Belajar Berproses Lewat Film Little Women

by - Juli 15, 2020


review film little women

Baca dulu postingan ini sebelum mengenal cewek-cewek tangguh di Massachusetts:

o-o

Setelah jalan-jalan ke Perancis, gue istirahat sebentar dan beralih ke Massachusetts, masih di abad ke-19, yakni tahun 1868, setelah berakhirnya perang saudara Amerika. Beberapa tahun perjalanan setelah Revolusi Perancis yang dipimpin Eddie Radmayne dan Aaron Tveit. 

Sebelum itu gue mau ngingetin nih, postingan yang ini dan sebelumnya cuma sebatas review abal-abal, selebihnya cerita plus pendapat gue soal film keduanya, bukan konten khusus review yang terstruktur dan jelas karena sejujurnya gue nggak sebakat itu untuk review sesuatu😂 Terakhir kali gue nge-review film itu waktu ada tugas Sakubun atau karangan sekitar dua tahun lalu *hmm lumayan lama. Jadi, yeah, intinya gue cuma pingin sharing soal tontonan gue beberapa hari ini. Yuuk mari kita lanjoott!

Little Women bercerita tentang tekad perempuan di abad 19 dalam meraih mimpi, mempertahankan prinsip dan passion, serta hidup di bawah budaya patriarkal yang kental untuk menentukan pilihan hidupnya masing-masing. Semua ini diawali oleh Jo March, anak kedua keluarga March yang terdiri dari empat bersaudara, yakni Meg, Amy, dan Beth yang terinspirasi menceritakan kisah tentang kehidupan keluarganya ke dalam sebuah buku. Jo, seorang guru privat yang bercita-cita menjadi penulis terkenal yang membuat cerita untuk massa berjuang mencari uang di New York, semata-mata agar dia bisa menghidupi keluarganya yang miskin di kota Concord, Massachusetts. Ia dan saudari-saudarinya merangkai sendiri mimpi-mimpi mereka saat masih remaja. Meg, kakak pertamanya—yang lebih terkesan didukung oleh adik-adiknya—bermimpi menjadi seorang aktris. Amy yang bermimpi menjadi seorang seniman karena dia senang dan pandai melukis, sementara Beth, anak paling bungsu, yang cenderung lebih pemalu dan pendiam, bermimpi agar dia bisa bermain musik sepanjang hidupnya, bahkan jika itu hanya dimainkan untuk keluarga kecilnya. Beberapa mil dari rumah mereka, tinggalah keluarga Laurence, seorang kakek dan cucunya, Theodore Laurence, dan seorang guru privat. Keluarga Mr. Laurence nantinya akan menjadi dekat dengan keluarga March karena Laurie—Theodore Laurence—yang tanpa sengaja menjalin pertemanan dengan Jo saat mereka berada di satu pesta. Ada juga Bibi March, yang dikenal judes dan ceplas ceplos diperankan oleh Meryl Streep.

Film ini, lagi-lagi merupakan adaptasi novel klasik karya Louisa May Alcott dengan judul sama, Little Women, pada tahun 1868. Sebelumnya pernah dibuat juga ke dalam film sebanyak tiga kali, dan film Little Women yang dirilis baru-baru ini menjadi film keempat yang diproduksi dengan sutradara sekaligus penulis skenario, Greta Gerwig. Little Women tampaknya menjadi salah satu film adaptasi tersukses karena karyanya tak pernah ketinggalan untuk masuk jajaran nominasi Oscars. Film ini menjadi pelengkap dari deretan nominasi Oscar yang pernah diraih oleh ketiga pendahulunya, yakni nominasi untuk Best Adapted Screenplay, Best Motion Picture, Best Costume Design (won), Best Actress, Best Supporting Actress, dan Best Original Score.

Alur dalam film ini adalah maju mundur, menceritakan perjalanan hidup keluarga March antara di masa kini dan beberapa tahun sebelumnya, oleh karena itu kita seperti dibawa untuk mengikuti bagaimana para gadis keluarga March ini tumbuh dari remaja menjadi orang dewasa. It goes back and forth from the past to present a couple of times but it wasn't confusing or breaking any concentration cause it was so nicely connected by editing and bridge music. Setiap kali perpindahan scene, kita bisa merasakan perbedaan lewat sinematografinya. Di masa lalu, suasana dan pencahayaan film akan terlihat lebih orange seperti di sore hari. Sementara di masa kini, sinematografinya cenderung lebih gelap dan sendu. 

Dari segi penokohan, gue merasa keempat tokoh utama dalam cerita ini masing-masing menggambarkan antara ambisi, mimpi, realita, dan juga takdir. Meg, kakak pertama yang diperankan oleh Emma Watson, adalah gambaran dari sebuah realita. She had a dream to become an actress but once she met her love, John Brooke, she decided to get married and even gave birth to two children. She portrayed the woman who gave her life to be the wife of the man she loved and that was a choice, not a pressure that people always arguing of. This is what she said when Jo persuaded her to run away on her wedding day,

Just because my dreams are different than yours doesn't mean they're unimportant. I want a home and a family and I'm willing to work and struggle, but I want to do it with John.

Di sisi lain, kita bisa melihat mimpi dari Jo March, si anak tomboy yang terobsesi dengan dunia tulis menulis, yang mana membawanya menjadi sosok yang kita kenal di balik buku Little Women, Louisa May Alcott herself! *Okay let's talk about it later. Jo punya prinsip untuk tidak menikah dan sukses dengan jerih payahnya sendiri. She's one of the character that i look up to after watched this movie anyways. Sementara Amy, dia adalah representasi dari ambisi. She also had a dream to become an artist, but that's not the only reason why she studied art in Europe far away from home with aunt March. Dia dianggap oleh bibi March sebagai satu-satunya harapan untuk mensejahterakan keluarganya dari kemiskinan, yakni menikah dengan keluarga kaya, atau paling tidak menghasilkan uang sebanyak-banyaknya. Dia menjalin hubungan dengan seorang yang kaya raya, Fred Vaughn—walaupun pada akhirnya Amy learned her lesson dan menolak lamaran Fred, lalu menikah dengan Laurie. But that doesn't mean she's money-oriented, though. Di bawah ini gue kutip dialog antara Amy dan Laurie yang menggambarkan bagaimana kehidupan perempuan pada masa itu—yang mendorong ambisi Amy untuk mengejar pendidikannya di Paris.

Amy March: Well, I believe we have some power over who we love, it isn't something that just happens to a person.

Theodore 'Laurie' Laurence: I think the poets might disagree.

Amy MarchWell. I'm not a poet, I'm just a woman. And as a woman I have no way to make money, not enough to earn a living and support my family. Even if I had my own money, which I don't, it would belong to my husband the minute we were married. If we had children they would belong to him not me. They would be his property. So don't sit there and tell me that marriage isn't an economic proposition, because it is. It may not be for you but it most certainly is for me.


Trans:
Amy March: Ya. Saya bukan seorang penyair, saya hanya seorang wanita. Dan sebagai seorang wanita, saya tidak punya cara untuk menghasilkan uang, tidak cukup untuk mencari nafkah dan menghidupi keluarga saya. Bahkan jika saya memiliki uang sendiri—yang mana tidak, semua itu akan menjadi milik suami saya begitu kami menikah. Jika kami punya anak, mereka akan menjadi miliknya, bukan saya. Jadi jangan hanya duduk di sana dan mengatakan bahwa pernikahan bukanlah strategi ekonomi, karena kenyataannya memang demikian. Kau mungkin tidak merasa begitu, tapi ini berlaku untuk saya.
Sementara itu, sosok takdir berhasil direpresentasikan oleh Beth. Kenapa dia merupakan takdir? Karena Beth jelas punya mimpi seperti ketiga kakaknya, tapi pada saat dia jatuh sakit keras dan mimpinya tak lagi bisa dicapai, Beth tahu bahwa dia hanya harus pasrah terhadap takdir yang ada tepat di depannya. 

Dari semua itu, gue seperti melihat diri kita yang selama ini berjuang mewujudkan mimpi dan harapan dengan susah payah, harus melewati berbagai situasi tidak mengenakan, termasuk pressure yang datang dari sekitar, tapi dalam prosesnya, kita juga harus sadar bahwa akan ada saatnya perjalanan kita terhenti di masa kita belum mencapai setitik pun dari apa yang kita impikan, and that's okay, yang bisa kita lakukan hanya pasrah dengan kehendak Tuhan. Gak semua hal baik dan indah harus kita nikmati di dunia. Beberapa disimpan untuk kehidupan yang lebih kekal nanti. 

Melihat Jo, gue jadi merasa terpacu untuk tetap di jalur yang gue pingin selama ini. I've always been passionate about writing even when i was a kid, so that i wrote. I write everything that i think it's important to share. As a whole, gue melihat Little Women sebagai proses. Proses menjadi lebih dewasa, proses menjadi seseorang yang diimpikan, proses mencintai seseorang yang bisa dimiliki atau nggak, proses menghargai—even hal terkecil di dalam hidup, dan proses menjadi sesuatu yang tidak diduga sama sekali, bahkan proses berserah diri. Everything has ups and downs, gak ada satu apapun yang instan.

Film ini memang bernapaskan feminisme karena berbagai problema dan dinamika yang dialami tokoh-tokohnya sebagai perempuan pada era itu. Louisa May Alcott, yang gue mention di atas sebagai sosok di balik Jo memang menulis Little Women karena terinspirasi dari kisah keluarga kecilnya. Dia juga adalah seorang perawan tua yang mendedikasikan hidupnya untuk menulis. Abigail May Alcott, adik bungsunya adalah sosok inspirasi di balik tokoh Amy, dia seorang seniman di Amerika yang membagi waktunya antara London, Boston dan Paris dalam berkarya. Dalam buku dan film, dia digambarkan sebagai anak ketiga. Kemudian Meg adalah representasi dari Anna Alcott Pratt, anak pertama pasangan Amos Bronson Alcott dan Abby May yang lahir pada tanggal 16 Maret 1831Di masa mudanya, ia dan Louisa menciptakan melodrama romantis yang ditampilkan untuk teman-teman mereka. 

Di antara tahun 1847 dan 1849, Anna dan Louisa bekerjasama menulis sebuah tragedi berjudul Norna; atau, Kutukan Sang Penyihir yang diterbitkan setelah kematian Louisa di Comic Tragedies (1893) yang menampilkan pengantar oleh Anna berjudul "A forward from Meg". She was basically a writer and a teacher too in Boston. Sementara Beth, adalah representasi dari Elizabeth Sewall Alcott, yang merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Elizabeth atau Lizzie di dunia nyata memang dikenal sebagai gadis yang pemalu, ceria, dan lemah lembut. Seperti di dalam film, ia menderita demam berdarah saat membantu keluarga Jerman yang miskin, dan sejak saat itu kondisinya semakin memburuk hingga Lizzie meninggal dua tahun setelahnya pada tahun 1858 di usianya yang masih 22 tahun.

Secara keseluruhan, film ini sangat bisa dinikmati untuk siapapun yang menginginkan film dengan alur dan cerita yang santai, karena pada dasarnya memang film ini bergenre drama romantis dan drama keluarga, kita gak memerlukan kertas untuk mencatat berbagai hal yang mengusik otak kita untuk berpikir. Di sisi lain, film ini juga seakan memberi spirit buat kita belajar lebih mencintai passion dan berusaha untuk mencapai apa yang kita mau, plus memilih apa yang mau kita pilih di dalam hidup. Dari segi sinematografi, kostum, dan tetek bengek yang berkaitan dengan produksi, gue merasa gak ada masalah. Semuanya tertutupi sama ide cerita yang kompleks tapi tetap di satu jalur—alias gak meleber kemana-mana—karyanya Gerwig, ditambah deretan aktor ternama seperti Saoirse Ronan, Emma Watson, Florence Pugh, Eliza Scanlen, Timothee Chalamet, Laura Dern, Chris Cooper dan tentunya Meryl Streep, nyonya langganan Oscars. Walaupun gue sempet ngerasa bosen dan ngantuk di pertengahan, it still worth watching, really.

Sejujurnya karena film ini gue jadi tertarik buat baca bukunya, sih. Somehow ide dimana ada cerita tentang penulis yang mengisahkan hidupnya ke dalam tulisan dengan ending dia nerbitin buku itu tuh selalu menarik buat gue. Oh iya, di adegan terakhir buku itu diceritakan bahwa Mr Dashwood, kepala sebuah penerbit dimana buku Jo diterbitkan mengusulkan kepada Jo agar karakter utamanya menikah, since Louisa May Alcott or Jo March berprinsip untuk gak menikah. Sehingga lahirlah ending scene dimana Jo mengejar tokoh yang dicintainya, Friedrich, di perjalanan pulang dan mereka menikah, hingga mendirikan sebuah sekolah. Di kisah nyata, Louisa tidak menikah dan dia menyetujui Mr Dashwood untuk menikahkan karakter utamanya sebab cerita semacam itulah yang menjual di masyarakat. That's why dulu pada cetakan pertamanya dicantumkan kalimat "possibly fiction" di BAB terakhir Little Women.

Apa gue bisa jadi kayak Jo March ya suatu hari nanti?

You May Also Like

18 komentar

  1. Little women emang inspirasi banget. Aku suka semua karakter 4 tokoh kakak beradik ini dengan berbagai mimpi yang mereka punya. Menggambarkan realitas seorang wanita, mana yang harus mereka pilih.

    Aku jg berharap bisa kayak Jo bisa menghasilkan buku sendiri yang disukain banyak orang :"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin, semoga harapannya terkabul ya mba😍💪🏻

      Little Women ini emg tontonan wajib buat yg seneng nulis atau siapapun yg lg bertahan ngejar passionnya, karena yap, emang masing2 tokoh menggambarkan realitas perempuan. Dari semua karakter gak semuanya berhasil meraih mimpi, tp at least mereka bisa menjalani hidup sesuai yg mereka pilih dan itu yg kita butuhin sebetulnya, ada motivasi dan realita secara bersamaan.

      Anyways, salam kenal ya mba Tika😇

      Hapus
  2. Film yang bercerita tentang passion tuh emang selalu menarik buat ditonton ya. Apalagi kalau passion yang diceritakan bersangkutan dengan passion kita, menariknya bisa nambah berkali-kali lipat.
    Saya belum nonton film ini, cuma pernah lihat trailernya sekilas. Dan waktu itu juga nggak paham ini film bercerita tentang apa, yang saya tahu ada ema watson yang main di harry potter dan saya suka banget harry potter.

    Akhir kata saya doain mimpinya mbk awl kalau ingin seperti jo march semoga bisa terwujud....😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. ASLI mbak!! Selepas nonton film ini berasa ke-boost gitu semangat buat nulisnya, gara2 liat Jo March😁 Sekarang kurang lebih udah kebayang belum mba? Hehe mau ngeracunin mba buat nonton film ini juga, ayo ditonton mba Astri!😄
      Btw kita sama2 pecinta Harry Potter dong mba✋🏻 mba Astri housenya apa nih? Kalo aku Gryffindor hoho, mainstream sekaleeh

      Eniwey terima kasih ya mba do'anyaa, Aamiin ya Allah semoga suatu saat bisa tercapai:')🤗

      Hapus
  3. Aku aminin dulu yaa kalimat terakhirnya: AMINNN. Kamu pasti BISA jadi penulis hebat suatu hari nanti (:

    Btw, Little Women is my favorite story ever! I really really recommend to read the book, karena ada banyak yang berbeda dari film. Novel Little Women diberikan sebagai hadiah ulang tahun ke-21 waktu itu oleh seorang sahabat, sejak saat itu aku jatuh cinta banget dengan March Sisters, terutama Jo. Ketebak banget yaa, kita yang punya mimpi menjadi penulis pasti naksirnya dengan Jo hihi Tapi setelah nonton filmnya, kok jadi naksir si bungsu Amy. Apa karena Florence Pugh cantik banget ya?

    Selain Jo, karakter favoritku udah pasti Mama March, beliau bijak dan luar biasa banget membesarkan keempat putrinya dengan amat sangat baik <3

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huwaaaa senengnya diaamiinin😭😭 Semoga ada rezekinya disitu ya mba😭

      Itu dia kenapa jadi penasaran banget sama bukunya, karena biasanya film sama novel suka beda cerita keseluruhannya. Andai aku dapet hadiah buku Little Women juga kayak mba😂😂 Kemarin-kemarin pas ke gramed liat buku Little Women tp cuma lewat aja, eh
      sekarang nyesel gak dibeli:( Emang Jo tuh kayaknya role model banget buat siapapun yg passionate di bidang tulis menulis. Wkwk bisa jadi mba😂 Aku suka Florence Pugh karena suaranya ngebas gitu, tipe2 cewe strong keliatannya.

      Oh yass!! Sampe lupa sama Marmee, Laura Dern di film itu juga keren banget sih, bener2 nunjukin sosok ibu dari empat anak yg penyayang, bertanggungjawab dan dermawan. Semua tokoh yang diperanin disana kerasa hidup, berisiknya keluarga, berantem2nya sesama saudara. Keren👏🏻👏🏻

      Hapus
  4. Aku belum nonton filmnya mbak, sepertinya harus lihat dulu, apakah di YouTube ada. Kalo ngga ada terpaksa download.😂

    Saya kagum pada penulis novel nya yaitu Louisa May Alcott. Pada tahun 1860an di Amerika pun belum terlalu banyak wanita yang bisa membuat karya tulis atau novel sebagus ini, bisa dihitung dengan jari. Mungkin itu sebabnya novel Little Woman diadaptasi menjadi film sebanyak empat kali ya.😊

    Langsung ke YouTube ah.😄

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau gak salah di yutub gak ada mas Agus, jadi harus langsung download kayaknya😁

      Iya betul banget mas, makanya sepanjang nonton film ini saya bener2 ngebayangin gimana yaa rasanya jadi penulis di masa itu, perempuan lagi, strugglenya pasti lebih berat. Makanya sempet diliatin kan di awal2 kalau Jo March gak mau munculin namanya di tulisan yg dia kirim ke penerbit surat kabar, mungkin karena melindungi identitas diri juga. Lah jadi spoiler nih hohoho😂😂

      Anw selamat menonton mas Agus👏🏻

      Hapus
  5. Saya rasa mba Awl punya bakat jadi penulis, sebab setelah membaca banyak tulisan mba Awl di blog ini yang menurut saya berbobot semua, terlihat jelas kalau mba Awl ada skill ke arah sana semisal diasah terus menerus, dan mungkin bisa mulai dengan buat cuplikan cerita sedikit demi sedikit dan ditayangkan ke blog, siapa tau ada peminatnya :D hehehehehe ~

    Saya pribadi juga suka Little Women, salah satu film terbaik yang pernah ada. Nggak heran kalau dapat banyak penghargaan ~ lately film-film remake banyak yang bagus-bagus, especially yang ceritanya flashback ke puluhan atau ratusan tahun lalu :D entah kenapa saya suka menontonnya, especially baju-bajunyaaaa hehehehehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. AAMIIN huhu makasi banyak mba Eno😭 mungkin bisa dimulai kayak buat cerbung gitu kali ya mba? ehehe bole juga tuh, saya harus kumpulin dulu semangatnya dari sekarang😂

      Bener banget mbaa, kalau nontonin film yang settingnya abad 18 19 gitu tuh suka seneng liatin kostum sama set designnya yang "wahh" alias gak pernah gak serius kayaknya👏🏻👏🏻 Pantes lah kalau film Little Women dapet penghargaan Best Costume Design. Oh iya, film berlatar abad pertengahan yg juga masuk Oscar kemarin ada Jojo Rabit, mba udah pernah nonton kah? Itu ngeboyong penghargaannya juga gak kalah sama 1917 sih, nanti kapan2 mau nonton itu deh kayaknya karena belum sempet melulu wehehe😁

      Hapus
  6. Little Women tuh buku favoritku dari kecil, filmnya yang tahun 1994 juga bolak-balik ditonton karena yang main Christian Bale hehe.. Tapi film versi Greta Gerwig ini baguuusss banget! Aku suka banget sama alurnya yang dibikin maju-mundur, juga para aktor yang meranin beneran pas banget huhu..

    Awl semangat yaa pasti bisa jadi kayak Jo March suatu nanti :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah aku malah kebalikannya ya kak, suka film versinya lebih dulu karena pertama kali nonton dan tau Little Women😂 Jadi pengen cepet2 baca bukunya terus nonton yg versi 1994, tapi kalau aku sih pengen liat mini Kirsten Dunst di film itu gimana😁 Entah kenapa emg aktor2 yg dipilih tuh berkelas semua kak, gak bikin yg nonton pengen ngusir salah satu gitu. Emang the best sih mba Gerwig huhu.
      AAMIIN kak Eyaa makasi banyak😭🤗

      Hapus
  7. Ku suka juga film inii, merasa mirip sama emma watson, *yha ngarep hahhahahh.

    btw kamu mengingatkanku pada gita savitri :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jiaah gapapa mba aku juga ngerasa sama kayak Emma Watson sebagai Meg di film ini, mungkin karena dia sama-sama anak pertama wehehe:')

      waduh karena sama2 berhijab dan berkacamata kali ya mba?😂

      Hapus
  8. Ceritanya menginspirasi banget mba. Tapi ak langsung membayangkan film jaman baheula, auto ngantuk #ehh hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha mungkin karena keingetan sama film-film pendahulunya Little Women ya mba, atau ngelihat kostum-kostum abad pertengahan di filmnya😂😂

      Hapus
  9. Little Women itu memang kisah yang abadi banget ya. Saya pertama kali baca waktu SD, masih belum ngerti kalau buku ini tuh karya sastra terkenal. Ayo baca bukunya, seruu :)

    Oh iya FYI alur cerita "masa kini" di film Little Women itu dari novel sekuelnya, Good Wives. Setelah itu jangan lupa baca Little Men dan Jo's boys. Little Men juga seru banget soalnya ceritanya tentang kehidupan Jo dan murid-muridnya di sekolah Plumfield (sekolah yang ada di adegan terakhir di film).

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo mba Yasyfin!:)

      Waduuh jauh banget yaa dari SD, saya berasa ketinggalan jaman deh baru tau dan pengen baca bukunya sekarang. Siaap nanti pasti baca bukunya, kalau sekarang2 takut keasikan karena lg fokus sama hal lain dulu, huhu.

      Oh iyaa, saya baru inget pernah baca di salah satu artikel kalau film ini gabungan dari alur di buku Good Wives. Jadi mau baca novel yg satu ini jugaaak. Kayaknya wish list buku Louisa May Alcott saya jadi tambah dua nih. Tapi kalau buku Good Wives, Little Men dan Jo's boys ini ada di toko2 buku juga kah? Biasanya kalau karya sastra klasik agak susah ditemukan ya soalnya kalau gak sehype yg sudah diadaptasi ke dalam film.

      Hapus