Tantangan Seribu Candi Berbalut Twitter

by - Juli 07, 2020

Challenge yang nge-trend di twitter

Hai, folks! Masih ingatkah kalian dengan kisah Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso? Roro Jonggrang, putri Prabu Boko yang diserang oleh pasukan Bandung Bondowoso, dikenal akan kecantikannya dan saat itu memikat hati Bondowoso. Saat ingin meminangnya, Roro memberi tantangan atau syarat untuk Bandung Bondowoso membuat seribu candi dalam satu malam agar bisa menikahinya. Misi itu berakhir dengan kekalahan, karena Roro Jonggrang, yang tidak mengira Bondowoso akan mampu menyelesaikan misinya dengan bantuan jin itu, segera meminta dayang-dayangnya untuk membunyikan lesung agar Bondowoso mengira bahwa hari sudah fajar dan agar dia tidak bisa menyelesaikan satu candi terakhir untuk Roro. Kisah legenda ini sejak dulu disebut menjadi asal usul Candi Sewu atau Candi Seribu. Namun ada juga yang mengatakan legenda ini adalah latar peristiwa dari Candi Prambanan.

Cerita legenda memang selalu jadi dongeng tidur yang menarik untuk diceritakan, apalagi di masa-masa gadget belum membumi seperti sekarang. Nah, tapi sayang sekali hari ini gue gak akan bercerita tentang legendanya, melainkan tentang tantangan atau syarat yang diberikan Roro Jonggrang kepada Bandung Bondowoso. Entah kenapa hal semacam ini rasanya sering banget kita temuin di cerita-cerita rakyat, misalnya Sangkuriang yang disuruh buat perahu dalam satu malam oleh Dayang Sumbi, yang ternyata adalah ibu kandungnya. Gue pikir hal itu cuma terjadi di cerita-cerita legenda, tapi ternyata di kehidupan sekarang pun ada, bahkan bisa dibalut secara modern lewat platform Twitter.

Anak-anak twitter pasti tahu nih, banyak banget gambar screenshot atau retweet berseliweran yang isinya seputar permintaan untuk memenuhi syarat-syarat atau challenge yang dikasih seseorang ke dirinya, entah itu dari gebetan dia, atau stranger yang pengen confess tapi malu, atau teman yang pengen ngasih sesuatu. Karena gue gak pingin nyolong gambar dari mana-mana, jadi sebagai contoh gue tulis di bawah;

"999 Likes 3333 RT selama tiga hari nanti aku terima kamu jadi pacar aku!"
"300 Likes aku confess."
"1000 RT dalam empat hari nanti aku kasih Bittersweet by Najla!" *seenak itukah Bittersweet by Najla? Tolong kasih tau guee!
"444 RT 222 Likes gue bongkar aib mantan gue!" (ini ada, serius)

Awalnya gue pikir sih ini biasa aja, dan mungkin memang biasa aja bagi sebagian orang. Tapi semakin gue lihat, semakin gue amati, semakin gue pikirin, kok lama-lama makin banyak orang yang kasih tantangan model begini ke orang lain, hanya untuk memberi atau mendapatkan sesuatu. Pertama-tama, gue gak melihat ini sebagai tindakan kriminal kok sampe harus dikritik sedemikian rupa, jelas nggak, cuma heran aja kenapa ya ada orang yang sebegitu merasa superiornya sampai harus buat orang lain bersusah payah hanya agar mendapat apa yang dia mau, atau hanya agar memberi sesuatu. Maksud gue, kenapa segala sesuatunya dibuat rumit, sih? Padahal kalau lo mau confess, ya tinggal confess aja, gak perlu bikin orang lain merasa kesulitan. Kan kita gak tau tuh orang kesehariannya lagi sibuk apa nggak? Dan kalau lo mau ngasih hadiah, ya tinggal kasih aja, kenapa harus bikin orang lain seolah terlalu mengharapkan pemberian lo sampai harus nuntasin challenge itu. Terus nih, kalau dia mau nerima seseorang buat jadi pacarnya, kenapa harus perjuangan semacam itu? Apakah sekarang angka dan engagement di media sosial adalah solusi dari setiap masalah?


Then some people yelled at me, "it's just a game, you bitch!", "ada masalah apa sih mba hidupnya?", "i didn't invite you blablabla why did you come to my party?"

I know, that is basically just a game you said. Mungkin ada beberapa yang memang untuk kesenangan aja, tapi ada juga yang benar benar menjadikan itu masalah serius, dan apakah gue salah kalau berusaha untuk peduli dengan hal yang dianggap remeh macam begini? 

Okay, sepertinya gue harus tekankan ini supaya gak ada lagi orang-orang yang misunderstood dan langsung menyerang twit gue seperti beberapa minggu lalu *hiks* (tapi gue percaya sih warga blogger baik-baik dan pengertian😍). Gue nggak meminta orang lain untuk sependapat dengan gue, gue pun nggak ngejudge orang-orang yang fine-fine aja dengan aktivitas itu. Entah kenapa gue hanya heran, seperti yang gue bilang di atas. Mungkin ini didasari sama prinsip gue yang apa-apa gak mau dibikin ribet kali ya. Sejujurnya dari dulu, misal waktu gue pdkt sama cowok, gue gak menganggap perjuangan untuk bisa dapetin gue itu adalah sesuatu yang wow. Kalau gue udah suka sama dia, dan udah merasa cocok setelah proses pendekatan itu, ya udah coba jalanin aja dulu. Kalau nggak ya bilang gak bisa, gak perlu merasa gak enakan. Gak ada yang namanya ribet "kamu harus membuatkan aku kolam empang berisi mujaer betina dalam satu malam!", nggak. Sesimple kalau gue mau ya mau, nggak ya nggak. Tanpa harus menganggap orang lain inferior dengan harus berbuat sesuatu dulu.

Situasi ini bikin gue berpikir, seracun itu ya media sosial sampai apa-apa yang "kekinian" alias trendy harus kita ikutin. Semacam ada tekanan tersendiri untuk selalu up to date dan tau apa aja yang lagi rame dibicarain. For some reasons, topik yang ramai dibicarakan sebetulnya penting untuk membantu kita mengasah critical thinking dengan berdiskusi dengan orang lain dan mencari banyak informasi. Namun di sisi lain, banyak juga hal gak penting yang seharusnya gak perlu kita angkat, tapi malah selalu muncul di permukaan. Ibarat ikan dikasih makan, dikasih remahan roti aja misalnya, langsung berkerumun saling rebutan. Padahal itu cuma remah-remah, bukan makanan utuh. Kalau udah gitu, akibatnya media sosial yang kita pegang jadi toxic ke diri sendiri. Kita gak punya batasan dalam bermain medsos dan gak bisa mem-filter atas apa aja yang berhak kita konsumsi. Hal yang toxic kan gak cuma ada dalam pertemanan atau hubungan percintaan, atau bahkan zat kimia malah, tapi juga bisa terjadi lewat media sosial. 

Sebenernya kita udah kenal dengan yang namanya #challenge ini itu di medsos tuh dari lama. Lo pasti sering nemuin kan video challenge di YouTube dan tiktok. Entah tantangan makan pedes, mukbang, joged, bikin video make-up kayak pass the brush challenge, sampe ada juga challenge yang bisa melukai diri sendiri semacam bird box challenge. Nah karena adanya trend-trend semacam ini orang-orang jadi ada keinginan untuk harus melakukan hal yang sama. Sehingga sampe sekarang kita seolah terbiasa kalau ada orang-orang yang ikut-ikutan melakukan sesuatu di medsos. Bahkan yang mirisnya, generasi FOMO (Fear of Missing Out) ini gak sadar kalau mereka punya kecenderungan untuk ingin melakukan semua hal yang ngetrend di internet.

Memang sih, gak semua kegiatannya seburuk itu untuk dilakukan, sebagian cuma untuk ngisi kegabutan. Cuma menurut gue yang menjadikan ini lebih buruk adalah pemikiran yang menganggap semua yang happening di jagat maya adalah sesuatu yang big. Misalnya, melakukan hal-hal yang trendy dikit dianggap keren—as i mentioned above, dianggap paling maju dan gak kuno, padahal bisa aja itu gak memberi efek apa-apa untuk dirinya, atau bahkan sebaliknya malah ngerugiin orang lain—bikin orang lain insecure, triggered sama hal yang bikin trauma, dll, who knows. Kita jadi seolah membiarkan diri kita terbawa arus yang gak jelas kemana dan darimana mengalirnya. Padahal gak semua hal harus kita ikutin, gak semua hal harus kita makan bulat-bulat. Meskipun pada akhirnya, gue menyadari bahwa zaman tiap orang bermedsos ria beda-beda, mungkin sekarang eranya seperti ini. Tapi paling nggak batasan itu harus tetep ada gak peduli angkatan berapa atau umur berapa lo sekarang.

Balik lagi soal challenge di twitter yang gue omongin di atas, sepertinya mindset kita terbiasa dengan kalimat "di dunia ini gak ada yang gratis", jadi apa-apa harus dibuat sulit dan didramatisir. Gue harap sih hal-hal semacam ini gak dinormalisasi atau dijadikan kebiasaan untuk kita memperoleh sesuatu di dunia nyata. Bisa-bisa nanti hidup kita pun akan ditentukan oleh rating di media sosial seperti di seri Black Mirror, kan ngeri. Lagi-lagi Black Mirror🤦🏻‍♀️, habis sejauh ini cuma Black Mirror sih IMO yang benar-benar relatable untuk ngegambarin kehidupan di balik teknologi. *Apa ada serial jenis serupa yang harus gue tonton juga? Let me know ya!😁


Note: Tema ini khusus dibuat untuk #1minggu1cerita di awal bulan, yang pas-pasan bersinggungan dengan isu yang pingin gue ceritain. Anyway, terima kasih sudah berkunjung ya!😊

You May Also Like

24 komentar

  1. That's why ada istilah FOMO ya, Fear of Missing Out. Orang-orang yang ingin selalu uptodate ini merasa takut kalau ketinggalan, kalau nggak ngelakuin hal yang lagi viral, nggak keren.
    Makanya mereka mencoba segala cara biar bisa uptodate dan lama-lama malah jadi racun buat mental mereka sendiri. Kebanyakan, yang lahir tahun 2000 ke atas nih yang kayak gini. Yang hidupnya bertumbuh bersama sosial media. Mereka bahkan bisa sampai stress, depresi hanya karena hal-hal yang terjadi di media sosial. Makanya ngebatasin diri itu penting banget ya. Semoga adik-adik bisa diberi pencerahan akan hal ini 😣

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah iya, FOMO! Dari kemarin aku mikirin istilah itu apa yaa tapi lupa, makasih mba Lia udh ingetin😂
      Kalau aku liat di twitter juga sih kebanyakan angkatan 2000an ke bawah yg seperti ini mba, (tanpa bermaksud merendahkan) mungkin begini sulitnya hidup bertumbuh di tengah era digital yg pesat. Kenapa kemudian muncul isu-isu mental illness pun karena hidup anak-anak jaman sekarang yg terpapar media sosial, hidup orang yg kelihatannya enak bisa jadi tontonan dan bikin anak-anak yg gak bisa memfilter medsos mereka ini depresi, dll. Yang bisa kita bantu paling mengedukasi mereka soal batasan-batasan itu, untungnya aku liat udah banyak sih beberapa akun yg ngebahas hal itu, minimal kita ingetin adik-adik yg ada di sekitar aja. Aku pun jadi waswas nih punya adik-adik😟 Aamiin semoga mereka bisa terhindar dari hal-hal semacam ini🙄

      Hapus
    2. Sama-sama. Besok-besok tanya dulu makanya 😝

      Bener, bukan bermaksud merendahkan tapi karena mereka bertumbuh bersama media sosial jadi mentalnya beda dsn jadi lebih rentan. Makanya belakangan ini gencar banget ya pada membagikan soal mental illness, lalu bisa konsul dengan psikolog gratis, setidaknya banyak yang melek juga jadi semoga bisa berimbang.

      Semoga adiknya Awl sehat jasmani dan rohani dan mentalnya kuat ya 💪🏻🔥

      Hapus
    3. Wehehe siaap mba:D

      Iya mba, makanya sisi positifnya bersyukur banget sekarang orang orang lebih sadar akan isu kesehatan mental, psikologi, dan sebagainya. Berarti kesadaran akan ilmu ilmu semacam itu jadi lebih luas lagi adanya.

      Aamiin makasih banyak mba!:'))

      Hapus
  2. halo kak.
    warga blogger nggak seperti warga twitter kok kak. beda lingkungan. haha. *kayaknya begitu
    medsos jadi toxic kalau sudah menjadi ketergantungan. bahkan ada yang mau puasa sosmed. meninggalkan sosmednya. itu semua fine2 aja sih. haknya dia.
    saya cuma pantau aja. oh begitu. oh begini.
    asalkan tidak gampang menghakimi. kan kondisi kita & mereka pun berbeda.

    kalau puasa sosmed, ngeblog tetep lah ya. haha
    salam kenal ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo kak Mirna! Salam kenal ya kak😁

      Iya kak aku percaya warga blogger baik hati dan tidak sombong makanya berani nulis ini disini😂
      Saya pun salah satu yg ngerasa medsos makin lama makin toxic karena saya sendiri jujur gabisa kontrol pemakaian medsos pribadi, makanya milih pergi dulu dari instagram. Sayangnya ada beberapa orang yg udah kecanduannya parah, udah tau toxic tapi susah buat ninggalin, suka kasihan sih karena mereka seolah-olah bikin susah diri sendiri🙄
      Nah bener mba, puasa sosmed gapapa asal blog jalan🤣 Kayak saya ini malah bisa lebih produktif setelah deactivate sementara akun ig saya hoho. Makasih banyak udh mampir kak Mirna!

      Hapus
  3. Ha..ha.. Iya juga ya, kenapa ada yang mau susah-susah ngurusin challenge begituan, apakah memang terinspirasi sama roro jonggrang🤔 entahlah. Tapi saya pribadi nggak begitu paham, mungkin karena saya jarang main twitter, malah bisa dibilang twiter saya cuma asal punya aja😂. Mungkin saya harus memanfaatkan twiter biar tahu berita-berita terkini.

    Padahal hidup bisa mudah kenapa dibikin susah ya... Kayaknya benar kata seseorang (entah siapa saya lupa) kalau hidup kita sering dinilai dengan angka, ya semacam jumlah like dan followers gitu.
    Btw saya jadi penasaran sama black mirror....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya kan mbaa, kita-kita ngeliatnya bingung sendiri kenapa sih pake challenge-challenge gitu, tapi mungkin buat orang lain itu menyenangkan. *walaupun masih bingung sisi funnya dimana🤔 Wahaha gapapa mba berarti masih aman kalau jarang main twitter, gak harus emosi tiap hari liat tingkah orang2 di twitter😂

      Sepertinya hidup di tengah-tengah media sosial yg rame kayak sekarang secara gak langsung bikin hidup kita terbiasa sama exposure, likes, engagement dll mba, jadi orang tuh berlomba-lomba banyakim followers sama likes, supaya bisa diuangkan lah, supaya bisa terkenal lah, ngeri🤦🏻‍♀️ Waduh saya jadi ngeracunin black mirror nih😳 ayo mba cepetan nonton mumpung belum sampe 10 seasonnya *modehasut👻👻

      Hapus
  4. Hallo salam kenal ya, makasih kemarin uda berkunjung ke blog aku

    Aku sendiri setelah berkeluarga dan riweuh dengan segala sesuatunya secara otomatis off beberapa media sosial seperti twitter, fb, ig...

    Mungkin yang kupantengin secara intens untuk saat ini cuma media sosial blog. Sebenernya bukan karena gimana-gimana, atau merasa terganggu dengan segala keseruan medsos yang ada, termasuk aktivitas kayak challenge, game, atau apalah ya, tapi lebih ke karena uda ga punya waktu lebih untuk mantengin banyak hal,

    1 blog aja aku riweh, nah yang lain mah aku pilih bye bye aja

    Meskipun aku juga orangnya santai aja sih... mau kegiatan warga twitter kayak gimana kek, warga ig kayak gimana kek, warga fb kayak gimana kek, warga blogger kayak gimana kek, yang penting yang baik itu yang kuambil, nah yang buruk itu yang kutinggalkan hehe...#filter ada pada diri sendiri

    Tapi jujur, untuk pendapatku pribadi, kalau untuk contoh challenge yang aneh-aneh misalnya disuruh makan makanan yang disguesting dalam porsi besar dan ga wajar, nah aku sih mending no lah...soalnya aku ga suka menyiksa diri sendiri hanya untuk terlihat keren atau bisa menyelesaikan sebuah tantangan, ... jadi cari yang wajar2 aja aku mah 😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal mba Gust! Makasih juga sudah mampir ya;)

      Memang zaman dan prioritas dalam bermedsosnya sudah beda ya mba, jadi cenderung gak peduli sama hal hal yang ngetrend di internet jaman sekarang dan malah bisa lebih fokus dengan real life. Bener kata mba, filter ada pada diri sendiri. Sebagai penikmat platform di dunia maya kita yang harus bisa memilih, karena ujung2nya kita gak bisa meminta orang lain untuk harus sama seperti kita berperilaku di media sosial. Toh masih banyak juga hal wajar lain yang bisa kita nikmati ya mba:D

      Hapus
  5. Salam kenal ya mbak.😊

    Aku tidak punya Twitter karena malas punya banyak akun, cukup Facebook saja, itu juga sudah lama bikinnya karena banyak teman pakai Facebook. Biarpun sekarang banyak teman pakai IG tapi aku ngga bikin, soalnya malas urus akunnya.

    Kalo soal tantangan atau challenge, kadang aku memang suka heran. Ada challenge ini terus diikuti, ada challenge itu, juga sepertinya harus ikut. Kalo yang unik dan menarik sih tidak masalah, tapi kalo yang melukai diri atau bahkan kadang tidak sengaja orang lain kan berbahaya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal juga mas Agus, terima kasih sudah mampir:D

      Memang baiknya pakai medsos sesuai kebutuhan aja mas, daripada terkontaminasi hal2 yang bikin geleng kepala di luar sana:')
      Entahlah kenapa pada seneng banget kayaknya bikin challenge ini itu:'D saya juga gak ngerti funnya dimana kalo ada orang yang ikut buat video bird box challenge, misalnya, harus tutup mata sambil ngelakuin misi. Aneh memang hmm.

      Hapus
  6. Waa terampil sekali cara mengemas informasinya mba awl ☺ dari judul tulisan sudah membuat tertarik utk membacanya sampai akhir..saya kira mba awl bakal buat dongeng baru gaya milenial trnyata tebakan saya salah 😁

    Oh ya mba aul ternyata selain FOMO ada juga istilah lain dari fenomena ini, kalau kata anak psikologi ini termasuk Bandwagon Effect yang menggambarkan kecenderungan seseorg mengikuti tren (eh tapi latar belakang sy bukan anak psikolog, cuma lagi suka aja sm bacaan psikologi mbaa😅 hehe)

    Apa gak capek ya mba ngikutin tren hihi bener juga kata mba, hidup itu dibuat simpel aja ☺

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai mba Syifaa! Hehe bisa aja dirimu, makasih ya! Senengnya emang bikin orang nebak2 nih:D

      Wah iyakah? Tadi saya langsung googling dong mba, ternyata si FOMO ini hanya istilah yang menyematkan orang2 yg takut ketinggalan sesuatu, sementara yg seneng ikut2annya si efek Bandwagon ini. Saya juga tadi jadi nemu istilah Snob Effect, kebalikannya Bandwagon Effect(?). Gapapa mba, saya juga suka seneng kalau baca2 tentang ilmu psikologi, mental health, dll walaupun gak ada basic anak psikolog sama sekali wkwk.

      Mungkin karena ada eksposure atau traffic yang dikejar mba jadi gak dianggap melelahkan, karena ternyata mereka ketemunya dengan orang2 yg satu frekuensi alias senang begitu juga:')

      Hapus
    2. Hihi saya malah baru tahu ada istilah Snob Effect itu dr mbaa awl..wa tancap gas lgsg googling juga nih mba, ternyata istilah2 itu ditemukan dalam bahasan ekonomi juga ya..tadi saya malah nyasar ke artikelnya anak ekonomi😅 secara garis besar memang dirasa istilah Snob Effect itu kebalikannya dr Bandwagon Effect ya 🤔

      Wah senangnya bisa ketemu teman blogger yang satu frekuensi bacaan 😆 emang menyenangkan ya mba bacaan yg brkaitan dengan ilmu psikologi☺

      Bener juga mba awl karena berada dilingkungan yang sama jadilah kemungkinan besar mereka gak capek ya ikutin tren, daya pengaruhnya ikut tren jd lebih besar ya..

      Hapus
    3. Iya mba, saya juga kemaren jadi nyasar ke ekonomi, mana gak ngerti lagi haha:D secara garis besar sih sepertinya iya, dimana ada Bandwagon disitu bisa kita temuin juga Snob effect. Hehe iya nih mba, sejak kenal sama isu mental health dsb jadi tertarik buat baca2 tentang psikolog, walaupun bukan majornya. Tapi gapapalah yaa kita tau sedikit2, at least ilmu paling dasar buat memudahkan kita juga dalam memahami diri sendiri;))

      Hapus
  7. hy mba salam kenal.. saya pengguna twitter juga tapi nggak tau ini challenge yg mana kwkwk. Di sosmed kebanyakan challenge, apalagi di twitter tuh kalau ada berita up melebihi kecepatan cahaya saya sampai2 nggak ngikutin lagi. Saya cuma untuk promoin blog aja di twitter.

    Bener mbak bisa jadi kebiasaan dan akhirnya pembiasaan 'bertingkah' di sosial media untuk cari perhatian di dunia nyata apalagi kalau udah putus urat malunya nauzubillah....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo mba Anggi, salam kenal juga!:D

      Kayaknya karena beberapa mutual saya ada yg beberapa lebih muda usianya di bawah saya deh mba, jadi gampang banget nemuin challenge2 kayak di atas:') Saya juga udah berapa hari gak aktif di twitter ketinggalannyaa kayak berita satu majalah hoho, emang cepet banget perkembangan beritanya mba. Apalagi si kotak trendingnya cepet banget gonta ganti hehe.

      Semoga kita dijauhkan dari hal2 seperti itu ya, mba:( Aamiin..

      Hapus
  8. Yeay, mba Awl mau menulis seminggu sekali 😍 hehehe jadi salfok ke sana. Senang dengarnyah 🤭

    By the way, saya nggak aktif di sosmed seperti Twitter mba. Punya akunnya saja tapi nggak follow siapa-siapa hahahaha. Buat akun cuma untuk komplain atau tanya customer service yang memang aktif di Twitter 😅 jadi saya nggak begitu memperhatikan soal challenge yang mba bahas di atas 🙈

    However menurut saya, mungkin jamannya sudah berbeda, anak-anak sekarang lebih suka hal-hal berbau challenge dibanding pendahulunya 😁 yang bisa jadi nggak sesuai sama logika kita. Saya cuma berharap apapun yang mereka lakukan dalam bentuk challenge nggak sampai merugikan diri sendiri atau orang sekitar 😄

    Dan persoalan FOMO itu banyak yang mengalaminya. Alasan mendasar mungkin karena takut ketinggalan atau dianggap nggak gaul dan sebagainya. Well, menurut saya selama masih dalam batas wajar nggak masalah. Karena akan ada masa dimana mereka yang FOMO sadar kalau nggak semua harus mereka coba 😆 hehehehe.

    Ditunggu tulisan berikutnya, mba 😍💕

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe iya nih mba! Abisnya malu liat blogger2 lain pada semangat update tiap minggu, termasuk blog mba yang selalu banyak banget postingannya setiap bulan, jadi semangat buat nulis juga:D

      Iya betul mba, zamannya yang sudah beda. Sekarang semua orang terpapar media sosial, dicari atau nggak pun pasti hal2 yg jadi trending selalu bisa kita temuin dan kemungkinan untuk takut ketinggalan karena gak ikut2an itu pasti ada. Mungkin ini juga salah satu bentuk pendewasan buat siapapun yang merasa gak ada batasan antara dirinya dengan media sosial, supaya bisa lebih tegas untuk ngefilter diri dari hal2 yang membahayakan, semacam challenge2 yang berbahaya dan merugikan orang lain. Akan ada saat dimana mereka menertawakan tingkah mereka yg dulu2 gitu ya mba, hehe:'D

      Makasih banyak mba Enoo;) <3

      Hapus
  9. Hallo awl,

    Saya jarang twitter an sih, tapi miris banget ya liat challenge yang kaya gitu, angka itu relatif ya tapi dibandingkan dengan harga diri kita kan murah banget.
    Lebih suka liat challenges yang kreatif gitu atau challenge hidup sehat itu lebih bagus..

    anw sukaa sama artikelnya 😍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo kak Renov:D

      Sekarang memang miris kak, apa2 harus dinilai dari angka, jumlah likes lah, jumlah views lah, exposure lah, banyak deh. Bela2in merendahkan diri sendiri hanya untuk bisa viral, dan dapet engagement yang besar. Nah kalau yg membawa postive impact kyk gitu sih saya juga setuju kak, kan bagus kalau apa yang kita lakuin bisa bermakna, gak cuma untuk diri sendiri, tapi orang lain:')

      Wah, thanks a lot kak!<3

      Hapus
  10. Hallo kak,

    Aku emang bukan orang yg suka ikut-ikutan rame semacam itu. Nggak pernah ikut challenge yang begitu. Aku lebih suka ikut challenge yg nambah manfaat, misalnya challenge baca atau nulis gitu.

    Tapi di sini aku mengamini tulisan kamu yg mengatakan medsos bisa jadi toxic buat kita. Dan aku yg udah ngerasain itu, aku semacam kayak kecanduan ngikutin berita yg lagi trending di twitter, sampe menghabiskan banyak waktu untuk baca komen netizen. Otakku kuajak lompat sana sini mikirin berbagai macam topik thread yg random di linimasa. Dan parahnya, aku jadi ketularan julid. Meskipun julid di sini cuma di dalam hati, tidak aku lontarkan di komentar. Tp aku jadi risih, kenapa aku makin ke sini makin jadi orang yg suka memikirkan hidup orang lain, padahal harusnya aku sibuk mengoreksi diriku sendiri. Aku merasa sudah mulai gak sehat dengan diriku. Sampai akhirnya, semua medsosku aku nonaktifkan sudah 2 hari ini. Hidupku lebih tenang aja. Aku bisa hadir seutuhnya di kehidupan nyataku. Semoga aja tanganku gak gatel untuk buka medsos dan kumat lagi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo kak Anik, makasi sudah mampir!😍

      Saya pribadi pun nggak masalah dan masalah senang dengan challenge2 yg positif, karena tentu bisa membawa nilai yg lebih positif nggak cuma untuk diri sendiri tapi jg orang lain. Sayangnya dimana ada sisi positif, pasti juga akan bertemu dengan sisi negatif. Alhasil challenge-challenge yg lebih negatifnya pun gak kalah banyak😅.

      Pada akhirnya kita yg harus mengontrol pemakaian medsos sendiri ya kak. Alhamdulillah kalau detox dari media sosial bisa membuat lebih tenang. Hal yg sama juga aku rasakan setelah detox beberapa bulan dari instagram😂. Sebetulnya kalau dicari tau lebih lanjut, media sosial memang didesain adiktif kak, jadi membuat penggunanya bisa betah disana lama-lama dan bahkan punya kecanduan berlebih. Oleh sebab itu mereka pun selalu mengembangkan fitur-fitur yg dimiliki platform lain supaya penggunanya makin betah dan gak ketinggalan trend. Agak gimana gitu yaa, tapi yah begitulah konsep dari media sosial. Ibaratnya kalau aktif disana kita harus siap untuk bertarung dengan diri sendiri supaya bisa berhenti kalau2 sampai kecanduan🤦🏻‍♀️.

      Hapus