The Right Is In All of Us

by - Februari 06, 2022

Kebenaran Ada Pada Diri Sendiri


Ada yang menarik dari bagaimana orang-orang saat ini menunjukan karakternya satu sama lain di media sosial. Setiap kali ada opini, perdebatan atau hal-hal yang bertentangan dari mayoritas, maka dianggap menyimpang, sesat dan perlu diluruskan. Bukan hanya hal-hal yang menyangkut ideologi atau keyakinan, tapi juga tentang preferensi, prinsip dan nilai-nilai kehidupan itu sendiri yang pada dasarnya tentu sangatlah personal. 

Daripada menyampaikan argumen dengan baik, seringkali kita merasa paling benar ketika berdiskusi atau beradu pendapat dengan seseorang. Sehingga saat menjumpai hal yang bergeser dari apa yang kita percayai, seolah ada kecenderungan untuk selalu mau mengoreksi persepsi lawan agar bisa sesuai dengan milik kita. Padahal, sikap seperti ini pada akhirnya bisa berujung menyakiti orang lain, bahkan diri kita sendiri. 

Alih-alih membuka diskusi dengan nyaman, akhir-akhir ini gue sering melihat bagaimana kebanyakan orang di internet justru lebih senang pointing out their logical fallacy terhadap kubu yang "terlihat berbeda" dan memposisikan mereka di kotak yang salah, seakan-akan pemikiran dan pengalaman mereka nggak sama validnya untuk di bawa ke permukaan, seakan-akan ada kamus benar dan salah dalam menyampaikan gagasan. 

Gue nggak bisa menemukan penyebab mengapa orang-orang ini bisa secara lantang menyerang individu lain dengan alasan defending their beliefs, selain keegoisan yang selalu butuh untuk diberi makan. Bahkan sesederhana perkara bubur diaduk atau nggak, we can also be easily offended as if there has to be the right way to eat porridge. 

Kondisi ini membuat gue terasa relate ketika membaca bab favorit dari buku The Things You Can See Only When You Slow Down tentang "menjadi benar" karya Haemin Sunim. Menurut beliau, menjadi benar itu nggak sama pentingnya dengan saling memberi rasa nyaman dan bahagia, karena setiap orang sebetulnya punya keyakinan, nilai-nilai dan pemikiran mereka sendiri yang pasti sangat fundamental untuk mereka that we cannot imagine compromising on. Trying to convince someone to adopt our views is largely the work of our ego. Even if we turn out to be right, our ego knows no satsfaction and seeks a new argument to engage in.

Ini yang bikin gue sering takut dan malas akhir-akhir ini ketika mengemukakan pendapat di media sosial, terlebih lagi Twitter (walaupun cuma nge-tweet alakadarnya dan bukan beropini). Gue sering ditampakan dengan orang-orang yang hobi saling serang satu sama lain hanya untuk memperjuangkan apa yang menurutnya benar. Lebih parah lagi, they did it on purpose, semata-mata untuk mendapatkan pleasure atau kepuasan sendiri atas argumen kosong yang dilontarkan. 

Well, nggak ada salahnya mempertahankan persepsi dan value kita. Tapi ketika sudah memperlakukan lawan bicara selayaknya musuh yang nggak punya thinking process, itu justru akan membuat diskusi jauh dari kata nyaman. What's the point of discussion kalau ujung-ujungnya memaksa orang lain untuk punya value yang sama? Bahkan di dalam agama gue sendiri, dakwah yang baik adalah dakwah yang dilakukan dengan respectful, bukan dengan kekerasan, baik berupa verbal atau fisik.

Bukankah setiap orang punya pendapat dan pengalaman yang berbeda? Pengalaman gue nggak mungkin exact sama dengan pengalaman orang lain, bahkan teman-teman gue. Apa yang mendasari mereka untuk punya pendapat atau sudut pandang yang berbeda juga nggak mesti harus sama. Begitu juga dengan prinsip dan proses pendewasaan gue, bisa berbeda tergantung bagaimana gue tumbuh. Awl yang sekarang, bukan Awl yang sama dengan lima tahun lalu. Dan gue nggak berharap gue yang sekarang adalah orang yang sama beberapa tahun berikutnya. I want to be a better person.

Maka dari itu, sekarang gue lebih senang melipir di pojokan setiap kali melihat keributan di internet. Gue hanya senang memikirkannya sesaat sampai lupa begitu aja, tanpa gue "dokumentasikan" seperti biasanya disini. Terkadang memang ada banyak hal yang baiknya di-yaudahin dan didiemin aja, walaupun nggak salah juga kalau kita mau menuliskan itu dan membagikannya ke orang lain. 

Mungkin sisi positifnya gue jadi bisa lebih kalem dan objektif sebelum menyimpulkan sesuatu, tapi sisi negatifnya gue jadi takut untuk bersuara dan menggali potensi gue lebih jauh lagi. Apakah ini wajar? Bahkan sampai pada titik dimana setiap kali dapat notifikasi, gue langsung merasa gelisah sebelum ngecek notifikasi itu. Gue langsung overthinking, apakah ada omongan gue yang salah? Apakah gue salah nge-tweet atau nulis komentar? While I didn't even tweet something, yet the problem is on them and not me.

Dari sini gue jadi belajar, betapa ucapan seseorang itu bisa memberi pengaruh yang signifikan terhadap psikis orang lain. Now that I have learned something, baik sebagai orang yang dipojokan dan memojokan (I'm not gonna lie that I've also behaved like one at least once in my life or even more), gue akan lebih menjaga kata-kata gue setiap kali menyampaikan sesuatu, even untuk hal yang menurut gue benar dan perlu diluruskan. Because I don't know what they've been through that makes them bring things to the table.


You May Also Like

12 komentar

  1. Nggak ada salahnya sih beropini di medsos. Tapi kelemahannya memang di karakter yang terbatas dan saat dibuat utas suka ada jeda waktu nggak nyambung sehingga bikin kesempatan orang segera nyamber tanpa baca kesimpulan akhir. Beda dengan blog yang mayoritas penduduknya suka baca bukan cuma baca judul saja. Akhirnya saya hanya berprinsip jangan terlalu serius kalau di medsos �� karena disana tempat sambat dengan banyak user yang tidak jelas juga bagaimana orangnya (tidak ada about yang panjang). Itu juga menampilkan problem masyarakat kita umumnya, di dunia nyata terkenal ramah, tapi di dunmay ganas dan nggak sopan (ada peringkatnya). Mungkin karena di dunia nyata nggak bebas jadi diri sendiri? Jadi saat bicara di medsos tumpah ruah semua kebutuhan untuk diakui atau dianggap ya...Tentu nggak semua, intinya, dont take it serously.Kalau mau cerita serius kalau nggak di blog ya bikin tulisan di media. Udah itu aja sih...��

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada banyak orang bilang kalau main medsos jangan baperan, mungkin lebih tepatnya harus bermental baja kali ya mbaak wkwk, karena betul seperti kata mbak Phebie, orang di medsos ganas-ganas dan nggak ramah. Berbanding 180 derajat sama image orang Indonesia kebanyakan di real life. Soalnya mau dimanapun media menulisnya, kadang tetep ada aja pendapat-pendapat anonim yang keras dan judgmental:') Jadi, sepertinya kalau mau membahas sesuatu yang serius juga harus udah tau resikonya yaa mbak, karena pro dan kontra itu pasti akan ada.

      Hapus
  2. Can relate! Aku ngerasa di Twitter itu sekarang nggak sekalem dulu. Udah banyak banget keributan yang harusnya nggak usah diributin juga nggak akan mempengaruhi kesejahteraan hidup. Jujur, lagi lelah sama Twitter wkwkwkwk, aku udah semingguan lebih kali ya nggak ngetwit apa-apa, capek banget. Bising rasanya kepala. Sekarang lagi melambatkan kehidupan dengan lebih banyak berinteraksi dengan orang-orang irl. So far aku ngerasa lebih rileks dan kalem, ternyata nggak ikutan ribut di internet juga nggak gimana-gimana, malah lebih baik untuk kesehatan mental. xD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya khaaan, sampe2 aku denger banyak orang yang malah takut speak up di Twitter karena massanya harsh banget. Buktinya ceita-cerita yang viral aja jarang kan pake akun pribadi:(

      Kayaknya memang kita harus pelan-pelan memfilter diri dari dampak negatif medsos deh kak wkwkw, sometimes bukan dari platformnya itu sendiri malah, tapi dari pengguna-penggunanya yang nggak tau cara bertutur kata dengan santun di media sosial:')

      Hapus
  3. Seide banget!
    Medsos yang dulu bukan lagi seperti yang sekarang. Ketika kita menyimpang dari mayoritas, meskipun kita benar, siap-siap kena hujat oleh mereka.
    Apalagi di zaman fitnah seperti ini. Aku takut bener generasi-generasi selanjutnya akan terpengaruh oleh ketidaknormalan yang dinormalkan oleh kebanyakan orang yang out of their mind.
    Di twitter pun aku begitu. Sengaja tidak follow akun-akun julid, kontroversi dll, apalagi ngikutin perdebatan panas pada suatu topik. Ketimbang emosi dan menambah dosa, mending ga usah nimbrung deh hahaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kayaknya ada salah penyampaian sedikit aja auto dihujat ya nggak sih hahaha, nggak kebayang sekuat apa mentalnya orang-orang dengan pengikut banyak. Soalnya kena serangan berapa biji orang aja kadang suka nggak kuat, "kok segininya yaa ngata-ngatain orang, merasa hanya diri mereka yg benar:')". udah paling aman kayaknya memang nggak terlalu attach sama media sosial ya kak, hidup aman, damai dan tenteram, dipakai seperlunya aja wkwkw.

      Hapus
  4. beropini di medsos sah2 aja kalo lawan beropininya sama2 manusia waras, bukan bot atau hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha iya kak, nggak ada yang melarang untuk beropini kok. cuma kadang jadi udah males duluan aja membayangkan keributan-keributan di medsos. beropini atau diskusi paling santuy cuma sama teman kayaknya:D

      Hapus
  5. iyup memang untuk beberapa orang ada yang terbawa sampe "baper" kalau habis baca pendapat orang lain. Misal, aku habis baca tweet si A, aku dan si A ga kenal. Maksud si A adalah berpendapat sesuai pemikiran dia, tapi aku-nya kayak merasa tertohok mungkin, jadinya baper. Tapi memang ada beberapa orang yang nggak berani terus terang buat menyuarakan pendapat di sosial media, ehh ternyata terwakilkan dengan orang lain yang berani menuliskannya

    selama menurut kita, beropini bisa membuat kita plong, nggak ada salahnya juga nulis di media apapun. Sementara abaikan dulu gimana respon orang lain. Memang ada rasa was-was ketika akan membuka respon orang lain, karena kadang tulisan susah dicerna kalau dibanding dengan ngomong.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah iyaa, setuju dengan mbak Inuun. Kenapa kita jadi sering sekali berdebat sama orang di media sosial itu karena kurangnya nuance yang bisa kita dapet hanya saat ngobrol langsung dengan lawan bicara. Makanya kalau ada kata-kata yang ngga enak, kita gampang banget tersinggung, membayangkan bahwa si lawan bicara itu ngomongnya dengan nada yg juga ga enak, padahal belum tentu ya:')

      And yesss, sepertinya kita juga mulai harus memprioritaskan diri sendiri, jangan selamanya memikirkan omongan orang terus. Apalagi kalau kita menulis sesuatu yg tujuannya baik ya mbak :).

      Hapus
  6. Sejak twitter ramai lagi, aku nggak pernah berani buat ikutan rajin ngetweet. Rasanya bukan aku banget gitu. Kalaupun buka twitter ya cuma ikutan baca aja dan jarang nimbrung. Tujuanku buka medsos tuh buat pelarian karena jenuh sama rutinitas dunia nyata. Jadi aku pilih main aman aja karena aku merasa gampang baper.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo kak Zakia, maaf baru balas komennya, baru aktif hihi😅. Entah kenapa orang-orang di Twitter tuh emg garang banget sekarang, dan ini nggak cuma kakak dan teman-teman yg lain aja kan yg ikut merasakan fenomenanya, aku lihat beberapa temanku di twitter juga mikir hal yg sama. Aneh, tapi nyata😅 Mungkin karena orang-orang yg suka cerewet di twitter ini udah lelah dan nggak punya teman misuh irl, jadi mereka merasa bisa dengan mudah memproyeksikan amarah dan kekesalannya itu terhadap orang-orang yang nggak punya pandangan sama dia di media sosial😥

      Emang sejauh ini paling aman main blog aja ya, kak😂 Semoga kita selalu dijauhkan dari orang-orang yg nggak bisa memberi feedback dan kenyamanan seperti itu.

      Hapus