Body Positivity Bukan Validasi

by - Maret 23, 2022

Body Positivity Bukan Validasi


Teman-teman, ada yang masih ingat? Lebih dari setahun yang lalu, jagat maya kita sempat dihebohkan oleh pernyataan salah satu influencer yang sempat keblinger freedom of speech, karena mengata-ngatai tubuh seseorang di tempat gym dengan sebutan "polusi visual". 

Kemudian setelahnya, muncul lagi pernyataan kontroversial dari MH, seorang model alias "Menteri Kecantikan" yang mengeluh di media sosial pribadinya dikarenakan standard kecantikan Victoria Secret's Angels dan tayangan Gossip Girl favoritnya kini telah bergeser dari yang ia yakini selama ini. Seolah tak kuasa menahan kekesalan, dengan lantang ia melabeli "buriq" seorang perempuan berkepala pelontos dan berkulit gelap yang diketahui sebagai pemeran baru seri Gossip Girl.

Ujaran tidak mengenakan terhadap perempuan yang dianggap tidak memiliki tubuh seperti standard masyarakat juga pernah dialami oleh Nurul, seorang atlet angkat besi sepulang dari Olimpiade Tokyo di Bandara Soekarno-Hatta pada pertengahan Agustus tahun lalu. 

Sikap ini seakan-akan semakin melanggengkan eksklusivitas standard kecantikan yang tidak merangkul semua kalangan dan jenis tubuh. Karena itu, gerakan women support women pun tampaknya hanya berlaku untuk lingkaran tertentu.

Pergelutan di media sosial terhadap self-acceptance semacam ini lagi-lagi menunjukan adanya miskonsepsi perihal body positivity. Bagi orang-orang bertubuh "privilege" yang bisa sesuai dengan standard Victoria Secret, gerakan body positivity tampaknya hanyalah bentuk validasi rasa malas bagi orang-orang yang tidak bisa memiliki badan seperti bihun—kurus, langsing, dan berkulit terang. Seakan-akan perjuangan mayoritas perempuan selama berpuluh-puluh tahun tak ada artinya bagi mereka. Padahal body positivity, atau gerakan mencintai dan menerima diri tanpa harus sesuai dengan standard yang berlaku di masyarakat ini sudah diperjuangkan sejak tahun 1960-an di Amerika Serikat.


Asal Usul Kampanye Body Positivity

Kampanye ini berawal dari adanya tindakan diskriminatif terhadap orang-orang yang berbadan gemuk.  Fat Acceptance dan Fat Liberation diusung oleh kelompok NAAFA (National Association for Advancement of Fat Acceptance) dan juga feminisme yang aktif di California. Mereka lalu menerbitkan manifesto yang inovatif, dimana isinya ialah menuntut kesetaraan bagi para pemilik tubuh gemuk atau penyandang obesitas dalam seluruh aspek kehidupan. Mereka bahkan menyinggung perihal industri-industri tertentu yang berperan dalam mendukung standard kecantikan dan budaya diet, hingga menyatakan industri ini sebagai musuh.

Gerakan perjuangan inipun terus berkembang pesat. Pada tahun 1980-an, antusiasme terhadap pembebasan orang gemuk dari diskriminasi mulai terus tersebar ke penjuru dunia. London Fat Women’s Group menyusul terbentuk pada pertengahan 80-an dan aktif selama bertahun-tahun. 

Orang-orang memang tidak menggunakan istilah Body Positivity pada masa itu, tapi para aktivis yang berperan dalam menyuarakan anti-diskriminasi pada penyandang obesitas ini dapat dengan mudah dijumpai di berbagai acara talk show dan media lainnya. Lalu pada era 90-an, aktivis-aktivis tersebut berdemonstrasi di depan White House, menggelar protes di depan pusat kebugaran yang memajang iklan bernada fatphobic, dan menari-nari bersama rombongan kendaraan pawai pada parade San Francisco’s Pride.

Topik yang kemudian mencuat tentang dorongan mencintai tubuh sendiri ada yang membingungkan beberapa pendengar, namun di saat yang sama juga ada banyak orang yang merasa terinspirasi. Mungkin karena pada saat itu istilah self-love, self-acceptance, dan body positive tidak lazim seperti sekarang. Tampaknya orang-orang ini berpikir bahwa, jika seseorang yang terlihat seperti mereka (dianggap tidak sesuai standard kecantikan) saja bisa belajar untuk mencintai diri sendiri, siapapun tentu bisa. 


Hingga memasuki awal 2000-an, internet akhirnya menjadi salah satu platform dimana berbagai bentuk penghinaan terhadap tubuh orang lain dan kampanye tentang mencintai tubuh sendiri mulai banyak tersebar. Meski kondisi tersebut dibarengi dengan munculnya anonimitas (orang-orang yang tidak menunjukan identitas diri di media sosial) dan menyebabkan perundungan, namun kondisi ini tidak dapat terelakan juga menunjukan bentuk ekspresi diri.

Ketika beragam papan pesan dan ruang obrolan tahun 90-an digantikan dengan media sosial, para aktivis ini terus membangun aksinya secara digital. Mereka berpindah dari grup AOL dan forum online NAAFA ke Tumblr dan Instagram. Adanya tagar dan grup-grup Facebook pun membantu banyak orang untuk terhubung dengan cara yang baru. Generasi yang baru ini kemudian menyebarkan aura positif yang dikenal sebagai Body Positivity


Menerapkan Body Positivity, Tak Mesti Jadi Toxic Positivity

Bagi orang-orang yang memiliki badan lebih kecil dan minim mendapat ejekan seputar kondisi tubuh, mungkin merasa bahwa gerakan body positivity hanyalah bentuk validasi atas rasa malas mereka yang bertubuh gemuk untuk memiliki gaya hidup lebih sehat. Nyatanya, tujuan awal kampanye ini adalah untuk meyakinkan orang-orang bahwa siapapun harus diperlakukan dengan baik, tidak peduli bagaimana bentuk badan mereka, warna kulit mereka, hingga cantik atau tidak rupanya. Toh, segala standard cantik yang berlaku di masyarakat tidak bisa menentukan bagaimana value diri seseorang, dan bagaimana ia berperilaku di lingkungan sekitarnya.

"Lantas, bagaimana kalau para penyandang obesitas atau pemilik tubuh gemuk itu sendiri yang menjadikan ini validasi?"

It's not the campaign that is wrong. It's on them and their mindset. Karena biar bagaimanapun, gue percaya tubuh yang sehat adalah kunci untuk hidup yang juga lebih sehat. Dan gue rasa, mereka sendiri sadar bahwa tubuhnya adalah aset berharga yang mesti dijaga, dirawat dan diberi asupan gizi dengan baik agar bisa bugar hingga tua nanti. Percayalah, gue yang memiliki tubuh kurus pun masih berjuang untuk bisa memiliki hidup yang lebih sehat, dengan pola makan yang teratur dan bergizi. Lagipula, kenapa sih, badan kurus dan langsing harus diasosikan dengan tubuh yang indah dan molek? Apa semua hal yang berkaitan dengan tubuh juga harus dipandang sebagai estetika?

Perlu diingat, bahwa kita bukan patung yang tubuhnya bisa sama rampingnya, bisa dibentuk molek sedemikian rupa, tidak tampak kekurangan sama sekali, tanpa gelambir dan stretchmark disana sini. We have different shapes, sizes, and bone structures

Tidak semua orang yang kurus hidupnya sehat atau penyakitan, begitupun dengan orang-orang yang memiliki tubuh gemuk. Bisa jadi mereka memang memiliki struktur tulang yang lebih padat dari orang kebanyakan, and that's okay, as long as mereka merawat tubuhnya dengan baik dan sadar akan kesehatan diri sendiri.

Hal ini berkaitan dengan sub-judul yang gue sematkan di atas. Yap, meski body positivity adalah gerakan yang bagus untuk menyadarkan siapapun bahwa setiap orang berhak memiliki citra tubuh yang positif, namun tidak semata-mata kita jadi bisa merayakan obesitas begitu saja tanpa mau mengubah diri sendiri ke arah yang lebih positif. Bukankah sejatinya itu yang dimaksudkan body positivity? 

Tidak merawat tubuh kita sebagaimana mestinya dengan mengonsumsi makanan secara sembarangan dan berlebihan dengan dalih body positivity justru akan berdampak buruk bagi diri kita. Inilah yang disebut dengan toxic positivity.

"Duh, ribet banget yaa jaman sekarang terlalu banyak istilah."

Indeed. Tapi menurut gue istilah seperti ini cukup penting untuk diketahui, agar kita bisa lebih mengenal diri sendiri dan tahu kapan waktunya untuk ngerem saat kita sudah terlalu memaksakan prinsip "body positivity" ini. 

Dilansir dari Alodokter, toxic positivity adalah kondisi ketika seseorang menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir dan bersikap positif serta menolak emosi negatif. 

Melihat suatu hal dengan positif memang baik, tapi tidak jika malah mendiskreditkan emosi negatif tersebut, seolah-olah perasaan yang tidak positif adalah sesuatu yang tidak valid untuk kita terima. Karena hal ini bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental, seperti yang dikutip dari City Nomads di bawah.
Radiating positivity 24/7 is a tough feat for anyone. The pressure to be positive can become toxic quickly. This toxic positivity may not exactly improve one's self or body-image. In fact, may even be counterproductive, because it can manifest as mental health conditions like depression and body dysmorphia, eating disorders and more in the long run.
So, kalau kamu sedang merasa tidak puas dengan kondisi tubuhmu karena berbagai hal, it's okay to feel that way sometimes. Siapa tahu perasaan itu malah mendorong kamu untuk bisa memiliki gaya hidup yang lebih sehat dan teratur. Tapi juga jangan merasa buruk sampai berlarut-larut, karena sesungguhnya setiap orang punya kekurangan dan kelebihannya masing-masing.

Believe me, segala standard yang dibangun oleh masyarakat selama ini adalah buah dari kapitalisme. That's why you shouldn't feel guilty about your own body that doesn't fit the beauty standard. Tidak salah juga sebetulnya kalau menteri kecantikan yang gue mention di atas merasa sebal ketika tipe model favoritnya di Victoria's Secret berubah secara inklusif, karena dia hanyalah "korban" dari citra kecantikan yang berusaha dibangun oleh orang-orang di balik Victoria's Secret--the capitalistic marketing itself

Instead of spending time in front of the mirror criticizing our shortcomings, why don't we use the time we have to examine our strengths and upgrade skills for the sake of our future and our own happiness? Furthermore, we can stop using our bodies to define ourselves and our worth at all. Because our lives isn't only about body and appearance. It's broader than that.


Reference:



You May Also Like

9 komentar

  1. Awl, terima kasih udah menulis hal ini 🤗. Aku nggak bisa berkomentar banyak karena apa yang aku pikirkan selama ini udah ditulis dan dijabarkan semua sama Awl hahaha.
    Aku cuma ingin bilang bahwa menjadi kuruspun nggak seenak yang dibayangkan. Kadang suka kena body shaming juga karena terlalu kurus, disangka nggak pernah makan padahal makan mulu 😅 jadi apa yang terlihat enak di luar, belum tentu 100% enak. Rumpu tetangga selalu terlihat lebih hijau wk. Cintai bentuk tubuhmu tapi bukan berarti jadi permakluman untuk tidak merawatnya dengan baik 😉

    BalasHapus
    Balasan
    1. Exactly Lii jadi kurus cape ditanyain diet apa nggak, cape disuruh makan banyak biar gede. Dulu aku pernah balas telak yang nyuruh aku makan banyak pakai data BMI, kalau berat badanku normal according to Body Maxx Index nggak kekecilan apalagi busung lapar 😅😅.

      Hapus
    2. Kak Soviii, sama banget 😭 bahkan sampai sekarang aku masih suka diomongin hal seperti itu 😂 sampai capek sendiri padahal aku merasa fine aja dengan badanku.
      Mari kita berpelukan, Kak Sovi 😂🤗

      Hapus
  2. Sebenarnya media sangat dan orang sekitar juga berperan besar dalam membentuk standard-standard diatas. Sehingga butuh perjuangan ekstra buat kita untuk percaya dan menerima bahwa kalau memang kulit nggak putih, badan nggak lansing, badan kurus itu bukan masalah yang besar dengan catatan kalau kita berusaha melakukan pola hidup yang benar.

    Kakak contohnya, berat badan kakak nggak pernah naik Awl udah 8 tahun ini berat kakak ya kisaran segitu aja. Apakah berarti kakak nggak sehat?

    Inti dari body positivity ini sebenarnya bagaimana kita fokus pada kelebihan kita instead of mikirin bagian dari diri kita yang tidak sesuai standard. Contoh sederhananya kita masih bisa menikmati sarapan pagi dengan ceria meski jerawat tumbuh segede gaban di kening. Tetap kita obati jerawatnya, tetap di skincare-in tapi life goes on, kita nggak mungkin bersedih nunggu jerawat sembuh dulu buat mau pergi kerja nyari cuan, kita nggak mungkin selamanya ngumpet sampai akhirnya sesuai standard orang-orang.

    BalasHapus
  3. wah menarik nih, aku juga kadang jadi bingung harus beropini apa karena takut di judge netizen :(

    BalasHapus
  4. Body positivity buat saya mah simpel, yang penting sehwaaat.😂

    Buat apa demi bodi sampai nggak makan lalu kalau lihat adek adek makan coklat permen di jln bawaannya kayak kepingin ngerampas🤣😂

    Cuma bingung juga kalau kampanye body positivity diidentikkan dg hrs menunjukkan bentuk bodi ke publik..nggak nyambung menurut saya dan malah jadi bumerang😅

    BalasHapus
  5. Mencintai diri sendiri emang penting banget, namun lebih penting lagi mencintai diri dengan cara yang benar. Setuju sama mbak awl kalau kita harus mencintai diri dengan menjaga kesehatan kita. Mau gendut, kurus, tinggi, langsing atau enggak, asal sehat nggak masalah. Badan sehat juga mempengaruhi jiwa yang sehat.
    Dulu saya pernah diet sampai kelaperan karena temen bilang kok makin gemuk, padahal cuma nambah 2 kilo aja, sekarang sih udah lebih santai, what ever kata orang... 😅 pokoknya saya makan apa aja namun tetap membatasi makanan instan.

    BalasHapus
  6. Duh langsung ketawa baca body kayak bihun 😅. Kering dong Yaa 🤭.

    Btw, aku sempet ngalamin masa2 ga confident dengan diri sendiri Awl. Kulit gelap, kurus, pendek. Apalagi karena sekitarku dikelilingi temen2 yg putih, cantik, langsing.

    Tapi semua berubah pas mulai kuliah di Penang dan masuk kampus international yg mana students dan lecturers nya orang asing dari berbagai negara. Kagum Ama kepercayaan diri mereka ga peduli wrn kulitnya hitam, coklat keemasan, ataupun putih pucat. Semua PD dan malah terlihat cantik. Dari situ aku belajar, yg penting sebenernya kepercayaan diri, bukan masalah warna kulit. Atau bentuk tubuh. Akhirnya aku ga peduli lagi Ama wrn kulit yg gelap, dan mencoba fokus utk membuat wrn gelap itu ttp sehat 😊.

    Dan aku salut Ama maskapai2 Eropa di mana para pramugari dan pramugara nya ga mementingkan body dan wajah. Kalo maskapai Asia para crews terlihat tinggi, langsung, cantik, ganteng bla bla bla, tapi maskapai Eropa seperti KLM dan Lufthansa punya crews yang dari usia sudah berumur, badan juga ga langsung, pakai kacamata, tapi mereka tetep profesional dalam bekerja 👍. Bukti kalo maskapai2 Eropa itu sudah tidak memperdulikan bentuk tubuh, warna kulit, yg penting keprofesionalan dalam bekerja. Makanya aku selalu suka naik maskapai2 Eropa :D.

    BalasHapus
  7. iyaa aku gemes kalau ada yg ngebandingin dari body gini. Kadang aku sampe mikir "emang masih musim?"
    apapun bentuknya yang penting sehat. Dan bener, gak semua yang langsing itu sehat, dan ga semua yang big size lebih sehat.
    aku aja susah gemuk emang dari sononya. Meskipun udah jajan berapa ton juga tetep aja :D

    BalasHapus