Matre: Realistis atau Materialistis?

by - Januari 13, 2021


Cewek Matre: Realistis atau Materialistis?

Beberapa hari lalu sebuah pertanyaan di akun base Twitter lagi-lagi kembali menggelitik gue. Kira-kira begini pertanyaannya:

Cewek Matre: Realistis atau Materialistis?
Pertama-tama, gue sengaja menghindari untuk menulis judul dengan kata kunci "cewek matre", karena sebetulnya fenomena matre atau materialistis ini bisa terjadi kepada siapa saja, terlepas dari gender-nya perempuan atau laki-laki. Hanya saja sebagai makhluk sosial yang kelak diharapkan menjadi seorang istri, wanita lebih sering diposisikan atau memposisikan dirinya sendiri sebagai sosok yang perlu selalu dibiayai dan ditunjang kebutuhannya oleh laki-laki—meski pada kenyataannya belum menikah sekalipun.

Jadi, perlu ditekankan bahwa narasi yang gue angkat disini bukan semata-mata menunjukan kebencian terhadap sesama perempuan atau melanggengkan budaya misoginis, tetapi menyoroti sebuah perilaku atau fenomena sosial yang selama ini divalidasi sebagai tindakan realistis berdasarkan kacamata gue.

Gue sering mendengar jawaban yang sangat umum dari beberapa orang ketika dirinya ditanya, "kenapa sih cewek itu matre?", dengan dalih bahwa mereka tidak matre, melainkan realistis. Seolah mengiyakan stereotip yang berlaku di kalangan perempuan sebagai makhluk yang berorientasi pada uang dan barang-barang mahal nan branded. Padahal, entah dirinya memang hidup pas-pasan atau minimalis sehingga apa yang dibeli murni adalah kebutuhan, atau memang berusaha melarikan diri dari kenyataan bahwa barang-barang yang dibelanjakan selama ini bukan keluar dari kantong pribadinya.

Banyak juga narasi yang gue dengar seperti ini, "sebagai cewek jangan mau keluar uang. Masa dari sekarang aja cowok lu nggak mau bayarin? Gimana nanti jadi suami?". Dan serangkaian opini yang mengatasnamakan komitmen serta tanggungjawab laki-laki sebagai pencari nafkah.

Realistis dan materialistis (matre) sebetulnya adalah dua hal yang berbeda dan nggak bisa dipaksakan beriringan. Realistis memiliki arti bahwa seseorang tidak selalu memikirkan sesuatu terlalu tinggi, melainkan semampunya. Ia berorientasi pada hal-hal yang bisa ia lakukan tanpa harus merugikan orang lain. Sementara materialistis adalah perilaku dimana seseorang secara sadar atau tidak, terlalu fokus dan bahkan bisa terobsesi terhadap uang dan kebendaan—yang digantungkan kepada orang lain. Rajeev Kamineni dalam jurnalnya mengatakan bahwa, "materialism is the ‘devotion to material needs and desires, to the neglect of spiritual matters; a way of life, opinion or tendency based entirely upon material interests’". 

Jika merujuk pada pengertian di atas, materialistis jauh dari kata lawannya, realistis, sebab perilaku ini mengabaikan nilai-nilai spiritual yang mana merupakan salah satu fondasi menjadi realis; yakni menjalani hidup apa adanya, sewajarnya dan semampunya.

Meski begitu, di sisi lain nggak semua orang yang money-oriented dapat digolongkan sebagai manusia matre, karena bergantung pada perspektif dan kondisi tertentu. Jika seseorang tidak mampu membiayai kehidupannya sendiri karena satu dan lain hal—katakanlah tidak memiliki pekerjaan yang stabil dan kesulitan dalam hal ekonomi, dimana situasi tersebut membuatnya membutuhkan bantuan orang lain yang dia percayai, tindakan ini masih bisa dikatakan realistis, selama ada consent dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Tetapi kalau memang seseorang menggantungkan seluruh hidupnya pada manusia lain hanya untuk memuaskan keinginan akan hal-hal yang berada di luar kuasanya, maka jangan mengelak juga kalau hubungannya berlandaskan materialisme, bukan rasa cinta.

Memang, hidup tanpa uang rasanya bakal hampa dan morat-marit bikin pusing kepala. Bahkan dalam menjalin hubungan, kita nggak bisa cuma mengandalkan cinta. Untuk apa ada komitmen dan rumah tangga kalau semua bisa diselesaikan hanya dengan "cinta". Tapi konsep ini nggak bisa dijadikan alasan untuk kita hambur-hamburkan uang hanya untuk memenuhi keinginan pribadi, apalagi menjadikan individu lain tambang materi saat keadaan kita sendiri sebetulnya mengharuskan kita untuk hidup lebih cukup.

"Men always have to pay the bills, though!"

"Yaa nggak selamanya harus, dong. Apalagi kalau baru nge-date doang😅. Katanya hubungan itu kerjasama, bareng-bareng. Kalau masih bisa berbagi, kenapa nggak?"

I know how hard and suck life is. Terkadang ada juga gue temukan perempuan-perempuan kuat yang mandiri dan menjadi tulang punggung keluarga, plus menjadi ibu dari anaknya, tapi masih dianggap sosok matre hanya karena dia terlihat berusaha menyenangkan dirinya sendiri sesekali dengan barang yang dia suka. Ini juga menjadi masalah, menurut gue. Tentang bagaimana kondisi matre atau tidaknya seseorang tidak sesuai dengan konteks yang sebenarnya, seperti para lelaki yang sering melabeli perempuan dengan kata matre secara asal. 

Karena itu, gue sedih setiap kali mendengar narasi-narasi yang mengkerdilkan kaum perempuan sendiri hanya karena konstruksi sosial yang mengatur bahwa memang sudah seharusnya perempuan apa-apa dibayarin, apa-apa nggak bisa membiayai keperluannya sendiri meski belum menikah dengan pasangannya ini diiyakan begitu saja—yang sejak tadi membawa pada satu kesimpulan: cewek itu matre! 

Hanya karena perempuan ujung-ujungnya di rumah, ngurus anak dan di dapur, begitu? Hanya karena kebutuhan perempuan lebih banyak, begitu? Dan menurut gue inipun sebetulnya nggak bisa dijadikan tolak ukur. Namanya materialistis bisa hidup dalam diri siapapun, dan jangan salah, keinginan dan kebutuhan laki-laki pun bisa sama banyaknya, lho, kalau ditimbang-timbang. Hanya saja jenis dan bentuknya bisa beda-beda. Lagi-lagi ini masalah perspektif dan bagaimana tindakan sosial mempengaruhi pandangan seseorang akan suatu kelompok atau komunitas (dalam hal ini perspektif gender). 

Menjadi realistis bukan artinya semua keinginan harus jadi butuh, tapi bisa menempatkan yang mana kebutuhan dan mana keinginan, serta yang mana prioritas dan mana yang perlu dikesampingkan, kemudian bertanggungjawab atas pilihan diri sendiri.

Menurut gue, ini bukan soal cewek nggak boleh kalah dari cowok, bukan soal cewek harus jadi leader pada setiap kesempatan, bukan soal cewek harus jadi kepala rumah tangga melawan kodrat, bukan soal cewek harus mandiri dan hidup selamanya sendiri tanpa perlu bantuan lawan jenis, sebab sudah sepantasnya masing-masing dari kita menjadi pribadi yang mandiri dan tangguh menghadapi berbagai situasi dan kondisi. Akan tetapi lebih kepada menghargai diri sendiri sebagai individu yang nilainya lebih besar dan berharga dari sekadar prinsip materi yang membutakan.



Artikel terkait:

You May Also Like

37 komentar

  1. Udah lama ga maen ke sini...
    Btw Selamat yaa Awl atas domain blog barunya.. Seingatku, terakhir maen ke sini masih [dot]blogspot[dot]com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, kak Dodo, welcome back! Ahaha (padahal aku yg baru aktif lagi ya🤣)

      Terima kasih kak, iya ini aku pasang udah lebih dari seminggu sih, cuma pas-pasan waktu itu masih diprivate, hehe. Selamat juga buat domain barunya kangmasjoeee😆

      Hapus
  2. Kaget tadi pas buka Reading List kok isinya update blogpost Just Awl semua, ternyata oh ternyata udah ada dotcom 😝 selamaaat, Awll! Semoga 2021 makin jaya yaa bloggingnya 😁

    Eniwei, yess aku setuju soal materialistis dan realistis, meanwhile tentu saja aku tim realistis 😁 aku sering denger kalimat kayak "kenapa sih cewek gak mau diajak susah", bukan gak mau, tapi secara psikologis cewek kepengen ada rasa secure nggak sih dari pasangannya? Apalagi kalau secara finansial si cewek udah lebih mapan.

    Dan setuju dengan closing-nya, bukan soal gender tapi gimana menjadi individu kita bisa menghargai diri sendiri masing-masing ya ☺️

    Thanks Awl for sharing your thoughts!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ehehe iyaa nih mbak Jane, sedikit kejutan setelah hiatus yg sangat sebentar inihh😆 Aamiin, semoga bisa semakin rajin juga ngeblognya😁

      Betul banget mbaak, soal itu aku setuju. Apalagi kalau udah bicara tentang komitmen, pasti kita butuh diperlihatkan action yg serius😂 inipun bisa jadi bentuk perilaku realistis, bukan semata-mata pingin hidup mewah dan dibeliin ini itu juga. Gak semua pikirannya kesana, kan🤦🏻‍♀️

      Iyapp, tapi tentang bertanggungjawab akan diri sendiri ya mbak Jane. Menurutku selama kita masih bisa berusaha sendiri, kenapa nggak? Tapi mungkin situasi di luar sana berbeda dengan apa yg kita pikirkan, huhu. Entahlah, semakin diulik bisa semakin runyam juga ya masalah "matre" ini😂

      Sama-sama mbaak, terima kasih juga untuk insightnya mbak Jane😍

      Hapus
  3. Ya intinya harus sesuai sama kondisi lah ya matre ya boleh asal pas penemapatannya mungkin gitu hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yas kurang lebih begitu mas Mayuf😂 Menurutku kita harus bisa lebih bertanggungjawab atas pilihan diri sendiri, walaupun pada kenyataannya mungkin sulit sebab hidup setiap orang masing-masing berbeda jalannya, setidaknya kita punya prinsip itu. Tapi ini tentu hanya pendapat saya😁

      Hapus
  4. Finally Awl comeback hehehe 😁

    Setuju sama tulisan di atas, realistis dan matrealistis itu beda. Realistis itu tau batasan, nama pun REALISTIS ya meski kehidupan memaksa untuk bergantung pada orang lain (pasangan, etc), tetap berusaha untuk jadi pribadi mandiri dan tau batasannya. Dan mandiri itu kan nggak semata-mata harus kerja, semisal pun memilih untuk cari pasangan yang menafkahi hidup, dan kitanya stay di rumah, tetap perlu bersikap mandiri, seperti paham bagaimana kelola uang yang diterima dan sebagainya agar cukup, agar bisa ditabung, agar bermanfaat, endeblabla 😁

    Kalau matrealistis itu, tipe yang nggak akan merasa cukup, dan akhirnya totally bergantung tanpa usaha menjadi mandiri. Semisal dikasih uang dan habis, lanjut minta lagi, karena pikirannya, itu tanggung jawab laki-laki untuk menafkahi. Beda banget kan pola pikirnya hehehehe 😁 Eniho, tulisan yang bagus, as usual. Ditunggu tulisan-tulisan bagus lainnya, ya. Dan selamat untuk domain barunya, Awl sayang 🥳🎉

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju bangett kak Eno, menurutku dalam persoalan yg lebih luas seperti rumah tangga pun realistis yaitu paham bagaimana caranya mengelola uang dan menempatkan kebutuhan dan keinginan pada masing-masing kotak yang benar dan pas. Kalaupun sesekali beli sesuatu yg di luar kebutuhan ya itu haknya mereka, sah-sah saja, sebab konteks yang disoroti hanyalah perilaku materialistis yang sering dibenarkan dengan kata realistis😁

      By the way, terima kacih kak Eno!😁 Semoga aku bisa lebih rajin dan bisa lebih bertanggungjawab sama domain yang baru, Aamiin, ehehe🤗💕

      Hapus
  5. Ada dua kebetulan yang menurut saya bukan betul-betul kebetulan belaka.

    1. Saya kemarin main ke blog Syifana, salah satu blogger yang akhir-akhir ini saya kunjungi. Saya suka tulisannya karena saya rasa menemukan diri kamu pada tuliaan-tulisannya. Apalagi tulisannya yang terbaru. Saya sempat singgung bahwa belakangan ini saya senang karena bertemu blognya dia, tulisannya dia, karena blog yang saya suka lagi vakum nulis. Eh tau-taunya kamu combeback dengan domain baru.

    2. Bahas masalah domain, ini mungkin hanya asumsi yang kebetulan terjadi. Waktu kamu vakum, saya banyak berasumsi, tapi asumsi itu mengarah kepada perbaikan blog kamu salah satunya domain. "Mungkin saat kembali, Aina sudah akan memiliki domain baru" Pikir saya. Eh tau-taunya benar. Meski saya tau, ini bukan alasan utamanya.

    --

    Ohya, bahas tulisanmu itu, saya pikir perspektifmu dan kak Eno cukup menarik. Saya bahkan ngga pernah menganggap kata atau istilah itu adalah hal yang berlawanan. Karena memang dari definisi saja sudah jauh berbeda. Saya kadang berpikir, jangan-jangan kata realistis adalah tameng perempuan yang tidak ingin dianggap materialistis

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya juga lagi ngikutin banget blognya Syifana, Rahul!😍 Terlepas dari kenyataan bahwa saya juga seperti menemukan kembaran, seperti yang Rahul bilang😂, tulisannya sangat bagus-bagus dan menebarkan semangat positif untuk anak-anak muda mengenai kesadaran akan isu-isu sosial dan perempuan😍

      Sebetulnya beli domain ini sendiri kebetulan yang bukan benar-benar kebetulan, Rahul😆 Sedikit cerita, awal bulan ini saya sempet dapet info lowongan pekerjaan dari temen saya untuk bagian content writing. Saat itu saya semangat ngumpulin portofolio dan tiba-tiba kepikiran, "oh iyaa ya gue kan udah lama pengen beli domain, kenapa nggak ganti aja supaya bloggingnya lebih serius dan lebih professional. Siapa tau bisa jadi lebih bermanfaat untuk mengasah skill menulis😂". Jadi deh, saya beli domain hari itu juga, Hul😆. Walaupun pada akhirnya saya nggak lanjut melamar karena persyaratannya ada yang tidak bisa saya penuhi, at least hikmahnya saya jadi punya domain baru😁

      Saya juga berpikir begitu, Rahul, tanpa bermaksud merendahkan sesama perempuan. Meski terkadang perilaku materialistis itu nggak digantungkan terhadap orang lain, atau katakanlah mereka konsumtif dengan uang sendiri, sulit mengakui tindakan tersebut sebagai materialistis. Karena kata matre menjadi konotasi yang betul-betul negatif, bahkan menimbulkan stigma di kalangan perempuan. Baik itu dari sisi laki-laki maupun dari sisi perempuannya sendiri yang merasa tidak memiliki prinsip seperti itu. Jujur, saya memang pernah jadi salah satu di antaranya yang berpikir demikian. Karena itu, menuliskan ini jadi sarana juga buat saya menjernihkan pikiran dan nggak terlalu ke kiri dalam menilai suatu hal😄.

      Hapus
    2. Iya, Syifana memang perempuan dengan perspektif yang keren. Saya senang bagaimana dia menikmati masa-masa idealisnya. Tulisannya gamblang sekali 😅

      Jadi beli domain ini semacam kecelakaan yang baik yah? 😆 Setidaknya, nama blog kamu sudah lebih pendek dan gampang untuk dilafalkan.

      Ohya, untuk pembahasan diblog juga saya rasa penting untuk dengar perspektif baru. Makanya, pas nulis tentang keadaan pandemi yang membuat kita dipaksa siap, saya sudah tau akan terlihat seperti orang mengomel, tapi tetap saya publish biar dapat perspektif orang lain ketimbang hanya saya simpan didraf saja

      Hapus
    3. Exactly, Rahul! Malah sekarang saya yg semakin kesini mulai agak takut untuk gamblang menuliskan sesuatu:D
      Mungkin karena merasa punya tanggungjawab untuk lebih bijak dalam menulis, jadi lebih banyak rem yang dipake. Semoga sih nggak bikin saya berhenti untuk menulis (lah iya dong jangann ini kan hobi satu satunyaa, wk). Nyambung juga sih dengan paragraf yang terakhir. Sebetulnya kegiatan menulis ini justru jadi tempat belajar yang baru juga buat saya personally, sebab dengan mengangkat satu topik kita jadi bisa mendengar beragam perspektif dari teman teman ya, even termasuk Rahul:D Means saya punya banyak ruang perspektif yang bisa dipilah agar nggak selamanya bias dengan sudut pandang sendiri. Karena saya percaya people do change, makanya gak ada tuh pembenaran atas istilah jilat ludah sendiri.

      Btw, kok saya curhat sendiri jawab sendiri ya, hahaha. Tapi thanks Rahul sudah sharing!:D

      Hapus
  6. Pertama, saya sudah menduga domainnya diganti karena saat diprivate saya dialihkan ke justawal.com tanpa blogspot.

    Kalau saya sih mendukung cewek jadi "matre".. wakakakaka Upss jangan getok saya yah. #Canda

    Sistem patriarkat masih kental sekali dalam masyarakat Indonesia. Jadi, kalau ada cewek yang pola pikirnya maunya "dibiayai" terus oleh cowoknya, saya maklum (bukan membenarkan) karena itu adalah bagian dari sistem kemasyarakatan yang ada.

    Sebenarnya tidak bisa dipandang sebagai mengkerdilkan, tetapi karena adanya nilai baru, yaitu kesetaraan maka paradigma lama itu menjadi terlihat begitu.

    Saya melihatnya sebagai sebuah benturan paradigma usang dan baru, yang memang selalu terjadi dalam dinamika kemasyarakatan.

    Jadi, sisi pandangnya, kalau saya tidak tidak bisa membenarkan pandangan mana, karena hal itu seperti kata Awl berasal dari perspektif yang berbeda. Perspektif berbeda karena banyak hal, salah satunya pendidikan yang ditanamkan oleh masyarakat kepada satu individu sendiri.

    Soal "matere" sendiri, yep seperti kata Awl, memang sejatinya bermakna dan merujuk kepada sikap mementingkan materi. Tetapi, Awl juga harus menyadari terkadang kata ini dipakai tidak pada konteks sesuai makna aslinya, yaitu kerap dipakai untuk bercanda atau juga untuk mengatakan bahwa berhitung tentang "materi". Jadi, akan tergantung dari sudut pandang mana kata itu mau ditelaah.

    Kalau dari sisi Awl, yang masih muda dengan idealisme tinggi seperti sekarang, saya bisa paham kalau Awl memakai makna yang saklek, alias makna aslinya. Tetapi, dalam masyarakat, bukan tidak mungkin Awl akan berhadapan dengan banyak hal lain.

    Lagi-lagi seperti kata Awl, ini masalah perspektif, dan perspektif itu bukan sebuah kebenaran dan hanya sudut pandang. Jadi, akan banyak sekali perspektif lain yang mungkin susah diterima oleh Awl.

    Kalimat penutup Awl mungkin akan terasa benar bagi mereka yang memakai paradigma "kesetaraan", tetapi di dalamnya terkandung makna yang mungkin agak merendahkan mereka yang "tetap memakai paradigma" bergantung pada kaum cowok dan tetap meneruskan sistem lama yang mereka tahu.

    Bahwa sudah sepantasnya "cewek" mandiri dan tidak bergantung pada cowok, berarti, cewek yang tidak mau mandiri sebagai "tidak pantas".

    Mungkin sebaiknya dalam mengukur masalah sosial budaya, walau saya mengerti bahwa seseorang yakin pada perspektifnya, kita harus tetap memberikan ruang kepada perspektif lain untuk tetap ada. Kata pantas atau seharusnya menunjukkan kalau Awl memandang perspektif yang lain tidak setara dengan perspektif Awl.

    Padahal, tidak ada tinggi rendah dalam masalah perspektif. Bahkan, sebenarnya kata usang atau baru juga tidak ada. Perspektif adalah perspektif.

    Dah, itu saja deh pandangan saya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wkwkwk biar relasinya tetap aman terjaga yaa pak😆 *ehehe canda juga pak Anton*😂😂

      Saya memaklumi, pak, sebab di daerah tempat saya tinggal konsep ini masih kental sekali, seiring dengan budaya patriarkal yang memang masih melekat. Bahkan mungkin tingkat kesadaran akan adanya sistem patriarki saja tidak semua orang bisa akses, karena perspektif seseorang tumbuh berdasarkan bagaimana mereka melalui setiap proses berpikir dalam hidupnya, tidak bisa dipaksakan sama. Mengenai label matre ini sendiri pun saya banyak melihat disalahartikan penggunaannya, seperti kata Pak Anton, sehingga tidak sesuai konteks dan malah akhirnya menggeneralisasi perempuan sebagai sosok matre. Meski begitu, nyatanya saya tidak bisa menampik bahwa di sekitar saya sendiri dalam beberapa hubungan, sering terjadi konflik karena adanya tindakan financial abuse yang dilakukan oleh pihak perempuan, sehingga mengiyakan stigma yang sebelumnya sudah melekat. Mungkin karena ini juga, sebetulnya saya sedih ketika mendengar hal-hal yang tidak mengenakan keluar dari mulut teman-teman lelaki saya mengenai perempuan, hanya karena pengalaman negatif yang mereka rasakan. Sehingga membawa saya pada satu kesimpulan yang saklek, bahwa sudah sepantasnya kita hidup mandiri tanpa merugikan satu sama lain, baik antara laki-laki dan perempuan.

      Meski demikian, seperti kata pak Anton, bahwa betul saya cukup saklek dengan perspektif ini, saya akan berusaha untuk lebih luas melihat segala sesuatu yang berkaitan dengan hal ini. Sebetulnya kalau menilik lebih dalam pun, saya paham sepertinya fenomena matre memang cukup rumit dan pelik karena pada kenyataannya banyak spektrum yang saya sendiri tidak bisa lihat di permukaan. Contohnya, terdapat sebuah kondisi dimana seorang wanita single parent bekerja banting tulang untuk keluarganya juga anaknya, ketika dia bertemu dengan seseorang yang menurutnya bisa digantungkan (dalam berbagai aspek, tidak hanya soal materi), dan ada kecenderungan untuk berperilaku mengarah kepada materialistis, besar kemungkinan pasangannya ini akan melabeli wanita tersebut sebagai sosok matre pada akhirnya. Padahal selama ini dia selalu berjuang dengan dirinya sendiri. Hal-hal semacam ini saya sadari lumrah terjadi, dan seharusnya bisa memberi ruang perspektif yang lain untuk dibagikan di sini. Namun karena keterbatasan saya untuk bicara lebih luas, jadi saya memutuskan untuk hanya menjelaskan dari kacamata saya, yang mana menyoroti kata realistis dan materialistis. Namun, tentu, ini juga akan jadi pembelajaran baru buat saya lebih jernih melihat segala sesuatunya.

      Omong-omong, terima kasih banyak Pak Anton, untuk komentarnya😍 Saya juga jadi refleksi dan berpikir kembali soal ini. Sebetulnya saya tidak ada maksud untuk menyematkan kata pantas atau tidaknya seseorang dari kacamata kesetaraan yang mungkin saya anut dalam perspektif saya, sebab saya sendiri tidak merasa pantas untuk bersikap judgmental terhadap gagasan orang lain—yang bisa saja lahir dengan cara yang berbeda-beda. Tapi jika terlihat demikian, tentu ini akan saya jadikan PR untuk dapat lebih berhati-hati dalam menulis dan lebih membuka ruang dalam menyampaikan gagasan😄. Sekali lagi terima kasih banyak, Pak Anton😁

      Hapus
    2. Dari keseluruhan postingan dan komentar, aku sangat tertarik dengan percakapannya Mas Anton dan Awl.

      Pas ngebaca perspektif Awl, aku kurang lebih setuju, karena memang kita memang sepaham terkait masalah ini. Tapi pas baca komentarnya Mas Antor, damn! Aku menemukan anti tesis yang membuatku tercengang tapi nggak kontra juga, soalnya penyampaian dari Mas Anton nih enak banget.

      Aku setuju dengan Mas Anton, menulis itu kalau nggak dipilihin katanya bisa bermakna ganda. Aku pun masih belajar, gimana caranya supaya pas nulis tuh nggak terkesan bias dan kesannya nggak nyalahin 1 pihak. Yah walaupun masih sering kebablasan ya.. Wkakaka..

      Kemarin abis baca buku You Do You, aku ngerasa si penulis menampilkan tulisan yang jawabannya tergantung ke mindset kita. Kalau kamu fix mindest ya monggo, kalau kamu mau berusaha (growth mindset) that's good karena buku ini cocok buat kamu. Jadi nggak ada kesan menyudutkan. Huft.. ini bakal jadi tugas tiap kali nulis buatku!

      Hapus
    3. Pak Anton memang nggak diragukan lagi yaa mbak, kalau udah ngasih komentar. Apalagi untuk topik topik yang serius:D Aku sendiri berasa lagi disurelin secara langsung, wkwk.

      Menulis dengan bias jujur memang nggak bisa dihindari sih, mbak. Kadang kalau kita udah berusaha netral di beberapa postingan, tapi di postingan yang lain masih kerasa sakleknya. Makanya penting juga menurutku kita untuk tau kondisi, dalam mood yang bagaimana menulis itu. Kalau keadaannya lagi berapi api dan marah, mending jangan langsung dipublish, tapi disimpan dulu maksimal 3 hari sampai kita merasa betul betul sudah dingin isi kepalanya. Ini yang harus sering sering diingat supaya aku sendiri nggak banyak kebablasan sih, wkwkwk.

      Wahh seriuuuusss aku jadi pingin cepet2 beli bukunya kak Ruby toloooonggg:'(( Kemarin udah sempat baca tulisan kak Lia yang review buku ini, jadi semakin diracunin sama komen mbak Pipit, wkw. Yang pasti aku ingin jadi orang yang punya growth mindset, karena manusia bisa berubah ubah sesuai dengan fase struggle yang mereka alami. Duh, makanya ini jadi tugas baru juga buatku nih:D

      Makasi mbak Pipit udah sharing yaaa! Luv<3

      Hapus
  7. wuiiiih selamat ya Awl sudah ganti dengan domain baru!!!! Semoga blognya makin lama makin keren!!!
    Aku di sini masih berkecimpung dengan domain yang gratisaaan hihihi 😆😆

    Hmmmm, masyarakat kita ini kan sudah cukup kental kalau kencan itu, ya pria yang bayar. Makanya sering kali si pria jadi gengsi juga kalau kencan malah dibayarin cewenya. Tapi itu sendiri kembali juga sih ke pribadi masing-masing. Ada juga kok yang saat kencan bayar masing-masing. Ada juga yang gantian bayar, kencan pertama si pria yang bayar di kencan berikutnya si wanita yang bayar. Pada akhirnya tergantung lagi dari pribadi masing-masing.

    Setuju juga sama Awl, matre itu ga identik ke gender. Ada juga kok cowo yang matre. Tapi namanya juga sudah jadi streotipe masyarakat kita ya, kalo cewe itu matre. Maka dari itu, tunjukinlah pribadi kita wanita yang bukan cewe matre hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wehehe jadi maluuu, Aamiin timakaci oneechan!😍 Gapapa lho mbaak, yang penting itu kan isinya, blog mbak Frisca malah lebih rame dan lebih rajin updatenya daripada aku😆

      Iya mbak, aku setuju bahwa pada akhirnya ini tergantung preferensi dan kesepakatan masing-masing pasangan mau menerapkan gaya hubungan yang seperti apa, especially soal split the bill atau nggak, karena kan biasanya ini yaa yang sering jadi indikator matre atau nggaknya seseorang😂 fiuhh🤦🏻‍♀️ pada akhirnya yang terpenting kita punya rasa tanggungjawab atas pilihan diri sendiri. Hoho.

      Semangat untuk kita yaa mbaak😁💪🏻

      Hapus
  8. Wuaa ternyata kemaren menghilang salh satunya karena ganti domain ya Mba 😍😍 Selamat atas domain barunya Mba Awl, semoga jd penyemangat dlm ngeblog yaa.. 💖💖

    Aku suka bgd sama bahasan ini.. Kadang stereotip yg diberikan masyarakat agak keterlaluan sih. Misalnya hanya karna wanita di rumah aja ga kerja, saat dia minta dibelikan barang2 bagus (yg sesuai dg penghasilan suami padahal) malah dianggap matre. Atau kaya yg mba awl bilang, saat mereka membeli barang untuk menyenangkan diri sndiri malah di judge aneh2..
    Klo aku pribadi, selama orang itu tdk menggunakan uang orang lain (uang rakyat, uang pinjeman yg ga dibalik2in, dll) tahan2 deh buat ngomentarin hidup orang. Hidup aku sndiri jg blm tntu lbh baik kan, dr pd sibuk ngurusin hidup orang lain 😂😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ehehe iyaa nih mbak Thessa😆 tapi sebetulnya 50:50 sih. Kebetulan waktu itu beli domainnya pas udah privat, jadi pas blognya dibuka lagi kelihatannya surprise padahal waktu memutuskan untuk beli domain serba mendadak bangett. Memang sebelumnya udah direncanakan sih, tapi nggak ekspek bakalan secepat ini😂 Aamiin, terima kasih yaa mbaak, semoga aku bisa rajin terus ngeblognya kayak mbak Thessa😍 Walaupun sibuk, menulis gak boleh ketinggalan!💪🏻

      Keterlaluan bangett memang mbak, huhu. Yang membuat ini keterlaluan sebetulnya stigma-stigma atau logical fallacy yang tiba-tiba bermunculan dan melenceng dari konteks yang sebenarnya. Sehingga apa-apa bisa digeneralisasi, atau dicap seenak jidat dengan kata matre. Meskipun hal ini balik ke perspektif masing-masing orang, tapi cukup disayangkan juga menurutku kata matrenya sendiri jadi begitu disasarkan kepada kaum perempuan kebanyakan.

      Ehehe iyaa ya mbak, kalau dipikir-pikir yasudah kita fokus ngurusin hidup sendiri aja😂 lain cerita kalau di sekitar kita ada koruptor, kayaknya nggak akan bisa ditahan-tahan lagi ya mbak, maunya langsung dido'ain aja biar mereka dapet hukuman yg setimpal😆🤦🏻‍♀️

      Hapus
  9. Awl ini semacam menyuarakan kegelisahanku juga selama ini ahaha.. Aku kadang gedek siih sama narasi-narasi cewek matre itu ga ada,adanya realistis. Seolah menyamakan kata materialistis dan realistis padahal yaa jauuh, malah berlawanan sepeti yang Awl bilang.

    Bukannya cewek ga boleh jadi matre sih, itu mah pilihan masing-masing orang yaa? Cuma ya tadi itu sepertinya masih banyak yang denial kalau matre dan realistis itu jauh. Dan kayak yang dikomen Rahul, narasi ini seolah jadi pembelaan orang-orang yang materialistis buat ga disebut materialistis padahal yaa mau jadi matre atau realistis tuh ga apa-apa asal ga merugikan orang lain aja..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin karena kata materialistis ini udah berkonotasi negatif di kalangan masyarakat, jadi semacam udah otomatis kali yaa kak Eya kita nggak mau dianggap matre sehingga mencari validasi dengan istilah realis. Walaupun matrenya pake uang sendiri sekalipun😅 padahal selagi memang nggak merugikan orang lain, kenapa harus khawatir. Beda soal kalau yang dipake duit asal ngutang yang belum dibayar-bayar, atau duit hasil korup, kayaknya udah nggak bisa dianggap remeh lagi yaa sebab melibatkan banyak individu, ehehe.

      Iyaap betul bahwa itu hak masing-masing orang, karena yang mendasari seseorang bertindak impulsif seperti itupun kita nggak tau dan nggak bisa samaratakan apa saja latar belakangnya. Hanya menyayangkan aja sih yaa kak Eya🤧

      Hapus
  10. Apa karena stereotipe yg uda ada di kalangan masyarakat, bahwa cewe identik ga bisa cari uang, cowo yg kerja dan punya uang. Jadinya jika cewe merasa butuh uang yg lebih atau membeli barang dg harga yg wah, terkesan di anggap matre. Karena bisa saja itu uang bukan hasil kerja kerasnya. Setuju bahwa matre itu ga pandang gender.

    Sedangkan utk realistis memang bisa di lihat berdasarkan kebutuhan. Bukan sekedar keinginan belaka. Bahkan dengan semakin majunya saat ini, cewe bisa kerja dan memperoleh uang sendiri, malah dianggap terlalu independen. Bisa aja bukan sekedar matre yg jadi label untuk cewe, tapi independen juga. Padahal bisa saja barang yg dibeli memang sesuai kebutuhannya, sesuai budget yg dimiliki, dan jadi reward untuk dirinya sendiri kan juga bisa.

    Terkadang pola pikir masyarakat terlalu kotak2. Udah gitu sulit untuk berubah 😔

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepertinya begitu mbak Dev, sebetulnya semuanya memang mengakar dari sebuah mindset yang lama-lama berevolusi menjadi kebiasaan di lingkungan masyarakat. Kadang aku juga risih karena seringkali kita malah mengkotak-kotakan seseorang dengan label tertentu yang dianggap benar oleh society hanya karena apa yang terlihat di depan mata. Mungkin kalau mau bodo amat, ya namanya hidup pasti ada naik turunnya. Cewek yang begini lah, cowok begitulah, orang yang independent bisa dianggap matre dan terlalu begini begitu, sementara orang yang serealistis apapun bisa juga dianggap ketinggalan jaman. Tapi biar bagaimana pun susah juga yaa jadinya dealing dengan itu semua, berasa gak ada benernya kayaknya ya mbak:D

      Hapus
  11. Baca komen-komen disini, aku merasa hmmmm... gimana ya... kalian semua keren perspektifnya terutama dengan cara menuliskannya. Tentu karena empunya blog ini juga tulisannya selalu bagus dan dalam.

    well awl, aku ga bisa komen apa-apa soal ini karena kamupun sudah menjabarkannya dari perspektif kamu dan bisa kupahami dengan baik.

    terlepas realistis ataupun materialistis, yang kutahu, manusia itu sudah dasarnya adalah para pencari kebahagiaan, dan caranya dapetinnya beda-beda, jalannya beda-beda tergantung isi kepalanya lagi terisi apa, hehe

    realistis atau materialistis? i just wish they all happy with their own way.

    *tuh kan, komennya udah mulai menyimpang dari tulisannya ya?hahaha...

    udah ah, ga akan panjangin komen, ntar ketahuan begonya aku haha..

    btw, aku baru sadar kalo domainnya udah .com
    ini berarti satu temen domain gratisan berkurang, hahaha...

    Awl, terimakasih karena sudah berbagi perspektifnya dan ditulis dengan teramat baik. kusuka. as always.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha gapapa dong kak Ady, nggak ada menyimpangnya sama sekali malah:D

      Konklusinya kita semua si para pencari kebahagiaan pasti punya caranya masing-masing untuk mewujudkan itu, hanya saja pasti jalannya ada yg baik, kurang baik, atau buruk sekalipun. Ada juga yang dicari sendiri atau lewat perantara orang lain. Eh tapi, ngomong-ngomong komentar kak Ady ini bisa jadi penutup di atas lho kak, wkwk. Soalnya kalau dipikir-pikir aku terlalu ngotot sama perspektif sendiri kayaknya jadi kurang bisa cool down-in tulisan:D hoho.

      Oalaaah aku udah domain TLD pun masih kalah tampilannya sama kak Ady karena gambarnya masi nyomot yang gratisaaaaan, wakakak. Masi kurang minimalis pula, kudu banyak bebenah nih jadinya ^o^

      Terima kasih jugaaa kak Ady sudah meramaikan kolom komentarku yaaak!:D

      Hapus
  12. Sebel banget Awl kalo ada yang bilang "Jangan mau bayar, biar cowoknya aja" atau "Masa perempuan nraktir cowoknya?" Omaigat... Katanya butuh kesetaraan, tapi kadang perkataannya ngga sinkron sama perilakunya.

    Aku sih pasti tim realistis dong. Aku juga perlu projecting my future dengan kondisi keuangan yang ada sekarang. Namun itulah, orang suka nganggepnya macem-macem kalo niatnya cuma ingin bersama dengan orang yang dilihat proyeksi keuangannya meyakinkan. Sekali lagi, pasti harus dalam batas wajar kan, karena kalau berlebihan itu pasti akan merugikan kedua belah pihak.

    Anywaayyy, ini pembahasan yang bagus banget sih. Perspektif kamu juga lagi-lagi membuka mata untuk melihat sisi lainnya hihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu diaa kak Ibel, kadang-kadang gambling jadinya sama prinsip sendiri. Tapi harus diakui sih, rata-rata orang-orang yang secara nggak sadar memiliki prinsip seperti ini masih belum aware soal nilai kesetaraan yang lg hangat di tengah-tengah kita. Sehingga kembali ke perspektif masing-masing. Kalau belum bisa split the bill pas awal-awal ngedate karena malu, mungkin sah-sah aja kali yaa. Dan seterusnya selagi gaya relationship itu nggak merugikan satu sama lain, it's okay. Menurutku yang disayangkan adalah ketika kita nggak punya batasan tentang how we spent our money in a positive way and being responsible with it. So, buat orang yang realistis macam kita mungkin kesel jadinya kalau narasi seperti ini masih banyak yang melanggengkan. But yep bener juga lho kak, realistis ketika mau menentukan pasangan yang proyeksi keuangannya baik pun masih juga disalahpahami sebagai matre. Padahal belum tentu intensinya kita tentang barang-barang mewah atau sikap impulsif. Ini juga sih yang kadang orang lain sering mispersepsi, alhasil bingung juga antara realistis atau bener-bener matre:D Padahal yaa kalau dari definisi jelas-jelas beda. Hanya pada praktiknya memang kita nggak bisa denial kedua istilah ini jadi tumpang tindih satu sama lain, huhu.

      Thanks juga lhooo kak Ibel sudah sharing disini, interesting yaa tema kita minggu kemarin sama-sama tentang perempuan, wk:D

      Hapus
  13. Realistis atau Matrealistis? Menurut saya tergantung ceweknya. Yang tahu hanya dia. Tapi untuk hidup di era seperti sekarang, kayaknya realistis bisa masuk.

    Oh ya, saya punya teman cewek pernah bilang, "Bang, ibuku ke pasar pakai ojek, masak' aku nanti pakai ojek juga.." Karena itu beliau pontang panting mencari pacar orang kaya. Dapat. Sudah nikah malahan. Punya restoran, hotel dan kost2an.

    Tapi, seperti pepatah sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, temenku ini sekali menjalin hubungan langsung dengan 2 orang sampai sekarang. Pertama dengan yang kaya, dan yang kedua dengan cinta sejatinya yang dijalin sejak SMP. Hanya karena ingin kehidupannya berubah, yah dia terpaksa mencari suami orang kaya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kadang kedua istilah ini tepat nggak tepat disasarkan kepada setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, karena backgroundnya pasti beda-beda. Intinya memang nggak bisa digeneralisasikan sih yaa, Bang Ancis. Dalam kasus teman bang Ancis, mungkin karena dia sebelumnya hidup sederhana atau cukup, jadi merasa perlu untuk mengubah standar hidup ke yang lebih tinggi. Selagi itu bahagia, dan nggak merugikan orang lain macam koruptor yang pakai uang rakyat, sah-sah aja, hehe. Semua orang punya hak atas hidupnya, sih. Yah, mungkin memang beginilah fenomenanya ya bang. Masalah financial memang cukup sensitif untuk beberapa orang karena nggak semuanya lahir dengan sudut pandang yang sama:(

      Hapus
  14. Selamat buat domain barunya Mba Awl... 😄

    Hhmm topik yang menarik.. heheh setelah membaca komentar pak Anton, Mba Eno, dan teman2 lainnya.. Saya pun setuju dengan pendpat semuanya...

    Kalau pengalaman pribadi saya sih... saya kurang suka kalau ada Pria yg selalu mencoba memaksakan sesuatu untuk pasangannya (pacar) padahal kondisi ekonomi dia lagi susah... kaya seperti pinjam duit demi kado sepatu untuk pasangannya.. hhmmm. 😒

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thank you mas Bayuu, hihi:D

      Ah iya, sering juga saya dengar cerita seperti ini mas. Kadang hal ini bisa terjadi karena pasangannya terlalu banyak menuntut sesuatu sehingga mau nggak mau dalam kondisi apapun, si pasangannya harus bisa melakukan apapun agar pacarnya senang. Di lain sisi, kadang bisa juga alasannya karena memang si mas/mbak pacar terlalu sayang sehingga dia selalu mengusahakan apapun untuk pasangannya, meski kondisinya lagi kesusahan. Kadang kita sendiri susah mengukur apakah hal tersebut didasari oleh rasa cinta, matrealistis, atau karena terpaksa. Saya sendiri justru merasa kasihan kalau harus bela-belain pinjam duit untuk beli kado, padahal uangnya bisa dipakai untuk kebutuhan yang lebih mendesak ya:( Ini dia mungkin butuh komunikasi yang lebih baik lagi dengan pasangan. Penting untuk saling terbuka mengenai keuangan sedini mungkin supaya nggak ada yang merasa kecewa di antara satu sama lainnya:( hikss.

      Hapus
  15. awlllll baru ngeh juga dong sama kayak temen yang lain kalau udah jadi .com. ahaaaa
    akhirnya sempet main kesini lagi
    baidewei, aku juga heran tuh kenapa matre selalu diidentikkan sama ciwik ciwik, aku kan jadi gimana gitu ya hahaha
    padahal kalau sama cowok ya biasa aja, kecuali mereka mereka yang sibuk sama daddy daddy #ehhh
    kadang nih, tiap perempuan atau ibu ibu yang sudah berkeluarga, makna matre juga tergantung konteksnya. Matre dalam hal apa dulu, karena selama ini matre selalu dihubungkan dengan tindakan "keganjenan" dengan cowok, alias moroti si cowok.
    duh apa ya bahasa indonesianya moroti hahaha, berasa blank
    apalagi kalau seorang single parent yang memang kudu ketat soal budget, yang semua muanya dikerjakan sendiri, nyari duit sendiri. luar biasa wanita wanita perkasa seperti ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Ainuuun, ahaha iyaa nih, kalo gak ngecek ke domain pasti nggak ngeh ya. Padahal aku sendiri mau diem diem aja tapi ternyata ada yg notice juga, jadi malu, wk:D

      Mbak Inun nyerempetnya bisa aja, wk. Mungkin karena itu orang orang hanya menilai berdasarkan kacamata sebelah kiri, kurang luas lagi sehingga asal melabeli perempuan matre. Haha iya mbak, betul, aku ngerti kok bahasa moroti, soalnya ini juga yg sering dipake. Mungkin kita harus bisa lebih banyak memberi ruang sebelum menilai sesuatu ya. Kalau kelihatannya seorang single parent banyak pengeluaran beli ini itu untuk kebutuhan anak2nya, masa kita tega juga mau ngatain mereka matre. Kurang lebih begitu ya mbak:')

      Hapus
  16. Tulisan-tulisanmu bagus awl. Sering baca, walaupun jarang meninggalkan jejak. hiiks
    Dan selamat untuk domain barunya. Tulisan bagus dan domain baru, jadi semangat untuk terus ngeblog :D

    Menarik pembahasannya, realistis memang sering bertindak sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Jika realistis dan materialistis sebuah sikap atau perilaku, tentu saja yang menarik adalah bagaimana atau dari mana perilaku tersebut dibentuk. Khan tidak mungkin seseorang secara tiba-tiba memiliki perilaku seperti itu tanpa ada lingkungan yang membentuknya.

    Keluarga, sekolah, lingkungan sosial dan pergaulan, serta informasi yang masuk akan membentuk perilaku seseorang. Baik itu laki-laki ataupun perempuan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih banyak mas Rivai! Hoho iya nih, harapannya sih begitu. Semoga domain baru nggak membuat semangat menulis dan blogwalking ini surut:D

      Iyapp betul mas, kusetuju. Biar bagaimanapun tindakan seperti ini muncul dengan latar belakang yang berbeda. Kadang kita juga nggak bisa asal melabeli seseorang itu matre untuk kesenangannya sendiri atau bukan. Karena dalam beberapa konteks, ada juga kasus dimana seseorang berniat mencari pasangan yang baik secara financial salah satunya untuk membantu perekonomian keluarga. Mungkin hal hal seperti ini yang harus dipisahkan dari kasus kasus matrealistis yg sebenarnya, agar kita nggak asal judgmental dengan pilihan hidup orang lain. Pun begitu, judgmental sama orang yg punya prinsip cenderung matrealistis tetep gak boleh juga sih:'D Sebab betul kata mas Rivai, perspektif seseorang bisa terbentuk tergantung bagaimana ia tumbuh dan belajar di lingkungan sekitarnya.

      Hapus
  17. Realistis karena hidup tuh perlu realistis, jujur aku dari lahir hidup sederhana ga pernah nuntun apapun ke orang tua, kalo dulu pas sekolah ingin sesuatu ya nabung dan setelah kerja juga sama sampai sekarang sudah berkeluarga dan memiliki suami yang bisa di bilang cukup mampu memberikan sesuatu yang di atas rata-rata misalnya barang branded aku segan menerima dan memintanya walaupun pada akhirnya aku menerimanya kadang juga aku tolak lalu mengalihkan uangnya untuk pergi berlibur jadi yang merasakan bukan hanya aku tetapi suami dan anak juga. walau aku sebenarnya bisa saja membeli sendiri. Oia ka AWL mau coba review produk kosmetik ga ya, kalo tertarik aku ada nih ka produk dari OTWOO Kosmetik nah kalo jadi nanti aku bisa deh kirim produknya untuk di review langsung. terimakasih semoga bermanfaat

    BalasHapus