi kalau kita bicara soal pendidikan di Indonesia, satu hal yang muncul di kepala gue adalah, kompleks. Kenapa? Karena saking banyaknya permasalahan yang ada terkait isu pendidikan. Mungkin beberapa dari kalian, begitupun gue, cuma tahu soal pendidikan yang kurang merata, pendidikan yang stuck di tempat walau anggaran mencapai lebih dari 400 triliun rupiah, kualitas pendidikan yang tertinggal 128 tahun dari negara lain, dan pendidikan yang seperti tidak berjalan seimbang dengan infrastruktur. Kenyataannya, permasalahan kita lebih dari itu.

Pada tanggal 21 – 25 Januari kemarin, gue baru saja mengikuti kegiatan PengMas atau pengabdian kepada masyarakat di daerah Parongpong, Lembang yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa di jurusan gue. Selama lima hari disana, ada banyak hal baru yang gue temukan seputar kehidupan masyarakat di daerah terpencil. Gue serasa diingatkan dengan sebuah artikel yang pernah gue baca di majalah digital online asal Australia, Inside Indonesia, tentang sudut pandang seorang ahli epidemiologi, penulis, dan petualang Elizabeth Pisani yang memilih cuti dari pekerjaannya pada akhir tahun 2011 untuk berpetualang di Indonesia, dan sampai saat ini telah melewati puluhan pulau di 27 provinsi. A Nation of Dunces merupakan salah satu hasil pengamatannya dalam isu pendidikan selama ia berada di pulau-pulau terpencil di Indonesia, dan artikel ini diterbitkan sekitar tahun 2013, yah, waktu yang sangat lama untuk gue baru menemukan situs ini di tahun 2018 kemarin, like, you need five years to know this kind of thing is existed! Buat yang pingin baca, gue taruh linknya di bawah, yep.

Pengalamannya selama tinggal di sebuah desa di Sulawesi Tengah, Palu, membawa Elizabeth pada keprihatinan dan kekhawatiran ketika melihat bagaimana sistem pendidikan Indonesia berjalan. Dari mulai sistem pengajaran termasuk komponen-komponen di dalamnya, sarana dan prasarana, dan sebagainya. Dari masyarakat pedesaan, pengajar, siswa, sampai berakhir di tangan pemerintah sendiri. Ternyata tanpa kita sadari, masih sangat banyak masyarakat disana yang buta huruf, dan gak ada sama sekali kesadaran dan kemauan untuk setidaknya bisa membaca. Gak cuma itu, mereka benar-benar bergantung dengan yang namanya kalkulator, bahkan hanya untuk penghitungan yang bagi kita selama ini mungkin udah ada di luar kepala sekalipun.

Elizabeth was sitting at ‘warung’, waiting to pay for her coffee. Two coffees, in fact, and two cakes. The warung owner whips out a calculator and starts to punch numbers into it: 2000 + 2000 + 1000 + 1000 = 6000. She gave him a 10.000 rupiah note. ‘Clear’, he punches. Then 10.000 - 6000 = 4000, and he counts out two 2000 rupiah notes and gives Eli her change. Meanwhile, other clients wait for their coffee. Is it really possible that he can’t do these sums in his head?

See?
Situasi lain yang juga berhasil bikin gue miris adalah ketika Elizabeth tinggal di salah satu rumah warga, dimana pemilik rumah tersebut adalah seorang guru. Yang beliau tahu, sekolah di Indonesia rata-rata masuk pukul 07.00 pagi, tapi saat itu ibu pemilik rumah bahkan belum siap-siap untuk berangkat ke sekolah dan masih sibuk di dapur. Elizabeth ini merasa, mungkin itu salahnya karena dia udah mengganggu kenyamanan dan ketenangan keluarga tersebut selama tinggal di rumah. Oleh karena itu dia inisiatif bertanya tentang jam berapa sekolah mulai KBM, tapi jawaban ibu tersebut justru berbanding terbalik dengan kehusnudzonannya. Intinya secara nggak langsung ibu bilang walaupun sekolah dimulai pukul 7 pagi, gak masalah kalau dia datang terlambat. Dan karena dari sekian guru yang biasa dateng cuma seperempatnya, bahkan kurang, maka sudah biasa kalau dia gak datang tepat waktu, murid-muridnya pasti bisa memaklumi. Elizabeth kemudian ikut ibu ke sekolah untuk bantu ngajar bahasa Inggris, dia kebagian kelas empat dan enam. Sementara ibu ngajar di kelas peganggannya, yaitu kelas satu. 

Terus gimana sama kelas dua, tiga, dan lima? Murid-murid yang usianya kisaran 7, 8 sampai 10 itu dikasih instruksi untuk masuk ke kelas mereka, ngerjain sesuatu lewat buku ajar, dan disuruh nunggu sampe guru mereka datang. Tapi pada kenyataannya, gak ada satupun guru yang terlihat mengajar atau datang ke sekolah, kecuali ibu.

Jadi, di sekolah tersebut satu guru biasa megang dua atau tiga kelas. Bukan karena jumlah pengajarnya kurang, tapi karena dari sekian guru, hanya sedikit yang bela-belain datang ke sekolah untuk mendidik anak-anak di desa tersebut. Situasi ini kembali mengingatkan gue dengan kondisi sekolah di daerah perbatasan, Entikong, Kalimantan Barat. Walaupun gue gak lolos seleksi tahap II untuk jadi volunteer di kegiatan PengMas disana, tapi sedikit banyaknya gue dapet cukup informasi lewat media sosial Beasiswa 10000. Sama sekali gak berbeda jauh, bahkan situasi di Entikong lebih parah. Pada satu sekolah, bisa dipastikan hanya ada dua guru yang mengajar dan beliau-beliau ini harus membagi antara kelas 1-3 dan kelas 4-6, tentu, dengan gaji yang ala kadarnya.

Iya lah, apa sih yang lo harapkan dari ngajar di suatu daerah perbatasan dan terpencil yang sama sekali gak mendapat perhatian pemerintah?

Kembali ke topik soal jumlah pengajar yang kasarnya udah sedikit, tapi justru gak semua dari mereka bersedia mengabdi untuk pendidikan. Cukup miris kalau ingat apa sebenarnya tujuan mereka jadi guru. Apa cuma untuk dapet jabatan dan supaya gak diledek sebagai pengangguran? Kalau gue sih kayaknya lebih milih jadi pengangguran dibanding punya profesi guru, tapi justru gak berkontribusi apa-apa di dalamnya. Dan ini juga yang sebenarnya jadi masalah cukup serius. Ada banyak orang yang kuliah untuk jadi guru, tapi justru nggak niat jadi guru. Mereka hanya mengandalkan profesi dan jabatan, akibat label PNS yang menggiurkan. Akhirnya yang bisa dihasilkan hanyalah dateng ke sekolah seminggu sekali tanpa memberi pengajaran apapun, alias cuma kasih materi yang ada di buku, terus siswa-siswanya disuruh nyalin, deh. Gak heran kalau masih ada masyarakat yang ngitung 2000 + 2000 + 1000 + 1000 aja masih pake kalkulator.

Tapi sih, usut punya usut, para pengajar yang gak dateng ke sekolah itu bertindak bukan tanpa alasan, tapi karena memang bantuan dan kepedulian dari pemerintah disana dirasa sangat kurang, seperti yang udah gue sebut-sebut sebelumnya. Segala fasilitas baik untuk pengajar dan siswa, serta tunjangan tidak begitu diperhatikan, padahal banyak dari mereka yang jarak antara rumah dan sekolah cukup jauh. Jadi, yang dituntut untuk berjuang bukan hanya murid, tetapi juga pengajar itu sendiri.

Situasi-situasi kayak gitu lagi-lagi gak jauh berbeda dengan apa yang gue alami ketika PengMas kemarin. Di SDN Tunas Karya, satu kelas dari setiap angkatannya rata-rata cuma ada 16 – 20 murid. Ketika gue tanya sama salah satu guru kenapa hanya sedikit siswa yang dateng ke sekolah tersebut, beliau bilang kalau orangtua anak-anak di sana ternyata masih kurang peduli akan pentingnya pendidikan. Di antara mereka masih ada yang berpikir, kalau wong cilik, wong deso ya jadi wong ndeso aja, gak perlu sekolah tinggi-tinggi, apalagi perempuan. Mereka lebih sering menyuruh anak-anak mereka untuk ngurus hewan ternak, ngasuh adik, atau ikut berkebun dan berjualan. Karena itu juga akhirnya guru-guru disana yang harus turun tangan dari rumah ke rumah untuk memberi pengertian kepada setiap orangtua supaya mau menyekolahkan anaknya. Gue yang awalnya suudzon sama guru-guru yang nggak datang ke sekolah dan cuma mengandalkan jabatan itu agak terketuk karena ternyata masih ada juga yang peduli dengan murid-muridnya, terkhusus dengan kondisi yang memprihatinkan tentang masyarakat yang kurang memperhatikan pendidikan anak mereka di saat situasi udah meng-global seperti sekarang. Terus beliau juga cerita, kalau total pengajar di SD tersebut ada 8 orang, tapi yang biasa dateng cuma setengahnya, maksimal lima. Most of them juga rumahnya cukup jauh dari sekolah. Again.

Setelah gue pikir-pikir, sebenarnya semua masalah saling berkaitan. Gak cuma tertumpu pada pemerintah, serta para birokrat yang cuma mengejar jabatan dan lupa pekerjaan, tapi juga terletak pada tingkat kesadaran masyarakat terhadap pendidikan yang rupanya masih belum merata sempurna. Situasi ini udah kelewat memprihatinkan, apalagi kalau melihat bahwa kita udah bukan tinggal di era 60-an dimana nggak sekolah karena sekolah jauh dan sulit itu masih suatu kewajaran. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, jantungnya masalah itu ada di akar. Akar dari sebuah tindakan itu ada pada pemikiran, bukan? Dan ini yang harus ditanam pada masyarakat pedesaan yang kurang peduli akan pendidikan. Supaya anak-anak mereka gak tumbuh jadi pribadi yang apatis dan nggak mewarisi kebobrokan orang-orang di birokrat.

Omong-omong, gue bukan mau sok idealis. Gue juga gak bener-bener amat jadi orang. Lempeng aja. Gue cuma percaya bahwa sesuatu yang buruk itu bisa diubah, bisa dipoles, karena gue peduli dengan kondisi lingkungan dan masyarakat gue bertahun-tahun yang akan datang. Gue gak mau tinggal di suatu negara yang stuck, karena masyarakatnya cukup setia dengan label negara berkembang, yang sebenarnya gak berkembang-berkembang amat. Gue juga gak mau negara gue dicap gagal padahal kita terlalu besar untuk itu, hanya karena terlalu banyak guru, tetapi terlalu sedikit yang diajarkan.

There is as yet no system for rewarding people who work harder, who teach better, who inspire kids to think, to explore, to develop their potential.

Mengutip dari artikel tersebut, menurut gue negara kita memang masih belum sadar betul bahwa yang namanya timbal balik dan penghargaan itu dibutuhkan dalam suatu pekerjaan. Bukan, gak melulu harus tentang gaji. It's not aall about money. Gue yakin ada yang lebih membahagiakan dari sekadar memberi tunjangan atau gaji yang naiknya gak seberapa. Ada perkara yang lebih besar dari itu. Kalau gue boleh sedikit puitis, contohnya menunduk ke bawah, melupakan sejenak kerusuhan yang dibuat orang-orang tamak di depan sana, dan menyadari bahwa kita kelak akan tua. Ada wajah-wajah baru yang harus menelan kepahitan karena kita. Ada semangat baru yang harus menyongsong bumi pertiwi. Minimal peduli aja dengan masa depan anak-anak bangsa, gue rasa dengan itu udah jadi semangat untuk guru-guru di daerah pedalaman sana yang hopeless dengan kondisi pendidikan mereka.

Karena tanpa disadari, akhir-akhir ini kita itu terlalu sibuk cuap-cuap soal presiden, pemerintahan sekarang, orang-orang yang tahu hukum saling sindir dan lapor akibat ucapan mereka sendiri, seakan-akan hanya itu permasalahan negara. Asal kalian tau aja, orang-orang yang tinggal di desa terpencil sana mana peduli sama pemilu. Gak sedikit dari mereka yang nggak kenal sama salah satu paslon, atau keduanya, atau bahkan pemimpin mereka yang sekarang. Yang mereka tahu, mereka cuma harus berjuang tiap hari buat makan, melangsungkan hidup. Yang mereka harap cuma pemerintah yang lebih maju, yang nggak cuma cuap-cuap pas lagi kampanye, yang gak cuma ngomong depan kamera selayaknya artis.

Akhir kata, gue harap pemerintahan yang baru nantinya bisa lebih aware dengan kondisi pendidikan, alias gak cuma bangun ini itu hanya supaya bisa bersaing dengan negara lain. Jumlah dan kualitas pengajar di setiap desa baik di daerah-daerah terpencil atau perbatasan bisa sama rata, tentunya dengan penghasilan dan tunjangan yang lebih baik. Gue harap juga kualitas pengajaran yang diberikan bisa sesuai dengan keadaan jaman sekarang dimana para siswa dituntut untuk berpikir lebih kreatif dan inovatif, jadi problem solver dari sejak dini dan gak melulu dikasih ceramah sama guru. Gue rasa akan lebih membanggakan kalau anak-anak muda kita yang justru nangkring di deretan universitas-universitas bergengsi di luar negeri, atau kompetisi-kompetisi bertaraf Internasional dengan segudang prestasi mereka. Apalagi kalau di dalamnya diisi oleh mereka-mereka yang datang dari pedalaman, yang selama ini gak mendapat pendidikan setaraf dengan mereka yang tinggal di perkotaan. Terharu gue ngebayanginnya:') Semakin terharu kalau ngebayangin tentang negara gue yang, sayang, terlalu besar untuk gagal. Sekian.

Link:
http://www.insideindonesia.org/a-nation-of-dunces





Share
Tweet
Pin
Share
3 komentar

Eksistensi silent majority yang merugikan

Sebuah perbincangan singkat lewat aplikasi WhatsApp dengan teman gue semalem tiba-tiba mengingatkan gue akan suatu keadaan sosial yang secara gak sadar punya dampak cukup besar di society.

Sebelum itu, gue mau cerita dulu. Jadi dari dulu gue seneng banget bikin cerpen, sampe pernah hampir bikin novel waktu kelas satu SMA, bahkan udah setengah jadi, judulnya Kala Musim Semi Menyapa. Buat yang berteman sama gue di facebook, mungkin nyadar gue dulu suka posting kutipan yang ada hashtagnya, nah itu kutipan dari cerita yang gue tulis. Cerita ini juga udah gue bikin covernya dan sekarang gue simpen di draft wattpad, andai kata suatu waktu bisa gue publish disana. Tapi karena kesibukan dan lain-lain, pada saat itu inspirasi seakan hilang gitu aja dan gak ada mood buat lanjutin. Jadilah sampe sekarang terkatung-katung. Gue juga sempet ikutan beberapa kontes menulis cerpen, jadi kontributor dari mulai yang temanya hijrah cinta, kekoreaan, sampe keluarga, dan salah satunya Alhamdulillah masuk dua puluh besar. Bahagia banget rasanya waktu itu. Terus gue juga kadang bikin puisi kalau lagi mood merangkai kata-kata, tapi kebanyakan sih ini cuma gue simpen di diary (not diary at all. Let's just say buku catetan). Gue juga seneng banget bikin cerita bersambung yang gak ada endingnya. Sekarang sih gak tau itu buku ilang kemana. Pokoknya gue dulu penulis banget lah anaknya. Hello mellow goeslaw gitu. Sekarang bisa dibilang gue hampir gak pernah lagi nulis cerpen atau cerita-cerita fiksi lain (kecuali ff). Ada sih beberapa, tapi gak sampe selesai.

Nah, semalem temen gue ini seakan mengingatkan gue tentang hobi itu dengan nawarin diri buat translate cerpen gue—kalau-kalau gue punya cerpen—ke dalam bahasa yang sedang dia pelajari. Terus gue bilang, gue gak punya cerpen sekarang, soalnya lagi seneng cuap-cuap aja, gak ada inspirasi. Biasa aja sih emang, gue yakin dia juga gak akan mikir kalau gue kepikiran sama ucapan doi. Setelah itu dia bales, jangan cuap-cuap melulu, produktif, mulai lagi bikin cerita baru.

Lantas yang membuat gue kepikiran dari obrolan itu adalah, apa yang salah dengan cuap-cuap? Apakah cuap-cuap aja bukan produktif? Btw yang gue maksud dengan cuap-cuap disini adalah menulis opini atau segala macam keresahan terhadap beberapa situasi yang terjadi di lingkungan sekitar, walaupun bisa juga curhatan-curhatan gak penting. Temen gue emang gak bilang itu salah, dia cuma menyemangati gue supaya lebih produktif menghasilkan karya yang bener-bener karya. That’s it. Tapi entah kenapa sekarang ini gue justru merasa lebih kepingin jadi orang yang nggak cuma bisa diem ketika merasa sudah seharusnya speak up dan ketika merasa nggak nyaman dengan beberapa situasi. Gue merasa sudah bukan waktunya gue nyaman jadi apatis dan sibuk berimajinasi. Walaupun hasil tulisan gue di blog ini belum bisa dibilang banyak, tapi jauh di hati gue yang terdalam ada banyak banget keresahan yang ingin gue tumpahkan. Asal tau aja, gue punya banyak draft yang belum dilanjutin sama sekali karena nge-stuck. Dan yang paling penting sih gue merasa ingin keluar dulu dari bubble gue. Bubble yang selama ini terbatas pada fiksi, khayalan dan imajinasi, ingin gue perbesar jadi tidak terbatas, dan melampauinya:)

Sekarang ini otak gue seakan-akan sedang mendukung untuk lebih concern dengan keadaan sekitar, isu-isu sosial, dan berhenti jadi orang yang bisanya cuma mengamati ketika melihat ada berbagai kubu yang saling bertentangan di media sosial. Kalian tau silent majority? Yep, sebuah istilah yang disematkan kepada mayoritas orang yang pasif dalam menyuarakan pendapat mereka. Si mayoritas ini yang secara gak sadar memberi dampak negatif dalam kehidupan bermasyarakat kita.

Lebih jelasnya, silent majority adalah sekumpulan orang yang memilih untuk bungkam karena merasa lebih aman daripada harus bersitegang dengan mereka yang aktif dalam memberikan suaranya. Mereka lebih berhati-hati saat memutuskan untuk berbicara dan menunjukkan keberadaannya kepada orang banyak, karena merasa takut dan enggan menimbulkan perdebatan sehingga benar-benar menjaga hubungan dengan orang sekitar. Lalu bertindak seakan diamnya mereka adalah tanda setuju, padahal diam nggak selalu berarti persetujuan. Dan sebenarnya silent majority ini yang justru punya pemikiran-pemikiran masuk akal sehingga mereka lebih sering memposisikan diri di tengah. Orang-orang ini biasanya lebih mengamati perkembangan isu-isu yang ada, tapi nggak mau bersuara karena alasan-alasan di atas. Bisa dibilang gue termasuk kelompok ini. Bukan karena gue sedang akting atau berlagak polos, tapi memang begitu kenyataannya. Itu sebabnya gue bilang bahwa gue ingin keluar dari zona dimana gue hanya nyaman dengan kata-kata indah, tokoh-tokoh menarik dan cerita fiktif belaka.

Selama ini gue sadar bahwa gue terlalu apatis dengan berbagai hal yang ada di sekeliling gue dan lebih milih cukup tau ketika menjumpai orang-orang yang senang berargumen tanpa common sense yang benar-benar bisa diterima. Gue memilih untuk bungkam ketika mendapati situasi dimana ada beberapa orang yang menyerang pihak-pihak tertentu dengan senjata kepercayaan diri dan playing God serta men-Tuhan-kan ego, seakan apa yang mereka utarakan itu benar padahal justru nihil. Gue inget sekalinya ikutan komen, dibalesnya ngelantur kemana-mana dan lagi-lagi kaum ini malah playing victim dengan masih tetap berlagak pendapat mereka adalah yang paling benar. Alhasil gue jadi semakin males untuk ngeladenin pemikiran-pemikiran orang yang hobinya pointing out kayak gini. Berkaca pada situasi ini jelas gue yakin ada banyak banget orang-orang di luar sana yang hanya berakhir diam di tengah-tengah, membiarkan para vocal minority bertindak sesuka hati mereka, karena merasa berbicara mewakili mayoritas adalah kegiatan buang-buang waktu dan tenaga. Yea, vocal minority, kebalikan dari silent majority dimana isinya adalah orang-orang yang senang dan aktif menyuarakan pendapatnya but not in a good way, playing God dan senang pencitraan. Bahkan pernah suatu ketika ada yang mengaku-ngaku bahwa mereka adalah mayoritas yang sedang menyuarakan pendapatnya. Ckck, what does that mean?

Anyway, gue punya beberapa temen yang sering gue ajak diskusi dan gue mintai pendapatnya soal beberapa masalah, entah yang sudah atau bahkan sedang terjadi, dan dari jawaban-jawaban mereka secara gak langsung memberi gue ilham, bahwa temen-temen gue ini termasuk orang yang 'waras' tapi berakhir hanya sebagai pengamat, karena merasa gak ada artinya berbicara, ketika orang-orang yang merasa waras lebih banyak di luaran sana. Gue jadi semakin sadar, kita gak bisa selamanya begini terus. Membiarkan orang-orang merampas hak bersuara dan berpendapat kita hanya karena mereka merasa paling benar, hanya karena mereka berlindung di bawah oknum-oknum tertentu.

Tadi gue sempet bilang kalau silent majority ini justru berdampak negatif terhadap kehidupan bermasyarakat, kan? Kenapa? Karena terkadang kita terlalu apatis, unaware, masa bodo padahal apa yang sedang terjadi sebenarnya bisa berdampak untuk jangka panjang dan akan jadi berabe kalau ternyata orang-orang di baliknya ini adalah vocal minority. Kalau keadaan ini terus dibiarkan, yang ada kita membiarkan orang-orang yang berisik dan penuh pencitraan itu terus berada di atas, seakan suara mereka adalah mayoritas. Kita membiarkan mereka menguasai berbagai platform media di sekitar kita, tanpa sadar bahwa kita baru saja diam tanpa memberi solusi. Kita sepertinya lupa bahwa silent majority punya pengaruh yang sangat besar, baik dalam perkara-perkara kecil yang sering kita temuin di media sosial, atau bahkan perkara yang besar sekalipun. Kita ini punya kekuatan yang bisa mengubah sekaligus menyingkirkan suara-suara picik di luar sana.

Omong-omong soal kekuatan, gue serasa diingatkan bahwa dalam hitungan bulan negara kita akan menyelenggarakan pilpres. Sebagai generasi muda, gue rasa sudah sepatutnya kita mulai bergerak dan berhenti jadi golongan putih hanya karena merasa negara ini nggak akan ada bedanya kalaupun ganti kepemimpinan, atau hanya karena masa bodo dengan segala urusan birokrat. It's such a very shallow thought, you know? Kita tinggal di negara demokrasi (dan akhirnya kata ini malah keluar) dengan segala konsekuensi sebagai warga negara. Apakah kita mau terus membiarkan orang-orang licik yang tak bertanggungjawab memanfaatkan suara kita? Nggak, kan? Kalau ada yang berpikir diam itu baik, diam itu emas, kayaknya mesti baca-baca lagi deh. Diam itu menjadi emas ketika kita menahan diri dan menjaga lisan dari sesuatu yang mengandung maksiat dan mengakibatkan kemudhorotan. Kalau sekiranya bisa bersuara untuk kebaikan, kenapa nggak? Di saat vocal minority berlomba-lomba menyuarakan pendapatnya, kita sebagai silent majority yang waras dan nggak mudah dibodohin masih diam aja?

Diam itu tidak selalu berarti baik, kalau digunakan untuk berusaha melindungi diri dan menutup mata atas kesalahan dan keburukan yang sedang terjadi. Kalau masih ada yang berpikir lebih baik menonton daripada menciptakan, diam kalian bukan berarti emas.
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Kata siapa nikah muda itu mudah?

Akhir-akhir ini pertanyaan seputar nikah muda lagi nangkring di kepala gue. Tapi bukan, bukan pertanyaan tentang 'kapan gue nikah?' atau 'kapan gue bisa ketemu jodoh?'. Lebih jelasnya adalah pertanyaan tentang kenapa anak muda sekarang seakan-akan lebih semangat buat nikah ketimbang membangun masa depan yang lebih baik, supaya nantinya gak asal nikahin anak orang dan punya anak, tapi selepas itu gak tau how to parent a child.

Gue muslim, dan tahu betul bahwa kita memang sudah ditakdirkan hidup berpasang-pasangan, bahwa menikah itu sebagian dari ibadah, bahwa menikah itu dapat menjauhkan kita dari zina. Zina apapun itu termasuk mengenal lawan jenis tanpa adanya ikatan apapun yang berujung pada dosa. Menikah juga bisa mempermudah jalannya rezeki, karena apa yang kita lakukan, apa yang kita kerjakan insya Allah nggak cuma balik ke diri kita sendiri, tapi juga untuk suami/istri, atau untuk anak-anak nantinya. Bahkan memberi nafkah keluarga dalam islam itu sejatinya dihitung sebagai sedekah yang utama. Namun seiring dengan itu, yang gue lihat, orang-orang jadi malah menganggap bahwa pernikahan itu adalah sesuatu yang mudah. Sesuatu yang gak perlu dipikirin dengan serius, karena toh tujuannya adalah untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.

Seperti yang mungkin kalian semua tahu, sekarang rasanya banyak banget akun-akun dakwah yang menyiarkan tentang nikah muda, dan seakan-akan cuma topik tentang itu yang bisa dibagikan. Hampir di setiap akun keislaman yang gue temuin, semuanya pasti ada bahasan tentang mengkampanyekan nikah muda. Sebetulnya gue sama sekali terbuka tentang topik apapun itu yang memang isinya positif. Apalagi ini kan dakwah, mensyi'arkan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh kita sebagai muslim. Tapi apa yang gue temukan justru berbanding terbalik dengan harapan gue. Jelas, yang namanya kampanye pasti ada sesuatu yang perlu ditonjolkan dari 'gerakan' atau topik yang bersangkutan. Nah, isu yang mereka angkat itu yang buat gue tidak habis pikir.

Pertama, hampir semua topik seakan ngejurungin anak muda untuk segera nikah dengan mengiming-imingi malam pertama, dan justru menyinggung mereka yang masih pada jomblo. Kurang lebih kayak gini, 'masih mau ngejomblo? Gak mau malam pertama?', 'gimana nih malam pertamanya yang udah nikah?', dan masih banyak lagi. 

Tiga kata yang terlintas di pikiran gue ketika membaca itu adalah, wth. Dipikir nikah itu cuma buat malam pertama? Jangan-jangan ini orang kebanyakan nonton iklan, sampe ngomongin nikah aja bahasanya marketing banget. Apa sih yang ada di pikiran kalian ketika ngomong gitu wahay anak muda? Dan bisa kalian lihat tentang kata jomblo disana. Ini juga yang bikin gue gak habis pikir. Salah satu tujuan nikah itu kan untuk menghindari zina, bukan menghindari kejombloan. Apakah semua orang yang jomblo itu berkemungkinan untuk melakukan zina? Apa kabar dengan orang-orang yang sudah menikah, tapi punya hubungan lain di luar pernikahannya? Men, zina itu akan selalu ada kalau kita gak bisa menahan diri dan menjaga keimanan kita. Bahkan ketika lo sudah menikah, bukan tidak mungkin lo akan bertemu dengan kemudhorotan lain yang berkaitan dengan zina. Gak akan ada yang namanya pelakor kalau gak ada zina yang mesti kita hindari dalam pernikahan.

Jadi, kenapa mesti menyinggung mereka-mereka yang masih jomblo? Gimana kalau seandainya orang-orang yang menjomblo ini justru sedang sibuk bermuhasabah, sibuk bekerja buat ngebahagian orangtua/keluarga mereka, sibuk memperbaiki diri untuk bertemu dengan jodoh yang lebih baik dari dirinya? We'll never know kalau kita tidak pernah menyelami hidup masing-masing orang. Hanya Allah yang tahu apa isi hati hamba-Nya, right?

Kedua, beberapa orang yang sudah menikah seakan-akan menggoda mereka yang belum nikah dengan bikin perbandingan antara gaya orang yang pacaran tapi belum halal, sama orang yang pacaran tapi udah halal alias udah nikah. Okay, gue gak masalah dengan itu selagi bahasanya nggak terkesan menyudutkan dan nggak terkesan seakan-akan cuma lo yang paling benar. Ini juga menurut gue sah-sah aja kalau memang perbandingan itu bisa jadi bahan renungan buat mereka yang masih terlena dengan yang namanya pacaran untuk gak melakukan hal-hal yang jelas dilarang. Tapi yang gue khawatirkan dari ini adalah tujuannya. Niatnya. Apa dia benar-benar berusaha ngajak temennya ke jalan yang benar atau cuma pingin nunjukin betapa indahnya kehidupan dia setelah nikah?

Well, gue berusaha untuk tidak suudzon, karena ini masalah hati dan niat yang gak bisa gue telusuri. Gue hanya khawatir dengan iming-iming bahwa kehidupan pacaran setelah halal itu akhirnya jadi mempengaruhi orang-orang sebagai tujuan utama kenapa mereka decided untuk nikah muda. Karena lagi-lagi gue bilang, nikah itu gak segampang itu cuy. Gue takut apa yang mereka bagikan ke temen-temen atau followers-nya itu justru jadi toxic, karena orientasi orang-orang yang mikir bahwa nikah itu harus dengan kesiapan malah beralih jadi hanya terfokus pada bagaimana enaknya kehidupan pacaran setelah nikah. Seakan-akan hidup itu milik berdua, asal ada kamu aku bisa hidup, asal makan nasi sama garem aja jadi yang penting ada kamu. Klise.

Nah, kalau yang ketiga ini gue denger dari slentingan-slentingan bahwa alasan dari pentingnya untuk nikah muda itu adalah karena kita sekarang sedang ada di penghujung jaman. Dunia ada di masa-masa kritis. Sebagai umat muslim, gue tahu ini jadi semacam kekhawatiran. Alhamdulillah kita jadi semakin berlomba-lomba untuk berbuat baik, berbagi hal-hal positif dan memanfaatkan media sosial sebagai ajang dakwah. Cuma lucu aja rasanya kalau karena alasan tersebut kita jadi berlomba-lomba untuk menikah tapi tanpa tahu ilmunya. Tanpa benar-benar memahami makna dari penikahan itu sendiri. Apalagi sampe ada yang bilang kayak gini, "bentar lagi dajjal keluar, lo buruan gih nikah!"

Geez, merinding gue dengernya juga.

Sebenarnya masih ada beberapa hal yang bikin gue gondok dan gak bisa berkata-kata. Kok segitunya banget sih ngajak orang-orang buat nikah muda? I mean, menikah itu kan pilihan setiap orang. Apa yang bagi sebagian orang baik dan indah, belum tentu demikian bagi sebagian yang lainnya. Setiap orang udah ada bagian masing-masing dalam hidupnya. Gue bicara kayak gini bukan tanpa alasan. Selama 19 tahun hidup di dunia, ada banyak banget hal yang bikin gue belajar untuk berhati-hati dalam melangkah. Termasuk dalam memandang pernikahan. Gue bukan lahir dari keluarga yang harmonis dan utuh. Gue banyak mengamati kehidupan pernikahan sampai pada detik ini, dan dari hasil observasi itu gue menyimpulkan bahwa nikah tidak mudah seperti kelihatannya.

Ketika lo menikah, artinya lo sudah siap dengan segala problema yang menanti di depan sana. Dari hal-hal kecil sampe hal-hal yang besar sekalipun. Dari masalah financial sampe hal-hal yang berkaitan dengan anak. Karena, again, nikah itu pada akhirnya bukan hanya tentang aku dan kamu, bukan hanya tentang kita berdua, tapi tentang masa depan. Komitmen. Bagaimana kita seharusnya bertindak sebagai suami atau istri. Apa aja yang mesti dilakukan istri kepada suami dan sebaliknya. Ditambah kenyataan bahwa menikah itu adalah menyatukan dua keluarga. Memiliki dua orangtua yang mesti kita sayangi dan hormati. Jelas tanggung jawabnya lebih besar.

Anyway, satu hal yang mesti gue lurusin disini adalah, gue tidak sedang nge-blame mereka yang nge-share tentang nikah muda atau bahkan mereka yang sudah menikah. Temen-temen gue juga banyak kok yang udah nikah. Mereka sepantar dengan gue, dan gue justru salut sama mereka karena untuk membayangkan ada dalam proses pernikahan sekarang aja gue nggak bisa. Sementara temen-temen gue ini, mereka siap untuk memulai hidup dengan orang lain, bahkan punya yang namanya keluarga baru.

Semua ini hanya keluhan dan tumpahan dari kekesalan gue, seorang anak yang merasa bahwa pernikahan itu tidak bisa dibandingkan cuma dengan pacaran versi halal. Karena ada banyak banget hal-hal yang lebih besar dari sekadar gandengan berduaan tanpa takut dosa, atau sekadar tidur ada yang nemenin. Beberapa hal yang gue sebutkan di atas itu cuma sebagian dari 'bonus' yang bisa lo dapatkan hikmahnya ketika menikah.

Gue pikir kita gak cuma harus bijaksana dalam bersikap, tapi juga harus bisa lebih bijak dalam berkata-kata, apalagi di era digital dimana satu postingan dalam satu kali sentuhan jari lo itu bisa menyebar dalam waktu yang singkat. Bahkan mungkin bisa mempengaruhi orang-orang dalam waktu sepersekian detik. Apa yang kita sebarkan, apa yang kita ucapkan itu tentu ada pertanggungjawabannya. Kalaupun temanya adalah tentang mengajak kepada kebaikan, akan tetap jadi lain cerita kalau orang yang baca atau orang yang nangkep ilmunya malah menjabarkannya dalam arti lain. Islam itu indah. Harusnya kita bisa menyampaikan apa yang akan kita sampaikan dengan cara yang elegan. Bukan dengan cara yang 'toxic'. Apalagi dengan embel-embel ayat Qur'an padahal apa yang sedang dia sampaikan justru keluar dari konteks yang sesungguhnya.

Oiya satu lagi, fakta-fakta yang udah gue sebutin di atas itu ngingetin gue sama keadaan yang teramat mainstream di sekitar kita tentang pertanyaan yang muncul di saat seorang laki-laki dan perempuan sudah menginjak kepala dua, yaitu "kapan nikah?".

Gue pikir hal-hal tersebut gak ada bedanya sama pertanyaan klasik yang biasa dilontarkan oleh orang-orang itu. Bahkan sampe saat ini jujur gue tidak mengerti kenapa ada aja orang yang bikin standar tersendiri bahwa perempuan itu harus menikah ketika umurnya udah 23 tahun ke atas. Apakah ada dalil yang menentukan seseorang untuk menikah di usia tertentu? Please, jangan jadi manusia-manusia yang seneng ngasih tekanan tentang suatu hal yang sakral dan bukan hak kita. Karena dengan demikian, artinya kalian sedang menggadaikan kehidupan calon anak yang lahir akibat orangtuanya menikah atas paksaan dan tekanan. Na'udzubillah.
Share
Tweet
Pin
Share
9 komentar
Newer Posts
Older Posts

Are you new here? Read these!

  • Setara Belajar, Belajar Setara
  • Marah-Marah Virtual: Gaya Ospek yang Regresif
  • Terlalu Besar Untuk Gagal
  • Kenapa Kita Misoginis?
  • Just Listen
  • Bukan Salah Indonesia

About me

About Me

An INTP-T woman | Basically a logician | Addicted with everything imaginative and classic; especially classical music | Potterhead, no doubt.

My Podcast

Newsletter

Get new posts by email:

Popular Posts This Week

  • Kiamat Sudah Dekat
  • by.U: Solusi #SemuanyaSemaunya
  • Cuma Cerita #2
  • Mengenal Jepang Lewat Kaligrafi Shodo dan Shuuji
  • Cuma Cerita
  • The Phantom of the Opera: Di Balik Danau
  • Priority Chat
  • Bukan Salah Indonesia
  • Bad For Good
  • Blog Story

Blog Archive

  • ▼  2023 (1)
    • ▼  Februari 2023 (1)
      • Kejar Passion itu Omong Kosong
  • ►  2022 (9)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  Oktober 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (2)
    • ►  Februari 2022 (2)
  • ►  2021 (30)
    • ►  Desember 2021 (1)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  September 2021 (6)
    • ►  Juli 2021 (3)
    • ►  Juni 2021 (2)
    • ►  Mei 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  Maret 2021 (5)
    • ►  Februari 2021 (1)
    • ►  Januari 2021 (5)
  • ►  2020 (46)
    • ►  Desember 2020 (4)
    • ►  November 2020 (6)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  Agustus 2020 (10)
    • ►  Juli 2020 (8)
    • ►  Juni 2020 (4)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (1)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Februari 2018 (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  November 2017 (1)

Pengikut

Categories and Tags

digital marketing Intermeso karir Krisis 1/4 Abad lifestyle Opini Perempuan Podcast Poetry Review slice of life Thoughts

About • Disclaimer • Privacy • Terms and Conditions
© Notes of Little Sister by Just Awl | Theme by ThemeXpose | All rights reserved.