Normalisasi Berbasis Arogansi

by - Juli 28, 2020

Ketika normalisasi sekadar egoisme semata


Akhir-akhir ini gue sering menemukan kata normalisasi dilontarkan oleh orang-orang di linimasa twitter—lagi-lagi twitter. Entahlah, platform yang satu ini kayaknya sering banget memunculkan banyak diskusi-diskusi yang gak jarang menimbulkan “war” antar sesama pengguna. Sebagian karena merasa pendapatnya benar, sebagian karena merasa tidak ingin terlihat bodoh dan kalah. Contoh dari bahasan soal normalisasi ini adalah, pernikahan tanpa resepsi, normalisasi menikah saat sudah siap atau di luar dari usia yang selama ini dijadikan standard oleh masyarakat, normalisasi pakaian wanita bukan sebagai simbol sex supaya bisa meng-counter narasi yang menyalahkan pakaian sebagai sebab pemerkosaan, normalisasi mengejar karir di usia 25, sampai dukungan untuk menormalisasi pernikahan sesama jenis.

Dalam KBBI, normalisasi sendiri berarti tindakan menjadikan normal (biasa) kembali; tindakan mengembalikan pada keadaan, hubungan dan sebagainya yang biasa atau yang normal. Well, technically, normalisasi adalah kegiatan menormalkan sesuatu yang sebelumnya sudah normal, namun karena berbagai alasan, menjadi rusak dan harus dikembalikan kondisinya.

Sementara normal sendiri memiliki arti: menurut aturan atau menurut pola yang umum; sesuai dan tidak menyimpang dari suatu norma atau kaidah; sesuai dengan keadaan yang biasa; tanpa cacat; tidak ada kelainanbayi itu lahir dalam keadaan normal.

Gue tahu, pada praktiknya normal hanyalah sebuah kata yang dibangun oleh masyarakat itu sendiri berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku, yang beberapa bisa saja tidak sesuai dengan norma dan aturan. Normal adalah sesuatu yang hanya bisa dibuat jika terlihat di permukaan. Gue pribadi pun setuju dengan beberapa narasi yang digaungkan, since we live in toxic society that is always trying to control our lives which shouldn’t be their concern whatsoever. Tetapi yang membuat ini tampak lucu adalah, gak sedikit orang-orang yang ikut-ikutan mendukung berbagai normalisasi hanya karena merasa segala apapun yang berlaku di masyarakat sekarang ini adalah sucks. Sehingga tagar-tagar yang berseliweran itu kebanyakan didukung oleh opini yang kurang jelas dan argumentasi yang hanya mengandalkan arogansi, serta egoisme yang dilindungi dengan ketidaktahuan, karena orang-orang tampaknya tidak terlalu paham apa saja aturan-aturan atau stereotip yang tanpa alasan dinormalisasi oleh masyarakat sejak lampau, dan mana saja yang memang sudah normalnya begitu, namun dipaksakan untuk normal agar sejalan dengan egoisme.

Normalisasi independensi untuk memilih kehidupan sendiri

Cuitan tentang beberapa contoh normalisasi di atas adalah sesuatu yang sangat gue dukung, karena sepertinya segala macam pressure bahwa kita harus menikah di usia sekian, sukses sebelum berusia 40 tahun, harus punya anak saat sudah menikah, perempuan gak boleh bekerja saat sudah menikah, adalah aturan-aturan yang memang dibuat sendiri oleh masyarakat karena orang-orang terbiasa untuk melakukannya. Padahal persoalan semacam ini gak bisa kita generalisasikan. Di negara-negara maju, Jepang contohnya, nggak ada tuh sekarang para orangtua yang memaksa anak mereka untuk menikah sebelum usianya mencapai 30 tahun (mungkin ada, tapi kasusnya sangat jarang), bahkan pasangan yang memiliki anak pun persentasenya sangat sedikit dibandingkan mereka yang tetap mengejar karir dan hidup berdua saja. It means, normal yang satu ini memang diberlakukan tergantung dari kebiasaan si masyarakatnya, tidak terpaku pada aturan atau norma tertentu. Tapi memang gak menutup kemungkinan banyak juga orang-orang yang bersikap demikian karena adanya anjuran bahwa anak perempuan harus berdiam diri di rumah demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di luar sana. Walaupun begitu, anjuran ini seharusnya gak menjadi pengekang untuk seseorang berkarir dan melakukan pekerjaan di luar rumah, karena toh ada juga ayat lain yang menjelaskan untuk kita mengejar pendidikan setinggi-tingginya, baik laki-laki maupun perempuan.

Namun yang menjadi concern gue soal normalisasi ini adalah, gerakan mendukung pernikahan sesama jenis, which in my honest opinion, di Indonesia sendiri memang bukan sesuatu yang bisa dikatakan normal, baik secara norma sosial, agama, dan hukum negara mengenai Undang-Undang Perkawinan.

Tadi katanya normal itu hanya sebuah kata dan kondisi yang dibuat-buat oleh masyarakat umum, aturan-aturan yang berlaku dalam hukum mestinya bisa diubah dong? 

Terlalu kolot, konservatif.

Yaa nggak begitu juga. Gak semua hal yang sudah dibuat dari beberapa puluh tahun lalu, bahkan ratusan tahun lalu, bisa kita ubah mentah-mentah hanya karena mengikuti zaman. Memangnya kita mau mengikuti arus zaman yang jelas-jelas makin keras dan menyimpang? Apa orang-orang zaman dulu sebodoh itu sampai apa-apa yang diciptakan dari dulu disebut kolot dan gak sejalan? Bagaimana tentang agama yang memang sudah ada dari zaman dulu kala? Gak bisa dipakai juga untuk kehidupan sekarang?

Undang-undang, norma sosial, agama, regulasi, pokoknya segala aturan yang dibuat perihal perkawinan ini tidak bisa disamakan dengan stereotip yang beredar tentang karir, pilihan untuk memiliki anak atau tidak, dll, karena dibuat dengan proses yang matang dan gak main-main. Sementara aturan bahwa kita harus menikah muda, harus lulus kuliah umur sekian sekian, dan sebagainya, adalah sesuatu yang memang berasal dari stereotip masyarakat, yang lama-lama dijadikan normal.

So, lo accusing penyintas LGBTQ sebagai orang yang nggak normal, begitu?

Merujuk pada pengertian di atas, dan melihat kondisi di Indonesia yang sebagian besar heterogen, gue bisa bilang begitu. Dari sisi biologis pun, baik manusia maupun binatang, alamiahnya dipasangkan sebagai laki-laki dan perempuan, betina dan jantan, yang dapat menghasilkan keturunan dan generasi baru. Meski pada akhirnya ada berbagai dinamika yang terjadi dalam proses evolusi, seperti yang kita lihat sekarang. Oleh karena itu ditemukanlah orang-orang yang—baik secara alami atau tidak—memiliki orientasi seksual berbeda dengan identitas gendernya, yang kemudian dikelompokan menjadi heteroseksual, homoseksual, biseksual, dan aseksual. Beberapa asosiasi ilmuwan, seperti American Academy of Pediatrics (AAP) dan American Psychological Association (APA) pun berpendapat, bahwa orientasi seksual merupakan kombinasi kompleks yang melibatkan banyak faktor. Beberapa di antaranya adalah faktor biologis, psikologis, dan lingkungan. 

Baca juga: How I See Feminist as a Muslim

BUT, gue nggak semata-mata menjadi homophobic dengan bilang seperti itu. Setiap orang tentu punya pendapatnya sendiri tentang hal ini. Terserah mau mengambil kesimpulan dari mana, logika, agama, atau science. Gue sendiri berusaha untuk berpikir lebih bijak dan mencampurkan ketiganya, bahwa kita juga perlu yang namanya batasan. Tapi dari batasan-batasan itu bisa kita pilih yang mana yang memang berdasar dan yang mana yang tidak. Gue hanya khawatir kalau kita sembarangan menggunakan kata normalisasi, hingga kemudian orang-orang benar menormalkan sesuatu hanya karena ramai diperbincangkan, nilai-nilai moral, budaya dan agama pun akan luntur secara perlahan. 

Gimana sama masa depan cucu dan cicit-cicit kita jika hal yang dinormalisasi adalah semacam ini? Ngeri gak sih ngebayangin kalau nanti ada banyak anak yang lahir tanpa tahu siapa ayah dan ibu kandungnya karena dia diadopsi oleh pasangan-pasangan non-hetero, kemudian terbiasa dengan kondisi seperti itu dan membenarkan apa yang dia lihat. Yaah, walaupun kenyataannya banyak juga anak-anak dari pasangan berbeda jenis yang menderita dan tidak tumbuh dengan baik karena treatment dan didikan yang salah dalam keluarga. I just can't imagine what's worse than all of this.

Again, it's all just my opinion. Gak semua orang harus sependapat dengan gue, toh seperti yang gue bilang di postingan ini, gue sama sekali nggak bermaksud mendiskriminasi orang-orang di komunitas LGBTQ, masalah perbedaan konsep dan sudut pandang adalah sesuatu yang natural sebagai manusia. I know this may be very difficult for them to be different from the people they used to be, and they may have been struggling a lot to be accepted in their circle. Sepertinya gue gak akan bosan untuk mengatakan ini, we can disagree their concept to be the way they are and to live the life they want, but it doesn't mean we can't respect each other to be the better version of ourselves. 

Sejujurnya gue sangat menyayangkan orang-orang di media sosial yang menuduh seseorang homophobic hanya karena berseberangan dengan perspektif mereka soal ini. Dalam kasus berpakaian pun, ada juga cerita menarik yang gue temuin di twitter kemarin. Jadi, ada seorang cewek yang diperkosa di salah satu hotel setelah diajak minum-minum sama dua laki-laki—salah satunya si pelaku, yang sebetulnya gue gak tau motif mereka minum-minum di hotel itu apa. Kemudian orang-orang meributkan soal laki-lakinya yang gak bisa menahan diri dan menjaga pandangan, terus membela si perempuan yang jelas menjadi korban pemerkosaan. Ada juga yang menyalahkan si korban karena dia yang udah mabok dan mau aja diajak ke hotel sama cowok—walaupun cuma ngobrol dan gak pesen room misalnya. Dari perdebatan itu juga muncul narasi untuk jangan menyalahkan pakaian korban pemerkosaan, kalau memang cowonya yang nafsu ya dia yang salah. 

Honestly, gue melihat dua-duanya gak ada yang benar, sih. Kalau gue pribadi, minum sama cowok di restoran hotel dan ceweknya cuma gue sendiri aja udah kelihatan gak beres. But yash, gak lantas gue juga membela si cowok lah. Rapist gak pernah bisa dibenarkan apapun alasannya, tapi kita sebagai warga negara khususnya masyarakat beragama pun tahu bahwa alkohol bukan sesuatu yang diperbolehkan. Apalagi berurusan sama hotel-hotelan, serem sih gue ngebayanginnya. Yah, gak ada habisnya memang kalau ngomongin soal kelakuan-kelakuan pengguna medsos zaman sekarang yang meng-counter argumen orang lain untuk jangan bawa-bawa agama, dll. Padahal negara dan agama itu dua variabel yang terkait, karena kita tinggal di sebuah negara yang berpancasila, punya batasan dan bukan liberal—seharusnya.

Intinya, semua orang berhak melakukan apa yang dia suka, apa yang dia mau dengan responsibility yang dipegang masing-masing. Tapi, please jangan memaksakan sesuatu yang berada di luar batas daripada yang kita yakini selama ini. Kalau lo merasa nggak nyaman dengan suatu aturan dan berharap society menerima hal yang menurut lo nyaman, jalannya gak serta merta harus dinormalisasi. Ada proses yang panjang di dalamnya. Kita juga perlu memikirkan dampak jangka panjang, apakah yang kita suarakan itu memberi pengaruh positif untuk keberlangsungan masa depan, atau justru meninggalkan kesan buruk.

Mending lo menormalisasi got atau gorong-gorong yang banyak sampah dan kotor lah misalnya, menjadi saluran irigasi yang diisi banyak ikan koi dan ramah lingkungan kayak di Jepang. That would be great! Kira-kira ada ide-ide lain?

 

You May Also Like

30 komentar

  1. Twitter entah mengapa menjadi tempat perang argumen sekarang-sekarang ni...Padahal dulu banget pas twitter baru muncul, menurutku Twitter menjadi tempat curhat bagi sebagian orang hahaha. Eh tapi ada juga sih yang perang twit gitu karena baru putus #eh

    betul banget tuh normalisasi saluran air dan got supaya bersih dari sampah dan airnya jernih ya!!! Ide lain dariku normalisasi saat buat sampah...Dipilah pilih dulu sampahnya, dikelompokkan supaya nanti bisa disetor ke bank sampah agar didaur ulang. Pengelompokan sampah ini juga uda sih dilakuin di Jepang. Kayanya kalau di Indonesia bisa ngelompokin sampah kaya gitu, sampah-sampah di sini bisa dikurangin deehh

    BTW BTW untuk kasus cewe dan cowo minum-minum di restoran hotel kujuga setuju sih sama Awl. Tentunya untuk minum-minum itu kan mreka sudah dewasa nih ya. Sudah bisa tentuin lah sebab akibat dari tindakan masing-masing. Buat si cewe, pergi minum sama dua cowo itu ya tentu uda tau dong ada efek negatif diperkosa karena kan pas hangover ya mana tau ya diapain namanya juga mabok wkwkw
    buat si cowo, ya salah juga ga bisa ngejaga cewenya. Malah melampiaskan napsu sesaat dengan perkosa tu cewe...memanfaatkan kesempatan karena si cewe mabok hmmm

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduh siapa tuh mba yang perang twit gara2 baru abis putus? Tau nggak mbak, yang lebuh lucunya lagi, jaman sekarang tuh kalau twitter kita gak suka ada yang bales2 atau istilah bekennya "jb-jb", dianggapnya ga punya temen dan malah dikasihanin. Aku pernah sebulan yg lalu bermasalah sama anak twitter yg masih sma gitu, mereka salah paham twit aku sih, dan nyerang si twit aku ini dengan bawa2 "sepi kali lapaknya gk ada yg jb2". Padahal seumur-umur main twitter, gak ada tuh keharusan kita buat bales2in twit orang. Hadeuuh makin aneh2 aja dah medsos jaman sekarang.

      Ya kan mba! Kayaknya lebih baik kita mikiran hal2 yg lebih jelas eksekusinya deh daripada bergulat dengan ideologi masing-masing. Sebetulnya normalisasi got itu sendiri di beberapa daerah sudah ada yg galakan mba, seperti di Malang, tapi aku lupa nama daerahnya apa. Cuma ya itu, harapannya sih semoga bisa diratakan juga di beberapa tempat, biar lingkungan kita lebih asri:')

      Iya ya mba, harusnya masing-masing diri sudah paham sebagai orang dewasa harus bisa jaga sikap dan jaga dirinya sendiri. Pemerkosaan memang gak pernah dibenarkan, apalagi kalau gaslighting atau balik menyalahkan korban, tapi kita juga harus bisa refleksi bahwa terkadang anjuran untuk diam di rumah itu ada benarnya. Semoga kita dijauhkan dari hal-hal seperti itu ya mba😟

      Hapus
    2. haha ada gitu temenku baru putus eh malah perang twit. Kaya saling nyindir2 gitu...tapi ga ditag orang yang bersangkutan hahaha
      cuma warga twit lainnya tau mreka lagi perang sindir2an ahhaha

      ehh singkatan dari apaan jb-jb?? aneh uga yaaa

      iya amin...semoga merata yaa concern tentang lingkungan ini

      iya betul..masing-masing orang uda harus tau lah konsekuensi dari tiap tindakan. Hahaha Iya semoga kita dihindarkan dari kasus begitu yaaa

      Hapus
    3. Walah lucu juga ya kalau perang di twit kayak gitu mbaa haha, aku terakhir sindir2an gitu kayaknya pas SMA deh. Sekarang udh gak berani karena lebih gamau peduli aja, apalagi dengan adanya jejak digital yg menilai seseorang dari keaktifan media sosial. Tapi semoga teman mba baik2 aja ya😁

      JB2 itu singkatan dari join bareng mba😆 alias nimbrung. Kalau ada orang twit, pada nimbrung buat bales atau SKSD gitu sama mutual. Entahlah kenapa istilah ini jadi dianggap keharusan sama newbie2 twitter😂😂

      Aamiin, mba Frisca, semoga lingkungan mba dan keluarga pun terjaga dari hal seperti itu🤗

      Hapus
    4. eh tapi itu perang twit juga saat masih SMA sih >.< *jadi ketauan aku tuanya hahaha

      oalaah JB tuh join bareng hahaha
      kudet nih aku maapkeun

      Hapus
  2. Kadang orang yang gak setuju LGBT digeneralisasikan jd homopobhic. Padahal banyak orang-orang yang gak setuju LGBT tapi tetep respect sama orangnya. Mereka cuma gak setuju sama sudut pandangnya. Jadi harusnya gak bisa dipukul rata ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya betul mba, gak bisa digeneralisasikan. Saya seringkali ketemu dengan orang-orang yang berlaku demikian di instagram. Saat diskusi secara baik-baik di kolom komentar, baru mereka mengerti bahwa ada orang-orang yang tidak lantas homophobic walaupun tidak menyukai ideologinya. Saya pikir orang-orang ini hanya fokus untuk self-defense dan menutup mata duluan karena takut orang-orang yg tidak suka ini akan bersikap selayaknya homophobic.😖

      Hapus
  3. kan sekarang zamannya gitu. yg baik dibilang munafik, yg gak bener disebut apa adanya. mbuhlah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Malah yg lucunya kadang orang yg belum tentu bener dan cuma ngikutin trend dianggapnya keren dan sok edgy, ada-ada aja ya mba zaman sekarang🤦🏻‍♀️

      Hapus
  4. jaman sekarang makin hari makin aneh haha pinter - pinter kita aja gimana mikir dan melihat dengan otak sendiri^^ tulisannya keren ih, beneran!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya lho mba, bener banget. Sekarang tuh semuanya seperti dilimpahkan lagi ke kita, bagaimana kita mengontrol platform-platform yg ada seperti media sosial dan youtube, terus bagaimana kita bersikap di media sosial itu sendiri saat liat tingkah orang-orang sok edgy di internet🤦🏻‍♀️ aduuh tersanjung aku mbaa hihi, terima kasih banyak ya mba Ichaa😍

      Hapus
  5. Guru kursusanku kemarin sering banget menyinggung tentang modern.Lalu dia mempertanyakan kembali kehidupan kita yang kata sudah modern ini. What kind of modern life that you do excepty your modern thing? did you have a modern thought about something naturally?

    Aku cukup mikir dalem sih. Kita selama ini membangga-banggakan kemodernan kita tanpa melihat secara keseluruhan makna modern itu sendiri dan praktek modern di masa lalu jg.

    in this case, melihat satu hal dari berbagai kacamata dan perspektif memang perlu. So, melihat kaum lgbtq sebagai hal yg tidak normal/disorientasi seksual itu, iya, tapi mengesampingkan hak-hak mreka atas hidup dan hak hidupnya itu yg perlu diluruskan. They are human being so they need access to life and create their own life also.

    Good insight as usual, Awl. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mba Ghinaa, akupun jadi ikut mikir lho mba sama apa yg ditanyakan guru kursus mba:')
      Apa sih esensi modern itu sendiri yang bikin kita seringkali berusaha menggeser nilai-nilai yang sudah ada sejak dulu. Padahal kalau dipikir-pikir, modern ini sendiri sudah ada sejak para tetua kita hidup. Memasuki atau mengenal hal-hal yang baru mereka tahu bisa juga disebut modern. Seperti kata mba, kita seolah terlalu membangga-banggakan kemodernan yang ada sekarang hanya karena pemikiran manusia tampak lebih terbuka dan berkembang mengikuti zaman. Padahal yg membawa peradaban bisa sampai di masa ini adalah buah pemikiran-pemikiran dari praktik modern di masa lalu juga.
      Semoga semakin banyak orang-orang seperti mba, yg juga mampu memposisikan diri di antara keyakinan dan kemanusiaan ya mba, yang bisa melihat dari berbagai perspektif dengan bijak.
      Makasih juga untuk insightnya mba Ghin! Hehe🤗

      Hapus
  6. Awl, keren! Karena berani banget membahas tentang LGBTQ secara terang-terangan :) aku mengapresiasi keberanian dan pendapat Awl. Dan aku setuju sama pernyataanmu tentang kita boleh tidak setuju dengan konsepnya tapi tetap menghormati satu sama lain. Ini point utama, yang harus digaris bawahi dan di bold supaya orang-orang yang baca bisa sadar. Masalahnya jaman sekarang ini kalau udah nggak setuju sama konsepnya, maka semua hal yang berkaitan dengan itu akan ditentang habis-habisan. Tidak ada rasa hormat atas keputusan orang lain sama sekali padahal pilihan seseorang itu kan adalah hak orang tersebut ya.

    Lebih baik fokus sama diri sendiri dahulu sebelum melihat orang lain, dan lebih baik menormalisasi kali dan got sekitar rumah aja seperti kata Awl. WKWK.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mba Liaaa, thanks a lot mba! Luv mba Lia pake banget😍. Aku sih percaya dengan kita bisa mempertanggungjawabkan pendapat kita dan gak menutup mata akan adanya argumentasi lain yg mungkin menyanggah pendapatku, diskusinya justru semakin hidup dan aku justru bakalan dapet insight baru.
      Iya bener banget mba, padahal apa salahnya saling menghargai persepsi dan pilihan orang masing-masing. Dan yep, soal menghargai ini yang harus jadi poin utama karena sepertinya di jaman edan ini sekarang kita mulai kehilangan respek terhadap orang lain, apalagi di media sosial. Dalam soal LGBT ini, intinya kan setiap manusia,seburuk-buruknya mereka di mata manusia lain punya hak hidup yg mutlak datangnya dari Tuhan. Kadang tuh ya, orang-orang jaman sekarang kok berani-beraninya berlaku seperti Tuhan dengan mengatasnamakan Tuhan, mendiskriminasi orang lain hanya karena memiliki perspektif yg berbeda dengan mereka. Padahal makna soal hidup ini, bukankah tentang saling mengasihi dan mengerti sisi kemanusiaan?😖

      Kalau dipikir-pikir iya kan mba! wkwk lebih baik mikirin hal yg pasti aja deh udah buat kebaikan bersama, dan jelas ngasih impact yg positif buat lingkungan sekitar😂

      Hapus
  7. Lihat berita di tv aja suka bikin heran apalagi berita di twiter yag penggunanya lebih ganas. Saya punya twiter cuma buat punya-punyaan aja mbk. Jarang di isi.
    Bener banget lho, sekarang normal bagi kebanyakan orang tuh, sesuatu yang sebenernya nggak normal. Makin lama aturan itu berevolusi menuruti keinginan manusia yang kadang suka salah dan khilaf. Padahal harusnya aruran itu dibuat untuk mencegah manusia berbuat kesalahan. Aneh kan... Bahaya juga kalau makin lama begini. Generasi selanjutnya nggak akan tahu apa arti kata normal yang seharusnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Udah panas terus pada ganas lagi ya mba pengguna twitter jaman now😂 Lebih baik gitu sih mba, punya ya sekadar punya aja, daripada dipakai cuma untuk bikin ribut sama orang lain haha.
      Iya mba Astri, sangat disayangkan open-minded membuat sebagian orang terlalu bebas dan terbuka dalam berpikir sehingga tampak gak ada lagi batasan yg bisa mengatur pola pikir dan tindakan mereka. Padahal normal itu sendiri gak bisa diatur-atur dengan semena-mena sesuai keinginan kita. Seperti kata mba, aturan-aturan itu sekarang jadinya malah mengikuti keinginan manusia, bukan membentuk manusia yg lebih beradab. Itulah yg saya takutkan mba, ngeri kan kalo ngebayangin generasi berikutnya yg harus kena gatahnya akibat nenek moyang mereka di masa kini😖

      Hapus
  8. Hola mba Awl, as usual nice insight 😆 saya pribadi termasuk barisan yang sebenarnya menyayangkan apabila ada LBGTQ di sekitar saya, tapi saya akan tetap respect pilihan hidup mereka karena itu sudah masuk ranah personal 😁 dan meski saya menyayangkan, bukan berarti homophobic karena saya tetap mau mereka dapat hak mereka sebagai manusia dan warga negara yang baik ~ dan sudah sepatutnya kita nggak memojokkan mereka dengan kata-kata yang menyakitkan 💕

    By the way, soal normalisasi, saya merasa banyak hal pantas untuk melalui proses normalisasi seperti salah satu capture-an tweet di atas, seperti menikah di atas usia 30, sukses di usia 50 dan lain sebagainya. Tapi saya pun setuju kalau nggak semua hal harus dinormalisasikan. Sebab didalam hidup, kita masih perlu batasan 😉

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasi mba Enoo😍
      Betul mba, menyayangkan kan bukan berarti kita gak bisa respect sama pilihan mereka. As long as kita tidak saling mengganggu hidup masing-masing dan pilihan hidup mereka pun nggak merugikan orang lain, ya gak apa2 hidup berdampingan. Toh kita manusia tidak ada yg sempurna di dunia ini. Apa salahnya ya mba hidup berdamai dan saling mengasihi satu sama lain😢😇.

      Iyep mba Eno, kritis menginginkan normalisasi atas sesuatu yg dirasa tidak benar2 sesuai norma dan aturan boleh-boleh aja, asal itu dia, harus tahu batasan. Kalau semuanya serba bebas kan nggak bisa juga:(

      Hapus
  9. Pemikiran yang menarik nih, Awl (:

    Sebetulnya tentang hal-hal yang 'dinormalkan' oleh masyarakat akhir-akhir ini kebanyakan memang aku sayangkan. Kalo aku sih kembali ke hukum alam saja karena hukum tersebut nggak pernah salah 😊

    Namun realitanya, tentu aku nggak berhak menghakimi mereka (yaa siapa gue?) dan menghormati keputusan setiap orang. Apalagi kalo orang dewasa tentu pasti bisa bertanggung jawab atas segala perbuatannya.

    Jujur aku agak takut dalam mempersiapkan anakku terjun ke dunia seperti ini. Belum tau juga kan dunia mereka ke depannya seperti apa. Mudah-mudahan orangtua di jaman ini bisa berjuang untuk menaruh value hidup yang benar kepada anak-anak mereka ya.

    Nice writing, Awl! 😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai mba Jane! Hihi makasi udh mampir😍

      Memang naturalnya manusia selain makhluk sosial adalah makhluk yg gak pernah lepas dari alam, dan berasal dari alam ya mba:') Seharusnya kita bisa bersikap sesuai kemampuan dan nggak melampaui batas. Yang tidak memberi, tidak menerima. Yang mau menerima, perlu mau memberi. Yang diberikan, menentukan yg akan diterima, semacam itulah setelah saya baca-baca *mudah2an gak salah ya mba😅.

      Pada akhirnya hidupku hidupmu gitu ya mba, kalau yg bersangkutan bisa bertanggungjawab atas dirinya sendiri dan gak memaksa orang lain untuk sama dengan dia, kan gak masalah. Bukan urusan kita untuk mengintervensi hidup orang lain, apalagi memaksakan ideologi kita kepada orang yg punya pandangannya sendiri. Biarkan Tuhan yg beri hidayahnya, karena kalau masalah seperti itu saya pikir akan kembali lg ke Tuhannya masing-masing yg memberi petunjuk dan Maha Tahu.

      Akupun jujur jadi agak takut lho mba kalau nanti semisal sudah berkeluarga, apakah aku sanggup ya membesarkan anak aku nantinya di tengah-tengah kondisi zaman yg mulai gak beraturan kayak gini. Ditambah secara geografis atau apalah itu bahasanya😂 alam kita bisa dibilang udah mulai rusak, ya karena ulah manusianya sendiri. Jadi ngeri aku mba😢 Plus salut juga sama para orangtua di zaman sekarang, seperti mba. Aamiin semoga mba dan para orangtua di luar sana selalu diberi kekuatan dan ketabahan dalam membesarkan anak-anak, yg juga bagian dari generasi di masa depan.

      Makasi juga mbaa untuk insightnya!😍

      Hapus
  10. budaya yang sudah melekat selama ini di masyarakat memang susah diilangkan, seperti persoalan menikah sebelum usia 30 tahun, kalau diatas 30 dibilang yang begini begitu...
    susah kalau nemu orang yang mindsetnya masih seperti ini
    setuju kalau ada hal-hal yang nggak semua bisa dianggap "normal", kadang aku sendiri merasa bingung dengan beberapa golongan tertentu yang "menormalkan" hal-hal yang aku rasa aneh
    btw, aku merasa tulisan ini layak buat dimuat dimedia surat kabar, kayak kolom pembaca. Jadi keinget jaman waktu kuliah, dulu aku bisa menulis opini panjang panjang dengan hal hal yang "intelektual" gitu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya ya mba, saking susahnya masih banyak orang2 yg terpaksa menikah karena tuntutan dll, atau bahkan terpaksa punya anak pun karena adanya pressure dll. Mungkin kenapa ada anjuran dari para orangtua untuk perempuan atau laki-laki menikah di usia yg menurut mereka ideal, yakni sebelum usia 30 itu terkadang ada baiknya, tapi caranya itu yg seringkali aku lihat kok malah terkesannya memaksa dan mengekang. Padahal gak selamanya hal yg didasari dengan keterpaksaan itu bisa membuahkan ketulusan, kalau nanti org yg bersangkutan ternyata belum siap dan nggak sanggup kan bisa larinya ke psikis. Ngeri🙄
      Bikin bingung dan blunder sendiri jadinya ya mba😂 gak ngerti kenapa orang2 tiba2 ikut-ikutan menormalkan sesuatu tanpa tahu alasannya atau tanpa tahu apakah itu masih sesuai dengan norma atau tidak.

      Wah kayaknya masih cetek mba tulisanku kalau dicetak di sana, tp sepertinya bisa jadi motivasi buat aku coba2 tulis. Eh tapi sekarang memangnya masih ada kolom2 rubrik gitu ya mba di surat kabar? Soalnya aku udh lama gak baca koran jadi gak tau😅 waaah, aku jadi pengen baca2 tulisan mba pas kuliah dulu, kayaknya menarik dan siapa tau bisa ngasih insight baru buatku mba. Kalau skrg sepertinya terbentur kesibukan dan lain2 jadi gak sempat buat opini2 kayak dulu lg ya mba:(
      however, semoga mba Ainun sehat selalu yaa di tengah kesibukannya🤗

      Hapus
  11. Aku kadang bingung menanggapi soal LGBTQ ini. Sama bingungnya dengan kaitan antara cinta dan hubungannya dengan seksualitas.

    Kalau ditelisik lagi, cinta itu kan perasaan, seringnya memang ga sejalan dengan logika. Jadi kalau ada yang bilang, "mau gimana lagi, bukan mau gue buat jatuh cinta sama sesama jenis." mungkin bakal sulit disanggah, karena ya iya juga sih, perasaan orang kan yang merasakan orangnya sendiri. Nggak bisa diapa-apain kalau sudah kadung merasakan.

    Tapi untuk LGBTQ yang notabene berhubungan dengan seksualitas, itu kan termasuk perilaku kan, ya. Dan perilaku itu bisa diarahkan oleh logika. Walaupun mungkin awalnya datang dari perasaan, tapi saat kita melakukan perilaku tersebut berarti kita sudah MEMILIH untuk melakukannya. Jadi yang menggaung-gaungkan LGBTQ itu IMO doesn't make sense.

    Aku juga ga yang phobia sama mereka, dalam artian perlakuanku ke mereka ya berdasarkan mereka sebagai individu, tidak pada orientasi seksualnya. Tapi kalau mereka menggaung-gaungkan, memaksa orang-orang untuk menerima perilaku mereka yang menyimpang dari kodrat, sejujurnya agak gimanaaa gitu

    Btw, teman pernah cerita tentang kenalannya yang punya ketertarikan ke sesama jenis. Tapi dia menganggap itu sebagai cobaan seumur hidup, siapa tahu jadi ladang pahala buat dia. Jadi dia berusaha untuk mengendalikan rasa cintanya dengan banyak-banyak beribadah, juga tidak melakukan perilaku LGBTQ tsb.

    BalasHapus
  12. Hi Awl ...

    Thumbs up, pemikiran yang dalam sekali di artikel ini, mulai dari normalisasi, dimana membuat normal satu keadaan karena adanya tuntutan perubahan jaman atau tuntutan keadaan.
    Aku sependapat dengan awl, miris banget kalau dukungan terhadap normalisasi tertentu datang dari yang sekedar hanya ingin meramaikan, atau yang tidak paham akibatnya seperti apa. Normalisasi yang didukung adalah normalisasi yang sebenarnya cukup alot diperjuangkan karena terkait dengan tradisi dan budaya, dimana kita hidup merupakan bagian dari sebuah keluarga dan keluarga besar yang sangat atau bahkan terlalu perduli dengan hidup anggota keluarga yang lain.

    Seharusnya normalisasi LGBTQ nya juga dibuat alot. Peran media sosial dan tayangan seperti di netflix contohnya ikut mempengaruhi ini. Ketika remaja sedang galau akan identitasnya, apa yang dia lihat di tayangan itu membenarkan seakan bahwa itu adalah jawabannya, seakan dia adalah LGBTQ.

    Aku masih ingat bagaimana posesifnya aku sama sahabat jaman dulu, yang mungkin kalau dulu sudah ada tayangan model seperti itu, bisa membuatku berpikiran bahwa rasa posesif itu adalah sesuatu yang berbeda selain rasa sayang terhadap sahabat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo kak Renov, Danke!😍 Maaf baru sempat balas komen kaka di postingan ini. Aku bisa buka blognya sesekali aja dan kemarin baru sempat balas komen setengahnya😅.

      Betul kak, akupun berangkat dari keresahan itu karena melihat orang-orang yg menggaungkan sebuah normalisasi tanpa benar memahami apa sih sebetulnya yg termasuk normal dan tidak, bahkan normal yg gimana yg bisa kita normalisasi. Kalau menyelipkan tentang gerakan menormalkan pernikahan sesama jenis kan berarti udh jelas orang2 yg "meramaikan" gak paham betul normal itu yg bagaimana. Malah berkoar-koar ngatain orang yg menolak gerakan tersebut justru tidak normal, dan terlalu konservatif. Padahal dari konservatif itu kita belajar yg namanya batasan, meski gak semua hal yg berkaitan dengan konsevatif pun bisa dibenarkan.

      Iya juga ya kalau dipikir-pikir kak, tayangan-tayangan di netflix atau di platform lain yang cenderung bebas bisa banget mempengaruhi anak muda, apalagi kalau yg mental statenya lg terganggu. Ini juga kan yg membuat orang dengan mudahnya self-diagnose hanya karena melihat tayangan tertentu. Kondisi mentalnya berubah-ubah, lantas mendiagnosa diri sendiri sbg bipolar. Terus dia ngerasa suka sama cewe padahal dia sendiri cewe pun langsung mencap diri sbg biseksual. Padahal aku kalau liat cewe cantik yg anggun dan auranya baik pun pasti suka dan kagum juga, cuma kan gak lantas aku bisa bilang diri ini biseksual😅. Karena tayangan-tayangan ini lah akhirnya ideologi kita pun mengarah kebarat-baratan yg memang bebas dan cenderung gak ada batasan, termasuk dalam mengekspresikan rasa cinta mereka dalam berbagai wujud orientasi seksual. Ngeri sebetulnya sih. Makin masif, dan makin maju teknologi ternyata membuat kita harus ekstra dalam memfilter diri dari kemungkinan-kemungkinan paham liar yg masuk.

      Hapus
  13. tulisan yang keren nih.

    Saya cuman mau mau mengatakan, as a human saya nggak peduli dengan LGBTQ, whaaaattteveerrr.
    Palingan saya berdoa, semoga mereka diberikan kekuatan untuk mengambil hidayah yang ada, dan semoga kalau Allah ngasih hukuman, saya nggak ikutan kehukum, huhuhu (sedihnya itu gitu, sekelompok yang berbuat salah di mata Allah, semua ikutan kena batunya)

    Tapi sebagai seorang ibu, saya amat sangat menolak adanya LGBTQ, lingkungan itu begitu besar pengaruhnya, usia dan waktu mengajarkan saya, bahwa hidup ini harus ada usaha untuk menghindari sesuatu yang salah, baik dari diri kita maupun dukungan lingkungan.

    That's why, serem banget kalau memikirkan anak-anak saya gimana nantinya kalau LGBTQ adalah sesuatu yang normal, sementara di mata agama nyata-nyata itu salah, dan satu lagi, agama itu puncak dari kehidupan ini, mau bawa-bawa HAM juga, pada akhirnya PASTI SANGAT AKAN TERJADI semua orang mati dan kembali kepadaNya yang Maha Pencipta.

    Lalu untuk ukuran sebuah kenormalan, misal usia segini kudu menikah, kudu punya anak, sebenarnya itu ada baiknya sih, meski akan salah juga kalau dijadikan sebuah patokan yang jadinya malah bikin orang nggak bisa menikmati hidup, selalu fokus pada hasil aja.

    Misal usia menikah, kudu 25 tahun.
    Para tetua kita sebenarnya mengatakan hal itu berdasarkan pengalaman mereka.
    Di mana menikah usia segitu udah pas banget, usia masih produktif dalam mengasuh anak.

    Setelah menikah, wanita sebaiknya nggak kerja, ya memang karena para tetua udah melewati hal itu, di mana akan sangat sulit bisa konsen sambil mengerjakan semua hal.

    Pasti harus ada yang dikorbankan, tinggal kita milih aja, yang mana, karir atau anak/keluarga?
    Pun juga memilih jadi IRT bukannya tanpa efeknya, semua ada plus minusnya.

    Kalau saya, lebih suka menutup mata dengan tuntutan lingkungan, namun tetap membuka hati buat semua masukan, saya pikirin dan saya renungi, memang ternyata semua normalisasi yang beredar di masyarakat itu benar adanya, meskipun bukan berarti mutlak harus diikuti semua orang :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih banyak mba Rey, hihi, maaf saya baru sempat balas ya mba.

      Waduuh kalau itu aku sepakat banget mba, terserah lah mau orang lain bagaimana asal kita jangan sampai kena getahnya:( Masalahnya kan kalau ada orang yg seperti itu belum tentu ada di lingkungan kita dan belum tentu bisa kita ingatkan, jadi teringat kisah zaman dulu tentang umat nabi Luth yang diazab:'( Sekarang sebetulnya entah lebih beruntung atau lebih mengerikan dari itu karena saat ini kita masih dibiarkan hidup sesuai dengan apa yg kita mau sama Allah (meski mungkin banyak yg gak sesuai jalanNya).

      Sepertinya memang arus kehidupan kita di zaman ini benar2 melenakan ya mba, orang jadi nggak tahu bahwa hidup harus punya batasan, karena lagi2 seperti yg saya tulis, orang yg menjalankan nilai2 agama atau nilai2 tradisi yg sudah ada sejak dulu dianggapnya kolot dan nggak "open minded". Padahal orang yg aslinya open minded pun saya yakin mereka nggak main asal ngomong dan asal menormalkan sesuatu tanpa memikirkan berbagai hal dan kemungkinan. Saya juga jadinya takuuut aja kalau memikirkan nanti semisal udh menikah dan punya anak, sementara society di kelilingnya gak punya batasan atau norma yg bisa mengatur segala tindakan yg menyimpang. Kayaknya mending mengasingkan diri aja deh:')

      Setuju banget mba!:) Saya sebetulnya percaya bahwa anjuran2 atau nasihat2 yg datang dari para tetua bahwa baiknya menikah usia segini dan memiliki anak di usia tertentu itu petuah yg baik2, semata mata agar kita bisa menyesuaikan diri kapan saatnya bisa bekerja atau menikah, dan supaya gak kerepotan juga sih di masa tuanya. Saya pun ketika melihat tante saya menikah di usia dua puluh enam dan memiliki anak setahun setelahnya, bagi saya itu waktu yg pas untuk menikah. Dan kalau bertemu jodohnya, mungkin saya akan menikah di kisaran usia segitu juga, hehe. Sayangnya yg saya perhatikan sekarang orang2 justru terkesan memaksakan hal itu ke semua orang dan menjadikannya standard. Kalau dulu mungkin karena segala persaingan (utamanya dalam karir), gak sebesar sekarang, pressure pun gak begitu terasa dan bahkan menganggap nasihat orangtua pun sebagai anjuran yg baik. Kalau sekarang kan apa2 kesannya negatiiiif terus, karena ada berbagai intervensi dari orang lain itu, yg akhirnya kita menikah karena kesiapan malah karena tekanan dari beberapa pihak. Padahal mungkin awalnya hanya basa basi memang, tp pasti ada tipe tipe orang yg selalu memikirkan perkataan orang lain hingga akhirnya mereka memilih sesuatu pun bukan atas diri sendiri, melainkan karena orang lain.

      Menurut saya malah lebih baik seperti itu, mba. Kita harus punya pendirian tp gak menutup diri juga dari berbagai masukan yg ada. Dari segala normalisasi yg ada ini, saya percaya kita seharusnya tetap bisa memilih apa yg mau kita jalani dengan keyakinan diri sendiri, karena seperti kata mba, gak berarti mutlak harus diikuti semua orang, hoho. Semoga masih banyak orang2 di luar sana yg sama seperti mba, bisa memilih dan menikmati hidup tanpa harus memikirkan orang lain ya, mba:D

      Anyway makasih mba Rey sudah mampir! Ehehe<3

      Hapus
  14. Saya malah takutnya, gerakan normalisasi itu akan ditunggangi oleh orang-orang yang memang bergerak secara murni. Kalo menurut saya, kebudayaan yang sudah ada di masyarakat memang tidak bisa diubah segampang membalikkan telapak tangan. Tapi, menurut saya orang yang bergerak dalam gerakan normalisasi juga perlu ada. Untuk kepentingan menyadarkan bahwa ini sudah tidak benar, itu salah. Meski saya cukup paham, urusan moral adalah urusan masing-masing. Tapi menyangkut orang lain, saya rasa perlu campur tangan orang lain juga didalamnya.

    Saya senang dengan argumen yang diutarakan bukan hanya atas dasar opini semata. Tapi memang ada dasar dan poin yang ingin disampaikan. Makanya, saya tidak pernah melihat orang dari opininya, tapi argumennya. Diluar dari saya setuju atau tidak, itu akan menjadi diskusi yang menyenangkan.

    Keren!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau saya sih mikirnya memang udah ada beberapa pihak yg seperti itu di dalamnya, mas Rahul. Maklum lihat situasi dan kondisi sekarang baik dari segi politik atau sosialnya aja kan kayaknya banyak pihak2 yg sulit dipercaya karena bertindak di bawah bayang2 sosok atau instansi tertentu. Memang kalau sudah menyangkut orang lain, apalagi dalam skala yg lebih besar, kita gak boleh diam saja ya. Jadi ada baiknya ada buruknya, tergantung tujuan dari gerakan menormalisasi itu sendiri. Apakah jelas untuk kebaikan bersama, atau hanya menguntungkan salah satu pihak alias banyak dampak negatifnya, itu juga harus diperhatikan.

      Wah terima kasih banyak mas Rahul! Saya pun kalau cuma mengandalkan opini tanpa melihat berbagai sisi rasanya gak berani buat berkomentar, lebih baik riset dulu. Kalau memang pure pemikiran sendiri berarti beraninya di label Thoughts aja masuknya, haha. Saya pun senang kalau sudah masuk blognya Rahul, apalagi tulisan semacam Selebgram dan Lidahnya, dan Distribusi VS Kreativitas, (gak cuma dua itu sih, tapi dua tulisan itu favorit saya). Temanya selalu menarik dan jelas kemana arah dan tujuannya, ditambah bahasanya yg bikin saya berasa baca artikel Asumsi, Vice atau Remotivi, hehe.

      Sekali lagi makasih banyak ya Rahul!

      Hapus